Kaca jendela limusin hitam yang gelap memantulkan bayangan Isabella yang sedang merapikan riasan terakhirnya. Jari-jarinya yang halus menekan perlahan ujung lipstik merah anggurnya, menutup garis bibir yang sempurna. Di pantulan itu, terlihat pula sosok Leonardo di sampingnya, mengenakan setelan Armani hitam abu-abu yang membuat garis rahangnya terlihat lebih tajam dari biasanya.Di pangkuan Leonardo, setumpuk dokumen tebal terbungkus sampul kulit hitam dengan kode "Project Phoenix" tertera dalam huruf emas. Jari-jarinya yang panjang mengetuk-ngetuk sampul itu dengan ritme gugup, sebuah kebiasaan yang hanya muncul saat dia benar-benar fokus."Damiano akan memaksamu memilih," suara Leonardo rendah namun jelas terdengar di dalam kabin limusin yang sunyi. Matanya yang hijau gelap menatap Isabella dengan intens. "Dia akan memberimu ultimatum - tetap setia pada Matteo dan menjadi pionnya, atau beralih ke pihaknya dan menjadi bonekanya."Isabella mengatupkan tas kecil Chanel-nya dengan buny
Badan mereka masih berselimut keringat ketika Leonardo bersandar di bantal, Isabella berbaring di dadanya yang luas. Jari-jarinya menelusuri punggung Isabella dengan gerakan malas, mengikuti lekuk tulang belakangnya yang halus."Sekarang," bisik Isabella, jemarinya menggambar pola di dada Leonardo, "tentang rahasia yang kau janjikan?"Leonardo menarik napas dalam. Tangannya berhenti bergerak, mencengkeram bahu Isabella dengan lembut."Kau ingat kenapa keluarga Ruzzo benar-benar ingin menguasaimu? Bukan cuma karena Matteo..."Isabella mengangkat kepala, dagunya bertumpu di tangan. Mata hijau Leonardo yang biasanya penuh nafsu kini terlihat serius, bahkan gelap."Apa hubunganku dengan mereka?" tanyanya, suara lebih kecil dari biasanya.Leonardo mengusap pipi Isabella dengan ibu jarinya sebelum menjawab."Semuanya berawal dari ibumu, Belle. Tapi, Riccardo memang bisa dibilang manusia yang tak punya hati!"Di luar jendela, hujan mulai turun, membasahi London dengan kabut dan rahasia.Leon
Damiano mengukur Isabella dengan tatapan yang membuat udara di antara mereka terasa padat."Aku setuju... tapi bukan berarti aku percaya padamu," ujarnya, langkahnya mendekat seperti predator. Isabella merasakan keringat dingin mengalir di tulang belakangnya—trauma masa lalu bangkit kembali, tapi kali ini, dia menahannya."Kamu... takut?" Damiano menyeringai, napasnya menghangatkan kulitnya.Isabella mendorong dadanya dengan telapak tangan yang tegas. "Bukan maksudku menolak, Tuan Damiano. Tapi selama aku masih istri Matteo secara hukum, ini tidak benar."Mata Damiano menyempit. "Kau memprovokasiku untuk membantumu bercerai?""Aku sudah kabur dari rumahnya sejak tiga bulan lalu," bantah Isabella, suaranya datar.Damiano tiba-tiba mundur seolah tersengat. "Kau bersama Salvatory?"Isabella menahan napas."Tuan Damiano—""Aku tidak akan menyentuhmu," potong Damiano kasar, berbalik ke jendela. "Keluargaku terikat sumpah pada Salvatory. Tapi ingat—perlindungannya tidak abadi."Mata Isabell
Matteo menatap Isabella dengan dingin. Posisinya terjepit, tidak ada ruang untuk melarikan diri. Napasnya tersengal, suaranya gemetar penuh keputusasaan."Ini gila, Matteo... Aku tidak bisa percaya kau melakukan ini."Matteo menyeringai, nada bicaranya menusuk. "Kenapa? Tadi kau begitu bersemangat melawan. Tiba-tiba menyerah?""Aku istrimu!" Isabella membentak, suaranya parau."Kau memang istriku," Matteo mengakui dengan datar. "Tapi tubuhmu sudah dinikmati kakak angkatku. Jadi, apa salahnya jika aku juga mengambil manfaat darimu sekarang?"Perkataan itu seperti tamparan. Isabella menahan isak, rasa malu dan kemarahan membara di dadanya. Mungkin dia salah karena berselingkuh dengan Leonardo—tapi Matteo yang mendorongnya ke situasi itu. Dan sekarang, dialah yang terjebak, terhina, tanpa daya."Aku mengaku, Matteo," bisiknya, suaranya lemah. "Aku bersalah telah berselingkuh dengan Leonardo. Tapi kau yang memulai semuanya."Matteo tertawa, puas melihatnya terjatuh. "Akhirnya kau mengakui
Isabella tercekat. Tangannya gemetar tak terkendali saat meneliti dokumen itu lebih detail. Matahari senja yang menyelinap dari jendela gudang menyorot deretan angka nol yang tak terhitung - deposito, saham, properti mewah di berbagai kota, bahkan koleksi seni ibunya yang legendaris."Ini... tidak mungkin..." desisnya, suara serak karena shock. Jantungnya berdebar kencang sampai-sampai dia bisa mendengarnya di telinga sendiri. "Selama ini... Riccardo... pantas saja dia..."Kilasan ingatan muncul - Riccardo yang selalu bersikeras Matteo harus tetap dekat dengan Isabella, sikap overprotective mertuanya yang tiba-tiba masuk akal dan pertemuan sampai pernikahan itu semua skenario Riccardo. "Dia bukan melindungiku," bisik Isabella dalam hati, mulutnya terasa kering. "Dia melindungi hartanya."Matteo mengamati reaksinya dengan senyum predator. "Akhirnya kau mengerti," godanya sambil menyentuh lembaran dokumen dengan jari telunjuknya. "Selama ini kau hanya domba berbalut bulu emas yang dijag
Isabella menatap pesan balasan Matteo hingga layar ponselnya menggelap. Jari-jarinya yang biasanya mantap kini gemetar ringan."Aku akan menemanimu sampai depan," ujar Leonardo, menekan pundak Isabella dengan kuat. "Aku sudah atur tim terbaik di sekeliling gedung. Jika ada yang tidak beres—""Kau akan masuk," Isabella menyelesaikan kalimatnya sambil menarik napas dalam. "Tapi kuharap tidak sampai perlu."Leonardo mengangguk, matanya gelap. "Ingat, jangan terpancing. Kau hanya perlu membuatnya bicara."Di gudang tua di pinggiran kota — tempat yang sengaja dipilih Matteo untuk memastikan tidak ada gangguan.Begitu mobil Isabella berhenti, dua lelaki bertubuh kekar langsung mendekat."Tas dan ponsel. Tinggalkan di sini," perintah salah satu mereka dengan suara datar.Isabella mengerutkan kening. "Aku butuh ponselku—""Peraturan Matteo," borgol tubuhnya dengan tatapan kosong.Dengan enggan, Isabella menyerahkan tas kecilnya. Salah satu penjaga segera memeriksa isinya dengan kasar, sementa