Mag-log inBugh!
Tanpa Sylvia duga, Edgar melepaskan pelukannya begitu saja, dan membuatnya jatuh terduduk di lantai. Sylvia lantas memekik keras, lalu langsung melemparkan tatapan tajam ke arah pria itu.
Sia-sia saja debaran aneh yang tadi ia rasakan.
Sambil mengusap pinggangnya Sylvia berucap, “Heh! Kamu itu punya perasaan sedikit gak sih? Aku ini manusia, bukan karung beras! Seenaknya aja menjatuhkan aku begitu aja.”
“Kamu lupa ya dengan kesepakatan kita? Tidak boleh terjadi sentuhan fisik,” ucap Edgar sambil menepuk-nepuk tangannya sendiri, seolah sedang membersihkan kotoran.
Sylvia semakin geram melihat sikap pria itu. Dengan cepat, Sylvia bangkit dan merapikan pakaiannya sambil masih menggerutu, “Dasar pria arogan!”
“Setidaknya kamu bantuin aku berdiri,” sambung Sylvia dengan suara yang lebih pelan.
Ia tidak mau membuat Edgar besar kepala kalau dirinya mengharapkan bantuannya. Apalagi setelah melihat pria itu keluar begitu saja dari kamar, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Sylvia.
“Kamu mau ke mana?” tanya Sylvia.
“Kenapa? Mau mengikuti suami tampanmu ini?” Edgar malah menantang Sylvia sambil menaikan alis dan melempar senyum miring.
Beruntung, sebelum Sylvia melempar bantal ke arah pintu, pria itu sudah menutupnya lebih dulu. Sylvia mendengus kesal. Ia bukan kepo atau mau tau urusan Edgar, tapi justru ingin menyelesaikan urusan dengan pria itu secepatnya.
‘Ah, tapi aku juga malas berurusan dengannya!’ hati Sylvia menggerutu, lalu dengan cepat naik ke tempat tidur.
Ia pun menggulung tubuhnya dalam selimut dan berniat untuk tidur cepat. Acara pernikahan hari ini, walaupun singkat, tapi tetap membuatnya lelah. Daripada memikirkan si anak manja itu, lebih baik Sylvia beristirahat saja.
‘Kalau para klien atau bahkan para pesaing tau Edward mengalami kecelakaan dan belum ditemukan, mereka akan menggunakan momen ini untuk menghancurkan perusahaan kita.’
Sylvia membuka matanya ketika tiba-tiba teringat ucapan ibu mertuanya. Gara-gara sikap menyebalkan Edgar, Sylvia jadi lupa ambisi besarnya itu. Benar, ia harus membuat pria itu menjadi sosok pengganti Edward yang sempurna.
Sylvia menyibak selimut dan segera bangun dari tempat tidur. Ia membuka pintu kamar Edgar dan melihat ke kanan-kiri, mungkin saja Edgar ada di balkon tempatnya tadi.
Namun, tidak ada. Akhirnya, Sylvia menuruni anak tangga dan berniat bertanya kepada pelayan di sana. Sampai ia mendengar suara berat Edgar yang meninggi.
“Bu! Harus kubilang berapa kali, AKU BUKAN EDWARD!”
Sylvia berhenti melangkah, tapi telinganya masih menyimak pembicaraan itu. Walaupun tertutup lemari kaca, Sylvia masih bisa melihat sosok Edgar yang duduk di sofa bersama Catherine.
Entah ekspresi apa yang ditunjukkan pria itu, tapi Sylvia bisa merasakan amarah dan rasa lelah dari suara Edgar.
“Dan aku gak mau menjadi pengganti dia lagi! Cukup dengan pernikahan ini,” lanjut Edgar.
Sylvia masih diam di anak tangga. Ia bahkan tidak berani bernapas keras, khawatir Edgar ataupun ibu mertuanya tahu keberadaannya.
“Kamu gak punya hak untuk menolak keputusan Ibu,” suara Catherine terdengar dingin.
“Ibu kenapa selalu memaksakan kehendak seenaknya? Pertama, Ibu meminta aku untuk menikahi calon istrinya Edward, sekarang Ibu meminta aku untuk menggantikan posisinya Edward di perusahaan. Apa nantinya Ibu akan memaksa aku untuk menghamili Sylvia hanya demi mendapatkan pewaris?”
Deg!
Sylvia tiba-tiba saja merasakan sesuatu menghantam dadanya cukup keras. Tanpa sadar, ia meremas pegangan tangga setelah mendengar ucapan Edgar.
“EDGAR!”
“Dengar, Bu.” Edgar berdiri dari duduknya, Sylvia bisa melihat itu. “Berhenti mengatur kehidupanku! Aku bukan Edward yang bisa Ibu setir sesukanya—”
PLAK!
Sylvia menutup mulutnya ketika mendengar suara tamparan yang keras itu. Catherine tampak sudah berdiri di depan Edgar dengan tegak. Bisa dipastikan, wanita itu pasti yang menampar anaknya.
“KURANG AJAR!” teriak Catherine. “Kamu bahkan tidak layak dibandingkan dengan Edward!”
“Oh? Kalau begitu, kenapa Ibu memintaku menggantikannya?” terdengar nada sarkas dari Edgar. “Ah, benar… karena tidak punya pilihan lain, kan, untuk menyelamatkan egomu itu.”
“Kamu akan menyesal karena tidak mendengarkan Ibu!”
“Terserah saja.”
Ketika Edgar berjalan menjauhi ruang tengah, Sylvia pun tersadar. Ia buru-buru berbalik badan dan berniat kembali ke kamar. Sampai suara Catherine kembali menghentikannya, termasuk Edgar.
“Lantas apa kamu pikir, usaha recehan kamu itu akan berhasil?”
Sylvia berbalik badan, begitu pun dengan Edgar. “Jangan pernah Ibu meremehkan bisnisku!” ucapnya tertahan.
Catherine mendengus. “Memangnya bisa apa kamu tanpa uang dariku?”
Tidak ada balasan dari Edgar.
“Aku bisa membuat toko barang rongsokanmu itu langsung hancur.”
Tanpa Sylvia duga, pria itu berjalan cepat menghampiri ibunya, dan berhenti tepat di depan wanita itu. Sylvia tidak bisa mendengar jelas apa yang pria itu ucapkan selanjutnya. Ia hanya sekilas mendengar soal
“….aku tidak peduli sekalipun kamu adalah Ibuku.”
Edgar kembali berbalik badan dan pergi. Namun kali ini, ia tidak pergi menuju tangga, melainkan ke luar rumah. Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara pintu depan yang dibanting keras, diikuti oleh suara mobil yang meninggalkan pekarangan rumah.
Sylvia masih terdiam di anak tangga. Ia jadi teringat persyaratan yang Edgar berikan kemarin. Ia meminta Sylvia mendukung pendanaan dan koneksi untuk bisnis pribadinya.
‘Sebenarnya apa bisnis yang dimaksud oleh Edgar? Kenapa bisnisnya itu gak didukung oleh ibunya? Ini berbeda sekali dengan yang Edward lakukan.’
Malam harinya.Setelah hidangan makan malam sudah siap, Larissa beserta suami dan juga ibu mertuanya langsung berkumpul di meja makan. Saat melihat ke arah jam dinding, Beatrice langsung menyunggingkan bibirnya karena Sylvia maupun Edgar belum juga datang."Sebenarnya mereka itu tinggal dimana sih? Kenapa sudah jam 7 lewat, mereka belum datang juga?" tanya Beatrice."Sabar mom. Paling sebentar lagi mereka sampai," sahut Danuel yang merupakan ayahnya Sylvia."Sebagai ayahnya, seharusnya kamu mengajarkan tentang kedisiplinan yang tegas pada Sylvia. Bukan membiarkan dia membuang-buang waktu seperti ini," sahut Beatrice."Sylvia itu sudah besar, mommy. Dia pasti bisa mengatur waktu nya sendiri," ucap Larissa.Mendengar ucapan menantunya, Beatrice langsung menoleh ke arah Larissa. "Ini pasti karena ulah kamu yang terlalu memanjakan dia kan? Makanya dia jadi tidak disiplin seperti ini.""Ayolah, mom. Kita lagi ada dimeja makan loh. Masa iya sih, kita bertengkar di depan makanan," ucap Danue
Tidak adanya sahutan dari putranya, hal itu membuat Catherine merasa bingung. Ia pun mencoba memanggil putranya. Tak lama barulah Edgar menyahuti ibu."Halo... Gar. Edgar! Kamu masih ada disana kan?" tanya Catherine."I-iya, bu. Edgar masih disini," ucap Edgar."Kamu tadi kenapa diem? Lagi ngelamun?" tanya Catherine."E-enggak, bu. Aku gak ngelamun. Kayaknya ada masalah di sinyal nya deh, bun. Suara ibu kadang suka gak jelas kedengeran nya," ucap Edgar."Ohhh begitu. Ya udah kalau begitu ibu tutup dulu aja deh. Inget ya, yang aku sama Sylvia," sahut Catherine."Iya, bu," sahut Edgar.Setelah mengakhiri panggilan telponnya, Catherine langsung pergi untuk mencari penginapan ataupun hotel. Selang 30 menit kemudian, Sylvia yang sudah selesai mandi dan berganti pakaian, ia langsung keluar dari kamar untuk menyuruh suaminya mandi.Namun, ketika Sylvia membuka pintu kamarnya ia sama sekali tidak melihat Edgar di ruang santai yang ada di lantai atas. "Kemana lagi perginya si Edgar."Berhubung
Setelah selesai menyantap makanan masing-masing, Edgar dan Sylvia kembali fokus menyelesaikan pekerjaan mereka. Hari itu baik Edgar maupun Sylvia sama-sama memiliki urusan yang super sibuk. Edgar beberapa kali harus keluar dari ruangan nya hanya untuk melakukan kunjungan proyek maupun rapat dengan para client nya. Begitu pun dengan Sylvia, ia juga tidak kalah sibuk nya merancang desain yang di inginkan oleh client nya. Saking sibuknya, tanpa mereka sadari, waktu berjalan dengan sangat cepat."Akhirnya, selesai juga desainnya." Sylvia berucap sambil meregangkan persendiannya. Ketika melihat ke arah jam dinding yang ada di ruangan Edgar, Sylvia seketika langsung terkejut. "Astaga! Udah jam 7?! Perasaan tadi baru jam 10 pagi deh."Ceklek! "Sayang... Kamu udah selesai belum, desain nya? Kita pulang yuk." Edgar bertanya saat memasuki ruangan nya.Mendengar ucapan suaminya, Sylvia langsung menoleh ke belakang. "Memangnya rapat nya udah selesai?"Edgar pun berjalan ke arah meja kerjanya. S
Mendengar ucapan suaminya, seketika kedua pipi Sylvia langsung memerah. Melihat hal itu Edgar pun bertambah gemas. Lalu, ia pun merangkul pinggang istrinya. Saat Edgar akan mencium bibir istrinya, tiba-tiba seseorang pun masuk kedalam ruangannya.Ceklek! "Oow... Sorry... Sorry, gue gak liat." Andre berucap saat memergoki Edgar dan Sylvia.Seketika Edgar pun berdecak ketika ia melihat keberadaan Andre. Sedangkan Andre sendiri yang merasa tidak enak sudah mengganggu kemesraan sahabatnya, ia pun memutuskan keluar. Namun, saat Andre akan menutup pintu dari luar, Edgar langsung menghentikannya."Udah... Udah. Lo masuk aja. Percuma juga kalau Lo pergi. Momen romantis gue juga udah berantakan gara-gara Lo," sahut Edgar."Ya sorry. Gue mana tau kalau kalian berdua lagi mesra-mesraan," ucap Andre. Sementara itu Sylvia yang tidak familiar dengan wajahnya Andre, ia langsung menyikut lengan suaminya dan berbisik. "Dia siapa, mas?" "Dia Andre. Salah satu sahabat ku," ucap Edgar saat memperkenal
Edgar pun mengambil jasnya. Setelah jas nya dipakai, Edgar dan Sylvia langsung keluar dari kamar. Tak lama ia pun sampai di meja makan. Melihat ibu mertuanya belum berada di meja makan, hal itu pun membuat Sylvia heran."Ibu kemana? Tumben belum ada di meja makan? Biasanya, ibu yang lebih awal, hadir di meja makan," tanya Sylvia."Mungkin, ibu masih ada dikamar. Tungguin aja, paling sebentar lagi juga dateng." Edgar menyahut sambil mengambil roti tawar yang ada dihadapannya.Persis seperti yang Edgar ucapkan, selang 5 menit kemudian, Catherine datang ke meja makan."Selamat pagi." Catherine menyapa sambil berjalan ke meja makan."Pagi juga, bu," sahut Sylvia."Ibu mau pergi kemana?" Edgar bertanya saat melihat ibunya berpakaian rapih."Pagi ini ibu mau ke rumah sakit yang ada di Bandung," ucap Catherine."Rumah sakit? Bandung? Apa, udah ada kabar mengenai Edward, bu?" tanya Edgar."Ibu juga belum tau pasti. Ibu cuma diminta datang ke rumah sakit yang ada di Bandung oleh pihak kepolisi
Beberapa menit kemudian.Setelah makan malam yang dibuat oleh Wira sudah siap, ia langsung membawa makanan tersebut ke dalam rumahnya. Tak lama kakek Teguh pun duduk di tikar plastik untuk menyantap makan malam bersama cucunya. Berhubung pria yang mereka selamatkan dipinggir sungai sudah siuman, kakek Teguh memberikan sebagian makanan yang ia punya kepada pria tersebut."Kami hanya punya ikan bakar dan juga ubi rebus. Kamu duduk dulu ya, makan makanan ini supaya kamu memiliki sedikit energi," ucap kakek Teguh.Pria tersebut menganggukkan kepalanya. Lalu, ia pun berusaha bangkit untuk duduk. Namun, dikarenakan tenaganya sangat lemah, ditambah lagi kepalanya juga masih pusing, pria itu pun kesulitan untuk duduk. Seketika Wira langsung menghampiri pria tersebut untuk membantunya sebelum kakeknya yang turun tangan membantu."Sini aku bantu," ucap Wira."Terimakasih," ucap Wisnu setelah berhasil duduk."Kamu bisa makan sendiri? Atau mau aku suapin?" tanya Wira."Tidak usah, saya masih bisa







