Share

Bab 5. Perdebatan Di Tempat Tidur

“Kamu sedang apa di tangga?” 

Pertanyaan itu keluar dari mulut Catherine saat Sylvia berbalik untuk pergi ke kamarnya. Sylvia berbalik badan lagi dan mengulaskan senyum kaku. Dengan gugup, Sylvia berusaha menjawab pertanyaan ibu mertuanya.

“I-itu, Bu… A-aku mau ambil air minum di dapur.” 

Sylvia meneguk air liurnya ketika Catherine tidak menjawab. Pasalnya, di lantai atas juga ada dispenser air. Mungkin saja Catherine curiga.

‘Apakah aku ketahuan?’ pikirnya.

“Kalau air dispensernya habis, kamu suruh pelayan untuk mengisinya.” Ibu mertuanya berucap sambil menepuk pundaknya Sylvia, lalu menaiki anak tangga.

Sylvia hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Iya, Bu.” 

Saat melihat ibu mertuanya sudah menjauh, Sylvia langsung menghela napasnya. Ia pun memutuskan kembali ke kamarnya Edgar dengan cepat.

Ceklek! 

Sylvia bersandar di pintu. “Kira-kira Edgar pergi ke mana ya?”

Meskipun Edgar sangat menyebalkan baginya, Sylvia sedikit merasa khawatir. Pria itu bukan pria jahat, hanya omongannya saja yang pedas. Apalagi, itu pertama kalinya Sylvia melihat pria itu marah-marah.

“Sebaiknya aku telepon dia,” ucap Sylvia, lalu teringat sesuatu. “Astaga… aku kan gak punya nomor teleponnya.”

Sylvia melempar ponselnya ke kasur, dan tidak mau peduli lagi. Lebih baik ia beristirahat sekarang, daripada memikirkan anak manja yang baru saja bertengkar dengan ibunya.

‘Udahlah, dia juga udah besar. Nanti juga bisa pulang sendiri,’ pikir Sylvia sebelum memejamkan mata.

Malam semakin larut. Entah sudah jam berapa, tapi Sylvia bisa mendengar bunyi pintu kamar dibuka. Tak lama kemudian, ia merasakan seseorang yang naik ke kasur. Ia memang mudah sekali terbangun jika tidur. Gerakan sedikit saja sudah bisa membangunkannya.

Sylvia membuka mata dan langsung berbalik badan. Di sisi kasur satunya, ia sudah melihat punggung lebar seorang pria. Tanpa banyak bicara, Edgar ternyata sudah pulang dan tidur membelakanginya.

“Edgar?” panggil Sylvia sambil setengah duduk di kasur.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya Edgar. ‘Mungkin udah tidur.’ pikir Sylvia.

Saat Sylvia ingin kembali tidur, Edgar menjawab. “Kenapa?”

“Aku kira kamu udah tidur,” kata Sylvia dengan posisi sama. Namun, Edgar kembali hanya diam seribu bahasa, membuat Sylvia bertanya lagi, “Kamu dari mana?”

“Kamu ingat perjanjian kita?”

Sylvia berdecak sambil memutar bola matanya. Ia tidak bodoh, tentu saja masih mengingat kalau mereka tidak boleh saling ikut campur. Namun, apa salahnya dengan sedikit menunjukkan simpatinya, sih? 

Malas berdebat, akhirnya Sylvia hanya bisa menghela napas. 

“Ya udah terserah.” 

Sylvia menarik selimutnya dan berbalik badan, ingin kembali tidur. Suara napas Edgar terdengar teratur di belakangnya, tapi itu justru membuat Sylvia semakin penasaran.

‘Kok, dia bisa setenang itu abis berantem sama Ibu, ya?’

“Kenapa kamu bertengkar sama Ibu?”

Tiba-tiba, Edgar berbalik badan. “Dari mana kamu tau?”

Sylvia menutup mulutnya sendiri karena tanpa sadar mengucapkan isi kepalanya. Ia panik. Ia lupa kalau tadi dirinya diam-diam mengintip pertengkaran tersebut. 

Ia bisa merasakan tatapan marah Edgar di belakang punggungnya. Pria itu pasti sudah duduk sambil menunggu penjelasan darinya.

“S-suaramu keras banget sih!” Sylvia berteriak sambil ikut duduk di kasur, sekarang mereka duduk berhadapan.

Edgar masih menatap tajam Sylvia. “Walaupun suaraku keras, apa kamu diizinkan untuk mendengarnya?”

Sylvia tanpa sadar menelan air liurnya. Pria itu berbeda dengan Edgar yang ia tahu beberapa saat ini. Edgar dalam mode serius terlihat sangat menakutkan.

“A-aku punya telinga!” balas Sylvia. “Aku yakin, kamu yang buat Ibu marah, kan? Ibu gak pernah semarah itu sebelumnya.”

Edgar mendengus. “Tau apa kamu?”

“Apa itu ada hubungannya dengan kamu memintaku membantu untuk dapatkan investor dan koneksi?” 

Edgar yang ingin kembali tidur pun membeku. Ia menatap Sylvia lagi. “Apa maksudnya?”

Sylvia mengangkat bahu. “Perusahaanmu yang ditentang Ibu…. aku akan membantumu untuk mendapatkan investor,” ucap Sylvia.

“Ya tentu saja harus, itu perjanjian kita,” jawab Edgar dengan alis terangkat, terlihat sedikit merasa bingung.

“Iya, tapi seperti kataku, karena kamu harus berperan sebagai Edward, kamu juga harus mau menerima jabatan CEO untuk menggantikan posisinya.”

Mata Edgar membulat. “Gak! Sudah cukup aku berpura-pura menjadi dia!” 

“Berhenti menyamakanku dengan dia!” lanjutnya dengan suara tertahan.

“Kamu emang bukan Edward,” jawab Sylvia sinis, lelah mengingatkan kalau Edgar sama sekali tidak bisa menjadi Edward. “Gak ada yang bisa menyamakan pria itu.”

“Terus apa gunanya?”

Sylvia mendengus, sifat egoisnya muncul karena melihat reaksi Edgar yang bebal dan tidak mau mendengarkannya. “Jangan salah paham. Aku ngelakuin ini bukan hanya untuk kamu, tapi untuk aku juga. Aku gak mau disangka punya suami yang gak kompeten.”

“Apa kamu gak berpikir, dengan jadi CEO perusahaan Wijaya, kamu gak akan direndahkan lagi,” lanjut Sylvia. “Tapi ya… jika kamu masih berharap aja sama usaha rongsokan itu, terserah—ah!”

Belum sempat Sylvia menyelesaikan ucapannya, pria itu sudah mencekal kuat dua tangan Sylvia dan mengurung tubuhnya di bawah tubuh kekarnya. Mata Sylvia membulat. Antara kaget dengan tindakan Edgar, juga terhadap dirinya sendiri.

‘Kenapa aku bisa keceplosan mengulang kata-kata Ibu? Padahal gak begitu maksudku…’ Sylvia merutuki dirinya sendiri.

“B-bukan… maksudku, Ibu—”

“Tutup mulutmu!” Edgar menggeram dengan rahang terkatup rapat. Matanya menatap tajam Sylvia. “Gak ada yang boleh menghina mimpiku yang satu itu.”

Edgar tidak peduli jika ada orang yang menghinanya pemalas, tidak bisa diatur, dan sebagainya. Namun, ketika usahanya itu dilecehkan, ia akan marah besar. 

Bisnis kecil-kecilan yang menjual berbagai aksesoris dan sparepart motor maupun mobil itu adalah perwujudan impiannya. Ketika tidak ada yang mau mendengarnya, otomotif-lah satu-satunya teman Edgar.

Edgar yang tidak terima Sylvia sudah menghina bisnis yang ia rintis dengan derih payahnya sendiri. Edward langsung mengungkung Sylvia. 

Dengan memegang kedua tangannya Sylvia, Edgar langsung mengancam Sylvia. “Jangan pernah menghina bisnis pribadi ku, atau aku akan merenggut sesuatu yang amat berharga dari dirimu.” Tubuh Edgar semakin turun, merapat pada tubuh Sylvia. Tidak seperti sebelumnya, Sylvia semakin berani menantangnya. Walaupun tubuhnya terasa gemetar, Sylvia tidak mengalihkan tatapannya dari Edgar.

“K-kalau begitu, kau pilih, usahamu hancur, atau kamu mendengarkanku?” tawar wanita itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status