Share

Tak Ingin Terlibat

Terjerat Pesona Anak Mafia

Chapter 6

Garda melangkahkan kakinya dengan gontai masuk ke camp, semalaman ia tak bisa tidur, mungkin karena tak terbiasa dengan tempatnya atau masih tak habis pikir bagaimana seorang perempuan bisa dengan tenang meletakan “sesuatu” di dapurnya dan baunya sangat menyengat.

Mereka menguburkannya subuh tadi dan Garda langsung kembali untuk mencari dokter Dio sesuai dengan anjuran gadis aneh itu. ”Salah, bukan gadis karena perempuan itu telah bersuami,” gumam Garda sendiri.

“Wah mimpi apa semalam sampai pagi-pagi begini komandan datang kemari ?” ujar dokter Dio yang masih menggunakan pakaian biasa. Pria itu membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan Garda masuk. Dio pun sempat melirik sekilas pada luka di wajah dan tangan Garda.

“Aku mau periksa ini,” ujar Garda sambil menunjukan luka di tangan dan kakinya,

“Heem, digigit anjing ya, anjing-anjing di sini galak bukan seperti di kota, kamu harus waspada.  Lalu dimana kamu ketemu dia ?” 

“Dia siapa ?’ Garda sedikit meringis ketika Dio mulai menilik dan memencet-mencet lukanya.

“Gadis yang mengobati lukamu ini !”

“Oh, perempuan  aneh itu, aku membantunya, wajarlah dia mengobatiku. Jangan bilang aku terkena rabies.”

Dio tertawa, ia tahu sahabatnya itu punya ketahanan tubuh yang luar biasa, bahkan sudah pernah  melawan hewan yang lebih buas daripada anjing hutan. Hanya saja ia penasaran bagaimana Garda bisa bertemu Karin.

“Dia hebat, dibanding aku mungkin dia bisa dikatakan genius, karena hanya memakai tanaman herbal bisa menandingi obat yang biasa kita gunakan.“

“Siapa yang kau bicarakan, perempuan itu ?”

“Namanya Karin.”

“Terserahlah, dia itu berbahaya, auw...” teriak Garda, pria itu melotot karena tiba-tiba Dio membalut luka dengan kencang.

Garda memperhatikan wajah Dio dengan seksama, lalu senyum tipis mengembang dari bibirnya, “Hei  dokter, jangan bilang kau suka padanya ?”

“Diam.“

“Wah, ternyata dokter sudah bisa jatuh cinta sekarang,”

“Kalau bicara lagi, aku tusuk lukamu.”

Garda terkekeh, sejak kepergian Nayla, Dio tak pernah dekat lagi dengan perempuan, tapi sekarang mendengar nama Karin saja membuat dokter kaku itu bereaksi. “Tapi kenapa harus perempuan itu,” gumam Garda dalam hati.

****

Karin duduk di pelataran rumah warga bersama para ibu-ibu, kadang terdengar suara tawanya yang renyah kala bu Ade melontarkan guyonannya  tentang terong.

“Suami saya gak mau makan terong, katanya takut letoy,” guyon bu Ade.

“Apanya yang letoy bu ?” sahut Karin serius sambil memakan kacang goreng yang tersedia di depannya.

“’Itunya”  dek Karin, hahaha,” timpal ibu lain sambil tertawa renyah.

Karin yang bingung lalu dibisiki oleh bu Ade  dan tawa lepas gadis itu langsung menggema.

“Wah kamu kalau ngomong yang beginian lancar ya.”

“Kyaaaa,” teriak Karin kaget karena ujung senapan menyenggol kakinya.

“Ada apa ?” Karin langsung berdiri disertai senyum ibu-ibu yang melihat mereka berdua bicara.

“Aku mau patroli, ayo ikut.”

“Kalau mau patroli, patroli aja, apa hubungan sama aku, gak lihat aku lagi sibuk,” ucap Karin sambil berbalik badan.

“Sibuk ngomongin terong.”

Karin melotot, sedangkan ibu-ibu di sana tertawa terbahak  dengan kesal akhirnya gadis itu naik ke mobil Jeep yang dibawa Garda, mereka pamit dengan senyum dan lambaian tangan.

Mobil itu melaju kencang dan akhirnya masuk ke jalan semak yang mungkin hanya bisa dilalui satu mobil saja. Karin diam ia terus memperhatikan kemana Garda membawanya. Akhirnya mobil itu berhenti diujung jalan buntu.

Mereka turun dan berjalan kaki menelusuri jalan setapak, hutan dan rimbunan semak membuat jalanan teduh dan sedikit gelap karena cahaya matahari hanya bisa mengintip disela-sela pepohonan

“Orangnya sakit apa ?” tanya Karin memecah kebisuan di antara mereka berdua.  Karin terus mengikuti langkah kaki Garda tanpa ragu.

“Pintar sekali kamu menebak, Dio bilang kamu genius, jadi aku mau minta bantuanmu.”

“Aku bukan dokter.”

“Kamu berani mengikutiku tanpa penjelasan dan sudah sejauh ini, apa kamu mau mundur ?”

“Siapa yang mundur ? ini aku terus maju mengikuti langkahmu.”

“Hey,,, aku serius.”

“Aku dua rius.”

Garda menghentikan langkahnya dan langsung berbalik badan, hampir saja Karin menabrak pria berpakaian loreng itu.

“Apa sih?” ucap Karin kelabakan karena terkejut, ditambah lagi pria itu menatap matanya dengan dalam.

”Kamu gak takut aku bawa kabur ?”

“Haha, kabur ? memangnya aku gak bisa pulang sendiri, tuh gak lihat,” tunjuk Karin pada tanda yang sudah dibuatnya sepanjang jalan.

Garda tersenyum kecut sambil menghembus nafas kasar, ternyata sepanjang jalan Karin sudah menoreh  batang pohon dengan pisau lipat yang dibawanya.

“Hebat, tapi kalau musuh yang lihat bisa habis kita.”

“Heem, tapi kan aku gak tahu kamu itu lawan atau kawan.”

“Ya sudahlah, ayo jalan.”

Sepuluh menit berjalan akhirnya mereka berhenti disebuah gubuk reot, mata Karin menelusur melihat sekeliling.”Memang rapuh, tapi ini tampak terawat, berapa orang yang tinggal di sini ?” tanya Karin menyelidik.

“Masuk dulu, kamu akan tahu nanti.”

Karin mengikuti langkah Garda, masuk ke dalam gubuk itu. Seorang bapak tua tampak sedang terlelap disebuah kursi, dengan pelan Garda membangunkan orang tua itu.

“Pak kapten ?” ucap  pak tua itu sedikit kaget.

Garda tersenyum, baru kali ini Karin melihat pria tegap itu tersenyum lembut.

“Wah...wah kalau senyum, manis juga,” gumamnya Karin mengulum senyum. Tak lama Garda memberinya kode padanya agar mendekat, entah kenapa ada perasaan iba bercampur takut kala Karin menjabat tangan pak tua itu.

“Karin.”

Pak tua tersenyum, gerakannya yang lambat tak menghalangi lelaki tua itu beraktifitas, ia membuatkan keduanya secangkir teh dan segelas kopi hitam.

“Pak kapten ini sukanya yang pahit,” celoteh pak tua sambil menghidangkan minuman itu.

“Wah, sayang sekali ya pak, padahal disini ada yang manis.” sahut Karin sambil tertawa.

“Kalau neng sih, bukan manis saja, tapi cantik.”

“Ahai mata bapak emang masih jeli, makasih pak.”

“Jangan dipuji pak tua, ntar ujung-ujungnya minta makan dia di sini,” timpal Garda  yang melihat Karin mesam mesem gak jelas.

“Yey, sirik aja lihat orang senang.”

Tak lama, Garda langsung masuk ke inti mengapa ia dan Karin datang ke sana, pak tua yang awalnya terkejut kemudian manggut-manggut mendengar penjelasan lelaki tegap itu.

“Hei, tapi aku bukan dokter, gimana kalau aku gak bisa nolongin anak pak tua,” bisik Karin.

“Kamu lihat saja dulu.”

Karin memutar bola matanya sambil cemberut, perasaannya sedikit gusar “Kalau memang orang itu sakit kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja, sebenarnya ada apa,” pertanyaan terus muncul dibenak Karin, ia mengikuti jalan pak tua yang membawa mereka ke halaman belakang gubuk, lalu menelusuri jalan setapak.

“Jangan kasi tanda apapun,percaya padaku, aku akan melindungimu,” bisik Garda sambil terus berjalan mengikuti langkah pak tua. Akhirnnya mereka berhenti pada sebuah rumah, tak seperti gubuk pak tua yang reot, rumah ini terlihat kokoh dan bagus.

Namun ada yang sedikit janggal, karena ketika menoleh ke belakang, Karin kebingungan mencari jalan mana yang mereka lewati tadi, semuanya sudah tertutup semak rimbun.

“Ayo,” ajak Garda, ia sadar gadis disampingnya itu kebingungan, namun jalan yang diambilnya sudah sejauh ini, tak ada alasan untuk berhenti sekarang.

Pintu rumah kayu itu terbuka, seorang ibu menyapa mereka dengan senyuman hangat, apalagi ketika pak tua membisikan sesuatu. Keduanya dipersilahkan masuk dan langsung menuju ke sebuah kamar. Disana ada seorang pria sedang terbaring lemah, dikeningnya ditempel selembar daun.

“Badannya panas dan saya menempelkan ini, supaya demamnya reda.” Ibu tua memberikan daun itu dan diambil Garda lalu diberikan pada Karin. Gadis itu menciumnya dan tahu itu daun apa.

“Boleh saya periksa,” ucap Karin dan dibalas anggukan dari si ibu, gadis itu mendekat dan Garda mengikutinya. Walau terlihat tenang namun Garda selalu waspada, matanya selalu mengawasi sekitar bahkan kedua orang tua itu.

Karin menilik tubuh pria yang terbaring lemah itu, usianya sekitar 30 tahunan, wajahnya ditumbuhi bulu-bulu lebat yang membuatnya sedikit menyeramkan.

“Ini luka tusukan, panjangnya sekitar 5 cm dari permukaan kulit, hampir mengenai ulu hatinya, luka ini mungkin sudah hampir semingguan,” ucap Karin pada Garda.

Karin memeriksa lagi dan menemukan banyak luka lebam dan,

Karin menutup matanya menahan desiran keras dihatinya, firasatnya benar, orang ini berbahaya. Karin bangun dari duduknya dan berdiri disamping Garda sambil berbisik,”Maaf komandan aku tak mau, aku tak bisa membantumu.”//// bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status