Dengan langkah tergesa, Stefani menuruni anak tangga apartemen menuju lobi. Malam itu ia tampak sedikit berbeda, wajahnya cerah meski masih tersisa lelah setelah seharian bekerja. Begitu sampai di depan lobi, ia melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti dengan lampu menyala. “Selamat malam, Pak Angga!” sapa Stefani ramah, senyumnya merekah tulus. Hatinya berdebar gembira. Bagaimana tidak, setelah hampir sepekan menunggu kabar tanpa kepastian, akhirnya Angga menelpon sore tadi dan mengabarkan jika ia bersedia membeli vila yang pernah mereka lihat bersama. Bagi Stefani, ini kabar besar. Ia bisa sedikit lega, karena berarti ada pemasukan tambahan untuk melunasi sebagian hutangnya. Angga yang berdiri di samping mobil segera tersenyum lebar, auranya begitu percaya diri. Ia bahkan dengan sopan membukakan pintu mobil untuk gadis itu. “Masuk, Stefani. Sepertinya malam ini kita harus serah terima, bukan? Dan kebetulan aku ingin mentraktirmu makan malam.” Suaranya tenang, namun p
“Darimana kamu baru pulang malam-malam begini?” suara berat Albert memecah kesunyian kamar. Lampu sudah menyala terang sejak tadi, menyingkap sosok pria itu yang duduk di sofa, bersandar dengan kedua tangan terlipat di dada, menatap tajam ke arah pintu. Stela yang baru saja membuka pintu langsung tertegun. Wajahnya sempat menunjukkan rasa kaget, namun cepat ia sembunyikan dengan senyum tipis. Meski begitu, ada kegelisahan samar yang sulit ia tutupi. Ia menutup pintu perlahan, meletakkan tas bermerek di atas meja rias, lalu melangkah mendekati Albert dengan gerak tubuh manja, sikap yang sudah lama tak ia lakukan. Ia tahu, kelembutan dan sikap manisnya hampir selalu berhasil meluluhkan hati suaminya. “Kamu melarangku bekerja, Al… aku turuti. Aku di rumah, aku diam. Siang tadi aku hanya ke salon, dan malam… aku bertemu teman-teman lama,” jelasnya dengan nada yang dibuat selembut mungkin, berusaha terdengar wajar. Namun pandangan Albert tetap dingin. Rahangnya mengeras, matanya me
Keheningan membungkus ruang kecil itu. Hanya suara sendok yang sesekali beradu dengan piring yang terdengar. Stefani sibuk menunduk, melanjutkan makannya meski jelas ia sudah kehilangan selera sejak pertanyaan Albert barusan. Di sisi lain, Albert duduk kaku, dadanya berdebar keras seperti seorang pemuda yang baru saja ketahuan mengutarakan perasaan. Beberapa menit berlalu tanpa kata. Hingga akhirnya Albert yang lebih dulu menyerah pada suasana canggung itu. Ia meletakkan sendoknya pelan, lalu menarik napas panjang. “Maaf, Stefani…” suaranya terdengar berat, nyaris seperti orang yang menyesali diri sendiri. “Kamu pasti tidak nyaman dengan apa yang aku katakan tadi. Lupakan saja.” Stefani berhenti mengunyah. Ia mengangkat kepalanya perlahan, menatap pria itu dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ada kebingungan, ada rasa iba, sekaligus rasa hormat yang tak pernah hilang. Gadis itu akhirnya menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Menurutku…” ucapnya hati-hati, namun jujur. “An
“Baik, saya akan menunggu keputusan Pak Angga selanjutnya…” Stefani mengulurkan tangan, suaranya lembut namun terdengar profesional. Angga segera menyambut jabatan itu, senyumnya terbit penuh ketertarikan. “Secepatnya saya akan memberikan kabar.” Namun berbeda dengan sebelumnya, kali ini genggaman Angga terasa lebih erat. Jemarinya tak lekas melepaskan tangan Stefani, seolah ada keengganan untuk membiarkannya pergi begitu saja. Stefani sedikit kaku. Malam ini ia memang tampil lebih menawan dari biasanya, mengenakan kemeja putih yang sederhana, dipadukan dengan celana jeans. Namun kancing atas blousenya yang sedikit terbuka, entah disengaja atau tidak, membuat siluet tubuhnya tampak menonjol. Ditambah cahaya lampu vila yang temaram, penampilan itu membuat Angga seolah kehilangan fokus. Pria itu berulang kali menelan ludah. Matanya berusaha menahan diri untuk tetap sopan, namun beberapa kali pandangannya tanpa sadar jatuh pada lekuk tubuh Stefani. Dia jauh lebih mempesona daripa
Angga akhirnya beranjak pergi setelah pertemuan itu. Pria tersebut menyalami Stefani sekali lagi, meninggalkan kesan sopan dan profesional. Dari balik kaca restoran, langkahnya terlihat mantap hingga sosoknya benar-benar menghilang. Stefani masih duduk di kursi, menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil sambil membereskan brosur yang tadi ia perlihatkan. Jari-jarinya merapikan kertas itu dengan hati-hati, seolah benda tersebut adalah harapan barunya. “Semoga saja pembeli itu benar-benar serius,” gumamnya lirih, nyaris seperti doa yang ia bisikkan pada dirinya sendiri. Senyum itu tidak pudar, bahkan terus terbit di wajahnya setiap kali ia membayangkan kemungkinan vila itu terjual. Ada kebanggaan yang sederhana, bahwa usahanya tidak sia-sia. Ia tak perlu selamanya bersandar pada belas kasihan Albert, ia bisa berdiri di atas usahanya sendiri. Namun di sisi lain ruangan, ada sepasang mata yang sejak tadi tak kunjung beralih darinya. Albert duduk diam di kursi restoran, tubuhn
Stefani terus melirik jam di layar ponselnya. Detik terasa berjalan lebih lambat dari biasanya. Semalam ia sudah memasang beberapa iklan penjualan di berbagai platform daring, berharap ada yang merespons cepat. Beruntung, pagi ini ada seorang calon pembeli yang langsung menghubunginya dan membuat janji temu. Hatinya berdebar sejak tadi. Ada harapan besar di dalam dirinya, semoga kali ini benar-benar ada transaksi yang berhasil. Sebab mengandalkan Albert terus-menerus bukanlah sesuatu yang membuatnya nyaman. Laki-laki itu sudah terlalu baik padanya, dan Stefani tidak ingin selamanya menggantungkan hidup dari belas kasihan orang lain. Ia ingin berdiri di atas kaki sendiri. Dengan penuh semangat, Stefani turun dari angkutan umum yang membawanya. Meski berpenampilan rapi dan cantik, bak seorang model dengan gaun sederhana dan blazer tipis yang membalut tubuh mungilnya, ia sama sekali tidak malu menggunakan kendaraan umum. Baginya, itu adalah bagian dari hidup hemat yang harus ia jalan