Wanhan tersadar akan satu hal. Dia yang memeluk Arumi perlahan mulai menjauhkan diri dan sepenuhnya melepas wanita ini.
Sosok yang Wanhan harap membawa perubahan. "Pak." Mata Arumi yang bulat memandang dia lekat. Kepedulian sedang Arumi berikan, namun Wanhan sadari itu bukan karena adanya hubungan yang sebentar lagi terjalin. Melainkan, karena Wanhan selaku atasan di tempat kerja. Mulut Wanhan tertawa. "Aku tidak kecelakaan." "Lantas, kenapa Bapak membawa serta polisi ke rumah sakit?" Wanhan melirik polisi yang mulai berjalan mendekat. "Aku sepertinya ketahuan mengebut dalam kondisi mabuk." Pengakuan yang Wanhan berikan itu menimbulkan keterkejutan bagi Arumi. Sosok atasan yang dikenal sempurna ini, rupanya memiliki celah di malam hari. "Apakah Anda pemilik mobil itu?" Wanhan tersenyum dan memandang Arumi. "Tunggulah aku." Arumi hanya bisa diam dengan cemas, melihat Wanhan yang berjalan sempoyongan bersama polisi ke lain arah. Nampaknya identitas yang diminta polisi itu tidak bisa diberikan oleh Wanhan. Terlihat dari ekspresi Wanhan yang kehilangan setelah merogoh seluruh kantung. "Bicarakan ini di kantor polisi." Kepala Wanhan mendongak. "Tidak bisa." Masih ada hal yang perlu didiskusikan dengan Arumi. Hingga dia berbalik dan berniat mendekati Arumi kembali, namun tangan dicekal oleh salah satu polisi. "Lepas!" Sorot mata Wanhan terlihat serius. "Anda tidak bisa kabur semudah itu." "Aku tidak akan kabur, sialan!" Arumi terburu mendekat karena melihat situasi yang tidak berjalan mulus itu. "Pak Wanhan ada apa?" Bukannya menjelaskan situasi, Wanhan justru balik bertanya. "Kamu menerima tawaran dariku?" Mulanya Arumi ragu, namun kepala mulai mengangguk. "Baiklah. Mulai besok, semuanya akan dipersiapkan." Wanhan melirik pada polisi. "Ayo, urusanku di sini sudah selesai." Sebelum Arumi bicara, Wanhan menepuk pundak sang karyawan sekaligus calon istri. "Aku baik-baik saja, kembalilah ke dalam. Ibumu pasti mencarimu nanti." Setelah mengatakan itu, Wanhan langsung berjalan pergi bersama dua polisi. Sempat Wanhan berbalik untuk melambaikan tangan dan tersenyum layaknya orang bodoh. "Apa dia akan baik-baik saja?" gumam Arumi melihat kepergian Wanhan. *** Matahari memeluk bumi dengan sinarnya yang ragu. Sinar itu mengikuti dan baru berhenti ketika Arumi memasuki gedung perusahaan. Dirinya yang terbangun terlambat begitu terburu. Hingga bertemu dengan Wanhan yang juga menunggu pintu lift terbuka bersama sekretaris. "Pak Wanhan," sapa Arumi seperti biasa. Helaan napas Wanhan terlihat berat. Padahal dia sengaja datang lebih siang untuk menghindar dari Arumi, malah hari ini dipertemukan. Sejujurnya, Wanhan merasa kejadian semalam sangatlah konyol. Memperlihatkan sisi buruk pada wanita yang akan dinikahi sungguh bodoh. Sikap dingin Wanhan hari ini justru membuat Arumi merasa heran. "Arumi." Namun, Wanhan sungguh penasaran dengan satu hal hingga memutuskan untuk bicara. "Kemari dan naik lift denganku." Mata Arumi melirik beberapa karyawan yang sedang memperhatikan. "Apa Bapak ingin membahas berkas yang itu?" Mendengar Arumi mengatakan hal ambigu, Wanhan barulah menyadari kalau banyak karyawan yang sedang mengakses lift biasa. Sementara, dia mengajak Arumi menaiki lift khusus. "Ya," sahut Wanhan singkat. "Baiklah." Langkah pelan Arumi mendekat dan menaiki lift yang terbuka bersama dengan Wanhan. Selama menunggu pintu tertutup, ia berpura mengotak-atik ponsel sembari bicara. "Sebentar saya cari salinannya dulu." Wanhan menyandarkan tubuh dan melirik pada Arumi yang berubah tenang. Tepatnya setelah lift membawa mereka bertiga ke lantai atas. "Apa alasan kamu setuju menikah?" Mata Arumi sempat melirik pada Dani, jika Wanhan begitu terang-terangan terhadap sekretaris sendiri. Maka, Arumi juga tidak perlu sungkan. "Saya melakukannya demi masa depan Luna." Luna yang terus merengek ingin berjumpa lagi dengan Wanhan hingga terbawa mimpi, sungguh menjadikan bahan pertimbangan bagi Arumi. Terlebih bujukan ibunya yang mengatakan di tangan Wanhan, Luna mau jadi apa pun bisa diwujudkan. Beda halnya jika berada di tangan Arumi mau pun ibunya. Kepala Wanhan mengangguk. "Begitu pula denganku, aku menikahi kamu demi Luna." Dani hanya diam saja di pojokan, meski tatapan mata sangat tajam pada Arumi. Teringat semalam dipanggil untuk membawa pulang Wanhan di kantor polisi. Kebiasaan sang atasan setelah mabuk adalah tidur. Kali pertama Wanhan keluar dan tertangkap polisi pasti ada alasannya, ternyata Arumi dalang dibalik semua itu. Sungguh pengaruh yang buruk menurut Dani. "Lalu untuk pernikahan." Kepala Arumi menoleh pada Wanhan yang mulai bicara intinya. "Lusa kamu sudah harus siap." Arumi mengerjapkan mata. "Maksud Bapak bagaimana? Lusa saya ...." Wanhan menghadap Arumi. Melihat ia yang dilanda kebingungan. "Aku sudah persiapkan semuanya, kamu tinggal datang ke tempat yang disediakan untuk menikah." "Tunggu sebentar." Arumi masih berusaha mencerna maksud dari Wanhan. "Pernikahan tidak bisa dadakan, Pak. Ada syarat yang harus diberikan pada pihak ...." Mendadak Arumi tersadar hingga bertanya, "apa saya dan Bapak menikah sirih?" Mendengar tebakan Arumi, sekretaris Wanhan menunjukkan reaksi kesal. "Lancang sekali kamu, Arumi! Pak Wanhan yang sangat terhormat ini tidak mungkin memiliki dua istri!" Arumi melirik, padahal bukan itu maksudnya. Wanhan berdehem. "Sejak lama aku sudah berencana menikahi kamu. Syarat yang kamu pertanyakan itu sudah aku berikan pada KUA." "Untuk datanya tentu aku dapatkan dari bagian pendataan karyawan." Arumi membisu sepenuhnya. Apakah semudah itu memenuhi syarat untuk menikah? Lalu, pikiran Arumi mulai berpikir hal lain. Wanhan berencana menikahi dirinya secara resmi. "Bisakah ...." Wanhan meliriknya. "Katakan!" "Bisakah pernikahan ini tanpa diketahui banyak orang?" Dani yang tidak tahan dengan Arumi ingin bicara. Namun, tangan Wanhan yang terangkat mengatasi segalanya. Hingga Dani hanya bisa merengut di pojokan. "Maksud kamu apa?" Kali ini, Arumi baru berani memandang Wanhan dan mengutarakan pendapatnya. "Saya tidak ingin karyawan lain tahu pernikahan ini." Arumi hanya takut menjadi gosip hangat di antara karyawan perusahaan. Bagaimana pun, orang yang menikahinya adalah Wanhan. Pemilik perusahaan ternama serta berasal dari keluarga kaya. "Baiklah, itu bukan hal yang sulit." *** "Saya terima nikah dan kawinnya Arumi Maharani binti Almarhum Abdullah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Pengucapan Wanhan begitu lugas di hadapan penghulu. Arumi yang sejak dulu telah kehilangan ayahnya, menjadikan kemudahan bagi Wanhan untuk mengumpulkan syarat nikah tanpa sepengetahuan Arumi sendiri. Wanhan Ganendra yang sempat mengaku akan menyeret paksa Arumi jika menolak, kini telah resmi menjadi suami bagi Arumi. "Bagaimana saksi sah?" "Sah." Luna tersenyum gembira karena memiliki orang tua lengkap, ada hal yang perempuan tersebut banggakan jika bertemu teman. Wanhan dan Arumi saling melirik. Ini hanya sebuah kesempatan bersama, bukan pernikahan yang dilandasi oleh cinta dan kasih. Arumi menyadari adanya risiko sakit hati dengan kelakuan maupun sikap Wanhan kelak. Namun, risiko itu akan Arumi telan demi kebahagiaan serta menjamin masa depan Luna.Wanhan memandang mata Anggara dengan sedikit terkejut. "Maksud Kakek apa?"Anggara menghela napas kesal. "Kakek melihat dengan mata kepala sendiri! Arumi membicarakan kandungannya dengan lelaki lain."Wanhan mengernyitkan dahi. "Apakah dia tinggi dan pakaiannya kemeja motif?"Seingat Wanhan, lelaki yang sok baik dan akrab dengan Arumi hanya Rehan seorang. "Bagaimana kamu bisa tahu?" Anggara terlihat kaget karena cucu sendiri malah tahu.Helaan napas Wanhan pun terdengar berat. Sudah dia duga, kalau hanya Rehan yang dekat dengan Arumi. Sementara Anggara justru terlihat makin marah."Kamu kenal lelaki itu, tapi kamu malah diam saja dan merelakan Arumi!"Wanhan hanya diam saja. Sekali pun tangan dia mengepal karena kesal, mendengar ada yang tahu soal kehamilan Arumi selain keluarga. Terlebih orangnya lelaki yang menyukai istri dia."Berhubung Kakek baik saja dan ditangani dokter, aku akan kembali pulang," Wanhan langsung pamit.Anggara kaget mendengar omongan dari cucu kesayangan."Eh!
"Jadi, Luna dijemput oleh kak Airin dan diajak pergi?"Setelah suasana tenang, Arumi duduk di ruang tengah dengan Luna di pelukannya. Wanhan yang duduk di depan mereka berdua mengangguk pelan.Arumi memandang sembari mengusap kepala Luna dengan lembut. "Luna dipaksa atau ikut sendiri?""Ikut sendiri," sahut Luna sembari bersembunyi di tubuhnya."Maaf ya, Bunda."Jemari Arumi masih mengusap. "Tidak apa. Tapi, lain kali harus tunggu bibi atau paman sopir kalau mau ikut sama tante, ya."Kepala Luna mengangguk pelan. Wanhan memandang padanya yang bisa dengan tenang saat bicara. "Ayah sudah minta maaf sama Luna? Begitu pun sebaliknya.""Sudah," sahut Luna dan Wanhan hampir bersamaan.Pandangan Arumi dan Wanhan saling bertemu. Menurutnya Airin berhak jika ingin bertemu dengan Luna, toh wanita itu ibu kandung dari Luna. Bedanya Airin pasti ada tujuan tertentu sampai menemui Luna, seperti halnya menginginkan uang lebih banyak. Arumi paham kenapa Wanhan bisa sampai marah."Nah, sekarang Lun
Matahari yang mulai bersiap untuk tenggelam satu jam lagi, terlihat Arumi memasuki mobil milik Wanhan yang terparkir cukup jauh dari kantor.Namun, Arumi merasa ada yang tidak beres dengan suaminya. Biarpun Wanhan mulai mengemudikan mobil, suaminya ini terlihat diam membisu dengan raut wajah yang menahan amarah."Ada apa, Mas? Apa di kantor sedang ada masalah?" Arumi langsung bertanya.Wanhan menoleh. "Tidak ada."Jawaban singkat dan raut wajah yang masih belum berubah membuat Arumi yakin, kalau suaminya ini sedang kesal."Apa aku yang buat masalah?""Kamu tidak buat masalah apa pun."Arumi jadi heran. "Kalau bukan masalah di kantor, bukan karena aku juga. Terus kenapa Mas kelihatan kesal begini?"Wanhan pun melirik wajah sendiri di spion. Memang kemarahan dia tidak bisa disembunyikan. Wanhan menarik napas dan berusaha untuk menenangkan diri."Aku tidak kesal atau marah kok, Arumi."Kepala Arumi mengangguk. "Baiklah."Meski penasaran, tapi Arumi tidak mungkin terus mendesak Wanhan unt
"Ya?" Wanita tersebut berusaha mencerna ucapan dari Wanhan. "Maksud Bapak, Arumi bersuami dan sudah menikah?" Kepala Wanhan mengangguk membenarkan. Pandangan wanita tersebut tertuju pada Wanhan dengan pemikiran yang buruk. "Arumi sedang mengandung dan sudah bersuami, lalu Bapak masih mendekatinya?" Wanita tersebut bertanya dengan hati-hati. "Itu anakku." Pengakuan itu berhasil membuat ketua divisi Arumi menahan napas sejenak. Merasa dugaan yang buruk ternyata benar adanya. Arumi wanita yang murahan. Sudah tahu bersuami, tapi masih berselingkuh dengan atasan sendiri di kantor. Melihat karyawan dia yang hanya diam, tak memberikan reaksi terkejut membuat Wanhan berbicara lagi. "Sepertinya kamu masih belum paham ya." "Soal apa, Pak?" Wanhan menarik napas. "Aku suami Arumi itu, jadi sangat wajar kalau aku yang menghamilinya." Begitu mendengar pengakuan lagi, wanita tersebut barulah membulatkan mata dengan menunjukkan raut wajah yang terkejut luar biasa. Bahkan tangan sempa
"Bapak sudah tidak waras, ya?"Datang-datang Dani langsung mengeluhkan kelakuan Wanhan. Sampai Wanhan yang semula sibuk bekerja, terpaksa mengalihkan pandangan pada sang sekretaris."Kamu punya adab, kan? Sekali pun pintu terbuka, kamu wajib mengetuknya dahulu," protes Wanhan.Bukannya mendengarkan dan intropeksi, Dani justru menghela napas kemudian mengeluarkan ponsel."Bapak minta saya untuk bertemu lagi dengan kakaknya Arumi dan memberinya uang.""Bagaimana mungkin saya ingat untuk mengetuk pintu?"Wanhan sepenuhnya berhenti dari kegiatan dia membuka halaman demi halaman dokumen. "Aku hanya menyuruh kamu seperti biasanya, kenapa masih saja mengeluh?"Dani langsung menarik napas panjang. "Masalahnya, uang yang Bapak berikan itu besar. Hampir 200 juta, sebenarnya apa yang sudah dia lakukan sampai Bapak seloyal ini?" keluh Dani panjang lebar.Mulut Wanhan membisu sejenak. Dia tatap sekretaris yang mungkin seharusnya tahu."Dia sudah tahu soal hubunganku dengan kak Valdi," sahut Wanh
"Kalau bukan perumpamaan, sudah saya tambah beras supaya tidak jadi bubur," sahut Dani membuat Wanhan melirik. "Oh ya, hari ini jangan lupa ada jadwal makan dengan pak Anggara." Dani tiba-tiba saja mengingatkan hal yang ingin Wanhan lupakan. Wanhan menarik napas kesal. "Kenapa kamu harus mengatakannya sekarang sih?" Dani mengerutkan dahi, melihat atasan yang malah marah diingatkan. "Kalau saya tidak bicara sekarang, saat Bapak sibuk justru lebih tidak mendengarkan." Lirikan Wanhan menjadi tajam. Sekretaris dia benar-benar butuh pendamping yang memikat hati pria lain sekali pun hanya diam, supaya Dani ikut merasakan seperti apa kesalnya hati dia. ** Wanhan makan malam bersama sang kakek dengan mulut membisu, kalau ditanya baru sesekali jawab. "Sebenarnya kamu kenapa sih? Seperti wanita yang lagi haid saja," sindir Anggara saking herannya. Wanhan melirik sejenak, kemudian meletakkan alat makan karena sudah selesai. "Aku sedang sibuk-sibuknya di kantor, Kakek malah m