Pernikahan yang hanya dihadiri sedikit orang ini, membuat Aisyah memandang Arumi dengan cemas. Merasa kalau keluarga Wanhan yang kaya itu tidak menyetujui.
Bahkan, tak ada banyak foto. Wanhan dan Arumi juga saling berjauhan meski sudah diarahkan berulang kali oleh fotografer. "Karena kami sudah menikah, aku berniat mengajak Arumi tinggal di rumahku, Bu." Wanhan langsung mengutarakan niat setelah acara pernikahan selesai. Aisyah sendiri tak perlu mempertimbangkan lama. "Tentu saja, Wanhan. Kamu sebagai suami berhak membawa Arumi serta Luna." Arumi hanya mendengarkan percakapan tersebut. Jika menolak, maka ia harus membawa Wanhan yang berasal dari keluarga kaya ini ke kontrakan. Tinggal bertiga saja sudah sempit, apalagi nanti ditambah Wanhan. Belum lagi, Wanhan yang terbiasa tidur di bawah AC justru harus menikmati kipas angin. *** Mata Arumi tersihir hingga mulut membisu, tepat setelah pintu rumah Wanhan terbuka. Perbedaan sangat jelas jika dibandingkan dengan kontrakan, lampu di hadapannya begitu terang benderang menyinari seluruh perabotan. "Ada dua pembantu di rumah ini." Arumi baru tersadar setelah mendengar ucapan Wanhan. Kepala Wanhan menoleh padanya. "Hanya datang pagi dan pulang saat petang." Luna yang semula bersembunyi di belakang kakinya, mendadak memunculkan diri membuat Wanhan melirik. Jemari dia tak tahan untuk mengusap rambut Luna yang ikal. "Apa Luna boleh berlarian, Ayah?" Bibir Wanhan mengulas senyum. "Tentu." Tangan Arumi merasakan kekosongan ketika Luna berlari dan menjauh dari jangkauannya, itu pun hanya untuk berlarian di sekitar sofa yang besar dan panjang. Arumi hanya diam, toh di rumah ini hanya ada mereka bertiga. Jadi, Wanhan juga tidak akan mungkin mengomentari sikap kekanakan dari Luna. "Meski menikah, tapi kita tidur di kamar yang berbeda." Wanhan memulai perbincangan serius dengannya. Tentu Arumi mendengarkan saksama. "Aku akan tunjukkan kamarnya supaya kalian bisa langsung beristirahat." Arumi berjalan mengikuti Wanhan yang semakin masuk ke rumah. Tangan sempat meraih Luna untuk turut berjalan bersama. Amat senang Luna dituntun oleh Wanhan menaiki anak tangga. "Luna boleh berlari dan melompat di mana pun, kecuali tangga ini." Wanhan memperingati. "Kalau jatuh, ayah dan Bunda bakal cemas," lanjut Wanhan membuat Luna menoleh dan mengangguk. "Iya, Ayah. Luna akan menurut." Belaian lembut Luna dapatkan dari tangan Wanhan. Tanpa sadar bibir Arumi mengulas senyum, melihat betapa Wanhan cukup bisa dipercaya. "Nah ini kamar milik Luna," ujar Wanhan sembari melirik padanya. Itu artinya Arumi juga penghuninya. "Lalu, Ayah sama Bunda tidur di mana?" Luna bertanya sampai mendongakkan kepala. Wanhan tersenyum. "Bunda akan tidur dengan Luna, lalu kamar ayah di sini." Rupanya kamar mereka berdua saling berhadapan. Luna langsung menggelengkan kepala. "Semua anak akan tidur dengan orang tuanya, itu yang dikatakan oleh teman di sekolah." "Luna ingin tidur bersama Ayah dan Bunda." Permintaan itu mengundang Arumi dan Wanhan saling pandang. Mulut saling bisu beberapa saat, tentu suatu kemustahilan baginya dengan Wanhan untuk berbagi ranjang yang sama. "Baiklah. Malam ini kita tidur bertiga di kamar Luna." Mata Arumi terbelalak mendengar persetujuan dari Wanhan. "Demi Luna," ujar Wanhan pelan sembari memasuki kamar bersama Luna. Meninggalkan Arumi yang hanya bisa melongo. Sangat tidak sopan jika ia meminta Wanhan tidur di lantai, juga tak mungkin Luna membiarkan dirinya menempati lantai. "Bunda," sebut Luna memaksa Arumi untuk masuk juga. Luna menaiki ranjang dengan ceria. Berbeda dengan Arumi dan Wanhan yang hanya bisa berdiri dalam suasana canggung. "Aku akan pergi setelah Luna tidur." Wanhan berusaha mencairkan suasana dengan bisikan. Kepala Arumi menyetujui, ia percaya kalau Wanhan bisa menjaga ucapan. Mereka berdua tidak akan bisa tidur di ranjang yang sama, pasti Wanhan akan pergi dan tidak melakukan hal macam-macam dengannya. Namun, Arumi dibuat tidak percaya oleh Wanhan. "Pak," sebut Arumi pelan. Lelaki yang telah resmi menjadi suaminya, tengah tertidur lelap dengan sebagian tubuh ditindih oleh Luna. Helaan napas Arumi meresap di udara malam. Sepertinya ia juga harus terpaksa tertidur dengan Luna menjadi pembatas antaranya dan Wanhan. *** "Semalam aku tertidur tanpa secuil alkohol." Pagi sekali Wanhan tersenyum senang. Bertahun-tahun dia tak bisa jauh dari alkohol hanya untuk tidur, itu pun tidak membuat dia nyenyak sama sekali. Kerap terbangun di tengah malam dan merenungi masa lalu dengan perasaan bersalah. Namun, hari ini Wanhan tak terbangun sama sekali untuk pertama kalinya. "Sebelum ada yang jemput, Luna tidak boleh keluar atau pulang sendiri." Semua itu karena kedatangan Luna di sisi Wanhan. Mata Wanhan memperhatikan Luna yang sedang dipersiapkan sekolah oleh Arumi. Mereka bertiga juga sudah sarapan bersama yang disediakan oleh pembantu. "Ayo, ayah antar ke sekolah." Ajakan itu tentu hanya untuk Luna. Arumi masih tahu diri untuk tidak mengangguk. "Bunda ikut antar Luna, kan?" tanya Luna. Mata Wanhan menatap padanya yang tersenyum manis. "Kan Luna ada Ayah. Bunda harus segera ke kantor karena masih ada kerjaan yang belum kelar." Luna selalu mengerti jika ia membahas pekerjaan. Kepala Luna mengangguk terpaksa meski kekecewaan terlihat jelas di wajah. Wanhan yang menyadari itu langsung mengambil jas di kursi makan. "Kamu ikut saja, selain satu arah kita juga bekerja di tempat yang sama." "Itu ...." Arumi bingung harus memberikan alasan apa supaya tidak satu mobil dengan Wanhan. "Ya, Bunda," bujuk Luna. Mata Arumi sempat terpejam, kemudian kepalanya mengangguk. "Baiklah." Tapi, harusnya Arumi tahu kalau Wanhan bukanlah pria yang baik. Setelah mengantar Luna ke sekolah, Wanhan secara tiba-tiba menghentikan mobil di pinggir jalan. Arumi yang sudah bisa menduga langsung melepaskan sabuk pengaman. Sampai Wanhan melirik atas kepekaan dari sang istri. "Aku bukan pria brengsek. Tapi, bukankah kalau kita ketahuan satu mobil justru akan menimbulkan gosip?" Arumi melirik Wanhan, sosok yang mengaku tidak brengsek tapi menurunkan istri di pinggir jalan. Membiarkan dirinya pergi ke kantor sendiri. Namun, Arumi ingat betul kalau pernikahan ini tercipta karena Luna. Jadi, kebaikan Wanhan juga hanya ditunjukkan jika ada Luna. "Terima kasih atas tumpangannya, Pak Wanhan." Arumi memutuskan untuk keluar dari mobil dan menunggu Wanhan sepenuhnya pergi. Meski, ia kelihatan tegar, setelah mobil Wanhan meninggalkan Arumi langsung menarik napas. "Dasar lelaki jahat," sungut Arumi sembari melirik jalanan. Berharap dari tempatnya berdiri ini ada taksi atau angkot yang melintas. Dari kejauhan Wanhan tersenyum sinis melihat Arumi yang tetap tenang. "Baru kusadari, harga dirinya lumayan tinggi." Mata Arumi menemukan mobil milik Wanhan berjalan mundur dan baru berhenti tepat di hadapannya. "Belum dapat kendaraan?" sindir Wanhan. Arumi tahu, kalau pria ini kembali hanya untuk mengejek dirinya.Wanhan memandang mata Anggara dengan sedikit terkejut. "Maksud Kakek apa?"Anggara menghela napas kesal. "Kakek melihat dengan mata kepala sendiri! Arumi membicarakan kandungannya dengan lelaki lain."Wanhan mengernyitkan dahi. "Apakah dia tinggi dan pakaiannya kemeja motif?"Seingat Wanhan, lelaki yang sok baik dan akrab dengan Arumi hanya Rehan seorang. "Bagaimana kamu bisa tahu?" Anggara terlihat kaget karena cucu sendiri malah tahu.Helaan napas Wanhan pun terdengar berat. Sudah dia duga, kalau hanya Rehan yang dekat dengan Arumi. Sementara Anggara justru terlihat makin marah."Kamu kenal lelaki itu, tapi kamu malah diam saja dan merelakan Arumi!"Wanhan hanya diam saja. Sekali pun tangan dia mengepal karena kesal, mendengar ada yang tahu soal kehamilan Arumi selain keluarga. Terlebih orangnya lelaki yang menyukai istri dia."Berhubung Kakek baik saja dan ditangani dokter, aku akan kembali pulang," Wanhan langsung pamit.Anggara kaget mendengar omongan dari cucu kesayangan."Eh!
"Jadi, Luna dijemput oleh kak Airin dan diajak pergi?"Setelah suasana tenang, Arumi duduk di ruang tengah dengan Luna di pelukannya. Wanhan yang duduk di depan mereka berdua mengangguk pelan.Arumi memandang sembari mengusap kepala Luna dengan lembut. "Luna dipaksa atau ikut sendiri?""Ikut sendiri," sahut Luna sembari bersembunyi di tubuhnya."Maaf ya, Bunda."Jemari Arumi masih mengusap. "Tidak apa. Tapi, lain kali harus tunggu bibi atau paman sopir kalau mau ikut sama tante, ya."Kepala Luna mengangguk pelan. Wanhan memandang padanya yang bisa dengan tenang saat bicara. "Ayah sudah minta maaf sama Luna? Begitu pun sebaliknya.""Sudah," sahut Luna dan Wanhan hampir bersamaan.Pandangan Arumi dan Wanhan saling bertemu. Menurutnya Airin berhak jika ingin bertemu dengan Luna, toh wanita itu ibu kandung dari Luna. Bedanya Airin pasti ada tujuan tertentu sampai menemui Luna, seperti halnya menginginkan uang lebih banyak. Arumi paham kenapa Wanhan bisa sampai marah."Nah, sekarang Lun
Matahari yang mulai bersiap untuk tenggelam satu jam lagi, terlihat Arumi memasuki mobil milik Wanhan yang terparkir cukup jauh dari kantor.Namun, Arumi merasa ada yang tidak beres dengan suaminya. Biarpun Wanhan mulai mengemudikan mobil, suaminya ini terlihat diam membisu dengan raut wajah yang menahan amarah."Ada apa, Mas? Apa di kantor sedang ada masalah?" Arumi langsung bertanya.Wanhan menoleh. "Tidak ada."Jawaban singkat dan raut wajah yang masih belum berubah membuat Arumi yakin, kalau suaminya ini sedang kesal."Apa aku yang buat masalah?""Kamu tidak buat masalah apa pun."Arumi jadi heran. "Kalau bukan masalah di kantor, bukan karena aku juga. Terus kenapa Mas kelihatan kesal begini?"Wanhan pun melirik wajah sendiri di spion. Memang kemarahan dia tidak bisa disembunyikan. Wanhan menarik napas dan berusaha untuk menenangkan diri."Aku tidak kesal atau marah kok, Arumi."Kepala Arumi mengangguk. "Baiklah."Meski penasaran, tapi Arumi tidak mungkin terus mendesak Wanhan unt
"Ya?" Wanita tersebut berusaha mencerna ucapan dari Wanhan. "Maksud Bapak, Arumi bersuami dan sudah menikah?" Kepala Wanhan mengangguk membenarkan. Pandangan wanita tersebut tertuju pada Wanhan dengan pemikiran yang buruk. "Arumi sedang mengandung dan sudah bersuami, lalu Bapak masih mendekatinya?" Wanita tersebut bertanya dengan hati-hati. "Itu anakku." Pengakuan itu berhasil membuat ketua divisi Arumi menahan napas sejenak. Merasa dugaan yang buruk ternyata benar adanya. Arumi wanita yang murahan. Sudah tahu bersuami, tapi masih berselingkuh dengan atasan sendiri di kantor. Melihat karyawan dia yang hanya diam, tak memberikan reaksi terkejut membuat Wanhan berbicara lagi. "Sepertinya kamu masih belum paham ya." "Soal apa, Pak?" Wanhan menarik napas. "Aku suami Arumi itu, jadi sangat wajar kalau aku yang menghamilinya." Begitu mendengar pengakuan lagi, wanita tersebut barulah membulatkan mata dengan menunjukkan raut wajah yang terkejut luar biasa. Bahkan tangan sempa
"Bapak sudah tidak waras, ya?"Datang-datang Dani langsung mengeluhkan kelakuan Wanhan. Sampai Wanhan yang semula sibuk bekerja, terpaksa mengalihkan pandangan pada sang sekretaris."Kamu punya adab, kan? Sekali pun pintu terbuka, kamu wajib mengetuknya dahulu," protes Wanhan.Bukannya mendengarkan dan intropeksi, Dani justru menghela napas kemudian mengeluarkan ponsel."Bapak minta saya untuk bertemu lagi dengan kakaknya Arumi dan memberinya uang.""Bagaimana mungkin saya ingat untuk mengetuk pintu?"Wanhan sepenuhnya berhenti dari kegiatan dia membuka halaman demi halaman dokumen. "Aku hanya menyuruh kamu seperti biasanya, kenapa masih saja mengeluh?"Dani langsung menarik napas panjang. "Masalahnya, uang yang Bapak berikan itu besar. Hampir 200 juta, sebenarnya apa yang sudah dia lakukan sampai Bapak seloyal ini?" keluh Dani panjang lebar.Mulut Wanhan membisu sejenak. Dia tatap sekretaris yang mungkin seharusnya tahu."Dia sudah tahu soal hubunganku dengan kak Valdi," sahut Wanh
"Kalau bukan perumpamaan, sudah saya tambah beras supaya tidak jadi bubur," sahut Dani membuat Wanhan melirik. "Oh ya, hari ini jangan lupa ada jadwal makan dengan pak Anggara." Dani tiba-tiba saja mengingatkan hal yang ingin Wanhan lupakan. Wanhan menarik napas kesal. "Kenapa kamu harus mengatakannya sekarang sih?" Dani mengerutkan dahi, melihat atasan yang malah marah diingatkan. "Kalau saya tidak bicara sekarang, saat Bapak sibuk justru lebih tidak mendengarkan." Lirikan Wanhan menjadi tajam. Sekretaris dia benar-benar butuh pendamping yang memikat hati pria lain sekali pun hanya diam, supaya Dani ikut merasakan seperti apa kesalnya hati dia. ** Wanhan makan malam bersama sang kakek dengan mulut membisu, kalau ditanya baru sesekali jawab. "Sebenarnya kamu kenapa sih? Seperti wanita yang lagi haid saja," sindir Anggara saking herannya. Wanhan melirik sejenak, kemudian meletakkan alat makan karena sudah selesai. "Aku sedang sibuk-sibuknya di kantor, Kakek malah m