Pagi mulai menyinari rumah, cahaya lembut menembus tirai jendela, dan Alexa terbangun dari tidurnya yang tidak terlalu nyenyak. Mata yang masih mengantuk, ia menghela napas panjang sebelum bergegas bangkit dari sofa ruang tamu. Ia merasa sedikit canggung, mengingat malam sebelumnya, tetapi mencoba menepis perasaan itu. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.
Setelah selesai mandi, Alexa mulai menyiapkan sarapan. Sebagai istri Gavin dan tuan rumah yang baik, ia ingin memastikan hari pertama Liam bekerja bersama Gavin di rumah ini berjalan lancar. Ia membuatkan dua cangkir kopi panas, roti panggang, dan telur dadar yang sederhana namun lezat. Sambil mempersiapkan makanan, ia melirik ke jam dinding, memastikan semuanya siap sebelum mereka turun untuk sarapan. Ketika sarapan sudah siap, Alexa meletakkan piring-piring di meja makan, memastikan semuanya tertata rapi. Ia mendengar suara langkah kaki dari lantai atas, tanda bahwa Gavin dan Liam sudah bangun. Dengan senyum kecil, ia menunggu mereka untuk bergabung, meski hatinya terasa sedikit cemas. Gavin dan Liam turun bersamaan dari tangga, keduanya mengenakan setelan jas yang rapi dan tampak siap menghadapi hari. Mereka berjalan berdampingan, langkah mereka teratur dan penuh percaya diri, menunjukkan sikap profesional yang biasa mereka tunjukkan di tempat kerja. "Jadi, siap untuk hari pertama di kantor?" tanya Gavin dengan senyum tipis, meski nada suaranya terdengar sedikit santai. Liam mengangguk, sedikit tersenyum. "Siap, meskipun ini agak baru bagi aku. Semoga bisa mengikuti ritme kalian di sana," jawabnya, sedikit canggung namun berusaha tampak percaya diri. Percakapan mereka terhenti sejenak ketika Gavin meraih ponselnya dari saku jas dan mulai memeriksa beberapa pesan yang masuk. Mata Gavin terfokus pada layar ponselnya, membuat Liam merasa seolah-olah percakapan mereka sudah berakhir begitu saja. Liam tersenyum kecil, mencoba untuk tidak merasa tersinggung. "Jadi, ada proyek besar hari ini?" Liam bertanya lagi, meskipun dia tahu Gavin lebih tertarik pada pesan-pesan di ponselnya. Gavin hanya mengangkat bahunya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya. "Biasa, banyak pekerjaan yang harus ditangani, seperti biasanya," jawabnya singkat, masih terfokus pada layar ponselnya. "Kita bisa ngobrol lebih lanjut nanti di kantor." Liam mengangguk pelan, mencoba menahan rasa kecewa yang muncul. Ia mengerti bahwa Gavin memang sangat sibuk, tetapi tetap merasa sedikit terabaikan. Namun, ia tahu, ini adalah dunia kerja, dan Gavin tidak pernah bisa jauh dari pekerjaan. Dengan suasana yang sedikit canggung, mereka melanjutkan langkah menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan, Gavin langsung duduk di kursinya, masih fokus dengan ponselnya yang tak berhenti bergetar. Ia terlihat sibuk mengecek email dan beberapa pesan yang masuk, tak terlalu memperhatikan sekelilingnya. Sementara itu, Liam, yang baru saja memasuki ruangan, melemparkan senyum ke arah Alexa yang sedang sibuk menata makanan di meja. “Selamat pagi, Alexa,” sapanya dengan nada ramah, matanya menyentuh wajah Alexa sejenak sebelum akhirnya duduk di kursi yang berdekatan dengan Gavin. Alexa tersenyum ringan, merasa sedikit lega melihat Liam yang lebih ramah pagi itu. "Pagi, Liam. Sarapan sudah siap, semoga kalian suka," jawabnya dengan suara lembut, mencoba membuat suasana sedikit lebih nyaman. Liam mengangguk, matanya sempat melirik ke arah ponsel Gavin yang tak berhenti berbunyi. "Sepertinya Gavin sudah sibuk dari pagi, ya?" ujarnya dengan nada santai, meskipun ada sedikit candaan di balik kata-katanya. Alexa tertawa kecil. "Seperti biasa, pekerjaan tidak pernah meninggalkannya," jawabnya, sambil menaruh roti panggang di depan Liam. Gavin hanya melirik sekilas, tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya. “Iya, ada banyak hal yang harus diselesaikan,” jawabnya datar, masih fokus pada layar ponselnya. Liam mengambil secangkir kopi dan meneguknya, merasakan kehangatan pagi itu mengalir. "Tapi sarapan seperti ini selalu bisa sedikit membantu memulai hari yang panjang," ujarnya, mencoba mengarahkan perhatian ke makanan di depannya. Alexa merasa sedikit lebih tenang dengan percakapan ringan ini, meskipun dia tahu bahwa atmosfer di antara mereka berdua tetap terasa agak canggung. Namun, setidaknya saat ini, dia merasa sedikit lebih dekat dengan Liam dibandingkan Gavin yang masih terbenam dalam dunia digitalnya. Gavin akhirnya meletakkan ponselnya di meja, sedikit kesal karena banyaknya pekerjaan yang menuntut perhatian. "Baiklah, cukup untuk sekarang. Mari kita makan," ucapnya, meski suaranya masih terdengar sedikit terburu-buru. Alexa, yang merasa suasana sarapan kini sedikit lebih cair, mengangguk dan melanjutkan menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga, mencoba menikmati momen pagi bersama. Setelah sarapan selesai, suasana ruang makan mulai terasa lebih tenang. Gavin dan Liam bersiap untuk berangkat. Gavin berdiri terlebih dahulu, menyusul langkah cepat ke pintu sambil meraih jas yang terletak di kursi dekat pintu masuk. Liam mengikuti, sedikit lebih santai, meskipun dia tahu hari pertama bekerja di perusahaan Gavin akan cukup sibuk. “Jangan lupa cek email, ada beberapa hal yang perlu dibahas nanti,” ujar Gavin, masih dengan wajah serius, sambil mengambil jaketnya. Liam mengangguk, berusaha tersenyum meski sedikit gugup. “Tenang, aku sudah siap untuk mulai,” jawabnya. Pikirannya sedikit mengembara, membayangkan bagaimana hari pertamanya akan berjalan. Alexa, yang sudah membersihkan meja, ikut mengangguk dan tersenyum. "Semoga hari kalian berjalan lancar," ucapnya. "Hati-hati di jalan." Gavin hanya memberikan anggukan singkat, masih lebih sibuk dengan pikirannya yang penuh tugas. "Terima kasih, Alexa," jawabnya, dan kemudian keluar terlebih dahulu menuju mobilnya. Liam menyusul, melirik Alexa dengan senyum tipis, lalu berjalan menuju mobilnya. "Sampai nanti, Alexa. Kita akan ngobrol lebih banyak nanti," katanya sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Keduanya pun meninggalkan rumah, masing-masing menuju tempat kerja mereka, dengan pikiran yang mungkin sudah dipenuhi dengan hal-hal yang harus diselesaikan. Di dalam mobil, Gavin kembali sibuk dengan ponselnya, sementara Liam memulai perjalanan dengan lebih tenang, meski di dalam hatinya masih ada perasaan campur aduk tentang hari pertama di perusahaan adiknya itu.Pov AlexaSetelah menerima pesan dari Gavin, Alexa hanya bisa termenung di kamar. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak terjawab.“Padahal sekarang hari libur,” gumamnya pelan sambil menatap layar ponsel di tangannya. “Pekerjaan apa sih, Vin, sampai kamu nggak pulang malam ini?”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Suara pintu kamar yang terbuka pelan membuat Alexa tersentak dari lamunannya. Ia segera menoleh, mengira Gavin sudah pulang. Namun, yang muncul di ambang pintu justru Liam.“Kak Liam?” tanya Alexa. “Gavin belum pulang?” tanya Liam, memecah keheningan malam.Alexa mengangguk sambil menghela napas. “Iya, Kak. Katanya ada pekerjaan mendadak,” jawabnya pelan, nada suaranya terdengar lelah dan sedikit ragu.“Kalian kan sekantor. Apa Kak Liam tahu pekerjaan apa yang dimaksud Gavin?” tanyanya.Alexa menatap Liam, seolah berharap menemukan jawaban yang bisa menenangkan hatinya. Namun, Liam hanya menggeleng pelan. “Aku nggak tahu, Lex,” ucapnya dengan na
Pov GavinGavin duduk di dalam mobil, matanya menatap jalanan yang berlalu begitu cepat di depannya. Ia merasakan kegelisahan yang terus menghantui sejak pagi tadi. Dengan tergesa-gesa, ia menghentikan mobilnya di depan rumah dan segera keluar.Pintu rumah dibuka dengan cepat, langkah Gavin terdengar berat namun penuh kecemasan. “Amara! Di mana Zain?” serunya, suaranya penuh kekhawatiran.Amara muncul dari ruang tengah, wajahnya terlihat lelah dan cemas. “Zain di sini, Gavin. Dia masih panas,” jawabnya sambil menggendong bayi mereka yang baru berusia satu bulan.Gavin mendekat, melihat Zain yang terbaring lemah di pelukan ibunya. Wajah kecil itu terlihat pucat, matanya setengah tertutup. Gavin perlahan mengulurkan tangan, membelai kepala Zain dengan lembut.“Zain…” panggilnya pelan, seolah tak ingin mengganggu kenyamanan anaknya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, meski hatinya terasa mencelos melihat kondisi putranya.Amara memandang Gavin, lalu berkata, “Kita harus segera bawa
Inara, Baskara, Gavin, Liam, dan Alexa berkumpul di ruang tamu. Di sudut ruangan, koper milik Inara dan Baskara sudah siap untuk dibawa. Suasana terasa sedikit hening, seakan semua orang merasa berat untuk berpisah.“Ibu sama Ayah pamit pulang ya, Alexa,” ujar Inara dengan nada lembut. Ia mendekati Alexa, menunduk, lalu menyentuh perut menantunya dengan penuh kasih. “Nenek pamit dulu, ya. Nanti nenek kapan-kapan ke sini lagi.”Alexa tersenyum tipis, matanya mulai berkaca-kaca. “Padahal Alexa senang banget ada Ibu sama Ayah di sini. Jadi ada teman ngobrol dan nggak kesepian.”Inara melirik tajam ke arah Gavin, matanya menyorotkan teguran. “Tuh, denger ucapan istri kamu, Gavin. Dia itu kesepian di rumah sendirian. Apa kamu nggak kasihan?”Gavin menghela napas panjang, mencoba membela diri. “Kan aku kerja, Bu. Bukannya sengaja ninggalin Alexa sendirian.”Inara mendesah, mengangkat alisnya dengan ekspresi penuh sindiran. “Alasan terus. Kalau kamu memang sibuk kerja, setidaknya pikirin jug
Malam telah tiba ketika Gavin akhirnya pulang ke rumah, sekitar lima menit setelah Liam tiba lebih dulu. Suasana di ruang makan terlihat sibuk. Inara sedang mengatur hidangan di meja makan, sementara Baskara membantu istrinya dengan membawa piring tambahan.Di dapur, Alexa yang terlihat sedikit lebih segar setelah istirahat turun dari tangga dan langsung menghampiri Inara."Bu, aku bantu, ya?" ujar Alexa lembut, menawarkan diri.Inara menoleh dan menggeleng sambil tersenyum tipis. "Gak usah, Alexa. Kamu masih perlu banyak istirahat. Duduk saja, biar Ibu yang urus semuanya."Alexa ragu sejenak, tapi akhirnya menurut. Ia melangkah pelan ke meja makan dan duduk di kursi yang biasa ia tempati. Liam yang sedang menuangkan air ke gelas menoleh ke arah Alexa.“Kamu udah mendingan, Alexa?” tanyanya penuh perhatian.Alexa mengangguk kecil. "Udah lebih baik, Kak. Makasih." Tak lama kemudian, Gavin masuk ke ruang makan, meletakkan tas kerjanya di sudut ruangan. Matanya sekilas menyapu suasana d
Liam keluar dari kamar Alexa dengan langkah pelan, memastikan pintu tertutup rapat tanpa suara. Sesaat ia berdiri di depan pintu, menarik napas panjang untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Kemudian, ia menuruni tangga menuju dapur, di mana aroma masakan memenuhi udara.Inara terlihat baru saja selesai memasak. Ia menoleh ketika mendengar langkah kaki Liam mendekat. "Gimana Alexa?" tanyanya dengan nada lembut, meski wajahnya jelas memancarkan kekhawatiran.Liam membuka kulkas, mengambil segelas air putih, lalu meneguknya perlahan untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering. "Dia sudah tidur, Bu," jawabnya singkat.Inara mengangguk pelan, tapi ekspresinya berubah menjadi serius. "Seharusnya suaminya yang jaga dia, Liam. Kenapa malah kamu yang repot? Bukannya kamu juga punya kehidupan sendiri?"Liam terdiam sejenak, menggenggam erat gelas yang ada di tangannya. Pandangannya menatap kosong ke arah dapur sebelum akhirnya ia menjawab. "Itu juga gak sengaja, Bu. Aku ketemu Alexa di
Alexa dibaringkan di ranjang pemeriksaan, sementara Liam berdiri di sampingnya dengan ekspresi khawatir. Dokter, seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat, mulai memeriksa tekanan darah Alexa dengan teliti.“Bagaimana, Dok?” tanya Liam, suaranya terdengar cemas.Dokter menatap Alexa yang tampak pucat sebelum menjawab, “Kondisinya cukup stabil sekarang, tapi tekanan darahnya sedikit rendah. Ibu Alexa, apa Anda sering merasa pusing atau lemas belakangan ini?”Alexa mengangguk pelan. “Iya, Dok. Beberapa hari terakhir, saya sering merasa pusing. Tapi saya pikir itu hanya kelelahan biasa.”Dokter mengangguk, mencatat sesuatu di buku catatannya. “Ini bisa jadi karena tekanan darah rendah yang dipengaruhi oleh stres atau kurangnya asupan nutrisi. Mengingat Anda sedang hamil, hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Saya akan memberi resep vitamin tambahan untuk membantu menjaga stamina Anda. Dan, tolong hindari stres, ya.”Liam menyela, “Jadi, tidak ada yang serius, Dok?”“Tidak ada yang