"Kenapa tidak memfotoku saja?!" gumam Adnessa, ketika melangkah melewati Axelio yang masih saja menatapnya dengan tatapan aneh. Ia mempercepat langkahnya, sedikit kesal dengan perhatian Axelio yang menurutnya berlebihan. Ia merasa seperti sedang diawasi oleh pengawal, bukan oleh seorang kakak tiri.
Axelio menghela napas. Ia tahu Adnessa tidak suka dengan kehadirannya, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan tanggung jawab yang diberikan Jhonatan dan Margaretha. Kota ini memang bukan tempat yang ramah bagi anak-anak, apalagi bagi seseorang yang baru pertama kali datang. Ia ingat betul pesan Margaretha, "Axelio, tolong jaga Adnessa baik-baik. Dia masih beradaptasi dengan kota ini."
"Adnessa, tunggu sebentar," kata Axelio, berusaha menyamai langkah gadis itu. Ia tidak ingin terlihat terlalu mengejar, tetapi juga tidak ingin kehilangan jejaknya di tengah keramaian.
Adnessa tidak mengindahkan panggilan Axelio. Ia terus berjalan, bahkan hampir menabrak seorang ibu yang sedang mendorong kereta bayi. Axelio dengan sigap menarik lengan Adnessa, mencegahnya menabrak kereta tersebut.
"Hati-hati!" seru Axelio, sedikit khawatir.
Adnessa menepis tangan Axelio dengan kasar. "Aku bisa menjaga diriku sendiri," ujarnya ketus, lalu melanjutkan langkahnya. Namun, ia sedikit melirik ke arah Axelio, dan sekilas terlihat raut khawatir di wajahnya.
Axelio terdiam sejenak, memperhatikan Adnessa yang berjalan menjauh. Ia mengerti, Adnessa mungkin masih marah atau kesal dengan situasi ini. Tapi, ia juga melihat sekilas ekspresi khawatir di wajah gadis itu, dan itu memberinya sedikit harapan. Mungkin, di balik sikap kerasnya, Adnessa sebenarnya juga merasa sedikit takut dan membutuhkan perlindungan.
Axelio menghela napas lagi, lalu berjalan mengikuti Adnessa dari belakang, kali ini dengan jarak yang sedikit lebih jauh. Ia memutuskan untuk memberinya ruang, tetapi tetap mengawasinya dari kejauhan. Ia bertekad untuk menjalankan tanggung jawabnya, meskipun Adnessa terus menunjukkan penolakan
Sebenarnya, sejak kedatangan Adnessa, Axelio sedikit tertarik dengan gadis itu. Tubuhnya yang kecil dan tidak terlalu tinggi, serta gaya berpenampilan gadis itu berhasil membuat Axelio penasaran.
Apa lagi ini? Di jaman sekarang, ternyata masih ada gadis kuno yang memakai baju dengan style seperti itu. Bahkan, kebanyakan gadis seusianya lebih senang memakai baju yang sedikit terbuka, tapi lain halnya dengan gadis ini, justru memilih baju longgar yang bahkan tidakk menampilkan sedikit pun lekuk tubuhnya, yang pastinya sangat tidak cocok dengan gadis itu, menurut Axelio.
"Dasar, botol yakult." gumam Axelio. Tanpa sadar, ia tersenyum kecil melihat cara berjalan Adnessa yang benar-benar lucu jika di lihat dari belakang.
Malam itu, Axelio benar-benar mengantar Adnessa pulang. Walaupun di sepanjang perjalanan, gadis itu tidak henti-hentinya menggerutu dan mengajaknya berdebat hingga membuatnya sedikit tersinggung.
"Awww, apa kamu tidak bisa berkendara?" tentu saja Adnessa terkejut, ketika Axelio tiba-tiba menambah kecepatan mobilnya.
Axelio tidak menjawab, pria itu justru menampilkan ekspresi congkaknya ke arah Adnessa dan semakin menambah kecepatan mobil itu. Dengan lihai, Axel membantig stir mobilnya ke sana kemari ketika mendahului mobil di depannya, membuat Adnessa semakin cemas, bahkan tangannya semakin erat berpegangan pada hand grip di mobil itu.
"STOP, AXEL! apa kamu sudah gila? Ini jalanan umum, bukan jalan dari nenek moyang kamu!" panik Adnessa dengan suara tercekat, ketika melihat Axelio baru saja mendahului dua buah mobil sekaligus, di lintasan yang tidak seharusnya di gunakan untuk berkendara seperti sekarang ini.
"Kenapa? Ini resiko kamu!" siapa suruh bersedia untuk pulang bersama, tanggung sendiri akibatnya! Axelio tersenyum miring, melihat Ekspresi Adnessa saat ini.
Beberapa jam kemudian, mobil yang di kendarai oleh Axelio berhenti di pelataran rumah yang terlihat cukup luas dan megah. Bahkan, baru beberapa saat mobil itu berhenti, sudah ada beberapa orang yang berjaga di sana dan membukakan pintu mobil untuk Axelio dan Adnessa.
"Selamat datang, tuan muda dan nona muda!" sapa mereka bersamaan.
"Itu sangat berlebihan," gumam Adnessa yang sama sekali tidak tergoda dengan kemegahan itu. Namun, Adnessa terlihat tengah terburu-buru keluar dari mobil itu seraya memegang perutnya.
Axelio yang melihat Adneessa terburu-buru meninggalkannya merasa sedikit aneh dan penasaran. Akhirnya, Axelio memutuskan untuk mengikuti Adnessa.
"Hay, botol yakult! tidak perlu terburu-buru seperti itu," panggil Axelio.
Apa dia bilang? Botol yakult? Adnessa sempat menghentikan langkahnya, ketika mendengar Axelio memanggilnya dengan sebutan botol yakult. Namun, gadis itu memilih untuk kembali melangkahkan kakinya, melihat Axelio yang berjalan ke arahnya dengan wajahnya yang congkak.
"Botol yakult?! Aku tau kamu senang, tapi tidak perlu seburu-buru itu untuk-"
"Huekkkkk," tiba-tiba saja Adnessa memuntahkan isi perutnya yang sedari tadi terus bergejolak tepat mengenai dada Axelio. Karena kebetulan saat itu Axelio menarik tangan Adnessa, membuat gadis itu berada dekat dengan dirinya.
"Ohh, shit?!" ucap Axelio dengan ekspresi terkejutnya, melihat kemeja yang ia kenakan berantakkan akibat ulah Adnessa. Apa lagi, saat ini dirinya juga terburu-buru.
Puas? Adnessa sangat puas melihat bagaimana ekspresi Axelio saat ini, 'Salah siapa berkendara seperi itu? Dan lagi, siapa suruh terus mengangguku?!'
Axelio terlihat menghela nafasnya seraya mengusap kasar wajahnya yang mulai terlihat memerah, itu, "Sekarang, kamu harus tanggung jawab!"
"Tanggung jawab, apa? Ini salah kamu sendiri, lepasin tangan aku!"
Tanpa banyak berbicara, Axelio menarik tangan Adnessa masuk kedalam rumah mewah itu. Entah, apa yang akan Axelio lakukan kepada adik tirinya?!
***
Beberapa hari berlalu. Setelah kejadian malam itu, Adnessa tidak lagi melihat Axelio, mungkin karena dirinya yang jarang memiliki waktu di rumah dan sibuk dengan urusan kampus. Sedangkan Axelio ... Pria itu juga tampaknya tengah sibuk dengan urusannya di kantor.
Setelah mengantar keberangkatan mama dan papanya yang akan melakukan perjalanan dinas di luar kota selama beberapa hari. Adnessa memutuskan untuk kembali masuk kedalam rumah, dan langsung berjalan menuju kolam renang.
"Ini lumayan!" gumam Adnessa yang tengah menikmati waktu santainya berjemur di tepian kolam. Kebetulan, kuliah Adnessa hari ini tengah libur dan dirinya juga tidak memiliki kegiatan apa pun hari ini, jadi, Adnessa memutuskan untuk bermalas-malasan di rumah.
Merasa jika tempat ini aman, Adnessa mulai membuka handuk kimono yang membalut tubuhnya, dan menyisakan pakaian dalamnya saja. Tentu saja, Adnessa melakukan itu setelah memastikan hanya ada dirinya di rumah itu. Bahkan, para pekerja di rumah itu sudah Adnessa larang untuk mendekat ke area kolam renang.
"Kemana perginya anak itu, ya?" gumam Adnessa dengan mata terpejam. Entah kenapa, tiba-tiba dirinya teringat dan penasaran dengan keberadaan Axelio.
"Mencariku?" sahut Axelio yang entah sejak kapan berdiri di sana.
Mendengar suara seorang pria, Adnessa segera bangkit dan meraih handuk kimononya. Namun, dirinya kalah cepat dengan Axelio, pria licik itu sudah lebih dulu mengambil handuknya.
'Shitt, kenapa dia ada di sini?' Adnessa sedikit panik melihat keberadaan Axelio. Namun, gadis itu tetap berusaha untuk terlihat tenang dan mencoba mengambil handuk kimononya kembali.
Axelio tersenyum semrik, melihat Adnessa melangkah ke arahnya dengan wajah yang tampak marah, "Kamu mau menggoda ku?!"
"Cowok gila," singkat Adnessa yang masih gigih untuk merebut handuknya kembali. Namun, lagi-lagi Axelio mempersulit Adnessa dengan mengangkat handuk itu ke atas.
Adnessa menatap ke atas, kearah handuknya dengan bibir cemberut dan wajah yang sudah memerah. Membuat Axelio gemas melihatnya.
'Astaga ... Apa dia akan marah jika aku mengiggit bibir dan pipi bakpaunya itu?' Entah bagaimana, Axelio bisa berfikir seperti itu.
"Makannya, tinggi itu ke atas! Jangan ke samping!" di situasi seperti ini, sempat-sempatnya Axelio mengejek Adnessa.
Kesal? Tentu saja Adnessa sangat kesal dengan ulah Axelio. bahkan, di dalam hati, gadis itu telah menyumpah serapahi Axelio yang menurutnya sangat keterlaluan.
"Kembalikan handuk kimonoku!" ucap Adnessa dengan mata melotot ke arah Axelio.
Bukannya memberikan handuk itu, Axelio justru menertawakan Adnessa. Membuat gadis itu sangat kesal dan memilih untuk segera meninggalkan tempat itu. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba Adnessa di kejutkan dengan tubuhnya yang tiba-tiba saja melayang.
"ASTAGA, Apa yang kamu lakukan, Xel?" pekik Adnessa, melihat Axel yang mengangkat tubuhnya dengan satu tangan, sedangkan tangan satunya masih memegang handuk miliknya.
"Yang pertama ... Aku adalah kakak kamu, jadi, jangan panggil aku dengan sebutan nama lagi. Yang ke dua, Jangan memakai pakaian seperti ini lagi, cukup aku yang melihat lekuk tubuh mu jangan sampai ada orang lain yang melihatnya. Yang ke tiga, Aku menginginkan mu!" ucap Axel dengan posisi yang masih mengangkat tubuh Adnessa menggunakan sebelah tangannya.
"Orang gila, turunkan aku!"
"Kalau aku tidak mau?!" sahut Axel menggoda Adnessa.
Mendengar itu, Adnessa yang sudah kesal dengan ulah Axel pun meronta. Berfikir jika kakak tirinya yang gila ini akan menurunkannya. Namun, hal lain yang terjadi.
BYURRRRR.
***
Sore itu, Adnessa berdiri di teras kediaman Hansel, menatap mobil Revan yang kian menjauh, menelan kesepian yang tiba-tiba menyeruak setelah kepergian pria itu."Anak ini milik saya!"Adnessa terperagah, jantungnya mencelos mendengar suara berat yang tiba-tiba membisikkan kalimat itu tepat di belakangnya. Sebuah tangan kekar melingkari pinggangnya, menariknya mendekat hingga punggungnya membentur dada bidang seorang pria."Axcel?!" lirih Adnessa, terkejut bukan kepalang. Spontan ia meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman itu. Namun, tangan Axcel justru mengerat, memeluknya seolah tak ingin melepaskan.Axcel menghela napas panjang, aroma maskulinnya menusuk indra penciuman Adnessa. "Apa saya seperti hantu? Kenapa kamu begitu ketakutan melihatku?" tanyanya datar, perlahan membalikkan tubuh Adnessa hingga tatapan mereka bertemu. "Jangan lagi menghindariku, jangan lagi mencari alasan untuk menjauh. Aku sudah mengetahui semuanya, Ness. Jika... ini adalah darah dagingku!" lanjutny
Adnessa menghela napas, bayangan dirinya di cermin pagi itu tak ubahnya hantu pucat. Mata sayunya, lingkar hitam di bawahnya, saksi bisu malam tanpa lelap. Kata-kata Axcel semalam berputar-putar di kepalanya, racun yang menggerogoti ketenangannya."Dari mana dia tahu?" bisiknya, dahinya berkerut dalam.Gemericik air dari wastafel kamar mandi menjadi latar sunyi lamunannya. Namun, ketenangan itu pecah saat sepasang tangan kekar melingkar posesif di perutnya, membuatnya tersentak keras."Axcel!" serunya, mendorong tubuh itu menjauh. Matanya menyala marah, suaranya bergetar. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Perlahan, Axcel mengulurkan tangannya, meraih jemari Adnessa dengan cengkeraman penuh keyakinan. "Menikahlah denganku, Ness," ucapnya, suaranya serak namun tegas. Mata elangnya, yang biasa memancarkan dominasi, kini redup, penuh permohonan."Kau gila!" Adnessa mendesis, menarik tangannya dengan kasar. "Di saat tunanganmu mengandung anakmu, kau malah mengajakku menikah? Lucu sekali!""
Mata Axcel terbelalak setelah membaca laporan yang baru saja diberikan oleh kaki tangannya beberapa saat lalu. Tangannya bergetar, mata dan wajahnya memerah seperti menahan sebuah rasa yang tiba-tiba saja menggebu. "Adnessa hamil?!" lirihnya.Axcel terdiam, menatap beberapa lembar kertas di tangannya. Baru kali ini ia tahu alasan kenapa Adnessa beberapa saat lalu tiba-tiba ingin bersekolah di luar negeri dan sekarang justru ingin menikah, ternyata gadis itu tengah mengandung. Mengetahui fakta ini, masih ada sedikit pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Siapa ayah anak ini?!"Jangan-jangan ayah anak ini..." Axcel segera melangkahkan kakinya terburu-buru menuju kamar Adnessa, memastikan siapa sebenarnya ayah dari anak yang dikandungnya. Jika di lihat dari laporan ini, mungkin saja anak itu miliknya.Pria tampan bermata biru dengan postur tubuh atletis itu melangkahkan kakinya lebar, seluruh tubuhnya berdesir merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan, membayangkan kenyataan ini. Ia memoho
"Aku memilih..." Adnessa menatap ke arah Revan dengan perasaan ragu. "Aku lebih memilih Pak Revan," ucapnya mantap. Dari semua pilihan yang ada di dalam otaknya, sepertinya ini adalah pilihan yang terbaik. Mengingat Axcel yang telah bertunangan dan bahkan segera memiliki keturunan dari Erika. Untuk apa lagi dirinya bimbang? Sudah jelas, jika bersama Revan jauh lebih baik.Revan tersenyum. Kebahagiaan di wajahnya, tidak bisa lagi disembunyikan. "Terima kasih karena sudah percaya dengan saya, sayang!" sahutnya seraya menggenggam tangan Adnessa erat."Tidak mungkin," lirih Axcel, tidak percaya. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Adnessa. Menatap kearah Adnessa dan Revan dengan tatapan sulit di jelaskan."Gue harap, ini yang terakhir kalinya lo ganggu Adnessa seperti ini, Xel!" ucap Revan datar, suaranya terdengar tegas memperingatkan Axcel. Pelukannya juga terlihat posesif kepada Adnessa, seolah memberitahu jika Adnessa telah menjadi miliknya. "Sebentar lagi, kami juga
Mobil yang dikendarai oleh Revan telah berhenti di pelataran kediaman Hansel. Seulas senyuman tersungging menghiasi wajah tampannya melihat Adnessa yang masih tertidur pulas, bersandar di bahunya.Revan yang tadinya ingin membangunkan Adnessa, mengurungkan niatnya. Ia memutuskan untuk menunggu sampai gadis itu terbangun sendiri. "Apakah hari ini begitu melelahkan, sayang?" lirih Revan, merapikan anak rambut Adnessa yang sedikit berantakan dengan lembut. Dengan hati-hati, Revan membenarkan jas miliknya yang ia gunakan untuk menyelimuti Adnessa, tidak ingin mengganggu tidur gadis itu."Sudah bangun, sayang?" tanya Revan, ketika melihat Adnessa mengerjap.Dengan mata memerah khas bangun tidur, Adnessa terlihat bingung. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar."Sudah sampai dari tadi?""Hmmm," sahut Revan dengan lembut.Adnessa menegakkan tubuhnya, "Kenapa tidak membangunkan ku?!""Kamu terlihat begitu lelah, sayang. Saya tidak tega untuk membangunkanmu!" sahut Revan.Adnessa m
'Adnessa?' batin Axcel bimbang, melihat siluet yang sangat mirip dengan Adnessa. Apakah yang ia lihat tadi benar-benar Adnessa atau hanya orang yang mirip saja dengan gadis itu?Tanpa sadar Axcel melangkah, mengikuti gadis yang terlihat mirip dengan Adnessa, membuat Erika yang tengah bersamanya menatap bingung ke arah Axcel yang tiba-tiba pergi."Axcel? Ada apa denganmu?" Erika, yang merasa diabaikan, menatap Axcel dengan kesal. Sedari tadi ia berbicara, namun Axcel hanya diam, dan sekarang justru meninggalkannya.Axcel tersadar, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Erika yang tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya. "Tidak ada. Saya hanya ingin mencari ruang untuk merokok!" sahutnya beralasan.Erika menatapnya curiga, tapi kemudian mengangguk. "Ya sudah, tapi cepat kembali! Sebentar lagi giliranku dan kamu harus menemaniku, Axcel!"Axcel mengangguk, ia segera melangkahkan kakinya keluar, mencari jejak gadis yang sangat mirip dengan Adnessa tadi.Sesampainya di depan rumah sakit