Hening.
Suasana di dalam apartemen semakin menegang saat pintu akhirnya terbuka, dan Diego melangkah masuk dengan ekspresi serius. Maya dan Elera langsung menoleh, ingin tahu apa yang baru saja dibicarakan oleh ayah Maya dan Leon di luar.
Di belakang Diego, Leon berjalan masuk dengan langkah santai, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda—lebih dingin, lebih tajam, lebih bertekad.
Elera merasakan firasat buruk.
Maya menatap ayahnya dengan penuh selidik. "Ayah, kau bicara apa dengan dia?"
Diego tidak langsung menjawab, tetapi ia menatap Leon sebelum akhirnya berkata, "Aku sudah mendengar keputusannya. Sekarang, giliran Elera yang memutuskan."
Elera mengerutkan kening. "Memutuskan apa?"
Leon menyelipkan satu tangan ke dalam saku celana, suara rendahnya terdengar mantap dan tak terbantahkan.
"Kau akan ikut denganku."
Hening.
Elera menatapnya dengan tidak percaya, lalu mendengus pelan. "Kau bercanda, kan?"
Leon tetap menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak. Aku tidak bercanda."
Elera tertawa sinis. "Maaf, tapi sejak kapan aku menjadi bawahanku? Kenapa aku harus ikut denganmu?"
Leon mengangkat alis, seolah sudah menduga reaksi itu. "Karena kau dalam bahaya. Dan kau tahu itu."
Elera menegang, tetapi tetap bersikap defensif. "Itu tidak berarti aku harus ikut denganmu. Aku bisa menjaga diriku sendiri."
Leon melangkah maju, mendekatinya dengan tatapan penuh dominasi. "Kau pikir begitu?"
Elera mengangkat dagunya, menolak mundur. "Ya."
Leon tersenyum tipis, tetapi senyum itu penuh bahaya. "Kau bahkan tidak bisa membayangkan sejauh mana Sergio akan pergi untuk menghancurkan orang-orang yang berani menentangnya."
Elera mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. "Aku tidak takut padanya."
Leon menyipitkan mata. "Tapi kau akan tetap mati jika dia menemukanmu."
Maya yang sejak tadi diam akhirnya menyela. "Oke, oke, tunggu sebentar! Aku tidak suka bagaimana ini terdengar seperti kalian membahas transaksi bisnis. Elera bukan barang yang bisa dipindahkan sesuka hati!"
Leon tidak menoleh ke arah Maya, tatapannya tetap terkunci pada Elera. "Aku tidak memperlakukannya seperti barang. Aku hanya memastikan dia tetap hidup."
Elera menggertakkan giginya, frustrasi dengan betapa keras kepalanya pria ini. "Leon, aku tidak bisa begitu saja meninggalkan hidupku!"
Leon akhirnya mendesah, nada suaranya menjadi lebih dingin. "Kau pikir kau masih punya pilihan, Elera?"
Elera menegang. "Tentu saja aku punya!"
Leon mendekat lebih lagi, suaranya turun menjadi bisikan tajam. "Tidak. Kau tidak punya."
Napas Elera tersentak. Tatapan mereka bertemu dalam pertarungan diam-diam, masing-masing menolak untuk mengalah.
Maya memijat pelipisnya. "Astaga, ini seperti menonton drama mafia langsung di depan mataku."
Diego akhirnya berbicara lagi. "Elera, aku ingin kau ikut dengannya."
Mata Elera membesar, kepalanya langsung menoleh ke arah Diego. "Apa?! Paman, kau tidak serius, kan?"
Diego menatapnya dengan ekspresi tegas. "Ini bukan hanya soal keselamatanmu, Elera. Ini soal perang yang kau bahkan tidak tahu sedang terjadi."
Elera menggeleng kuat. "Aku tidak peduli dengan perang mereka! Aku hanya ingin hidup normal!"
Leon tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. "Sayangnya, kau sudah kehilangan kesempatan itu sejak kau menyelamatkanku malam itu."
Elera menelan ludah. "Jadi ini salahku?"
Leon mendekat, menatapnya dengan intens. "Bukan salahmu. Tapi ini konsekuensinya."
Elera mengembuskan napas berat, mencoba mengatur pikirannya. Tetapi bagaimana pun ia memproses situasinya, tidak ada jalan keluar.
Jika dia menolak, Sergio akan menemukan dan membunuhnya. Jika dia setuju… maka dia akan masuk lebih dalam ke dunia yang bahkan tidak seharusnya ia lihat.
"Kau bisa tinggal di rumahku. Tempat yang lebih aman," Leon akhirnya berkata, kali ini lebih tenang.
Elera menatapnya penuh kebingungan. "Kau ingin aku tinggal bersamamu?"
Leon mengangguk tanpa ragu. "Ya."
Elera merasa kepalanya berdenyut. Ini semua terjadi terlalu cepat. Kemarin ia masih bekerja sebagai dokter biasa, dan sekarang ia akan tinggal dengan seorang mafia?
Maya menatap sahabatnya dengan prihatin. "El, ini memang gila… tapi aku juga tidak mau kehilanganmu."
Elera menatap Maya, lalu Diego, sebelum akhirnya kembali menatap Leon.
Leon tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menunggu.
Menunggu keputusan yang akan mengubah segalanya.
Dan Elera sadar, tidak peduli bagaimana ia menolaknya… pilihannya hanya satu.
Ikut dengan Leon Santiago.
~~~~~
Keheningan menelan ruangan.
Elera merasa seolah udara di apartemennya semakin menipis. Matanya masih menatap Leon, mencari celah untuk menolak, mencari alasan untuk keluar dari situasi ini. Tapi pria itu berdiri di hadapannya dengan sikap yang tak tergoyahkan, seperti dinding baja yang tidak bisa ditembus.
Leon tidak mengatakan apa pun lagi. Ia hanya menunggu.
Menunggu Elera menyerah pada kenyataan bahwa ia tidak punya pilihan lain.
Elera akhirnya mengalihkan pandangannya ke Diego, berharap menemukan dukungan di sana. Namun, wajah pria itu tetap tenang, tetapi tegas.
"Aku ingin kau ikut dengannya, Elera," kata Diego dengan suara yang mantap.
Elera menegang. "Paman… Kau benar-benar akan menyerahkanku begitu saja?"
Diego menatapnya lama sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang. "Ini bukan tentang menyerahkanmu, Elera. Ini tentang memastikan kau tetap hidup."
"Tapi aku tidak bisa—"
"Kau tidak bisa hidup sendiri lagi," potong Leon dengan dingin. "Sergio tahu siapa kau sekarang, dan dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan."
Elera mengepalkan tangannya. "Dan bagaimana kalau aku pergi jauh dari sini? Menghilang?"
Leon tertawa kecil, tetapi tidak ada humor di dalamnya. "Kau pikir dia tidak akan menemukanmu? Sergio punya sumber daya lebih dari yang bisa kau bayangkan. Bahkan jika kau bersembunyi di ujung dunia, dia akan tetap menemukanmu."
Elera menggigit bibirnya. Dia tahu Leon tidak berbohong.
"Tapi—"
"Tidak ada tapi."
Nada suara Leon mendadak turun menjadi lebih rendah, lebih intens. Ia melangkah lebih dekat, menatapnya langsung ke mata. "Aku tidak akan membiarkanmu mati, Elera."
Elera menelan ludah. Napasnya terasa lebih berat dari sebelumnya.
Maya, yang sejak tadi diam, akhirnya menghela napas dan menatap Elera dengan ekspresi penuh kekhawatiran. "El… Aku tahu ini terdengar gila. Tapi aku juga tahu ayah tidak akan menyarankan ini kalau dia tidak benar-benar berpikir ini yang terbaik."
Elera menoleh ke Maya dengan ekspresi putus asa. "Maya, aku tidak ingin hidup dalam ketakutan. Aku tidak ingin hidup seperti ini…"
Maya meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Aku tahu, El. Tapi apa kau lebih memilih mati?"
Kata-kata itu menusuknya dalam-dalam.
Elera terdiam.
Matanya kembali bertemu dengan Leon, yang masih berdiri seolah dunia ada di bawah kendalinya.
Ia benci mengakuinya, tetapi…
Leon benar.
Ia tidak bisa tetap tinggal di sini.
Ia tidak bisa melawan Sergio sendirian.
Dan di tengah segala kekacauan ini… satu-satunya tempat yang aman adalah di sisi Leon Santiago.
Elera mengepalkan tangannya lebih erat sebelum akhirnya menutup mata dan menghembuskan napas panjang.
"Oke," katanya dengan suara yang hampir bergetar.
"Aku akan ikut denganmu."
Leon tersenyum tipis.
Bukan senyum kemenangan, bukan senyum mengejek, tapi senyum yang penuh dengan kepastian.
"Keputusan yang bijak, Dokter," katanya pelan.
Tapi Elera tahu… ini bukan akhir.
Ini baru permulaan.
Malam itu turun perlahan di atas mansion Santiago. Langit berwarna ungu tua dengan semburat jingga terakhir tergantung di ujung cakrawala. Di salah satu kamar yang tenang, Elera duduk bersandar di headboard tempat tidur, mengenakan daster hangat sambil menyusui salah satu bayi mereka yang mulai mengantuk. Bayi satunya sudah tertidur di ranjang kecil di sebelah tempat tidur mereka, napasnya teratur dan tenang.Pintu kamar terbuka pelan. Leon masuk dengan langkah berat, seakan beban dunia tergantung di pundaknya. Matanya sembab meski ia mencoba menyembunyikannya, rambutnya sedikit acak-acakan, dan ia masih mengenakan kemeja tanpa dikancingkan penuh, seolah bergegas keluar beberapa jam lalu dan tak sempat merapikan diri.Elera menatapnya pelan. “Sayang… sudah pulang?”Leon tidak menjawab. Ia hanya berjalan menuju ranjang, duduk di tepi, dan menunduk—bahunya turun naik menahan napas yang berat.Elera segera memindahkan si kecil yang sudah mengantuk ke boks, lalu meraih Leon. Ia menggengga
Suasana di kamar Kai masih tenang seperti biasanya, hanya ditemani suara detak alat pemantau dan bisikan lembut angin dari jendela yang sedikit terbuka. Tirai bergoyang pelan, menciptakan bayangan samar di dinding, seolah waktu sendiri tengah menanti.Di sisi ranjang, Rachele duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, dagunya bertumpu pada tangan yang disilangkan di atas lutut. Rambutnya diikat asal, jaket medis dilipat rapi di kursi belakangnya. Sudah berapa lama dia duduk di sana? Entahlah. Tapi setiap kali ada waktu luang—dan kadang bahkan saat seharusnya dia tidak punya waktu—Rachele akan kembali ke ruangan ini.Memandangi Kai."Sudah cukup tidur, Dokter Sok Jenius…" gumamnya pelan. “Kalau kau terus begini, aku yang akan jadi gila.”Jari-jarinya menggenggam ringan tangan Kai yang dingin. Rachele menghela napas dan memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir rasa letih dan… takut. Tapi saat ia hampir menarik tangannya kembali, tiba-tiba jari Kai bergerak.Sedikit. Hampir tak kentara
Pagi itu di mansion Santiago, udara terasa lebih tenang. Tidak ada lagi suara tangis yang menyesakkan, tak ada langkah tergesa yang menggema di lorong. Namun di balik ketenangan itu, dua pria yang pernah hampir kehilangan segalanya tengah menyusun langkah balasan.Leon duduk tegak di ruang kendali, mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan kulitnya yang belum sepenuhnya pulih. Meski tubuhnya masih menyimpan bekas luka, sorot matanya kembali tajam—penuh kendali, penuh rencana.Dante berdiri di sebelahnya, dikelilingi layar-layar besar yang menampilkan data, peta digital, rekaman tersembunyi, dan catatan lama yang telah dibongkar kembali. Tangannya lincah mengetik di atas keyboard, sementara matanya menyisir jejak yang tertinggal dari pergerakan Sergio.“Tiga jalur pengiriman terakhir milik mereka sudah kukaji,” ucap Dante tanpa melepaskan pandangan dari layar. “Dua palsu. Tapi yang satu ini—” ia mengetuk titik merah yang berkedip di peta, “—mengarah ke gudang tempat kau ditahan. Jeja
Sudah lebih dari dua minggu sejak mereka kembali ke mansion Santiago.Leon kini pulih hampir sepenuhnya. Bekas luka di tubuhnya masih membekas, tapi jiwanya telah bangkit. Tak ada waktu untuk terbaring lebih lama. Setiap malam ia berdiri di ruang kendali bersama Dante dan Rafael, memeriksa rekaman, melacak jejak, menyusun ulang peta kekuatan, mencari titik kelemahan musuh.“Tak mungkin Sergio bergerak sendiri. Ada jaringan baru di bawah tanah yang kita belum tahu,” gumam Leon saat berdiri di depan papan besar penuh peta dan kabel penghubung antar-foto.Rafael mengangguk. “Kemungkinan mereka menyusup ke salah satu jalur lama yang dulu sempat ditutup ayahmu. Aku akan ke medan. Cek langsung.”Leon mengangguk pelan. “Hati-hati.”Namun tak peduli seberapa dalam dia menyelam ke perang rahasia ini, tak peduli seberapa sering dia mengulang-ulang briefing dan menggeledah dokumen lama...Satu hal tetap mengganggu pikirannya.Kai. Masih belum bangun.Setiap malam, Leon menyempatkan diri masuk ke
Pagi itu langit cerah di atas pangkalan militer yang selama beberapa hari terakhir menjadi saksi perjuangan antara hidup dan mati. Suasana perlahan mulai melunak, ketegangan yang sempat menggantung kini tergantikan oleh kesibukan persiapan kepulangan.Leon duduk di kursi roda, wajahnya lebih segar meski bekas luka masih tampak jelas di sisi pelipis dan lengan. Di sisinya berdiri Dante dan Rafael, sibuk mengatur dokumen dan keamanan untuk perjalanan udara.“Jangan pakai kursi roda,” gerutu Leon pelan, meski tak ada tenaga untuk benar-benar bangkit. “Ini memalukan.”Dante menyeringai. “Coba kau jalan sendiri, baru bisa protes. Dan lagi, kau tetap kelihatan berbahaya meski duduk, percaya saja.”Di sisi lain ruangan, Maya memeriksa berkas medis dan mengangguk pada petugas medis militer yang akan mendampingi mereka selama penerbangan. “Leon bisa terbang. Kondisinya stabil. Hanya butuh perawatan lanjutan di rumah, dan sedikit—banyak—istirahat,” katanya sambil menatap tajam ke arah Leon.Leo
Di dalam ruang operasi yang disinari cahaya putih terang, hiruk pikuk ketegangan berubah menjadi irama sunyi yang teratur.Hanya suara mesin monitor, detak pelan ventilator, dan instruksi-instruksi tajam namun tenang dari dua dokter perempuan terdengar bergema.Maya dan Elera bekerja seperti dua sisi mata pisau.Lincah. Presisi. Tajam dalam pengambilan keputusan.Tubuh Kai terbujur dengan luka terbuka di sisi perutnya, ginjal kirinya sudah sebagian ditambal dan diperkuat. Tapi pembuluh darah halus di sekitarnya masih rapuh—salah sedikit saja, Kai bisa kehilangan fungsi ginjal sepenuhnya.“Ler, aku tahan arteri ini. Fokus pada tambalan jaringan. Jangan sampai bocor sedikit pun,” kata Maya tanpa perlu menatap Elera.Elera mengangguk, tangannya tetap bergerak cepat. “Kau pikir aku lupa siapa gurunya kita berdua?”Maya menyeringai tipis. “Oh, dia akan sangat sombong kalau sadar nanti. Mungkin bilang dia pingsan hanya untuk nguji kemampuan kita.”Elera tertawa kecil, meski wajahnya tetap f