LOGINHening.
Ketegangan menggantung di udara seperti pisau yang siap menebas kapan saja. Diego Alvarez berdiri tegap di ambang pintu apartemen, tatapannya tajam menusuk langsung ke arah Leon Santiago. Tidak ada yang berbicara, tetapi setiap detik yang berlalu terasa begitu berat, membuat Elera tanpa sadar menggenggam erat koper di tangannya.
Leon tetap dalam posisi santainya, kedua tangan dimasukkan ke saku celana, tetapi Elera melihat sesuatu yang berbeda—rahangnya menegang, tatapannya lebih gelap dari biasanya.
Maya berdiri di samping Elera, menelan ludah dengan gugup sebelum akhirnya melangkah maju.
"Ayah…?"
Diego akhirnya mengalihkan pandangannya ke putrinya. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya.
"Maya, sayang, aku akan menjelaskan nanti. Sekarang aku perlu bicara dengan Leon."
Maya mengernyit, jelas tidak puas dengan jawaban itu, tetapi akhirnya mengangguk. Tatapannya masih penuh tanda tanya, tetapi ia memilih untuk diam… untuk saat ini.
Diego kembali menatap Leon, lalu menggerakkan dagunya ke arah pintu.
"Di luar. Sekarang."
Leon tidak langsung bergerak, tetapi setelah beberapa detik, ia akhirnya berjalan melewati Diego lebih dulu, dengan langkah tenang namun pasti. Diego mengikutinya dengan langkah serupa, penuh otoritas.
Pintu tertutup.
Elera menghela napas panjang. Matanya langsung tertuju pada Maya, yang masih memandangi pintu dengan ekspresi tajam.
"Maya, ada sesuatu yang tidak kau ceritakan padaku, bukan?"
Maya berpaling, ekspresinya berubah lebih serius. "Bukan hanya aku, El. Ayah juga."
Elera semakin merasa tidak nyaman. Dia tidak suka rahasia, terutama jika itu menyangkut dirinya. Tetapi sebelum ia bisa menggali lebih dalam, pikirannya berpaling ke Leon dan Diego yang sekarang ada di luar apartemen.
~~~~~
Angin malam bertiup pelan, membawa hawa dingin yang kontras dengan ketegangan di antara dua pria yang saling berhadapan.
Leon menyandarkan punggungnya ke dinding, ekspresinya tetap datar, tetapi waspada. Sementara itu, Diego berdiri tegak dengan kedua tangan disilangkan di dada, matanya tidak lepas dari Leon.
"Kau benar-benar berani, Santiago."
Leon tidak bereaksi, hanya menunggu kelanjutan dari kata-kata itu.
"Kau membawa Elera ke dalam duniamu. Kau tahu betapa berbahayanya itu?"
Leon akhirnya berbicara, suaranya tetap rendah tetapi tegas. "Aku tidak berniat melibatkannya dalam masalahku."
Diego tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. "Oh, tapi dia sudah terlibat. Dan itu sepenuhnya salahmu."
Leon menggeleng pelan. "Dia terlibat karena dia menyelamatkanku."
Diego mengerutkan kening. "Dan kau membiarkan itu terjadi?"
Leon menatapnya tajam. "Aku tidak memiliki pilihan lain."
Keheningan kembali menggantung, hanya suara angin yang berbisik di antara mereka.
Diego akhirnya menghela napas panjang. "Apa kau tahu siapa sebenarnya Elera?"
Leon terdiam sesaat, tetapi akhirnya menjawab, "Aku tahu dia anak Rodrigo Vasquez."
Diego mengangguk. "Dan kau tahu apa artinya itu?"
Leon mengepalkan tangannya, menyadari arah pembicaraan ini.
"Sergio tidak akan membiarkannya hidup."
Diego mengangguk lagi. "Dan aku juga tidak bisa membiarkan dia hidup di bawah ancaman konstan seperti ini."
Leon menegang. "Maksudmu apa?"
Diego menatapnya tajam, penuh perhitungan. "Aku ingin dia pergi bersamaku."
Leon mengepal rahangnya. "Tidak."
"Leon. Ini bukan tawaran. Ini keputusan."
Leon melangkah lebih dekat, mata abu-abunya berkilat tajam. "Dan aku juga sudah membuat keputusanku, Tuan Alvarez."
Diego tidak bergeming. "Apa yang bisa kau tawarkan untuk menjamin keselamatannya?"
Hening.
Leon akhirnya mengembuskan napas panjang, matanya menajam. Dia tahu hanya ada satu solusi yang cukup kuat untuk menjamin keselamatan Elera di mata Diego.
Sesuatu yang sejak tadi malam sudah berputar dalam pikirannya.
Sesuatu yang akan mengikatnya dengan Elera lebih kuat daripada sekadar perlindungan biasa.
Dengan suara mantap, Leon akhirnya menjawab.
"Aku akan menikahinya."
~~~~~
Di dalam apartemen, Elera masih mondar-mandir, ekspresi wajahnya menunjukkan kekesalan yang jelas. Sementara itu, Maya duduk di sofa, menyilangkan tangan di dada, dan menatapnya dengan tajam.
"El, duduk dulu. Kau membuatku pusing."
Elera berhenti sejenak, mengembuskan napas panjang, tetapi tetap tidak duduk. "Bagaimana aku bisa tenang kalau mereka sudah berbicara selama ini di luar? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Maya mengangkat bahu. "Harusnya aku yang bertanya itu padamu. Bagaimana kau bisa terlibat dengan pria seperti Leon Santiago? Dan lebih penting lagi…" Maya menyipitkan mata, suara penuh kecurigaan, "…bagaimana ayahku bisa tahu tentang dia?"
Elera terdiam, genggaman tangannya mengeras. "Aku tidak tahu bagaimana Om Diego mengenal Leon…"
Maya menaikkan satu alis. "Om Diego? Sejak kapan kau memanggilnya begitu? Kau selalu menyebutnya ‘Paman’."
Elera tersentak, menyadari kesalahannya, tetapi buru-buru mengabaikannya. "Bukan itu poinnya, Maya."
Maya menatapnya lekat, seakan mencoba membaca pikirannya. "Baiklah, lalu aku ulangi pertanyaanku. Bagaimana kau bisa mengenal Leon?"
Elera menggigit bibirnya, ragu-ragu, tetapi akhirnya menjawab, "Aku tidak mengenalnya sebelumnya. Aku hanya menolong seseorang yang terluka."
Maya menyilangkan kaki, matanya penuh skeptisisme. "Menolong seseorang yang terluka? Itu saja?"
Elera mengangguk, berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya. "Ya, aku hanya seorang dokter, Maya."
Maya menghela napas panjang. "Kau memang seorang dokter, tapi aku mengenalmu lebih dari itu, El. Kau bukan tipe yang tiba-tiba menyeret dirimu ke dalam situasi yang berbahaya—kecuali jika ada sesuatu yang lebih besar dari itu."
Elera mengalihkan pandangannya, tidak ingin bertemu dengan mata tajam Maya.
Maya mendesah, bersandar ke sofa sambil memainkan ujung rambutnya, sebelum akhirnya berkata dengan suara lebih rendah, "Baiklah, kalau kau tidak mau cerita sekarang, aku tidak akan memaksamu."
Elera akhirnya menoleh, sedikit terkejut dengan respon Maya yang lebih lunak dari yang ia kira. "Maya…"
Maya mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Tapi aku akan mencari tahu sendiri. Dan aku yakin ayahku juga menyimpan sesuatu dariku."
Elera kembali terdiam. Ia tahu Maya tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban yang ia inginkan.
Dan itu… bisa jadi masalah besar.
Sementara itu, di luar apartemen…
Leon dan Diego masih berdiri berhadapan, udara di antara mereka terasa semakin berat.
Leon menatap tajam pria yang berdiri di hadapannya, sementara Diego tetap memandangnya dengan ekspresi tenang tetapi penuh otoritas.
"Apa kau yakin kau bisa menjaganya?" Diego akhirnya bertanya, suaranya terdengar seperti ujian terakhir.
Leon tidak ragu saat menjawab. "Aku tidak pernah mengatakan sesuatu yang tidak bisa kutepati."
Diego masih belum puas. "Kau tahu siapa dia. Dan kau tahu siapa ayahnya."
Leon mengangguk. "Ya, dan aku juga tahu Sergio akan mengincarnya."
Diego menajamkan tatapannya. "Itu sebabnya aku ingin dia pergi bersamaku."
Leon tersenyum tipis, tetapi penuh tantangan. "Dan itu sebabnya aku tidak akan membiarkannya pergi."
Diego tidak menjawab segera. Ia hanya menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Leon tahu bahwa pria ini bukan seseorang yang bisa dipermainkan. Tetapi ia juga bukan seseorang yang bisa ditundukkan dengan mudah.
Hening kembali menyelimuti mereka.
Lalu, akhirnya…
Diego menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara lebih rendah.
"Aku akan memberimu kesempatan, Santiago."
Leon menyipitkan mata. "Maksudmu?"
Diego menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Aku akan melihat bagaimana kau menangani ini. Tetapi jika kau gagal menjaga Elera, aku sendiri yang akan membawanya pergi."
Leon tidak bereaksi berlebihan, hanya mengangguk pelan. "Baik."
Diego masih menatapnya beberapa detik, lalu akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke apartemen.
Leon tetap berdiri di tempatnya, mata abu-abunya sedikit berkilat di bawah cahaya lampu jalan.
Kesempatan, huh?
Dia tidak akan menyia-nyiakannya.
Dan sebelum semua ini berakhir…
Dia akan memastikan Elera tetap berada di sisinya.
Matahari pagi menembus sela pepohonan di taman belakang mansion Santiago, menumpahkan cahaya lembut ke atas rerumputan yang masih basah. Udara terasa damai. Seekor burung kecil hinggap di pagar besi, berkicau pelan seolah ikut menikmati keheningan itu.Kai duduk di kursi taman dengan tongkat penyangga di sebelahnya. Kakinya sudah jauh lebih kuat, dan pagi ini dia berusaha berjalan tanpa bantuan.Elera datang membawa cangkir teh, menatapnya dengan senyum lembut.“Kau bandel lagi,” ujarnya sambil meletakkan cangkir di meja.Kai tertawa kecil. “Kalau aku nggak bandel, aku nggak akan pulih secepat ini.”“Kalau jatuh lagi, aku yang repot, Kai,” balasnya sambil mengangkat alis.Leon yang sedang di balkon atas hanya tersenyum melihat keduanya. Ia memandang mereka seperti seorang kepala keluarga yang baru saja menemukan makna damai yang lama hilang. Tapi damai itu... selalu menipis di matanya.Di halaman depan, Alva sedang menggandeng kedua bayi kembar yang mulai bisa berjalan kecil.“Pelan-p
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya.Udara di mansion pegunungan masih sejuk, tapi entah kenapa, rasanya seperti ada sesuatu yang menggantung di antara kabut.Leon duduk di ruang makan, segelas kopi hitam mengepul di tangannya.Di ujung meja, Elera sedang menyuapi bayi kembar yang kini mulai berceloteh — suara mereka seperti lagu kecil yang memecah keheningan.Kai duduk di sofa, masih dalam jaket tipis, mencoba menulis sesuatu di catatan medisnya.“Sepertinya paru-paruku akhirnya berhenti protes,” gumamnya sambil tersenyum kecil.“Bagus,” sahut Elera tanpa menoleh. “Berarti kamu bisa mulai kerja ringan — lipat popok bayi, misalnya.”Kai menatapnya, pura-pura terkejut. “Aku dokter trauma bedah, bukan—”“—pahlawan rumah tangga?” potong Elera cepat.Kai mengangkat tangan menyerah. “Oke, kau menang. Tapi aku hanya lipat, bukan cuci.”Leon menatap mereka berdua dengan tatapan hangat. Untuk sejenak, suasana itu membuat pikirannya lupa pada pesan Ramos semalam.Namun tawa kecil dari Al
Matahari mulai turun perlahan di balik pegunungan. Cahaya keemasan menyapu jendela besar mansion itu, membuat seluruh ruang keluarga terasa hangat dan damai. Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari penuh kewaspadaan, suasana di rumah itu tampak… normal.Kai duduk di teras belakang, selimut menutupi kakinya, sementara Alva duduk di sebelahnya dengan papan strategi kecil di pangkuan. Di hadapan mereka, bayi kembar tertidur pulas di kereta dorong, wajah mereka tenang seperti tak ada dunia di luar sana yang bisa menyentuh.“Kau tahu,” kata Kai sambil tersenyum, “kalau mereka besar nanti, aku yakin mereka akan jadi lebih cerdas dari ayahnya.” Alva terkikik. “Tapi nggak bisa ngalahin Papa main strategi!” Kai mencondongkan tubuh, pura-pura berbisik, “Kalau kau di timku, kita pasti menang.”Alva menatapnya penuh semangat, lalu berlari ke dalam rumah sambil berteriak, “Papa! Paman Kai ngajak latihan perang lagi!”Elera muncul dari dapur, membawa nampan teh. Rambutnya dibiarkan terurai so
Udara pegunungan terasa segar pagi itu. Kabut tipis menari di sela pepohonan pinus, dan cahaya matahari menembus lembut jendela besar mansion baru keluarga Santiago.Aroma kopi hangat dan roti panggang memenuhi dapur yang luas.Elera berdiri di meja dapur, rambutnya diikat asal dengan celemek bergambar singa kecil di depan dada. Di kursi bar, Kai duduk santai—atau lebih tepatnya berusaha santai—dengan perban masih melingkari pinggangnya.“Kau tahu, pasien pascaoperasi seharusnya tidak ikut bikin sarapan,” kata Elera tanpa menoleh.Kai meneguk kopinya dengan gaya paling tak berdosa di dunia. “Aku tidak bikin sarapan. Aku cuma mencicipi. Untuk memastikan gizinya seimbang.”“Untuk memastikan gula darahku naik karena kesal, maksudmu.”Elera melemparkan potongan roti ke arahnya. Kai dengan refleks menangkis—dan langsung meringis. Luka di perutnya masih belum sepenuhnya sembuh.Dari ruang tengah, tawa kecil menggema. Alva sedang berlarian dengan pakaian tempur mini, membawa pedang mainan da
Hari-hari di mansion baru itu terasa seperti kehidupan kedua.Tak ada suara sirene, tak ada langkah tergesa penjaga yang panik—hanya suara tawa anak-anak, deru angin di taman belakang, dan aroma kue yang baru keluar dari oven.Kai sudah mulai berjalan tanpa tongkat sekarang. Setiap pagi, Alva akan menunggunya di teras sambil membawa dua cangkir kecil berisi teh—satu untuk “Paman Kai yang berani,” dan satu untuk dirinya sendiri.“Cepat, Paman, hari ini kita latihan strategi lagi!” seru Alva, wajahnya berseri-seri.Kai terkekeh, duduk di samping bocah itu. “Kau ini calon jenderal atau pengusaha kue, hm?”“Dua-duanya,” jawab Alva dengan bangga. “Papa bilang orang cerdas harus bisa memimpin perang dan pesta ulang tahun.”Kai tertawa sampai matanya menyipit, lalu menepuk kepala Alva pelan. “Leon benar. Tapi jangan lupakan satu hal—pemimpin sejati juga harus tahu kapan harus istirahat.”“Kayak Paman Kai sekarang?”Kai tersenyum. “Persis.”Dari jendela dapur, Elera memperhatikan keduanya den
Malam itu, mansion di pegunungan seolah terisolasi dari dunia.Api di perapian berderak lembut, memantulkan cahaya ke wajah Kai yang sedang memangku salah satu bayi di kursi panjang. Alva tertidur di lantai, berselimut tebal, sementara Elera duduk di samping mereka dengan secangkir teh di tangan.“Dia mirip kamu,” kata Elera pelan, menatap bayi yang tertidur di pelukan Kai.Kai terkekeh kecil, matanya hangat. “Kalau mirip aku, artinya dia akan keras kepala.”Elera menatapnya sebentar, lalu tersenyum samar. “Bagus. Dunia ini tidak ramah untuk anak yang penurut.”Keheningan kembali turun. Hanya suara lembut malam, dan angin gunung yang menggesek dedaunan di luar jendela besar.Di ruang kontrol lantai bawah, Leon menatap deretan layar holografik yang menampilkan perimeter keamanan mansion. Matanya yang tajam memantul cahaya biru sistem digitalnya.Semua normal. Hening.Namun sesuatu di dalam dirinya terasa janggal. Terlalu hening.Ia mengetik beberapa perintah, meninjau ulang log keamana







