Perjalanan menuju rumah baru itu tidak berjalan dengan tenang, sama sekali tidak.
Di kursi belakang, Elera duduk dengan tangan terlipat di dada, menatap Leon tajam. Sementara itu, Leon tetap bersikap santai, menanggapi setiap protesnya dengan ekspresi dingin seolah tidak peduli.
Di kursi pengemudi, Dante hanya bisa menahan tawa, menikmati pertengkaran kecil yang terjadi di belakangnya.
"Aku tidak percaya aku harus ikut denganmu!" gerutu Elera, menggerutu untuk kesekian kalinya sejak mereka meninggalkan apartemennya.
Leon tetap tenang, matanya tetap lurus ke depan. "Kau tidak punya pilihan, Dokter."
Elera mendesis. "Oh, aku punya banyak pilihan, kau saja yang tidak memberikannya padaku!"
Leon meliriknya sekilas sebelum kembali menatap jalan. "Kalau begitu, silakan keluar dari mobil ini sekarang juga. Lihat seberapa jauh kau bisa bertahan di luar sana dengan Sergio yang mengincarmu."
Elera terdiam sejenak, tetapi bukan karena ia kalah. Lebih karena ia tahu Leon benar.
Dante menyeringai dari kursi pengemudi, sesekali melirik ke kaca spion. "Sial, aku tidak menyangka akan melihat Leon berdebat seperti pasangan menikah di kursi belakang mobil."
Leon mendengus. "Diam, Dante."
Dante tertawa kecil, tetapi tetap mengemudi dengan santai. "Kau tahu, El, biasanya tidak ada yang berani membantah bos kita sebanyak ini. Kau mungkin wanita pertama yang selamat setelah mendebatnya lebih dari lima menit."
Elera mendelik ke arahnya. "Itu karena aku bukan bawahannya."
Leon menyilangkan tangan di dada, tidak terganggu sama sekali. "Tapi kau juga bukan orang bebas sekarang."
Elera hampir melempar sesuatu ke arahnya kalau saja dia punya sesuatu di tangannya.
Dante kembali terkekeh, jelas sangat menikmati situasi ini. "Aku bersumpah, perjalanan ini lebih menghibur daripada menonton film aksi."
"Kalau begitu, aku harap perjalanan ini segera berakhir," kata Elera datar, lalu menoleh keluar jendela.
Tetapi kemudian, ekspresinya berubah.
"Tunggu… Ini bukan jalan menuju mansionmu," gumamnya, keningnya berkerut.
Leon hanya mengangkat bahu. "Aku tidak pernah bilang kita akan tinggal di sana."
Elera menoleh tajam. "Lalu, kita akan ke mana?"
Leon tidak menjawab.
Beberapa menit kemudian, mobil mereka memasuki area perumahan mewah di pusat kota. Rumah-rumah besar berjajar rapi di kedua sisi jalan, dengan desain modern yang elegan, halaman luas, dan sistem keamanan tingkat tinggi.
Elera semakin bingung.
Dan kebingungannya berubah menjadi keterkejutan total saat Dante menghentikan mobil di depan sebuah rumah modern berdesain minimalis tetapi tetap mewah.
Rumah itu memiliki eksterior kaca besar dengan kombinasi kayu hitam yang mengilap. Terlihat mahal, eksklusif, dan sama sekali bukan mansion mafia di pinggiran kota.
Elera menatap rumah itu dengan mata membesar. "Ini… rumah siapa?"
Leon dengan santai membuka pintu mobilnya dan keluar. "Rumah kita."
Elera membelalak.
"Apa?!"
Dante tertawa kecil, menepuk setir. "Kurasa ini bagian terbaik dari perjalanan ini."
Elera segera keluar dari mobil, berdiri di samping Leon dengan ekspresi penuh protes. "Tunggu, aku pikir kita akan ke mansionmu!"
Leon menutup pintu mobil dan berjalan ke arah pintu depan rumah. "Kenapa harus ke mansion? Aku tidak perlu semua orang tahu di mana kau tinggal sekarang."
Elera berusaha mengejar langkahnya. "Tapi—"
Leon berhenti di depan pintu dan berbalik menghadapnya, menatapnya tanpa ekspresi. "Kau bilang rumah sakitmu terlalu jauh dari tempat persembunyianku. Jadi, aku membelikan rumah di pusat kota agar lebih nyaman untukmu. Masalah selesai."
Elera hampir tersedak udara. "Kau… membelikan rumah ini hanya karena aku?"
Leon mengangkat satu alis. "Aku membeli rumah ini karena aku menginginkannya. Fakta bahwa rumah ini juga cocok untukmu hanyalah kebetulan."
Elera mendengus. "Tentu saja."
Dante masih terkekeh di belakang mereka, jelas menikmati interaksi ini. "Kurasa kau harus menerima kenyataan, El. Bos kita sudah mempersiapkan semuanya."
Elera menghela napas panjang, lalu akhirnya masuk ke dalam rumah bersama Leon.
Begitu pintu terbuka, interior rumah yang luas dan modern menyambutnya. Dinding putih bersih berpadu dengan lantai kayu gelap yang mengilap. Ruang tamu luas dengan sofa kulit hitam dan perapian modern yang menyala redup. Dapur terbuka di sudut ruangan, lengkap dengan peralatan dapur mutakhir.
Rumah ini… terasa mahal, tetapi anehnya nyaman.
Elera mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Rumah ini terasa… berbeda dari mansionmu."
Leon melepas jasnya dan menggantungkannya di dekat pintu. "Tentu saja berbeda. Ini bukan rumah keluarga. Ini rumah kita."
Elera menghentikan langkahnya.
"Kau bisa berhenti menyebutnya seperti itu?" katanya kesal.
Leon menyeringai tipis, tetapi tidak menjawab.
Elera mengerang frustrasi, lalu mulai berjalan ke tangga. "Di mana kamarku?"
Leon menyandarkan dirinya ke dapur, melipat tangan di dada. "Lantai atas."
Elera menaiki anak tangga pertama. Tetapi baru saja ia hendak naik lebih jauh, suara Leon kembali terdengar.
"Kamar kita ada di lantai atas."
Langkah Elera langsung terhenti.
Ia berbalik perlahan, menatap Leon dengan ekspresi syok. "Kamar kita?"
Leon tetap santai. "Aku tidak ingat pernah mengatakan bahwa aku menyiapkan dua kamar."
Elera hampir tersedak udara. "Leon! Aku tidak bisa tidur sekamar denganmu!"
Leon berjalan mendekatinya dengan langkah santai, membuat Elera tanpa sadar mundur satu langkah. "Kenapa tidak?"
"Tentu saja tidak! Aku… aku butuh privasi!"
Leon menyandarkan satu tangannya ke pegangan tangga, menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. "Kau mau aku menyiapkan kamar lain untukmu?"
"Ya!" Elera menjawab cepat.
Leon berpura-pura berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Sayangnya, aku tidak tertarik untuk tidur terpisah."
Elera ingin membenturkan kepalanya ke pegangan tangga.
"Aku tidak akan menyentuhmu, kalau itu yang kau takutkan," lanjut Leon, suara rendahnya terdengar lebih serius.
Elera menatapnya dengan curiga. "Kau yakin?"
Leon menyeringai tipis. "**Aku tidak akan melakukan apa pun… kecuali kau yang menginginkannya."
Elera langsung menaiki tangga tanpa menoleh lagi, wajahnya merah padam.
Leon tertawa kecil di belakangnya. "Kamar pertama di kanan," katanya santai.
Elera masuk ke dalam kamar tanpa melihat ke belakang, lalu menutup pintunya dengan keras.
Ia menyandarkan tubuhnya ke pintu, menenangkan jantungnya yang berdetak terlalu cepat.
Sialan.
Kenapa rasanya bahaya yang harus ia waspadai bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam rumah ini?
~~~~~
Sejak hari pertama mereka tinggal bersama, hidup Elera terasa seperti berada di dalam film komedi absurd.
Leon bukan pasangan yang mudah untuk ditoleransi. Dia mendominasi segalanya—mulai dari bagaimana rumah harus diatur, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sampai dengan kebiasaannya yang selalu muncul di saat Elera tidak menginginkannya.
Dan tentu saja, mereka bertengkar setiap hari.
Hari pertama…
“Kenapa kau ada di dapur?!” Elera memandang Leon yang berdiri di depan kompor dengan ekspresi tak percaya.
Leon, tanpa melihatnya, hanya menyesap kopinya dengan santai. "Aku sedang membuat sarapan."
Elera melipat tangan di dada. "Kau tidak bisa memasak."
Leon mengangkat bahu. "Aku bisa belajar."
Beberapa menit kemudian, bau gosong menguar dari wajan.
Elera menatap pemandangan itu dengan rasa kemenangan. "Bagus sekali, Chef Santiago. Kau baru saja membakar sarapan pertama kita."
Leon tetap tidak terganggu. "Tidak semua orang sempurna sejak awal, Dokter."
Elera menghela napas panjang. "Lain kali, biar aku saja yang memasak."
Leon menoleh dengan alis terangkat. "Jadi, kau ingin memasak untukku setiap hari?"
Elera mengerang. "Bukan itu maksudku!"
Leon hanya tersenyum tipis, lalu berjalan melewatinya. "Kedengarannya seperti itu."
Hari ketiga…
Elera baru pulang dari rumah sakit dan mendapati Leon bekerja di ruang tamu dengan kemeja yang digulung hingga siku, dasinya sudah dilepas, dan rambutnya sedikit berantakan.
Astaga.
Dia berbahaya dalam bentuk apa pun, bahkan hanya dalam balutan pakaian kerja.
Tetapi masalahnya bukan itu.
Masalahnya adalah…
"Apa yang terjadi dengan sofa baruku?"
Leon menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada laptopnya. "Aku menggantinya."
Elera menatapnya tak percaya. "Aku hanya pergi selama sepuluh jam, dan kau sudah merombak ruang tamu kita?!"
Leon mengetik beberapa kata di laptopnya sebelum menjawab, tanpa sedikit pun merasa bersalah. "Sofa sebelumnya tidak nyaman."
Elera mengepalkan tangan. "Tapi aku suka sofa itu!"
Leon akhirnya menutup laptopnya dan menatapnya dengan tenang. "Aku membelikan yang lebih baik. Kau bisa mencobanya."
Elera mengerang frustrasi. "Leon, aku tidak bisa terus seperti ini! Aku punya hak untuk memilih perabotanku sendiri!"
Leon bersandar di sofa baru, dengan senyum kecil di wajahnya. "Aku tidak pernah bilang kau tidak boleh memilih. Aku hanya menawarkan sesuatu yang lebih baik."
Elera ingin membanting sesuatu ke arahnya, tetapi dia terlalu lelah setelah bekerja seharian.
Hari kelima…
Elera masuk ke dalam kamar setelah mandi dan mendapati Leon duduk di ranjangnya, membaca dokumen dengan santai.
Elera berhenti di ambang pintu, lalu menyipitkan mata. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Leon melirik ke arahnya sebentar sebelum kembali fokus pada dokumen. "Membaca."
Elera berjalan mendekat. "Di tempat tidurku?"
Leon akhirnya menutup dokumennya, lalu meletakkannya di meja samping ranjang. "Tempat tidur kita."
Elera menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kita harus bicara soal batasan, Leon."
Leon menatapnya dengan santai. "Batasan?"
Elera menyilangkan tangan di dada. "Ya. Kau tidak bisa sembarangan masuk ke kamarku, kau tidak bisa mengatur semua yang ada di rumah ini, dan kau tidak bisa bertingkah seolah kita—"
Leon berdiri dengan santai, menghentikan kata-katanya dengan hanya satu langkah ke arahnya.
"Kita apa, Elera?"
Elera membeku, tubuhnya tegang. "Kita… bukan pasangan sungguhan."
Leon menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Belum."
Hari ketujuh…
Elera duduk di sofa ruang tamu, membaca jurnal medis di tangannya, mencoba mengabaikan Leon yang duduk di sebelahnya.
Tetapi kemudian, Leon menutup laptopnya, lalu menoleh padanya dengan ekspresi serius.
"Kita harus menikah."
Elera hampir menjatuhkan bukunya.
Dia menoleh dengan mata membesar. "APA?!"
Leon tetap tenang. "Menikah. Kau dan aku."
Elera tertawa tanpa humor. "Kau gila."
Leon tidak bergeming. "Aku serius."
Elera meletakkan bukunya, menatapnya dengan ekspresi penuh ketidakpercayaan. "Kau ingin menikah denganku? Setelah seminggu kita tinggal bersama dan hanya bertengkar setiap hari?"
Leon menyandarkan tubuhnya ke sofa, tidak sedikit pun terlihat ragu. "Justru karena kita selalu bertengkar, aku tahu kau tidak akan membuatku bosan."
Elera nyaris melempar sesuatu ke arahnya. "Leon, menikah bukan permainan! Ini bukan tentang kebosanan!"
Leon mengangguk pelan. "Aku tahu."
Elera menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang berantakan. "Kenapa kau ingin menikah denganku?"
Leon menatapnya dengan mata tajam. "Karena ini cara terbaik untuk melindungimu."
Elera tertawa kering. "Jadi, ini hanya soal perlindungan?"
Leon diam sejenak, lalu berkata dengan tenang, "Lebih dari itu."
Elera menelan ludah, merasa sesuatu di dalam dirinya bergejolak. "Kita bahkan tidak saling mencintai, Leon."
Leon menatapnya dalam, ekspresinya tidak terbaca. "Siapa bilang?"
Jantung Elera berdegup kencang. "Apa maksudmu?"
Leon mendekat sedikit, mengurangi jarak di antara mereka. "Apa kau benar-benar tidak merasakan apa pun setiap kali kita bersama?"
Elera terdiam.
Tentu saja dia merasakannya.
Ketegangan itu. Tarikan itu. Perasaan bahwa mereka selalu terhubung dengan cara yang tidak bisa ia jelaskan.
Tetapi dia masih takut.
Leon menyentuh dagunya pelan, membuatnya mendongak. "Aku tidak akan memaksamu menjawab sekarang. Tetapi pikirkan ini, Elera."
Elera hanya bisa menatapnya, masih sulit percaya dengan semua ini.
Leon melepaskan tangannya, lalu berdiri. "Kau punya waktu untuk berpikir. Tapi aku tidak akan menunggu selamanya."
Dengan itu, dia berjalan pergi, meninggalkan Elera yang masih duduk di sofa, hatinya berdebar tak karuan.
Sial.
Apa yang baru saja terjadi?
Pagi itu dimulai dengan sunyi yang berbeda.Rumah keluarga Santiago masih diselimuti kehangatan yang biasa, wangi kopi, suara pelan Alva yang sedang mengatur mainannya, dan dentingan piring dari dapur. Namun di antara semua itu, ada sesuatu yang tak kasatmata menyusup… seperti kabut tipis yang menggantung di udara—nyaris tak terasa, tapi menyiksa bagi mereka yang peka.Elera berdiri di dekat jendela, secangkir teh di tangannya tak berkurang setetes pun. Matanya tak menatap apa pun secara khusus. Tapi pikirannya berputar—tentang Celeste, tentang video yang tampak nyata namun penuh cela, tentang sikap Leon yang semalam terlalu tenang… terlalu ragu.Dan itu cukup untuk melukai. Bukan karena cemburu. Tapi karena keraguan itu datang dari orang yang ia cintai.Leon memasuki ruang tamu, tanpa suara. Seperti biasa, instingnya langsung membaca suasana. Tapi pagi ini… Elera bahkan tidak menoleh.“Sayang…,” katanya perlahan, mendekat.Elera akhirnya menoleh. Senyumnya tipis. Bukan dingin, tapi j
Leon tidak langsung mengejar Elera saat wanita itu meninggalkannya di ruang kerja. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama... ia merasa cemas—bukan karena ancaman dari luar, tapi karena kemungkinan Elera meragukannya.Ia menonton ulang video itu. Berkali-kali.Rekaman pendek, suara Celeste yang lembut namun licik. Dan dirinya sendiri—ia duduk di sana, di ruangan itu, entah karena urusan bisnis atau sesuatu yang lain.Ia mencoba mengingat.Itu pertemuan saat dia masih mencoba menyelamatkan cabang bisnis properti yang terguncang. Celeste menawarkan bantuan. Tapi dia menolaknya. Ia yakin ia menolaknya.Tapi rekaman ini—direkam dari sudut tertentu, diedit, dipotong. Tidak ada lanjutan dari kata-kata Leon setelah itu. Tidak ada penjelasan. Tidak ada keseluruhan konteks.Dan yang paling menyakitkan adalah—Elera tidak bertanya.Dia hanya... diam.Leon mengepalkan tangan. Ia merasa dihukum karena sesuatu yang belum sempat dijelaskan.“Aku akan membuktikannya,” gumamnya, pelan. “Aku akan bua
Rumah sakit sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya, setidaknya bagi Elera. Mungkin hanya karena lelah. Mungkin hanya karena firasat. Tapi ia tak menyangka, wanita yang kini berdiri di ruang tunggunya akan membawa getaran lama yang asing—dingin dan menusuk.“Selamat sore, Dokter Elera,” ucapnya dengan senyum yang sopan namun tidak tulus. “Aku Celeste.”Elera menyipitkan mata. Nama itu asing, tapi tidak sepenuhnya. Seperti pernah terdengar dari desas-desus yang tak pernah ia cari tahu.“Maaf... kita pernah bertemu?” tanya Elera sopan, meski ada tensi halus di suaranya.Celeste tersenyum. “Belum. Tapi aku... cukup mengenal suamimu. Leon Santiago.”Jantung Elera berhenti sepersekian detik.Celeste melangkah pelan ke arahnya. Wajahnya cantik. Auranya elegan. Dan setiap gerak-geriknya seperti dirancang untuk menusuk, tapi dibungkus dalam keanggunan yang menipu.“Kami dulu akan menikah,” katanya datar, namun cukup keras untuk mengguncang dinding ketenangan yang selalu Elera bangun.Elera
Hari itu, rumah sakit sedang sibuk. Elera baru saja keluar dari ruang operasi, melepaskan sarung tangan bedah dengan napas panjang. Ia lelah, tetapi juga tenang—karena tahu Leon dan Alva sedang menunggunya di rumah.Namun saat melangkah keluar, ia menemukan seseorang yang tidak dikenalnya sedang berdiri di koridor utama, dikelilingi beberapa staf yang tampak tidak tenang. Wanita itu tinggi, elegan, dengan senyum percaya diri. Dan pandangannya langsung tertuju padanya.“Dokter Elera?” tanyanya dengan nada tenang tapi tajam.Elera mengangguk. “Saya. Ada yang bisa saya bantu?”Wanita itu melangkah mendekat. Langkahnya ringan, tatapannya menusuk. “Saya... tamu lama. Namaku Celeste.”Sebelum Elera sempat menjawab, Rafael tiba—wajahnya tegang, seperti baru saja melihat hantu. Ia berdiri di samping Elera dengan sikap protektif. “Celeste Moreira.”Elera menoleh cepat. Nama itu... terdengar asing tapi jelas mengguncang orang-orang di sekitarnya.“Dia hampir menjadi istri Tuan Leon Santiago.” s
Pagi hari setelah malam yang tenang itu, mansion terlihat seperti biasanya—dengan cahaya matahari masuk dari kaca jendela besar, suara burung, dan aroma kopi dari dapur. Tapi di ruang kontrol kecil tersembunyi di lantai bawah tanah mansion, layar-layar CCTV menampilkan sesuatu yang membuat dahi Dante berkerut.“Ada pergerakan tak biasa di sektor timur,” ucapnya tegas, menunjuk layar di mana satu kendaraan tak dikenal muncul dua kali dalam seminggu, lalu menghilang sebelum bisa dipastikan identitasnya.Rafael berdiri di belakangnya. “Koordinat pelacakan GPS sudah kami tempelkan ke mobil itu semalam saat tim pengintai menemukan mereka parkir di pom bensin. Kita bisa tarik data lengkap hari ini.”Dante mengangguk. “Dan kita butuh tim diam-diam untuk menyusup ke pelabuhan tua malam ini. Mereka bersembunyi di tempat yang tidak asing.”Rafael hanya menjawab, “Sudah dikirim. Kita mulai dari akar.”~~~Di sisi lain kota, di gudang terlantar dekat pelabuhan, seorang pria bertubuh kurus dengan
Matahari mulai merunduk ke ufuk barat saat mobil keluarga mereka melaju pelan memasuki gerbang mansion. Lampu-lampu taman mulai menyala lembut, menyambut kedatangan Leon, Elera, dan Alva yang tampak sangat antusias menceritakan semua hal yang terjadi hari ini.“Terus… terus, pas temen Alva didorong sama anak lain, Alva langsung bilang, ‘hei jangan gitu, kita harus main baik!’ tapi dia malah dorong Alva balik, Mama!” Alva mencerocos dari kursi belakang, tangannya ikut bergerak seolah sedang menceritakan adegan aksi.Leon melirik ke kaca spion dan tertawa kecil. “Anakku sudah jadi diplomat kecil ya?”“Diplomat dengan sedikit jurus dorongan, mungkin,” gumam Elera sambil mengusap kepala Alva dengan lembut. “Tapi kamu hebat, sayang. Kamu berani membela yang benar.”Saat mereka masuk rumah, suasana terasa hangat dan nyaman seperti biasa. Lampu-lampu gantung menciptakan cahaya keemasan di langit-langit, dan aroma harum dari dapur sudah tercium. Rafael dan beberapa staff sudah bersiap menyamb
Suasana bangsal anak berubah ramai. Tawa dan suara riuh bocah-bocah memenuhi ruangan. Alva berada di tengah-tengah lingkaran anak-anak yang lebih besar darinya. Ia tak terlihat canggung. Justru dengan keberanian polosnya, ia menjadi penengah ketika dua anak mulai beradu argumen soal giliran bermain.“Enggak boleh rebutan gitu! Kalau kamu marah, temen kamu juga jadi sedih,” kata Alva sambil memegang lengan masing-masing anak.Anak-anak itu tampak terkejut—mereka lebih tinggi, lebih besar, tapi tetap menurut. Salah satu mengangguk malu, dan yang lain langsung minta maaf.Leon yang menyaksikan dari kejauhan hanya bisa menahan napas. Matanya tak beralih sedetik pun dari sosok kecil itu. Sekali lagi, Alva menunjukkan bahwa ia dibesarkan dengan prinsip—meskipun tubuhnya mungil, hatinya besar.Namun detik berikutnya, seorang anak laki-laki yang tampaknya sedang kesal mendorong Alva cukup keras hingga bocah itu jatuh terduduk.Leon sontak berdiri, tubuhnya refleks menegang. Sorot matanya beru
Udara pagi itu cerah, dengan langit biru pucat yang bersih dan angin sejuk yang menyapa setiap dedaunan. Di halaman belakang mansion, Alva sedang bermain gelembung sabun bersama Rafael yang, meskipun berpakaian serba hitam seperti biasa, kini lebih terlihat seperti “om favorit” daripada bodyguard yang ditakuti.“Lihat, Om Rafael! Gelembungku sampai ke langit!” seru Alva sambil tertawa, mengejar gelembung-gelembung yang beterbangan.Rafael hanya tersenyum kecil. “Awas jangan sampai jatuh, Komandan.”Sementara itu, dari dalam rumah, Elera memperhatikan mereka dari balik jendela dapur sambil menyuap sesendok yogurt ke mulut. Wajahnya damai, mata masih mengantuk, tapi bibirnya melengkung dalam senyum.“Ini yang namanya hidup,” gumamnya pelan, sebelum Leon melingkarkan lengan dari belakang dan mencium bahunya.“Kamu kelihatan cantik bahkan pas belum cuci muka,” bisik Leon.Elera mendengus tertawa, “Bohongmu pagi-pagi udah aktif ya.”“Bukan bohong, itu afirmasi,” jawab Leon, menarik wajahny
Hujan gerimis turun membasahi halaman depan mansion Santiago, membentuk pola-pola kecil di atas batu alam yang mengilap. Elera duduk di ruang keluarga bersama Alva, membacakan buku cerita sambil bersandar pada sofa empuk, jari-jarinya membelai rambut anak itu lembut. Leon baru saja naik ke lantai atas untuk mengganti pakaian setelah pulang dari rumah sakit cabangnya yang bermasalah.Semua tampak tenang. Terlalu tenang.Lalu…BRAK!Suara keras dari gerbang utama mengguncang seluruh rumah.Elera langsung berdiri, meraih Alva ke dalam pelukannya. Beberapa detik kemudian, Rafael dan dua bodyguard lainnya sudah berlari ke arah sumber suara. Melalui layar monitor di ruang kontrol, terlihat jelas—sebuah mobil tak dikenal dengan pelat nomor palsu menabrak gerbang depan dan berhenti begitu saja.Leon yang mendengar kegaduhan langsung turun, kini sudah berganti pakaian dan memasukkan pistol kecil ke balik pinggangnya. Matanya mencari Elera dan Alva dengan gelisah, dan sedikit lega saat melihat