Perjalanan menuju rumah baru itu tidak berjalan dengan tenang, sama sekali tidak.
Di kursi belakang, Elera duduk dengan tangan terlipat di dada, menatap Leon tajam. Sementara itu, Leon tetap bersikap santai, menanggapi setiap protesnya dengan ekspresi dingin seolah tidak peduli.
Di kursi pengemudi, Dante hanya bisa menahan tawa, menikmati pertengkaran kecil yang terjadi di belakangnya.
"Aku tidak percaya aku harus ikut denganmu!" gerutu Elera, menggerutu untuk kesekian kalinya sejak mereka meninggalkan apartemennya.
Leon tetap tenang, matanya tetap lurus ke depan. "Kau tidak punya pilihan, Dokter."
Elera mendesis. "Oh, aku punya banyak pilihan, kau saja yang tidak memberikannya padaku!"
Leon meliriknya sekilas sebelum kembali menatap jalan. "Kalau begitu, silakan keluar dari mobil ini sekarang juga. Lihat seberapa jauh kau bisa bertahan di luar sana dengan Sergio yang mengincarmu."
Elera terdiam sejenak, tetapi bukan karena ia kalah. Lebih karena ia tahu Leon benar.
Dante menyeringai dari kursi pengemudi, sesekali melirik ke kaca spion. "Sial, aku tidak menyangka akan melihat Leon berdebat seperti pasangan menikah di kursi belakang mobil."
Leon mendengus. "Diam, Dante."
Dante tertawa kecil, tetapi tetap mengemudi dengan santai. "Kau tahu, El, biasanya tidak ada yang berani membantah bos kita sebanyak ini. Kau mungkin wanita pertama yang selamat setelah mendebatnya lebih dari lima menit."
Elera mendelik ke arahnya. "Itu karena aku bukan bawahannya."
Leon menyilangkan tangan di dada, tidak terganggu sama sekali. "Tapi kau juga bukan orang bebas sekarang."
Elera hampir melempar sesuatu ke arahnya kalau saja dia punya sesuatu di tangannya.
Dante kembali terkekeh, jelas sangat menikmati situasi ini. "Aku bersumpah, perjalanan ini lebih menghibur daripada menonton film aksi."
"Kalau begitu, aku harap perjalanan ini segera berakhir," kata Elera datar, lalu menoleh keluar jendela.
Tetapi kemudian, ekspresinya berubah.
"Tunggu… Ini bukan jalan menuju mansionmu," gumamnya, keningnya berkerut.
Leon hanya mengangkat bahu. "Aku tidak pernah bilang kita akan tinggal di sana."
Elera menoleh tajam. "Lalu, kita akan ke mana?"
Leon tidak menjawab.
Beberapa menit kemudian, mobil mereka memasuki area perumahan mewah di pusat kota. Rumah-rumah besar berjajar rapi di kedua sisi jalan, dengan desain modern yang elegan, halaman luas, dan sistem keamanan tingkat tinggi.
Elera semakin bingung.
Dan kebingungannya berubah menjadi keterkejutan total saat Dante menghentikan mobil di depan sebuah rumah modern berdesain minimalis tetapi tetap mewah.
Rumah itu memiliki eksterior kaca besar dengan kombinasi kayu hitam yang mengilap. Terlihat mahal, eksklusif, dan sama sekali bukan mansion mafia di pinggiran kota.
Elera menatap rumah itu dengan mata membesar. "Ini… rumah siapa?"
Leon dengan santai membuka pintu mobilnya dan keluar. "Rumah kita."
Elera membelalak.
"Apa?!"
Dante tertawa kecil, menepuk setir. "Kurasa ini bagian terbaik dari perjalanan ini."
Elera segera keluar dari mobil, berdiri di samping Leon dengan ekspresi penuh protes. "Tunggu, aku pikir kita akan ke mansionmu!"
Leon menutup pintu mobil dan berjalan ke arah pintu depan rumah. "Kenapa harus ke mansion? Aku tidak perlu semua orang tahu di mana kau tinggal sekarang."
Elera berusaha mengejar langkahnya. "Tapi—"
Leon berhenti di depan pintu dan berbalik menghadapnya, menatapnya tanpa ekspresi. "Kau bilang rumah sakitmu terlalu jauh dari tempat persembunyianku. Jadi, aku membelikan rumah di pusat kota agar lebih nyaman untukmu. Masalah selesai."
Elera hampir tersedak udara. "Kau… membelikan rumah ini hanya karena aku?"
Leon mengangkat satu alis. "Aku membeli rumah ini karena aku menginginkannya. Fakta bahwa rumah ini juga cocok untukmu hanyalah kebetulan."
Elera mendengus. "Tentu saja."
Dante masih terkekeh di belakang mereka, jelas menikmati interaksi ini. "Kurasa kau harus menerima kenyataan, El. Bos kita sudah mempersiapkan semuanya."
Elera menghela napas panjang, lalu akhirnya masuk ke dalam rumah bersama Leon.
Begitu pintu terbuka, interior rumah yang luas dan modern menyambutnya. Dinding putih bersih berpadu dengan lantai kayu gelap yang mengilap. Ruang tamu luas dengan sofa kulit hitam dan perapian modern yang menyala redup. Dapur terbuka di sudut ruangan, lengkap dengan peralatan dapur mutakhir.
Rumah ini… terasa mahal, tetapi anehnya nyaman.
Elera mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Rumah ini terasa… berbeda dari mansionmu."
Leon melepas jasnya dan menggantungkannya di dekat pintu. "Tentu saja berbeda. Ini bukan rumah keluarga. Ini rumah kita."
Elera menghentikan langkahnya.
"Kau bisa berhenti menyebutnya seperti itu?" katanya kesal.
Leon menyeringai tipis, tetapi tidak menjawab.
Elera mengerang frustrasi, lalu mulai berjalan ke tangga. "Di mana kamarku?"
Leon menyandarkan dirinya ke dapur, melipat tangan di dada. "Lantai atas."
Elera menaiki anak tangga pertama. Tetapi baru saja ia hendak naik lebih jauh, suara Leon kembali terdengar.
"Kamar kita ada di lantai atas."
Langkah Elera langsung terhenti.
Ia berbalik perlahan, menatap Leon dengan ekspresi syok. "Kamar kita?"
Leon tetap santai. "Aku tidak ingat pernah mengatakan bahwa aku menyiapkan dua kamar."
Elera hampir tersedak udara. "Leon! Aku tidak bisa tidur sekamar denganmu!"
Leon berjalan mendekatinya dengan langkah santai, membuat Elera tanpa sadar mundur satu langkah. "Kenapa tidak?"
"Tentu saja tidak! Aku… aku butuh privasi!"
Leon menyandarkan satu tangannya ke pegangan tangga, menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. "Kau mau aku menyiapkan kamar lain untukmu?"
"Ya!" Elera menjawab cepat.
Leon berpura-pura berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Sayangnya, aku tidak tertarik untuk tidur terpisah."
Elera ingin membenturkan kepalanya ke pegangan tangga.
"Aku tidak akan menyentuhmu, kalau itu yang kau takutkan," lanjut Leon, suara rendahnya terdengar lebih serius.
Elera menatapnya dengan curiga. "Kau yakin?"
Leon menyeringai tipis. "**Aku tidak akan melakukan apa pun… kecuali kau yang menginginkannya."
Elera langsung menaiki tangga tanpa menoleh lagi, wajahnya merah padam.
Leon tertawa kecil di belakangnya. "Kamar pertama di kanan," katanya santai.
Elera masuk ke dalam kamar tanpa melihat ke belakang, lalu menutup pintunya dengan keras.
Ia menyandarkan tubuhnya ke pintu, menenangkan jantungnya yang berdetak terlalu cepat.
Sialan.
Kenapa rasanya bahaya yang harus ia waspadai bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam rumah ini?
~~~~~
Sejak hari pertama mereka tinggal bersama, hidup Elera terasa seperti berada di dalam film komedi absurd.
Leon bukan pasangan yang mudah untuk ditoleransi. Dia mendominasi segalanya—mulai dari bagaimana rumah harus diatur, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sampai dengan kebiasaannya yang selalu muncul di saat Elera tidak menginginkannya.
Dan tentu saja, mereka bertengkar setiap hari.
Hari pertama…
“Kenapa kau ada di dapur?!” Elera memandang Leon yang berdiri di depan kompor dengan ekspresi tak percaya.
Leon, tanpa melihatnya, hanya menyesap kopinya dengan santai. "Aku sedang membuat sarapan."
Elera melipat tangan di dada. "Kau tidak bisa memasak."
Leon mengangkat bahu. "Aku bisa belajar."
Beberapa menit kemudian, bau gosong menguar dari wajan.
Elera menatap pemandangan itu dengan rasa kemenangan. "Bagus sekali, Chef Santiago. Kau baru saja membakar sarapan pertama kita."
Leon tetap tidak terganggu. "Tidak semua orang sempurna sejak awal, Dokter."
Elera menghela napas panjang. "Lain kali, biar aku saja yang memasak."
Leon menoleh dengan alis terangkat. "Jadi, kau ingin memasak untukku setiap hari?"
Elera mengerang. "Bukan itu maksudku!"
Leon hanya tersenyum tipis, lalu berjalan melewatinya. "Kedengarannya seperti itu."
Hari ketiga…
Elera baru pulang dari rumah sakit dan mendapati Leon bekerja di ruang tamu dengan kemeja yang digulung hingga siku, dasinya sudah dilepas, dan rambutnya sedikit berantakan.
Astaga.
Dia berbahaya dalam bentuk apa pun, bahkan hanya dalam balutan pakaian kerja.
Tetapi masalahnya bukan itu.
Masalahnya adalah…
"Apa yang terjadi dengan sofa baruku?"
Leon menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada laptopnya. "Aku menggantinya."
Elera menatapnya tak percaya. "Aku hanya pergi selama sepuluh jam, dan kau sudah merombak ruang tamu kita?!"
Leon mengetik beberapa kata di laptopnya sebelum menjawab, tanpa sedikit pun merasa bersalah. "Sofa sebelumnya tidak nyaman."
Elera mengepalkan tangan. "Tapi aku suka sofa itu!"
Leon akhirnya menutup laptopnya dan menatapnya dengan tenang. "Aku membelikan yang lebih baik. Kau bisa mencobanya."
Elera mengerang frustrasi. "Leon, aku tidak bisa terus seperti ini! Aku punya hak untuk memilih perabotanku sendiri!"
Leon bersandar di sofa baru, dengan senyum kecil di wajahnya. "Aku tidak pernah bilang kau tidak boleh memilih. Aku hanya menawarkan sesuatu yang lebih baik."
Elera ingin membanting sesuatu ke arahnya, tetapi dia terlalu lelah setelah bekerja seharian.
Hari kelima…
Elera masuk ke dalam kamar setelah mandi dan mendapati Leon duduk di ranjangnya, membaca dokumen dengan santai.
Elera berhenti di ambang pintu, lalu menyipitkan mata. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Leon melirik ke arahnya sebentar sebelum kembali fokus pada dokumen. "Membaca."
Elera berjalan mendekat. "Di tempat tidurku?"
Leon akhirnya menutup dokumennya, lalu meletakkannya di meja samping ranjang. "Tempat tidur kita."
Elera menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kita harus bicara soal batasan, Leon."
Leon menatapnya dengan santai. "Batasan?"
Elera menyilangkan tangan di dada. "Ya. Kau tidak bisa sembarangan masuk ke kamarku, kau tidak bisa mengatur semua yang ada di rumah ini, dan kau tidak bisa bertingkah seolah kita—"
Leon berdiri dengan santai, menghentikan kata-katanya dengan hanya satu langkah ke arahnya.
"Kita apa, Elera?"
Elera membeku, tubuhnya tegang. "Kita… bukan pasangan sungguhan."
Leon menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Belum."
Hari ketujuh…
Elera duduk di sofa ruang tamu, membaca jurnal medis di tangannya, mencoba mengabaikan Leon yang duduk di sebelahnya.
Tetapi kemudian, Leon menutup laptopnya, lalu menoleh padanya dengan ekspresi serius.
"Kita harus menikah."
Elera hampir menjatuhkan bukunya.
Dia menoleh dengan mata membesar. "APA?!"
Leon tetap tenang. "Menikah. Kau dan aku."
Elera tertawa tanpa humor. "Kau gila."
Leon tidak bergeming. "Aku serius."
Elera meletakkan bukunya, menatapnya dengan ekspresi penuh ketidakpercayaan. "Kau ingin menikah denganku? Setelah seminggu kita tinggal bersama dan hanya bertengkar setiap hari?"
Leon menyandarkan tubuhnya ke sofa, tidak sedikit pun terlihat ragu. "Justru karena kita selalu bertengkar, aku tahu kau tidak akan membuatku bosan."
Elera nyaris melempar sesuatu ke arahnya. "Leon, menikah bukan permainan! Ini bukan tentang kebosanan!"
Leon mengangguk pelan. "Aku tahu."
Elera menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang berantakan. "Kenapa kau ingin menikah denganku?"
Leon menatapnya dengan mata tajam. "Karena ini cara terbaik untuk melindungimu."
Elera tertawa kering. "Jadi, ini hanya soal perlindungan?"
Leon diam sejenak, lalu berkata dengan tenang, "Lebih dari itu."
Elera menelan ludah, merasa sesuatu di dalam dirinya bergejolak. "Kita bahkan tidak saling mencintai, Leon."
Leon menatapnya dalam, ekspresinya tidak terbaca. "Siapa bilang?"
Jantung Elera berdegup kencang. "Apa maksudmu?"
Leon mendekat sedikit, mengurangi jarak di antara mereka. "Apa kau benar-benar tidak merasakan apa pun setiap kali kita bersama?"
Elera terdiam.
Tentu saja dia merasakannya.
Ketegangan itu. Tarikan itu. Perasaan bahwa mereka selalu terhubung dengan cara yang tidak bisa ia jelaskan.
Tetapi dia masih takut.
Leon menyentuh dagunya pelan, membuatnya mendongak. "Aku tidak akan memaksamu menjawab sekarang. Tetapi pikirkan ini, Elera."
Elera hanya bisa menatapnya, masih sulit percaya dengan semua ini.
Leon melepaskan tangannya, lalu berdiri. "Kau punya waktu untuk berpikir. Tapi aku tidak akan menunggu selamanya."
Dengan itu, dia berjalan pergi, meninggalkan Elera yang masih duduk di sofa, hatinya berdebar tak karuan.
Sial.
Apa yang baru saja terjadi?
Malam itu turun perlahan di atas mansion Santiago. Langit berwarna ungu tua dengan semburat jingga terakhir tergantung di ujung cakrawala. Di salah satu kamar yang tenang, Elera duduk bersandar di headboard tempat tidur, mengenakan daster hangat sambil menyusui salah satu bayi mereka yang mulai mengantuk. Bayi satunya sudah tertidur di ranjang kecil di sebelah tempat tidur mereka, napasnya teratur dan tenang.Pintu kamar terbuka pelan. Leon masuk dengan langkah berat, seakan beban dunia tergantung di pundaknya. Matanya sembab meski ia mencoba menyembunyikannya, rambutnya sedikit acak-acakan, dan ia masih mengenakan kemeja tanpa dikancingkan penuh, seolah bergegas keluar beberapa jam lalu dan tak sempat merapikan diri.Elera menatapnya pelan. “Sayang… sudah pulang?”Leon tidak menjawab. Ia hanya berjalan menuju ranjang, duduk di tepi, dan menunduk—bahunya turun naik menahan napas yang berat.Elera segera memindahkan si kecil yang sudah mengantuk ke boks, lalu meraih Leon. Ia menggengga
Suasana di kamar Kai masih tenang seperti biasanya, hanya ditemani suara detak alat pemantau dan bisikan lembut angin dari jendela yang sedikit terbuka. Tirai bergoyang pelan, menciptakan bayangan samar di dinding, seolah waktu sendiri tengah menanti.Di sisi ranjang, Rachele duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, dagunya bertumpu pada tangan yang disilangkan di atas lutut. Rambutnya diikat asal, jaket medis dilipat rapi di kursi belakangnya. Sudah berapa lama dia duduk di sana? Entahlah. Tapi setiap kali ada waktu luang—dan kadang bahkan saat seharusnya dia tidak punya waktu—Rachele akan kembali ke ruangan ini.Memandangi Kai."Sudah cukup tidur, Dokter Sok Jenius…" gumamnya pelan. “Kalau kau terus begini, aku yang akan jadi gila.”Jari-jarinya menggenggam ringan tangan Kai yang dingin. Rachele menghela napas dan memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir rasa letih dan… takut. Tapi saat ia hampir menarik tangannya kembali, tiba-tiba jari Kai bergerak.Sedikit. Hampir tak kentara
Pagi itu di mansion Santiago, udara terasa lebih tenang. Tidak ada lagi suara tangis yang menyesakkan, tak ada langkah tergesa yang menggema di lorong. Namun di balik ketenangan itu, dua pria yang pernah hampir kehilangan segalanya tengah menyusun langkah balasan.Leon duduk tegak di ruang kendali, mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan kulitnya yang belum sepenuhnya pulih. Meski tubuhnya masih menyimpan bekas luka, sorot matanya kembali tajam—penuh kendali, penuh rencana.Dante berdiri di sebelahnya, dikelilingi layar-layar besar yang menampilkan data, peta digital, rekaman tersembunyi, dan catatan lama yang telah dibongkar kembali. Tangannya lincah mengetik di atas keyboard, sementara matanya menyisir jejak yang tertinggal dari pergerakan Sergio.“Tiga jalur pengiriman terakhir milik mereka sudah kukaji,” ucap Dante tanpa melepaskan pandangan dari layar. “Dua palsu. Tapi yang satu ini—” ia mengetuk titik merah yang berkedip di peta, “—mengarah ke gudang tempat kau ditahan. Jeja
Sudah lebih dari dua minggu sejak mereka kembali ke mansion Santiago.Leon kini pulih hampir sepenuhnya. Bekas luka di tubuhnya masih membekas, tapi jiwanya telah bangkit. Tak ada waktu untuk terbaring lebih lama. Setiap malam ia berdiri di ruang kendali bersama Dante dan Rafael, memeriksa rekaman, melacak jejak, menyusun ulang peta kekuatan, mencari titik kelemahan musuh.“Tak mungkin Sergio bergerak sendiri. Ada jaringan baru di bawah tanah yang kita belum tahu,” gumam Leon saat berdiri di depan papan besar penuh peta dan kabel penghubung antar-foto.Rafael mengangguk. “Kemungkinan mereka menyusup ke salah satu jalur lama yang dulu sempat ditutup ayahmu. Aku akan ke medan. Cek langsung.”Leon mengangguk pelan. “Hati-hati.”Namun tak peduli seberapa dalam dia menyelam ke perang rahasia ini, tak peduli seberapa sering dia mengulang-ulang briefing dan menggeledah dokumen lama...Satu hal tetap mengganggu pikirannya.Kai. Masih belum bangun.Setiap malam, Leon menyempatkan diri masuk ke
Pagi itu langit cerah di atas pangkalan militer yang selama beberapa hari terakhir menjadi saksi perjuangan antara hidup dan mati. Suasana perlahan mulai melunak, ketegangan yang sempat menggantung kini tergantikan oleh kesibukan persiapan kepulangan.Leon duduk di kursi roda, wajahnya lebih segar meski bekas luka masih tampak jelas di sisi pelipis dan lengan. Di sisinya berdiri Dante dan Rafael, sibuk mengatur dokumen dan keamanan untuk perjalanan udara.“Jangan pakai kursi roda,” gerutu Leon pelan, meski tak ada tenaga untuk benar-benar bangkit. “Ini memalukan.”Dante menyeringai. “Coba kau jalan sendiri, baru bisa protes. Dan lagi, kau tetap kelihatan berbahaya meski duduk, percaya saja.”Di sisi lain ruangan, Maya memeriksa berkas medis dan mengangguk pada petugas medis militer yang akan mendampingi mereka selama penerbangan. “Leon bisa terbang. Kondisinya stabil. Hanya butuh perawatan lanjutan di rumah, dan sedikit—banyak—istirahat,” katanya sambil menatap tajam ke arah Leon.Leo
Di dalam ruang operasi yang disinari cahaya putih terang, hiruk pikuk ketegangan berubah menjadi irama sunyi yang teratur.Hanya suara mesin monitor, detak pelan ventilator, dan instruksi-instruksi tajam namun tenang dari dua dokter perempuan terdengar bergema.Maya dan Elera bekerja seperti dua sisi mata pisau.Lincah. Presisi. Tajam dalam pengambilan keputusan.Tubuh Kai terbujur dengan luka terbuka di sisi perutnya, ginjal kirinya sudah sebagian ditambal dan diperkuat. Tapi pembuluh darah halus di sekitarnya masih rapuh—salah sedikit saja, Kai bisa kehilangan fungsi ginjal sepenuhnya.“Ler, aku tahan arteri ini. Fokus pada tambalan jaringan. Jangan sampai bocor sedikit pun,” kata Maya tanpa perlu menatap Elera.Elera mengangguk, tangannya tetap bergerak cepat. “Kau pikir aku lupa siapa gurunya kita berdua?”Maya menyeringai tipis. “Oh, dia akan sangat sombong kalau sadar nanti. Mungkin bilang dia pingsan hanya untuk nguji kemampuan kita.”Elera tertawa kecil, meski wajahnya tetap f