Kai berjalan menyusuri koridor sekolah dengan langkah yang entah kenapa membuat para guru minggir seperti gerakan refleks. Meskipun hari itu dia mengenakan pakaian santai dan tidak membawa pisau bedah, aura "tak bisa diganggu" tetap menempel erat di tubuhnya.Di ruang guru, kepala sekolah dan beberapa guru lain sudah menunggu.“Terima kasih sudah datang, Dokter Kai,” ucap kepala sekolah, sedikit gugup. “Kami… tidak menyangka seorang anak usia TK bisa membuat dua teman sekelasnya menyusup ke kantin lewat jendela gudang logistik.”Kai mengangguk pelan. “Itu memang kelalaian saya.”“Maaf?” Guru lain mengangkat alis.Kai menarik napas. “Alva sering main di rumah saya. Saya memang… mengajarkan beberapa hal. Teknik napas senyap, observasi, strategi pengalihan. Saya tidak menyangka dia akan menerapkannya di lingkungan sipil.”Kepala sekolah menatapnya kosong.“Itu TK,” ucap salah satu guru, pelan.Kai mengangguk. “Ya. Kesalahan saya. Dan saya datang ke sini bukan hanya untuk mengakui itu, ta
Mobil hitam mengilap itu meluncur di jalan pagi dengan iringan musik instrumental khas film aksi. Kai menyetelnya dengan volume rendah, cukup untuk menciptakan suasana dramatis. Di dalam, Alva duduk tegak di kursi penumpang dengan ekspresi super serius.“Paman Kai, apakah ini misi kita hari ini?” tanya Alva dengan suara berat ala agen rahasia.Kai melirik ke arahnya sambil menyesuaikan kaca mata hitamnya. “Betul. Misi: mengantar agen Alva ke markas kecil dengan aman. Tapi ada kemungkinan musuh menyamar sebagai anak TK.”Alva mengangguk mantap. “Aku siap. Aku sudah bawa alat pengalihan perhatian.”“Apa itu?” tanya Kai penasaran.Alva dengan bangga membuka kotak bekalnya dan menunjukkan… permen asam super keras.“Kalau musuh menyerang, aku suruh mereka makan ini. Mereka pasti sibuk nyari air minum dan lupa ngapa-ngapain.”Kai tertawa keras. “Strategi jenius! Layak dapat bintang emas dari intelijen pusat.”“Paman Kai…” Alva menatapnya serius. “Aku juga sudah hafal titik lemah manusia.”K
Rumah itu sunyi ketika mereka tiba. Cahaya lampu malam di lorong memantulkan bayangan lembut di dinding. Pengawal berjaga di sudut-sudut strategis, tapi di dalam rumah, suasananya terasa sangat tenang. Aman. Untuk sementara.Alva sudah tertidur pulas di kamar sebelah, dijaga Maya yang dengan sukarela tinggal malam itu. Elera sempat mengecek Alva sejenak sebelum Leon menggandengnya ke kamar utama.Begitu pintu tertutup, Elera memeluk Leon dari belakang—gerakan yang pelan namun penuh kerinduan. Tangannya membungkus pinggang pria itu, kepalanya bersandar di punggungnya.“Aku kangen kamu,” bisiknya lirih.Leon menoleh setengah. “Aku selalu di sini, Elera.”“Secara fisik, iya,” sahutnya sambil mencubit pelan. “Tapi kamu… akhir-akhir ini sibuk, terlalu dingin, terlalu penuh rahasia. Aku tahu itu bukan salahmu. Tapi malam ini… boleh kita lupakan semuanya sebentar?”Leon berbalik, menatap wanita yang kini tengah mengandung anak mereka. Mata itu… tetap sama seperti dulu—kuat, cerdas, dan penuh
Basement rumah sakit kini sunyi. Bau darah, keringat, dan logam memenuhi udara. Di tengah ruangan, dua pria itu nyaris tak bisa dikenali—tubuh mereka penuh luka, wajah mereka bengkak dan ternoda oleh siksaan bertahap. Tapi mereka masih hidup. Masih bisa merintih. Dan itulah inti dari “penyelesaian” ala Dante.Dante berdiri tegak, sarung tangannya kini berlumur darah. Tangan kanannya memegang pisau kecil yang ia gunakan dengan sangat presisi—bukan untuk membunuh, tapi mencabik sedikit demi sedikit, sambil menjaga mereka tetap sadar."Napasku... sesak..." erang salah satu dari mereka.Kai mendekat, menyuntikkan sesuatu ke dalam pembuluh mereka. "Obat ini memperlambat metabolisme dan memperpanjang rasa sakit. Tapi jangan khawatir. Kau tidak akan pingsan. Kami pastikan kalian sadar sampai akhir.”Leon hanya bersandar pada dinding, menatap penuh diam. “Sudah berapa jam, Dante?”“Empat jam dua puluh tiga menit,” jawab Dante dengan tenang. “Satu dari mereka kehilangan kesadaran tiga kali. Ta
Hari itu masih terasa ringan. Elera tertidur sejenak di ruang perawatan dokter, perutnya dilingkupi kehangatan dari selimut tipis dan bantal kecil untuk menyangga punggung. Maya sedang keluar mencari camilan—katanya, demi memenuhi ngidam baru Elera: martabak manis dengan keju double dan taburan kacang.Namun, di balik suasana tenang itu, bahaya mulai menyusup.Dua pria berjaket putih menyerupai tenaga medis berjalan masuk ke koridor ruang dokter. Gerakan mereka cepat tapi tidak mencolok, masing-masing membawa clipboard, dan salah satunya membawa tray kecil berisi ampul serta suntikan.“Nomor ruangan 212. Pastikan dosisnya cukup untuk membuatnya pingsan 24 jam,” bisik salah satu dari mereka.Pria lainnya mengangguk. “Setelah itu, kita bawa dia lewat pintu teknisi menuju parkiran basement.”Mereka membuka pintu ruangan perlahan—dan menemukan Elera yang tertidur lelap. Salah satu dari mereka mendekat, menyibak lengan Elera perlahan, bersiap menyuntikkan zat bening dari ampul ke dalam inf
Suasana rumah sakit hari itu cukup tenang. Tak ada kasus besar yang masuk, hanya beberapa luka trauma ringan akibat kecelakaan kecil di jalan raya. Elera, dengan seragam putih dan ID card tergantung manis di saku jas dokternya, sedang memeriksa pasien remaja dengan luka robek di dahi.Meski sudah hamil besar, Elera masih suka datang ke rumah sakit. Bukan untuk ikut operasi besar—Leon, Maya, dan semua tim bersatu memveto hal itu—tapi sekadar jadi dokter jaga trauma ringan. Duduk, konsultasi, menenangkan pasien. Dan… ya, menyelinap mengatur hidup orang lain.Seperti hari ini.Begitu selesai memeriksa pasien terakhirnya, Elera berjalan pelan menuju lounge dokter sambil menggandeng infus kecilnya. Dan tepat saat membuka pintu...“RAH-CHE-LE! TUNGGU DULU!”Elera membeku. Maya yang duduk di pojok ruangan dengan secangkir kopi hampir menyemburkannya.“Ya ampun… itu… KAI?” Maya menunjuk ke depan.Elera memicingkan mata.Di depan mereka, berdiri Kai, sang dokter trauma paling galak se-pulau Ja