Suasana hangat pagi itu di penthouse Santiago terasa sangat akrab. Elera, yang tengah duduk santai di ruang tamu bersama Maya dan Kai, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan dengan nada serius tapi penuh canda.“Kalian tahu nggak, aku tiba-tiba ngidam sesuatu yang agak... aneh,” kata Elera sambil tersenyum nakal.Kai, yang sudah seperti kakak kelas dan sahabat dekat Elera dan Maya sejak masa kuliah, mengangkat alis sambil menyeka keringat setelah selesai berolahraga pagi tadi.“Apa tuh, El? Ngidam makan durian lagi?” Maya mendesah, “Kamu itu selalu aja ngidam aneh-aneh.”Elera menggeleng sambil tersenyum misterius, “Bukan makanan, tapi aku pengen... Kai punya pacar.”Maya langsung tertawa terbahak, “Pacar? Kai, dokter pribadi Leon sekaligus senior kita yang galak itu? Siapa berani coba?”Kai sendiri yang sedang bersandar di sofa, tersenyum sinis, “Apa aku ini terkenal galak, ya?”Elera menatap Kai penuh harap, “Iya, galak. Tapi kamu itu keren! Aku cuma mau kamu punya seseorang yang bisa bi
Sore itu, rumah keluarga Santiago terasa hangat dan nyaman. Alva bermain di karpet ruang keluarga, membangun benteng dari bantal sambil berkata bahwa dia akan melindungi “adik kacang” dari segala monster. Sementara itu, Elera bersandar di bahu Leon di sofa, menikmati aroma teh mint yang mengepul di meja.“Kayaknya anak kita bakal jadi pengawal pribadi buat adiknya,” gumam Elera, setengah tertawa, setengah terharu.Leon tersenyum, mengusap rambut Elera dengan lembut. “Dia meniru seseorang yang aku kenal… wanita yang keras kepala tapi selalu melindungi semua orang.”Elera menoleh, menatap wajah Leon yang kini tampak lebih tenang, lebih terbuka. Tidak ada lagi jarak di antara mereka. Semua sudah dijelaskan, semua sudah dibagi.Tapi bahkan dalam keheningan itu… ada perasaan aneh yang mengendap.**Di luar rumah, di balik pagar tinggi dan kamera pengawas tersembunyi, Rafael berdiri di balik mobil dengan tangan menyilang. Beberapa anggota keamanan berdiri tak jauh darinya, menyamar sebagai
Pagi yang seharusnya biasa itu terasa lebih tenang dari biasanya. Leon sedang sibuk di ruang kerja rumah, sementara Alva bermain di ruang tengah dengan tumpukan mainan strategi pemberian Maya. Sementara itu, Elera berdiri di depan lemari kecil di dalam kamar mandi pribadinya, menatap satu kotak kecil di tangannya.Testpack.Benda yang dulu pernah memberinya harapan, lalu menghancurkannya.Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat saat dia membuka satu strip pertama dan menunggu. Satu menit. Dua menit.Dua garis.Tangannya sedikit bergetar. Dia meletakkannya di sisi wastafel, lalu mengambil satu lagi.Tes kedua. Dua garis lagi.Ketiga.Keempat.Sama.Elera terduduk di lantai dingin kamar mandi, menatap keempat testpack itu berbaris seperti pengingat takdir yang datang untuk kedua kalinya. Hatinya terasa penuh, tapi juga rapuh. Ada desir kebahagiaan yang sangat nyata—ia sedang hamil. Tapi di balik itu semua, ada rasa takut yang tak bisa ditepis.Kehilangan dulu… darah yang tiba-tiba muncu
Setelah tawa dan canda bersama Kai, Dante, dan Maya mereda, pagi itu berganti menjadi siang yang lebih tenang. Leon dan Elera akhirnya punya waktu sendiri—tanpa interupsi dari sahabat-sahabat jahil mereka, atau Alva yang sedang sibuk disuapi Maya sambil menyusun puzzle besar di ruang tengah. Leon menggenggam tangan Elera, menuntunnya duduk di sofa panjang di balkon belakang rumah mereka. Angin sejuk mengayun pelan, menebar harum bunga kamboja dari taman. “Elera,” suara Leon terdengar rendah namun tenang. Matanya menatap ke depan, tapi jemarinya terus menggenggam jemari Elera. “Aku ingin menepati janjiku padamu. Untuk tidak menyembunyikan apa pun. Jadi hari ini… aku akan memberitahumu semuanya.” Elera hanya mengangguk pelan, diam namun penuh kesiapan. Hatinya sudah mempersiapkan diri sejak lama. Dia tahu, jika ingin terus bersama Leon Santiago, dia harus cukup kuat untuk menerima kenyataan, seburuk apa pun masa lalu yang mungkin muncul. Leon menarik napas panjang sebelum mulai berc
Rumah keluarga Santiago kembali tenang… di permukaan.Alva sudah mulai kembali ceria, meski bekas lukanya belum sepenuhnya hilang. Maya dan Kai bergantian datang, memastikan bocah kecil itu selalu punya teman. Bahkan Kai sempat bermain catur strategi dengan Alva dan—tentu saja—kalah telak. Lagi.“Anak ini… jenius,” gumam Kai sambil meratap, membuat Maya tergelak dan Alva tertawa penuh kemenangan.Sementara itu, Elera mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Ia kembali ke rumah sakit dengan jadwal padat, menghabiskan waktunya di ruang operasi dan menghindari terlalu banyak interaksi sosial. Luka akibat pengkhianatan Celeste memang perlahan sembuh, tapi belum hilang seluruhnya.Dan Leon… mulai bergerak dalam diam.Leon, di ruang rahasia yang hanya diketahui oleh Rafael, Dante, dan beberapa orang terpilih.Di depannya terpampang papan besar berisi benang-benang koneksi—foto, rekaman, laporan keuangan, bahkan potongan berita lama. Tapi satu wajah yang berada di tengah membuat semua
Hujan mengguyur pelan sore itu, membawa aroma tanah basah ke dalam udara. Rumah keluarga Santiago tampak hangat seperti biasa, penuh tawa Alva dan obrolan ringan Leon dan Elera yang tengah menikmati waktu bersama.Namun jauh dari sana, badai lain mulai terbentuk.Dan untuk pertama kalinya, ancaman itu mengarah ke hal yang paling disucikan oleh Leon dan Elera—Alva.Di halaman sekolah kecil tempat Alva belajar, seorang wanita asing berdiri tak jauh dari gerbang. Matanya tersembunyi di balik kacamata hitam besar, tubuhnya dilindungi oleh coat mahal. Tangannya menggenggam sesuatu di balik mantel itu—sebuah alat kecil, tipis, hampir seperti pengalih sinyal pelacak.“Cukup satu kali, cukup satu celah…” gumam Celeste pelan, matanya tertuju pada bocah kecil yang sedang bermain di lapangan dengan riangnya.Namun sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, sebuah suara berat menghentikannya.“Jangan pikir kami tidak mengawasi setiap langkahmu.”Dante muncul dari balik mobil, langkahnya tenang namun