Bahkan tanpa sadar Adit duduk bersimpuh di depan Sarah yang duduk di kursi kerjanya.Adit yang lebih tinggi dari Sarah, kini lebih sejajar karena ia berdiri dengan bertumpu pada kedua lututnya.Ketika salah satu jemari Adit menyentuh renda pakaian dalam Sarah, dan perlahan tapi pasti seraya memohon dipersilahkan masuk dan bermain di area tersebut, Sarah langsung tersentak. Akal sehatnya kembali memberi sinyal.“Dit ... cukup ...!” pekik Sarah lirih. “Jangan begini ....”“Jangan begini apa?” Adit balik bertanya. Suaranya lebih parau dari pada sebelumnya.Tangannya yang mengusap berhenti sesaat.Mereka berdua saling menatap satu sama lain.“Aku tau, kamu juga menginginkannya kan?” Adit memberanikan diri untuk berterus terang.Kening Sarah berkerut. Seraya mencoba mengartikan apa yang diucapkan Adit. “Kamu salah paham Dit.”“Aku gak salah paham, Sarah ...,” ujar Adit memberanikan diri menyebut nama Sarah tanpa panggilan Tante. “Aku bisa merasakan dari cara kamu menatapku. Aku tau kamu ju
Di sepanjang perjalanan menuju ruang kerja, Adit dan Yuli terlibat dalam percakapan santai, membahas kenangan masa sekolah mereka yang penuh nostalgia.Suara tawa kecil sesekali terdengar di antara percakapan mereka, menandakan bahwa hubungan lama mereka tidak benar-benar hilang, hanya terkubur oleh waktu.Sesampainya di meja kerja Adit, Yuli tersenyum sambil menunjuk kursi di depannya. “Ini tempat kamu, Dit. Mulai sekarang, kamu bakal sering di sini.”Adit tersenyum sambil duduk di kursinya. “Thanks ya, Yul. Aku seneng banget bisa kerja di sini, apalagi ketemu kamu lagi,” katanya tulus.Yuli tertawa pelan, lalu berbalik meninggalkan Adit untuk kembali ke tugasnya. Sementara Adit mulai menyiapkan diri untuk hari pertamanya, Sarah yang kini sudah berada di ruangan kerjanya, masih merasakan perasaan aneh yang muncul seja melihat kedekatan antara Adit dan Yuli. Sesuatu yang ia coba abaikan, tetapi semakin lama semakin sulit untuk dihilangkan.Sarah berdiri di dekat jendela besar berkaca
Keesokan harinya,Adit merasa penuh percaya diri saat tiba di kantor penerbit MIMPI Media. Ia yakin, peluangnya untuk diterima bekerja di sini hampir mencapai 99,9%. Setelah wawancara dan kebersamaannya bersama Sarah kemarin, Adit merasa lamaran kerja ini hanya formalitas belaka. Dia duduk di lobi kantor, menunggu kedatangan Sarah dengan tenang.Tidak jauh dari situ, Sarah baru saja tiba di kantor. Saat matanya tertuju pada Adit yang duduk di lobi, ia merasakan sesuatu yang aneh, sebuah perasaan senang yang tiba-tiba muncul.Meskipun ia tak mengerti mengapa, melihat Adit ada di sini membuatnya tersenyum dalam hati. Biasanya, Sarah cukup tegas dan profesional dalam hal pekerjaan, tetapi hari ini berbeda. Ada sesuatu yang membuat kehadiran Adit terasa lebih bermakna.Saat Sarah berjalan mendekat, Adit yang sudah melihatnya dari kejauhan melambaikan tangan, menyapanya dengan senyum lebar.Namun, Sarah tidak membalas lambaian tangan itu. Ia hanya membalas dengan senyuman tipis, mencoba me
“Kamu kok bisa tahu sih kalau ada ‘apa-apa’ tadi?” jawab Sarah sembari menghembuskan nafas panjang.Meri tertawa kecil. “Ya iyalah! Aku udah kenal kamu dari SMA. Mana bisa kamu sembunyiin sesuatu dari aku? Dua puluh tiga tahun Sis kita bersohiban.Dari jamannya lagu, ‘Persahabatan bagai kepompong, berulat-ulat jadi indah, dinyanyiin sama penyanyi asli, terus sampai sekarang itu lagunya direcover sama anak gen Z, kita masih temenan!”Mereka berdua tertawa kecil bersama.“Terus kalau kita gen apa Mer?”“Gen-netik! Hahaha!” Meri terbahak. “Ih ... mengalihkan pembicaraan deh. Cepetan aku mau dengar kamu ngapain aja tadi? Chek out di mana?”“Pelanin suara mu, Markonah ...!” pekik Sarah sembari menarik tangan Meri lebih dekat. Lalu ia benar-benar menceritakan semuanya pada Meri, dari yang awalnya mau keluar beli buket bunga sama Adit.Lalu si Adit budeg, dari kata Kosan malah denger jadi Yosan. Kemudian mereka akhirnya ke bukit Yosan, kaki terkilir dan akhirnya nyewa villa buat istirahat.
Sederhana saja. Sebuah ajakan yang muncul begitu saja dalam pikiran Sarah. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya saat ia membaca ulang pesannya. Ia terdiam sejenak, mempertimbangkan apakah sebaiknya ia mengirimkan pesan itu atau tidak.Matanya menatap layar ponsel, jarinya menggantung di atas tombol "Send". Namun, tiba-tiba, Sarah berubah pikiran. Ia menghela napas, lalu tanpa banyak berpikir, ia menghapus pesan itu sepenuhnya. Semua kata-kata yang sudah ia ketik lenyap, hilang begitu saja.Setelah pesan itu terhapus, Sarah menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku rok. Ia menggeleng kecil, seolah menertawakan dirinya sendiri.Ada perasaan canggung yang menyelinap masuk, meski ia tak sepenuhnya mengerti kenapa. Mungkin ia merasa tidak pantas mengirim pesan seperti itu. Mungkin ia khawatir terlalu terbuka atau ... mungkin ia takut Adit jadi salah paham dan kegeeran.Sarah berdiri dari kursinya dan melangkah keluar dari ruangan rapat dengan langkah yang sedikit agak ters
Adit berusaha kembali membawa suasana ceria agar Sarah tidak murung dan mengenang kesedihan kala ia masih hidup susah.“Nah, berarti ini momen pas buat nostalgia Tante waktu jaman masih duit pas-pasan kaya aku. Lagian, nggak ada makanan yang ngalahin enaknya nasi campur di warteg langganan aku ini loh!"Tanpa berpikir panjang lagi, Sarah akhirnya setuju. Mereka segera menuju warteg yang dimaksud Adit. Tempatnya kecil, sederhana, namun suasana khas warteg yang ramai langsung menyambut mereka begitu masuk. Bau sedap makanan yang menggoda langsung menguar ke udara.Adit memarkirkan sepeda motornya tepat di depan warteg. Ia disapa oleh sang pemilik. Mereka terlihat sudah mengenal lama.Dengan lincah memesan makanan untuk mereka berdua. “Dua porsi nasi ayam rendang sama sayur nangka, ya, Bu,” katanya kepada pemilik warteg dengan nada santai.Sarah duduk di meja, tersenyum kecil mengamati tingkah Adit yang terlihat begitu nyaman di tempat ini.Suasana nostalgia dari masa-masa kuliahnya mula