Sarah dan Meri sedikit lelah, mereka berjalan ke arah sofa dan duduk santai di sana.
Meri menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan lega, menarik napas panjang setelah menghabiskan waktu di lantai dansa. Sarah, yang duduk di sebelahnya, masih tersenyum, meski peluh kecil terlihat di dahinya.
Ada kesan lega yang terpancar di wajahnya, seakan beban hidup yang selalu menyertainya untuk sesaat lenyap.
"Aku lihat malam ini kamu beda banget," Meri membuka percakapan. Dia melirik Sarah dengan tatapan penuh selidik. "Serius deh, kamu bersinar. Kamu kelihatan lebih bahagia. Mungkin kamu udah lama banget nggak seneng-seneng kayak gini, ya?"
Sarah hanya mengangguk pelan sambil menyeka keringat dari lehernya. "Iya, sih ... mungkin aku emang butuh ini. Kadang aku lupa gimana rasanya bebas kayak gini."
Meri mengeluarkan suara tawa kecil. "Bukan cuma itu, Sarah ... Kamu tahu apa yang bisa bikin hidup kamu lebih berwarna lagi?"
Sarah mengerutkan kening, menatap Meri dengan penuh tanya. "Maksud kamu apa?"
Meri mencondongkan tubuhnya, mendekat ke Sarah seakan hendak membisikkan rahasia besar. "Berondong!"
Sarah tertawa kecil, tak yakin apakah Meri sedang bercanda atau serius. "Berondong? Ya ampun, Mer. Ngaco aja kamu!"
Meri menggeleng-gelengkan kepalanya, tak sedikit pun terganggu oleh tawa Sarah. "Nggak ngaco aku, Sar. Serius, kamu nggak tahu ya? Aku punya penelitian pribadi tentang ini." Dia menegakkan badannya, menekankan kata-katanya.
"Cowok-cowok muda itu beda, Sar. Mereka energik, bikin lo merasa muda lagi. Kamu bakalan bisa lupain masalah kamu. Sebentar aja, nikmatin hidup. Apa salahnya?"
Sarah masih tertawa, meski kini sedikit lebih gugup. "Kamu bercanda aja ...."
“Eh, eh Sarah ... Ada cowok ganteng, kayanya umurnya di bawah kita, ngeliatin kamu dari tadi,” ujar Meri setengah berbisik.
Sarah yang sebelumnya menunduk langsung menegakkan pandangannya. Ia menatap ke arah netra Meri melihat.
Dari banyaknya laki-laki yang datang ke pesta ini, tapi entah kenapa tanpa sadar sepasang mata Sarah hanya menangkap sosok Adit yang berseragam pramusaji dan sejak tadi memegang nampan kosong dan kemudian berisi. Lalu kosong lagi, sambil hilir mudik bersama beberapa rekan kerjanya.
Adit tidak sedang menatapnya. Pemuda itu sibuk dengan pekerjaannya.
“Dia ke sini ...,” bisik Meri sembari menyenggol siku Sarah.
Sarah langsung tersadar dari dunianya sendiri yang sedang mengamati Adit. Ia menoleh, “Hah?”
“Hah, hah ... Itu ... cowok ganteng nyamperin. Keknya dia masih umuran 25 an, Sar ...,” pekik Meri lirih. "Masuk kategori berondong yang aku bilang berusan sama kamu ...!"
“Yang mana?”
“Mangkanya liat!” seru Meri bernada rendah.
“Hai ... boleh aku duduk di sini?” Seorang pria tampan berusia 26 tahunan, berkulit bersih, tinggi dan juga berkemeja rapi langsung mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan.
“Hai ... tentu boleh dong,” jawab Meri.
Meri langsung menyalami. Menyerobot antrian yang sebetulnya arah jabatan tangan pemuda itu terarah pada Sarah.
“Aku, Meri.”
“Jordan.”
“Oh ... Pasti mamanya dulu fansnya Micheal Jordan.” Meri sedikit melucu.
Jordan tertawa renyah. “Dan kamu ... siapa?”
Sarah menyodorkan tangannya. Berjabat tangan. “Sarah.”
Mereka berdua berjabat tangan sedikit lama dengan tatapan dalam dari Jordan.
Meri menatap Jordan dan Sarah bergantian. Lalu ia berinisiatif untuk meninggalkan mereka hanya berdua. Berencana agar Sarah mendapatkan teman kencan malam ini.
Ia merasa Sarah tidak bahagia karena Damar. Jadi sahabatnya itu pantas mendapatkan kebahagiaan malam ini.
Meri melihat kesempatan sempurna dan, tanpa berpamitan, dia diam-diam meninggalkan Sarah dan Jordan berdua.
Niatnya sebetulnya baik, ia ingin malam ini sahabat pantas bersenang-senang dan melupakan tekanan batin untuk sesaat. Meri melangkah menjauh, senyum penuh arti mengembang di wajahnya, berharap Sarah akan terlepas dari beban-beban hidupnya, bahkan jika hanya untuk semalam.
Sementara itu, Jordan mulai mendekatkan diri ke Sarah, duduk lebih dekat di sofa.
Sarah, yang masih dalam suasana hati yang santai dan sedikit terpengaruh alkohol, tersenyum tipis saat Jordan berbicara dengannya.
Mereka mulai bertukar cerita ringan, Jordan memuji kecantikan Sarah dan menawarkan segelas minuman lain, yang Sarah terima tanpa curiga.
"Ah, coba ini, enak banget kok," Jordan menyodorkan gelas penuh minuman beralkohol dengan senyum ramah.
Sarah ragu sejenak, namun akhirnya ia menyesap minuman itu, mencoba menikmati suasana pesta.
Jordan terus menawarkan minuman demi minuman, hingga akhirnya Sarah kebanyakan minum minuman beralkohol dan mulai merasa pusing. Matanya terasa berat, dan kepalanya berputar. Dia mencoba fokus pada percakapan, tapi kata-kata Jordan mulai terdengar kabur.
Di seberang ruangan, Adit yang sedang mengantar minuman mulai tak bisa mengabaikan pemandangan Sarah dan Jordan di sofa sudut.
Ia memperhatikan Jordan yang terus menjejalkan minuman ke tangan Sarah. Ada sesuatu yang tidak beres. Hatinya tiba-tiba berdebar, terutama saat Sarah tampak semakin tak terkendali, tubuhnya goyah, dan gelas-gelas kosong di sekitar mereka menumpuk.
Jordan, dengan tatapan yang berubah dari ramah menjadi lebih intens dan sebelah tangannya merangkul bahu Sarah disisipi usapan lembut menggoda. Wajahnya semakin mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga.
Sarah, yang kini hampir sepenuhnya tak sadarkan diri, hanya bisa mengangguk lemah, tidak sepenuhnya paham dengan apa yang sedang terjadi.
Adit semakin resah. Ia mulai tidak fokus dengan pekerjaannya. Langkahnya terhenti. Mengabaikan tugasnya untuk memperhatikan tamu-tamu agar tetap aman dalam stok makanan, minuman dan camilan.
Ketika dia melihat Jordan mulai berdiri dan membopong Sarah, perasaan was-was semakin menguasainya. Adit melihat Jordan membawa Sarah keluar dari ruang pesta dan menuju tangga menuju lantai atas. Ada kamar-kamar di sana, dan Adit tahu ini tidak benar!
“Sarah ...,” pekiknya lirih. Tatapannya tak beralih dari punggung Sarah. Rasanya ia ingin menarik tangan Jordan yang melingkar di atas pinggul Sarah, merangkulnya mesra.
Adit tahu sepertinya pria yang bersama Sarah berniat tidak baik.
Dengan cepat, Adit meletakkan nampan di dekatnya dan mulai mengikuti mereka. Dia tidak peduli lagi dengan pekerjaannya malam ini. Fokus utamanya hanya menyelamatkan Sarah dari apa pun yang sedang direncanakan Jordan.
Saat sampai di tangga, Adit melihat Jordan yang hampir sampai di atas sambil menggendong Sarah yang semakin tak berdaya. Adit mengepalkan tangan, berlari menaiki tangga tanpa ragu. Di pikirannya hanya satu hal: menghentikan ini sebelum terlambat!
Setelah proses administrasi yang cukup memakan waktu karena tak ada satu pun dari mereka membawa kartu identitas, akhirnya Bela bisa dirawat di UGD Rumah Sakit Harapan Insan. Hardian yang akhirnya menyerahkan KTP-nya untuk jaminan. Adit dan Tigar, masih dalam kondisi bingung dan gelisah, hanya bisa berdiri di luar ruang gawat darurat sambil mengamati dari balik kaca.Paramedis membawa Bela ke dalam ruang perawatan. Perempuan itu masih belum sadarkan diri, dan dokter jaga mulai memeriksa tekanan darah serta memberikan cairan infus."Kita gak bisa lama-lama di sini, Dit," kata Tigar, memecah keheningan. "Besok Hardian pasti kuliah. Kamu juga udah masuk kerja lagi kan, ditambah kuliah malem juga. Aku juga besok pagi harus berangkat kerja juga. Lagian Bela udah ditangani tim medis. Biarkan mereka yang ngurus. Kita titipin aja si Bela sama perawat.”Adit hanya mengangguk. Matanya sembab karena terlalu lama menahan emosi aneh yang ia sendiri tak tau apa itu. Ada rasa bersalah, takut, dan k
Malam terus merambat turun, dan suasana kamar kos Bela seperti membeku. Ketiga pemuda itu berdiri kaku di sekeliling ranjang, menatap tubuh Bela yang masih tak bergerak di balik selimut.Keringat dingin mengalir di pelipis mereka.Bukan karena suhu udara, tapi karena tekanan situasi yang tak biasa ini.Tigar yang sedari tadi lebih banyak diam, akhirnya angkat suara.“Sebetulnya ya … makein baju ke cewek itu bisa dibilang pengalaman paling menyenangkan buat cowok,” ucapnya sambil terkekeh gugup. “Tapi nggak tau kenapa, feeling aku sekarang nggak enak banget. Gak tau kenapa … bukannya seneng atau excited. Tapi ini aku kok malah takut ya ….”Adit melirik Tigar tajam. “Aku juga gak mau, Gar. Bukan karena jijik. Aku nggak bermaksud menghina Bela. Dia cantik kok ... Tapi karena … kalau salah gerak, aku bisa masuk penjara, aku nggak mau dikira pemuda pembegal kehormatan … dan deket-deket dengan Bela ... gak tau kenapa bikin kepala ku pusing. Mual. Apa lagi kalau dia pas sadar terus langsung
“Ada apa sih ini memangnya?”Suara Hardian memecah malam yang semakin mencekam. Ia kini berdiri tegak di ambang teras kosan, tepat di depan pintu kamar Bela yang terbuka lebar.Cahaya dari lampu halaman menyorot sebagian wajahnya, menambah aura tegas dan curiganya.Adit dan Tigar nyaris melompat karena terkejut. Bayangan Hardian dalam siluet seperti ini begitu nampak menyeramkan. Hardian menyipitkan mata. “Kenapa kalian malah ada di kamar Bela? Ini bukan kamar kalian kan?” tanyanya sekali lagi. Nada bicaranya lebih tegas dari pada sebelumnya.Adit baru hendak membuka mulut, tapi Tigar keburu berseru sambil mengangkat kedua tangan, “Aku bukan pelakunya, Hardi! Sumpah, bukan aku! Yang salah itu Adit!” Seraya itu, Tigar menunjuk ke arah sahabatnya sendiri dengan jari telunjuk yang gemetar. “Ini aja aku baru pulang, dan ke kamar kosannya Bela.”Adit langsung menoleh dengan sorot terkejut. “Gar?!” tegurnya. Kesal karena sekarang seolah-olah dia adalah penjahat dalam sebuah kasus kriminal.
Deru motor RX-King tua milik Tigar terdengar mendekat, menghentikan ketegangan dalam kepala Adit untuk sesaat. Suara mesin khas itu seolah menariknya kembali ke dunia nyata dari semua kekacauan barusan.Adit segera bangkit dari sisi tempat tidur Bela. Tubuh Bela masih terbaring lemah, napasnya tipis, tapi masih ada.Langkah Adit cepat menuju pintu. Begitu membuka, dilihatnya Tigar turun dari motornya dengan wajah lelah dan jaket semi kulit lusuh masih menempel di tubuh.“Loh kok lu dari kamar Bela sih?” tanya Tigar, keningnya langsung berkerut curiga. “Ngapain lo di sana? Kenapa juga lampunya gelap semua?”Adit menelan ludah. Keringat dingin masih membasahi tengkuknya. Tatapan mata Tigar saja sudah menghakimi. “Gar, lo ikut gue bentar. Gue harus jelasin semuanya. Tapi sumpah, jangan marah dulu. Gue juga bingung harus gimana.”Tigar mendekat, pandangannya makin serius. “Apa maksudnya sih?” tanyanya waspada. “Ini sebenernya ada apa sih?”Adit meminta Tigar segera melompati dinding pemb
Adit membalikkan badan dan melihat Bela berdiri di hadapannya dalam keadaan tidak wajar. Dia telanjang bulat. Sepasang bukit kembarnya menggantung indah. Pinggangnya langsing. Namun terlalu kurus untuknya. Bela seperti kurang makan, atau seseorang yang memiliki masalah pikiran, tertekan. Kejantanan Adit memang mulai sedikit menegang karena ia adalah laki-laki normal. Beberapa kali Adit berusaha memalingkan muka, tak mau melihat tubuh indah Bela. Baginya, saat ini bukan waktunya mengagumi. Justru ini terasa ganjil. Wajah Bela datar, namun matanya berkilat seperti menyimpan kobaran tak terkendali. “Bela, tolong pakai bajumu kembali … ini nggak bisa begini,” kata Adit panik. Suaranya tercekat, jantungnya berdetak tak karuan. Bukan karena hasrat, tapi karena takut dan ngeri. Ia takut melakukan kesalahan fatal. Bela melangkah maju. “Aku nggak sanggup kehilangan kamu lagi, Arga … Aku nggak peduli kamu bilang bukan Arga, tapi aku tahu ini kamu!” bibir Bela bergetar. “Kita sudah
Suara knalpot motor sport terdengar pelan saat Adit mematikan mesinnya di pelataran kos sederhana itu. Malam itu langit seperti menyimpan sisa mendung. Sama sekali tidak ada bintang yang bertaburan di cakrawala.Ia turun dari motornya, melepaskan helm, dan menghela napas panjang.Langkahnya terasa berat hari ini.Pikirannya masih mengambang pada Sarah.“Apa dia sudah sampai dengan selamat ya di rumah sakit?” gumamnya lirih, berharap tidak terjadi apa-apa pada Sarah. Semuanya sesuai yang direncanakan sebelumnya.Adit semakin dekat melangkah ke pintu kosannya.Tigar belum juga terlihat. Motor RX-King sahabatnya itu tidak terparkir di tempat biasa.Adit merogoh saku, mengeluarkan kunci pintu.Namun baru saja kunci hampir masuk ke lubang, sebuah suara lirih, nyaris seperti bisikan membelah kesunyian dari kamar kos sebelah."Tolong …”Adit spontan menoleh. Itu suara dari kamar Bela. Tidak terlalu keras, tapi cukup membuat bulu kuduknya meremang.Tanpa pikir panjang, Adit melangkah cepat ke