Adit mulai mengepalkan tangan, urat di pelipisnya menegang. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. Sarah yang berdiri di sebelahnya langsung mengusap lengan Adit pelan, lalu menariknya sedikit mundur.“Dit …,” bisiknya dengan nada menahan. “Udah. Jangan di sini. Aku nggak mau ada ribut-ribut di rumah. Takut Hardian dengar.”Adit menoleh sebentar, matanya masih menyala penuh emosi, tapi ia menangkap kekhawatiran di wajah Sarah. Ada ketegangan yang berat di ruangan itu, seperti udara yang dipenuhi listrik sebelum badai. Sarah terus menatapnya, seolah memohon agar ia tak meledak di depan Damar.“Kamu kan harus kerja,” lanjut Sarah dengan nada tegas tapi halus. “Jam satu harus sampai kantor, kan?”Adit menghela napas panjang, berusaha meredakan bara yang hampir menyala. “Iya,” jawabnya singkat.Ia melirik Damar sekali lagi. Tatapan itu dingin, penuh sindiran tak terucap. “Aku pamit, Tante,” ucapnya pada Sarah, lalu melangkah pergi. Namun sebelum melewati ambang pintu, Adit menoleh sekilas
Adit melirik jam di tangannya, lalu menarik napas panjang. “Aku harus kerja dulu.”Sarah menoleh cepat. “Hah? Aku pikir kamu izin kerja hari ini.”Adit menggeleng. “Nggak bisa sering-sering ambil cuti. Yuli sepertinya punya dendam pribadi sama aku. Kemarin waktu aku bilang mau jemput Hardian yang baru keluar rumah sakit, dia malah bilang, ‘Memang nggak ada kerabat lain sampai kamu harus izin kerja?’”Nada berbicara Adit terdengar jengkel. Matanya memantulkan sisa emosi yang masih menggumpal.“Tapi ini udah siang, Dit,” sahut Sarah tak kalah heran.“Aku memang nggak dikasih izin nggak masuk kerja, tapi dikasih izin datang terlambat. Jadi yang penting jam satu siang ini aku sampai kantor.”Sarah mengerutkan kening. “Yuli yang ngomong begitu?”“Bukan,” jawab Adit sambil menghela napas. “Bukan Yuli yang bilang dan ngizinin aku ikut jemput Hardian asal datang kerja jam satu. Yang ngomong gitu Pak Indra.”Sarah membelalak. “Indra? Kamu langsung nemuin dan minta izin sama Indra?”Adit mengge
Ponsel Bela kembali bergetar pelan. Getaran halus itu memecah keheningan yang menyelimuti ruang makan. Bela buru-buru melihat layar dan membaca nama di sana."Hardian lagi," gumamnya pelan, sedikit canggung.Sarah dan Adit saling melirik. Ketegangan yang tadi membuncah perlahan mulai turun, tapi masih menggantung di udara."Mungkin dia butuh bantuan," kata Sarah lembut. "Coba kamu cek. Siapa tahu dia mau pindah dari tempat tidur ke kursi roda atau ke kamar mandi."Adit mengangguk setuju. "Iya, Bel. Untuk sekarang kamu fokus dulu ke Hardian, ya? Kamu ke sini kan kerja."Bela menghela napas pendek dan mengangguk. “Iya … aku akan ke atas,” ucapnya sambil membawa ponselnya, lalu berbalik menuju tangga.Langkah-langkah Bela terdengar menaiki anak tangga satu demi satu. Ketika bayangannya menghilang di lantai atas, Adit menoleh ke arah Sarah yang masih berdiri menghadap ke jendela. Ia mendekat perlahan dari belakang. Tanpa suara, kedua lengannya melingkari pinggang Sarah, lalu mengecup bahu
Ponsel Bela berdering pelan. Ia buru-buru mengeluarkannya dari saku celana dan melihat layar. Membaca nama yang tertera di sana."Hardi," gumamnya. Ia menoleh ke arah Sarah dan Adit. "Maaf, aku ke kamar Hardian sebentar ya. Dia minta dibawakan kue dan minum."Sarah mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, bawa sekalian jus di kulkas ya."Bela segera beranjak, meninggalkan Adit dan Sarah berdua di meja makan besar. Suasana menjadi senyap. Hanya terdengar suara detik jam dinding dan deru lembut AC yang menggantung di pojok ruangan.Sarah menatap Adit yang masih menunduk, kedua tangannya saling menggenggam di atas meja."Tadi kalian ngobrol soal apa?" tanyanya pelan. Suaranya tak mengintimidasi, justru terdengar lembut dan sayu.Adit sempat ragu menjawab. Ia menatap wajah Sarah sebentar, lalu kembali menunduk. Ada pergolakan di dalam dirinya. Antara ketakutan untuk mengungkapkan, dan rasa bersalah karena menyembunyikan sesuatu.Tatapan Sarah yang teduh, meski tampak menyimpan luka tapi t
Suara khas pria terdengar dari seberang. Hardian mengerutkan dahi, napasnya memburu pelan."Hardian, ini Om Darius."Tubuhnya sontak menegang. Rasa kantuk seketika lenyap, digantikan oleh semburat panas di kepala."Apa-apaan meneleponku, Om?" Suaranya meninggi. "Dari mana tahu nomor aku?""Dari Papamu," jawab Darius dengan nada netral, tapi pelan. “Kenapa kamu marah?”“Aku nggak suka sama Om. Harusnya Om paham kenapa aku nggak suka,” jelas Hardian tanpa basa basi. “Dari mana sih, tau nomer aku ini?” lanjutnya bertanya lagi."Aku minta ke Damar karena ... aku peduli. Aku juga keluarga sekarang. Tadinya aku cuman ingin tau keadaan kamu … Apa kamu sudah lebih baik dan pulih dari pada sebelumnya.”"Keluarga?" Hardian tertawa pahit. "Om jangan ngaco. Aku nggak pernah anggap orang kayak Om itu keluarga!""Hardian ....""Aku jijik! Jijik banget!" seru Hardian. "Kalau pun Papa selingkuh, aku lebih rela dia selingkuh sama perempuan, bukan ... bukan sama laki-laki kayak Om!"Sunyi di seberang.
Semua orang mengantarkan Hardian ke kamarnya. Suasana mendadak hening, hanya suara roda kursi yang bergesekan dengan lantai marmer yang terdengar. Sarah membuka pintu kamar, dan Damar dengan hati-hati mendorong kursi roda Hardian ke dalam.“Aku pengin tidur lagi,” ucap Hardian pelan setelah mereka selesai membantu memindahkannya ke tempat tidur.Sarah mengusap lembut kepala putranya. “Iya, sayang. Istirahat aja dulu. Mama keluar, ya.”Satu per satu mereka keluar dari kamar, meninggalkan Hardian untuk beristirahat. Bela adalah yang terakhir. Ia mendekat ke sisi tempat tidur dan menatap Hardian dengan tatapan tenang.“Aku udah kirim nomer hapeku, kan?” bisiknya. “Karena sekarang aku adalah asisten pribadi kamu, jadi kalau ada apa-apa atau kamu pengin sesuatu, telepon aku aja. Aku ada di kamarku.”Hardian mengangguk pelan. “Iya, makasih.”Bela pun beranjak pergi dan menutup pintu kamar dengan lembut. Ia berjalan menuju dapur, lalu duduk di meja makan kecil di dekat rak piring, bersama Mb