Sarah menatap Adit lama, lalu menghembuskan napas yang terasa berat seperti menurunkan batu besar dari dadanya. “Aku siap, Dit,” ucapnya akhirnya, suaranya mantap. “Siap semuanya. Siap konsekuensinya.”Begitu kata itu terucap, sesuatu di dalam dirinya seperti terkunci. Tidak ada lagi jalan untuk mundur. Ia mendorong pintu mobil, turun ke trotoar yang dingin oleh embun malam.Adit segera menyusul, langkahnya cepat. Dari belakang, Jesica dan Tigar keluar, saling bertukar pandang singkat sebelum mengiringi Sarah. Gedung kantor polisi berdiri di hadapan mereka, lampu neon di atas pintu memantulkan cahaya pucat di wajah-wajah tegang itu.Mereka berempat masuk. Lobi kantor polisi terasa lebih sunyi dibandingkan tadi, hanya ada suara kipas angin berdecit di sudut ruangan. Aroma kopi instan bercampur bau kertas yang menguning memenuhi udara.Sarah memimpin langkah, mencari bilik aduan yang berada di sisi kiri. Di luar bilik, ada papan tulis putih dengan daftar nama petugas piket dan jam ja
Darius menurunkan ponselnya pelan. Ia masih bisa merasakan nada suara Hardian yang ketus tadi, seperti sisa panas dari air yang baru saja mendidih.Tadinya ia hanya ingin terlihat manis di mata Damar. Memberi kesan kalau ia peduli pada anak pacarnya, mencoba merangkul putranya agar posisinya semakin kuat.Namun telepon singkat itu justru meninggalkan rasa pahit di lidah. Hardian, dengan cara bicaranya yang seenaknya, sama sekali tidak menunjukkan rasa hormat. Seolah Darius hanyalah orang asing yang tidak pantas ada di hidupnya. Bahkan terdengar dia jijik."Apa anak itu pikir aku ini siapa? Anak yang benar-benar kurang ajar," gumamnya, suara rendah tapi sarat amarah. Ia berdiri, menatap pantulan dirinya di cermin kamar apartemennya. Tatapannya berubah menjadi garis lurus dingin, tanpa senyum. "Kalau Damar terlalu sibuk memperhatikan dan membela anak itu, hubungan aku dan Damar nggak akan pernah benar-benar tenang."Ia mengepalkan tangan, membayangkan semua momen di mana Damar lebih
Adit mulai mengepalkan tangan, urat di pelipisnya menegang. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. Sarah yang berdiri di sebelahnya langsung mengusap lengan Adit pelan, lalu menariknya sedikit mundur.“Dit …,” bisiknya dengan nada menahan. “Udah. Jangan di sini. Aku nggak mau ada ribut-ribut di rumah. Takut Hardian dengar.”Adit menoleh sebentar, matanya masih menyala penuh emosi, tapi ia menangkap kekhawatiran di wajah Sarah. Ada ketegangan yang berat di ruangan itu, seperti udara yang dipenuhi listrik sebelum badai. Sarah terus menatapnya, seolah memohon agar ia tak meledak di depan Damar.“Kamu kan harus kerja,” lanjut Sarah dengan nada tegas tapi halus. “Jam satu harus sampai kantor, kan?”Adit menghela napas panjang, berusaha meredakan bara yang hampir menyala. “Iya,” jawabnya singkat.Ia melirik Damar sekali lagi. Tatapan itu dingin, penuh sindiran tak terucap. “Aku pamit, Tante,” ucapnya pada Sarah, lalu melangkah pergi. Namun sebelum melewati ambang pintu, Adit menoleh sekilas
Adit melirik jam di tangannya, lalu menarik napas panjang. “Aku harus kerja dulu.”Sarah menoleh cepat. “Hah? Aku pikir kamu izin kerja hari ini.”Adit menggeleng. “Nggak bisa sering-sering ambil cuti. Yuli sepertinya punya dendam pribadi sama aku. Kemarin waktu aku bilang mau jemput Hardian yang baru keluar rumah sakit, dia malah bilang, ‘Memang nggak ada kerabat lain sampai kamu harus izin kerja?’”Nada berbicara Adit terdengar jengkel. Matanya memantulkan sisa emosi yang masih menggumpal.“Tapi ini udah siang, Dit,” sahut Sarah tak kalah heran.“Aku memang nggak dikasih izin nggak masuk kerja, tapi dikasih izin datang terlambat. Jadi yang penting jam satu siang ini aku sampai kantor.”Sarah mengerutkan kening. “Yuli yang ngomong begitu?”“Bukan,” jawab Adit sambil menghela napas. “Bukan Yuli yang bilang dan ngizinin aku ikut jemput Hardian asal datang kerja jam satu. Yang ngomong gitu Pak Indra.”Sarah membelalak. “Indra? Kamu langsung nemuin dan minta izin sama Indra?”Adit mengge
Ponsel Bela kembali bergetar pelan. Getaran halus itu memecah keheningan yang menyelimuti ruang makan. Bela buru-buru melihat layar dan membaca nama di sana."Hardian lagi," gumamnya pelan, sedikit canggung.Sarah dan Adit saling melirik. Ketegangan yang tadi membuncah perlahan mulai turun, tapi masih menggantung di udara."Mungkin dia butuh bantuan," kata Sarah lembut. "Coba kamu cek. Siapa tahu dia mau pindah dari tempat tidur ke kursi roda atau ke kamar mandi."Adit mengangguk setuju. "Iya, Bel. Untuk sekarang kamu fokus dulu ke Hardian, ya? Kamu ke sini kan kerja."Bela menghela napas pendek dan mengangguk. “Iya … aku akan ke atas,” ucapnya sambil membawa ponselnya, lalu berbalik menuju tangga.Langkah-langkah Bela terdengar menaiki anak tangga satu demi satu. Ketika bayangannya menghilang di lantai atas, Adit menoleh ke arah Sarah yang masih berdiri menghadap ke jendela. Ia mendekat perlahan dari belakang. Tanpa suara, kedua lengannya melingkari pinggang Sarah, lalu mengecup bahu
Ponsel Bela berdering pelan. Ia buru-buru mengeluarkannya dari saku celana dan melihat layar. Membaca nama yang tertera di sana."Hardi," gumamnya. Ia menoleh ke arah Sarah dan Adit. "Maaf, aku ke kamar Hardian sebentar ya. Dia minta dibawakan kue dan minum."Sarah mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, bawa sekalian jus di kulkas ya."Bela segera beranjak, meninggalkan Adit dan Sarah berdua di meja makan besar. Suasana menjadi senyap. Hanya terdengar suara detik jam dinding dan deru lembut AC yang menggantung di pojok ruangan.Sarah menatap Adit yang masih menunduk, kedua tangannya saling menggenggam di atas meja."Tadi kalian ngobrol soal apa?" tanyanya pelan. Suaranya tak mengintimidasi, justru terdengar lembut dan sayu.Adit sempat ragu menjawab. Ia menatap wajah Sarah sebentar, lalu kembali menunduk. Ada pergolakan di dalam dirinya. Antara ketakutan untuk mengungkapkan, dan rasa bersalah karena menyembunyikan sesuatu.Tatapan Sarah yang teduh, meski tampak menyimpan luka tapi t