Sarah sudah dikawal pulang oleh Bripda Barjo dan Adit duduk di kursi sambil menunduk.Indra berbicara dengan nada rendah, membahas strategi dengan Arif. “Kalau benar Surya udah main ke kubu Damar, berarti kita harus siapin backup plan. Aku bisa gerakin beberapa orang dari dalam perusahaan buat bantu penyelidikan.”Arif mengangguk. “Kita harus hati-hati. Damar punya uang dan orang. Tapi dia nggak punya kesetiaan. Itu kelemahannya.”Adit menatap keduanya bergantian. “Aku pengen bantu juga.”Arif tersenyum tipis. “Kamu bantu dengan tetap hidup, Dit. Itu udah cukup besar.”“Aku serius, Pak. Izinkan aku ikut membantu. Lagi pula, menghancurkan Damar adalah impianku,” kata Adit dengan sorot mata penuh dendam.Mereka terdiam beberapa detik sebelum terdengar ketukan di pintu. Tok. Tok. Tok.“Masuk,” ujar Arif.Ahmad masuk lebih dulu, memberi hormat. “Izin masuk, Komandan.”Arif menatapnya sejenak. “Mana Surya?”“Masih di belakang saya, Komandan.”Tak lama, Surya masuk. Wajahnya tenang, tapi t
Arif melirik jam tangannya, lalu mengeluarkan ponsel. “Aku panggil anak buahku buat ngawal kamu pulang, Bu Sarah,” katanya datar. “Kita nggak tahu siapa aja orang Damar yang masih berkeliaran di sekitar sini.”Sarah langsung menggeleng. “Aku nggak mau pulang dulu. Aku mau nunggu Adit.”Adit menoleh padanya, suaranya lembut tapi tegas. “Kamu harus pulang, Sarah. Aku nggak apa-apa, beneran.”“Tapi—”Adit menyentuh tangan Sarah, senyumnya menenangkan. “Aku aman sama mereka. Kamu percaya kan sama Arif? Lebih baik kamu pulang dan tunggu di rumah bersama Hardian dan Bela. Kamu perlu istirahat.""Kalau kamu gimana? Kamu juga keliatan letih. Malah muka kamu makin banyak memar gitu ....?"Adit tersenyum tipis dan mengusap lembut pipi Sarah. "Aku baik-baik aja Sarah ... Udah aku bilang kan, jangan khawatirkan aku. Memang kamu nggak percaya sama aku?"Sarah terdiam, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Percaya. Tapi tetap aja aku khawatir.”Indra menatap keduanya bergantian, lalu menepuk bahu Adit.
Ketukan di pintu itu terdengar lagi — dua kali, cepat, seperti peringatan.Sarah langsung menjauh, matanya membulat panik. Adit juga refleks melepas genggamannya, nafas mereka masih saling bersentuhan di udara yang kini terasa jauh lebih panas daripada sebelumnya.“Ya Tuhan …,” bisik Sarah sambil buru-buru merapikan rambutnya yang acak-acakan. Ia menarik nafas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang seperti gendang perang.Adit ikut menarik kerah bajunya, berusaha menutupi noda lipstik samar di bawah rahangnya.Belum sempat mereka berkata apa-apa, pintu terbuka perlahan. “Sarah,” suara berat itu terdengar duluan, sebelum sosok Indra muncul bersama Arif Pratama.Keduanya berdiri di ambang pintu, pandangan Arif cepat menyapu keadaan ruangan. Sementara Indra menatap Adit dan Sarah bergantian dengan tatapan sulit dijelaskan — antara lega dan canggung.Sarah segera berdiri tegak. “Hai …,” ucapnya cepat, berusaha menutupi kegugupan. “Ada apa? Kok masuknya tiba-tiba?”Indra menghel
Hujan baru saja reda, tapi udara di ruang khusus itu masih menyimpan dingin. Suara tetesan air di luar jendela terdengar samar, bersahut dengan detak jam di dinding. Lampu neon di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke wajah Adit yang tampak lebih pucat dari terakhir kali Sarah melihatnya.“Aku hampir nggak percaya kamu benar-benar di sini,” ucap Sarah pelan. Suaranya bergetar, seperti menahan sesuatu yang sudah terlalu lama ditahan.Adit tersenyum tipis. “Aku juga nggak yakin ini nyata,” jawabnya lirih. “Setiap malam aku cuma bisa bayangin kamu datang … dan sekarang kamu beneran datang. Aku pikir, setelah aku keluar dari sel dan menjadi tahanan Kota sementara, aku nggak akan kembali ke sini lagi. Tapi nyatanya ….”Sarah melangkah mendekat, pelan-pelan, seolah takut kalau gerakan terlalu cepat akan membuat Adit lenyap. Bau antiseptik dan lembap ruangan itu seketika kalah oleh aroma samar parfum Sarah yang menenangkan.Ia berhenti hanya beberapa langkah di depan Adit, menatap waja
Suara dering telepon memecah kesunyian ruang kerja Damar yang remang. Jarum jam dinding menunjukkan nyaris pagi hari. Di luar, hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang menyengat. Damar duduk di kursi kulit hitamnya, masih mengenakan kemeja yang belum sempat dibuka kancing atasnya. Matanya tajam menatap layar ponsel yang terus bergetar. Nama yang muncul di sana membuat rahangnya mengeras — Sambo.Ia menarik napas panjang sebelum menekan tombol hijau. “Sudah selesai?” suaranya rendah tapi menusuk. Di seberang sana, Sambo tidak langsung menjawab. Hanya terdengar helaan napas berat dan suara gesekan korek api.“Jawab, Sambo. Adit sudah dihabisi atau belum?” tanya Damar lebih tegas, suaranya naik setingkat.Hening beberapa detik. Sambo akhirnya berkata pelan, “Belum.” Damar menegakkan tubuh, matanya langsung membulat. “Belum? Maksudmu apa belum?” “Rencana tadi gagal.”“GAGAL?!” Damar membentak, suaranya menggelegar di ruangan. Ia bangkit berdiri, menepis gelas kop
Ruang kerja Kompol Sambo dipenuhi asap rokok yang menebal. Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari, tapi matanya masih tajam, menatap layar monitor CCTV di depannya. Ada lima tampilan kamera yang menunjukkan berbagai sudut lapas sektor barat. Salah satunya menampilkan sel tempat Adit sempat ditahan.Pintu ruangan terbuka cepat. Seorang pria berseragam masuk dengan langkah tergesa. “Izin melapor, Komandan!”Sambo menoleh tajam. “Cepat bicara. Ada apa?”“Barusan saya dapat laporan langsung dari lapas, Komandan. Ada pejabat dari pusat datang malam ini. Pangkatnya AKBP. Namanya Arif Pratama.”Nama itu membuat Sambo langsung menegakkan tubuh. “Arif Pratama?” suaranya rendah, tapi bergetar menahan marah. “Apa katanya dia datang di dini hari hanya buat inspeksi biasa?”“Tidak, Komandan,” jawab anak buahnya cepat. “Beliau langsung menuju ke ruang sel di mana tahanan bernama Adit ditempatkan. Katanya, dia memarahi sipir karena lalai hingga terjadi perkelahian antar napi.”Sambo mengerutka