Apa Adit akan sekarat karena dihajar Hardian? Dan apakah Sarah akan marah ketika tahu Adit sudah memberitahu Hardian tentang penyimpangan Damar? Dan mungkin juga hubungan Sarah dan Adit bisa jadi kandas karena semua ini ...? Jangan ketinggalan baca kelanjutan selengkapnya kisah ini pada bab-bab selanjutnya ^^
Sepulang kerja, Adit segera menelepon Tigar, rekannya yang bersedia mengantarnya ke rumah Jessica.Di dalam mobil Tigar, pikiran Adit tak henti berkecamuk. Seharian ia mencoba menghubungi Sarah, namun panggilannya tak diangkat, dan pesan-pesan yang ia kirimkan hanya dibaca tanpa balasan.Rasa cemas terus menghantui, seolah-olah kesalahan yang ia buat semalam telah memburukkan semuanya."Lo yakin, Dit, mau ke rumah Jessica? Gimana kalau Sarah bener-bener marah sama lo?" tanya Tigar, sambil melirik Adit dengan cemas."Jessica satu-satunya harapan gue buat ngomong sama Sarah," Adit berujar pelan. "Gue harus jelasin semuanya. Kayanya Sarah marah karena Hardian tahu tentang kita dan juga aku ngasih tahu Papanya itu seorang gay. Gue nggak bisa biarin ini berlalu gitu aja, Tig. Gue juga khawatir dengan keadaan Sarah. Dia mungkin saja juga sakit, karena hari ini nggak masuk kerja.”Tigar menyimak cerita Adit sembari tetap fokus netranya memandangi jalan di depannya.Setelah beberapa waktu men
Pagi itu, suasana di kantor masih sibuk seperti biasa, tapi ada yang berbeda pada Adit. Dia masuk dengan wajah sedikit lebam di pipi kiri, membuat beberapa pegawai yang melihatnya bertukar pandang heran.Adit berusaha menyembunyikan bekas pukulan itu, tetapi upayanya sia-sia. Lebam yang tampak jelas di wajahnya tak bisa disembunyikan, dan tatapan orang-orang yang memperhatikan jelas menimbulkan rasa canggung.Yuli dan Erni, yang meja kerjanya bersebelahan dengan Adit, memandangnya dengan ekspresi khawatir.“Kamu kenapa, Dit?” Yuli langsung bertanya dengan nada penasaran namun prihatin. “Kok lebam begitu?”Adit memasang senyum canggung, berusaha terlihat tenang. “Oh, ini? Nggak kok. Tadi malam aku jatuh dari motor,” jawabnya singkat sambil memaksakan senyum.Erni punya sifat mudah percaya, mengangguk sambil tersenyum penuh simpati. “Hati-hati dong, Dit. Kamu suka kebut-kebutan sih kalau naik motor. Makanya bisa jatuh.”Adit tertawa kecil agar cerita yang ia buat-buat itu terdengar meya
Damar menggeleng pelan, air mata mulai membasahi pipinya. “Aku nggak pernah berpura-pura, Sarah. Aku menyayangimu ... aku mencintaimu. Dari dulu ... dan bahkan sampai sekarang, aku tetap mencintaimu. Tapi perasaan itu ... perasaan yang lain, aku nggak bisa mengendalikannya. Aku sendiri bingung. Aku nggak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku itu memang nggak normal. Mungkin kamu pasti menganggapku manusia aneh ...."Sarah tertawa kecil di antara tangisnya, suara yang dipenuhi dengan kepahitan. “Kamu nggak tahu bagaimana ini bisa terjadi?” ulangnya. “Rasanya enggak mungkin! Damar, kamu menikahiku agar terlihat seperti orang normal pada umumnya kan?! Aku dijadikan alat untuk menutupi penyimpanganmu, tanpa kamu sendiri peduli bagaimana jadi aku yang selalu kamu abaikan ... jadi aku yang selalu merasa menjadi istri yang selalu merasa nggak pernah menarik di mata suaminya!”“Aku gak pernak abai atau cuek ya sama kamu! Aku berusaha selalu ada untuk kamu dan Hardian,” sahut Damar membela diri.
Damar berdiri diam, tubuhnya sedikit gemetar saat pertanyaan Hardian terus menggantung di udara. Hujan yang terus mengguyur di luar hanya memperkuat suasana tegang di dalam rumah. Hardian, masih berdiri basah kuyup dengan napas terengah-engah, menanti jawaban yang tak kunjung datang dari mulut ayahnya.Damar menelan ludah, kemudian menarik napas panjang. Suaranya serak ketika dia akhirnya berbicara. "Hardian, kamu basah kuyup. Ganti baju dulu, Nak. Mandi dan ganti pakaian yang kering. Nanti kita bicara."Hardian menatap ayahnya dengan tatapan penuh amarah. “Aku gak peduli soal itu sekarang!” serunya dengan nada tajam. “Aku cuma mau tahu yang sebenarnya!”Damar tetap tenang meski wajahnya tampak lelah. Dia berjalan pelan mendekati Hardian. "Dengar, Nak, kita akan bicarakan semua ini. Tapi sekarang kamu butuh mandi, ganti pakaian yang kering. Kamu gak akan bisa berpikir jernih kalau dalam keadaan seperti ini. Papa janji setelah itu akan jelasin semuanya."Hardian kembali terdiam, giginy
Hardian pulang dalam keadaan basah kuyup, tubuhnya gemetar oleh hujan deras dan amarah yang masih menyala di dalam hatinya. Dia membuka pintu rumah dengan kasar, membuat suara pintu yang terbuka terdengar keras di ruangan yang sepi.Sarah, yang duduk di ruang tamu dengan kegelisahan yang menyiksanya, langsung bangkit ketika mendengar suara itu. Matanya langsung tertuju pada Hardian yang berdiri di ambang pintu, seluruh tubuhnya basah, rambutnya menempel di wajah, dan tatapan matanya penuh dengan kemarahan serta kekecewaan.Mereka bertatapan tanpa berkata-kata. Hati Sarah mencelos melihat putranya dalam keadaan seperti ini, basah, terluka, dan marah. Dia tahu bahwa Hardian sudah melihat sesuatu yang tak seharusnya ia lihat, dan sekarang, dia harus menghadapi kenyataan itu.Air mata Sarah mengalir tanpa bisa ditahan lagi. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, menangis terisak-isak. "Maafin Mama, Hardian ...," ucapnya terbata-bata di antara tangisnya.Hardian, yang selama ini beru
Adit berusaha bangkit, terhuyung dan hampir terjatuh lagi. "Gue nggak tau gimana gue bisa minta maaf ke lo, Dan. Gue ngerti kalo lo benci gue sekarang, dan gue terima itu. Tapi ... gue cuma mau lo tau, ini bukan tentang lo. Ini tentang nyokap lo dan bokap lo."Hardian hanya berdiri di sana, air mata bercampur hujan mengalir di pipinya.Adit tahu bahwa kata-katanya tidak akan langsung memulihkan segalanya, namun ia berharap setidaknya Hardian mau mendengarkan dan memahami bahwa kesalahan ini lebih kompleks dari pada yang terlihat.Malam itu, di tengah hujan deras, dua sahabat yang dulunya dekat kini terpisahkan oleh kenyataan pahit. Amarah, kebingungan, dan rasa bersalah terus melayang di antara mereka, sementara suara hujan menjadi saksi bisu atas keretakan yang tak mudah diperbaiki.“Rahasia apa yang lu maksud, Dit? Bokap gue punya rahasia apa? Jangan fitnah!” seru Hardian sembari berusaha menarik kembali kerah baju Adit dan menghujaninya dengan layangan pkulan lagi.Radit spontan mem