Langit malam masih kelam, menyisakan hembusan angin yang menelusup lewat celah-celah jendela rumah. Di ruang tengah, Sarah duduk di sofa sambil menatap layar ponselnya. Ia sudah membuka kontak Widya—teman lamanya yang kini aktif sebagai konten kreator pada akun media sosial bertema Realita Kehidupan. Akun itu sering membahas isu sosial, kekerasan rumah tangga, manipulasi pasangan, bahkan kasus pelecehan anak. Sarah tahu, jika ada satu orang yang bisa ia percaya untuk menyuarakan kebenaran suatu saat nanti—itu adalah Widya.Jari telunjuknya sudah hampir menyentuh ikon gagang telepon berwarna hijau.Namun, klik.Pintu rumah terbuka. Suara gagangnya beradu dengan slot besi, disusul langkah masuk yang sudah sangat Sarah kenali. Ia buru-buru menurunkan ponsel dan menyembunyikannya ke belakang bantal sofa.“Hardian?” panggil Sarah, mencoba terdengar tenang.Pemuda tinggi dengan jaket hoodie biru laut itu tersenyum lelah, tangannya masih sibuk melepas sepatu. “Iya, Ma. Baru pulang.”“Dari
Malam telah larut ketika Adit duduk sendirian di atas sofa minimalis di dalam kamar kosannya. Lampu kuning temaram dari sudut ruangan membuat bayangan wajahnya tampak suram. Di tangan kirinya, sebutir obat kecil berwarna biru terjepit di antara dua jari. Obat penenang yang diresepkan dokter jika sewaktu-waktu serangan cemas itu datang lagi.Dan malam ini, serangan itu datang tanpa aba-aba. Kuat. Menerobos dadanya seperti gelombang pasang, membuat nafasnya sesak.Adit memasukkan obat itu ke mulut, meneguknya dengan seteguk air putih dari botol di samping sofa. Lalu ia bersandar, memejamkan mata. Tapi bukannya tenang, pikirannya malah memutar kembali hal-hal yang seharusnya ingin ia lupakan.Bela.Gadis itu kini bagai bayangan kelabu yang tak bisa diusir. Sejak mengetahui Bela mengidap Bipolar yang mungkin dikarenakan trauma masa lalu. Adit merasa ada bagian dirinya yang koyak. Ia bener-benar sangat merasa bersalah walau sebetulnya tak sepenuhnya salahnya.Dadanya kembali terasa sesak.
Sarah menatap Damar dengan senyum sinis yang tidak biasa. Senyum yang tidak berasal dari kelembutan atau kasih, melainkan dari rasa muak yang mendalam.“Astaga Damar … aku pikir, kamu pintar,” ucap Sarah seraya menggeleng perlahan. “Tapi ternyata kamu tidak terlalu cerdas juga ya.”Damar yang sudah bersiap melangkah ke kamarnya langsung berhenti. Bahunya kaku, lalu perlahan ia menoleh, menatap Sarah dengan alis menyatu. “Apa maksudmu?” tanyanya curiga.Sarah melangkah maju, berdiri di balik meja, lalu bersandar ringan dengan kedua tangan terlipat di dada. “Kamu pikir kamu bisa menyingkirkan Adit dengan menyebarkan foto-foto itu ke media? Kamu mau ciptakan opini publik bahwa dia pemangsa gadis tak berdaya? Bahwa dia pria bejat?”Damar tersenyum mengejek. “Dan kamu pikir aku nggak bisa? Kamu benar-benar meremehkan aku, Sarah.”“Bukan Adit yang aku pikirkan sekarang,” jawab Sarah tajam. “Tapi anak kita, Hardian.”Damar mengedipkan mata, bingung. “Apa maksudmu?”Sarah menghela napas, lalu
Sarah dan Adit ketiduran setelah permainan yang panas itu. Setidaknya peluh-peluh lelah nikmat dan cinta berangsur menghilang dalam pejaman mata sekitar enam puluh menit.Adit terbangun lebih dulu karena lengannya pegal. Kepala Sarah tertidur nyaman di sana. Walau pegal dan nyaris kram, tapi Adit tidak mau membangunkan Sarah. Ia menatap wajah Sarah yang cantik. Menatapnya lama dan dalam, penuh cinta.Tidak lama kemudian Sarah sedikit menggeliat dan membuka kelopak matanya. Netranya bergerak ke sekeliling ruangan, dan beberapa detik kemudian baru sadar kalau ia masih ada di Five hotel bersama Adit. “Astaga!” “Ada apa sih?” tegur Adit sembari membelai helaian rambut Sarah.“Ini pasti sudah malam!”“Ya udah jelas,” jawab Adit sembari tersenyum simpul. Mencium cepat bibir Sarah yang selalu membuatnya gemas dan ketagihan.“Aku kan harus pulang Dit. Takutnya Damar udah pulang duluan. Aku nggak mau cari masalah sama dia. Pokoknya jangan sampai aku yang terlihat salah, karena bisa-bisa hart
Sarah kembali melahapnya seperti ice cone. Mencicipi perlahan, inchi demi inchi bagian batang cone yang semakin mengeras. Adit kembali mendesau lirih. Suara khas yang beberapa kali lolos. Tak bisa ditahan.Netranya melirik ke arah Sarah yang masih mengenakan baju, walau sudah acak-acakan, tiga kancing teratas lepas. Ia menarik lengan Sarah sembari mengubah posisi.Kini Adit menimpa Sarah. Ia melepaskan seluruh celana panjangnya dengan cepat. Kini ia tak mengenakan apa pun. Tubuh atletis dengan perut rata sixpack pun tersaji di depan netra Sarah.Sarah terhenyak. Termangu kagum.Adit kembali menciumi bibir Sarah. Lalu bibirnya bergerak ke daun telinga Sarah. Memainkan daun telinga itu dengan lidahnya. Memainkan anting-anting mutiara itu dengan bibirnya. Sedangkan tangannya bergerilya pada blush yang dikenakan Sarah. Melepaskannya. Lalu menangkup isinya yang masih mengenakan bra.Dan sekali hentak kaitan bra itu terlepas. Isinya tumpah.Bukit kembar dengan puting berwarna cokelat mud
Adit membelai wajah Sarah perlahan, seolah ingin mengingat betul tiap lekuk yang ia sentuh. Jarinya menyisir pelan helai rambut yang terlepas dari kunciran Sarah, lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Tatapan mereka bertemu, hanya beberapa sentimeter terpisah, dan waktu seolah membeku.Sarah menatap balik, matanya berbinar walau letih jelas tergurat. Ada kelegaan. Ada cinta. Dan yang paling kentara adalah perasaan nyaman. “Aku takut kamu pergi,” bisik Sarah nyaris tanpa suara. “Aku takut kamu menghilang …,” lanjutnya dengan suara parau. “Kamu yang pernah menghilang, dan buat aku patah hati.” Adit menunduk dan menyentuhkan dahinya ke dahi perempuan itu. “Aku nggak akan pergi. Kita udah terlalu jauh untuk sama-sama menghilang kan?”Ia mengecup kening Sarah lembut, seperti mengukuhkan janjinya dalam bentuk paling sederhana dan paling sakral.Perlahan, Adit menyusuri pipi Sarah dengan ciuman, lalu turun ke dagu, dan kembali ke bibir. Tapi kali ini ciumannya lebih dalam. Tidak terburu