Share

Dicampakkan!

Sriiiittttt…

Mobil yang semula diikuti Damar mengerem mendadak saat Damar menghadang di depannya. Pria yang juga memiliki hobi touring tersebut seakan sudah bersahabat dengan keadaan jalanan, hingga ada celah sedikit dia bisa mengambil kendali dan bisa menyalip dengan lihai.

Damar menghadang mobil tersebut tepat di arah pintu tol menuju Bogor. Sungguh di luar nalar, ini masih hari kerja dan kantor Rania tidak berada di Bogor. Kenapa mereka malah pergi keluar kota?

Pria berbadan jangkung itu berusaha menahan emosi, padahal dalam lubuk hatinya sudah bertumpuk-tumpuk kedongkolan dengan banyak penyebabnya. Kini harus ditambah lagi dengan tingkah kekasih yang sudah menemaninya sejak masa kuliah.

"Rania! Keluar!" seru Damar seraya menunjuk wanita yang masih duduk di kursi penumpang.

Damar pun masih berada di atas kuda besinya, akan tetapi netranya menatap tajam ke arah dua manusia yang duduk di dalam mobil. Sambil turun dari motor, Damar masih terus menunjuk wanita yang berstatus sebagai kekasihnya itu.

Merasa terpojok mau tidak mau Rania pun keluar mobil, begitu pula dengan pria yang duduk dibalik kemudi.

"Bro, bro, sabar dulu, Bro," ucap Pria itu tiba-tiba.

"Sstt!" Damar menaruh jari telunjuknya di depan bibir sambil menatap pria asing tersebut dengan tajam. "Saya tidak ada urusan dengan, Anda. Jadi jangan ikut campur!"

Kini pandangan pria berhidung mancung itu beralih pada wanita berambut pendek yang berdiri dihadapannya. Rania menunduk bagaikan seorang siswa yang ketahuan melakukan pelanggan.

"Jadi ini meeting-nya?"

Sudah menjadi rutinitas pagi bagi Damar dan juga Rania melakukan video call sebelum beraktivitas. Akan tetapi pagi ini Rania buru-buru mengakhiri dengan alasan akan ada meeting pagi di kantor, sehingga dia harus segera berangkat.

Namun, saat ini Damar menyaksikan Rania tengah bersama pria lain dengan arah tujuan berbeda jalur dari kantor.

Rania masih menunduk, dia menelan saliva. Mendadak lidahnya kelu, tidak bisa menjawab pertanyaan dari kekasihnya itu.

"Rania! Aku sedang ngomong sama kamu."

Setelah seperkian detik akhirnya wanita bernama Rania itu mendongak dan memberanikan diri menatap Damar. Berkali-kali dia mengerjapkan mata seakan tengah mengumpulkan keberanian.

Damar masih menunggu, dia menatap Rania dan pria yang ada di sebelahnya secara bergantian. "Jadi apa maksudnya ini?"

"Oke, sepertinya ini waktunya aku jujur sama kamu, Damar. Dia Reno, pacar aku."

Sontak saja Damar membulatkan netra saat Rania dengan beraninya memperkenalkan pria lain sebagai kekasih.

"Aku mau kita putus, Mar. Aku malu punya pacar yang hobinya cuma bercocok tanam. Aku mau dikasih makan apa nanti kalau kamu cuma jadi petani, Mar?"

Mulut Damar yang sudah terbuka hendak protes dengan pernyataan Rania akan pria lain, langsung tertutup kembali saat mengungkit tentang hobi dan cita-citanya.

Kini berganti Reno yang menatap Damar dengan tatapan penuh mengejek. Sesekali Reno mengangkat kerah kemeja dan memperbaiki dasi, seolah-olah tengah membanggakan diri yang jauh lebih baik dari Damar.

"Ck," Damar berdecak sambil mengangkat salah satu bibirnya. "Disaat orang-orang rumah memojokkanku dengan hobi dan cita-citaku, aku pikir kamu adalah orang yang paling mendukungku. Hah, ternyata aku salah."

"Damar, coba realistis lah…

Rania menjelaskan bahwa selama ini dia sudah cukup sabar untuk menemani Damar dengan hobi dan cita-citanya, akan tetapi masih belum membuahkan hasil. Makin lama Rania minder karena diejek teman-temannya memiliki pacar yang cuma bisa berkebun.

"Cukup! Kamu mutusin aku demi pria sok kaya seperti dia?" sela Damar sambil menunjuk Reno. "Fine, kita putus!"

Tanpa basa-basi Damar langsung melangkah menuju motornya dan bergegas pergi. Sebenarnya dia marah, ingin sekali meninju Reno yang sudah berani merebut kekasihnya. Akan tetapi rasanya akan buang-buang waktu dan energi saja jika dia melakukannya, belum lagi image Damar dimata Rania semakin buruk karena menggunakan kekerasan saat emosi.

Akhirnya dia melepaskan dan meninggalkan wanita yang selama lima tahun terakhir digadang-gadang akan menemaninya hingga tua nanti. Damar mengendarai motornya dengan kecepatan penuh, dia mengarahkan kuda besi menuju jalan tikus dimana disana tidak dijumpai macet seperti di jalur besar.

Sepanjang perjalanan ingatan selama Rania menemaninya kembali terlintas. 'Bulshit! Kamu bilang akan menemaniku sampai sukses dan bisa buktiin bahwa melalui berkebun aku bisa sukses. Mana buktinya Rania? Mana?'

Damar bertanya-tanya dalam hatinya sambil terus menarik gas dengan kekuatan penuh. Tak peduli jika dirinya berkendara sudah bagaikan pembalap di arena sirkuit. Hatinya sedang terbakar dan hancur.

Begitu banyak kendaraan yang lalu lalang membunyikan klakson akibat Damar kebut-kebutan di jalan sempit. Umpatan, makian hingga sumpah serapah tidak dihiraukan lagi.

Hingga pria bertubuh tinggi itu menghentikan kuda besinya di sebuah kost pria yang parkirannya cukup luas. Beberapa penghuni kost menatap kedatangan Damar dengan kening berkerut.

"Woy! Kalau mau cari mati jangan disini, sana di rel kereta!" seru salah satu pria yang tengah duduk bergerombol di teras.

Damar menoleh kaget sambil mengacungkan dua jarinya. Dia tidak ada maksud untuk membuat kegaduhan tersebut, hanya saja suasana hatinya sedang tidak terkontrol. Beruntung dia masih bisa meredam sedikit.

Salah satu pria yang sedang bergabung di gerombolan tadi bangkit dari duduknya saat menyadari kedatangan Damar. Dialah Guntur, satu-satunya orang yang dengan tulus menemani Damar meskipun sedang terpuruk seperti sekarang ini.

"Hei, Bro. Kamu kenapa pagi-pagi begini sudah kebut-kebutan begitu? Di jalan kecil lagi. Pasti belum ngopi nih," sapa Guntur sembari merangkul pria yang sedikit lebih tinggi darinya itu.

Fiiuuuhhhh…

"Aku butuh lebih dari kopi kayaknya, Gun. Nge-fly yuk."

Bugggg…

Sontak saja Guntur melepaskan rangkulannya dan langsung meninju lengan sang sahabat yang tiba-tiba saja mengajak hal aneh. Bagaimana tidak aneh? Masih sepagi ini Damar sudah mengajak konsumsi minuman haram yang sebelumnya tidak pernah mereka sentuh.

Sebagai kaum muda, Damar dan Guntur termasuk pemuda yang baik karena tidak pernah menyentuh hal-hal haram seperti itu. Mereka generasi muda yang positif.

"Kesambet apa kamu tiba-tiba begitu? Hah!"

Damar berjalan terlebih dahulu menuju kamar kost Guntur yang berada di ujung. Dia tidak nyaman menjadi pusat perhatian para penghuni kos lain akibat ulahnya yang kebut-kebutan tadi.

"Heh! Jawab!" seru Guntur mengikuti langkah Damar yang lebar dan cepat.

Tiba di depan kamar, Damar melepas jaketnya dan langsung memainkan samsak yang tergantung di halaman belakan. Kamar Guntur memang menghadap halaman belakang, dimana area tersebut biasa digunakan untuk olahraga para penghuni kost.

Buggg… buggg buggg buggg buggg…

Guntur mengernyitkan dahi saat melihat sahabatnya yang lagi-lagi bertindak aneh. Selama bertahun-tahun mereka berteman, dan berkali-kali lalu lalang di kostan, baru kali ini Damar menyentuh benda tersebut.

"Jadi apa yang membuatmu emosi sepagi ini, Mar? Sepertinya masalah yang cukup serius."

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status