Share

Wanita Misterius

Laju motor Damar perlahan memelan saat melihat wanita yang sempat diteriaki tadi berhenti di depan green house terbesar di Jakarta.

"Wah, dia pecinta tanaman? Menarik."

Damar memutuskan untuk ikut masuk ke green house tadi, kebetulan disitu sepertinya sedang diadakan sebuah acara besar karena banyak orang yang lalu lalang keluar masuk. Netra pria beriris hitam itu membulat saat membaca banner yang terpampang.

'Seminar dan Peresmian Greenhouse untuk Menanggulangi Polusi di Ibukota'.

"Loh, ini acara yang aku sempat daftar bulan lalu 'kan? Aku daftar sebagai salah satu pelaksana di greenhouse nantinya. Kenapa aku tidak dapat kabar apapun?"

Damar bertanya-tanya sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Mendadak dia seperti orang yang linglung, karena tiket untuk pembuktian kepada keluarga adalah Greenhouse tersebut. Greenhouse dengan nama "Downtown Greenhouse" itu telah menambah beberapa ruang baru.

Pria dengan gelar sarjana itu langsung turun dan menuju orang-orang yang duduk berderet, sepertinya mereka para penjemput tamu. Damar langsung menanyakan tentang lamaran yang dikirimkan melalui e-mail sebulan yang lalu.

"Saudara Damario Hardana?" tanya seorang pria yang sebelumnya Damar konfirmasi lamaran kerjanya.

"Iya, Mas. Benar."

"Wah, seminggu yang lalu kami sudah mengirimkan surat melalui pos ke alamat rumah anda. Surat tersebut berisi panggilan untuk tanda tangan kontrak kerjasama. Kami juga telpon ke nomor yang tertera, tapi kata Ibu, anda sudah bekerja di perusahaan keluarga."

Deg!

Netra Damar terbelalak mendengar penjelasan dari salah satu panitia acara, tangannya mengepal saat mengetahui ternyata dalang dibalik kegagalannya masuk greenhouse adalah ibunya sendiri.

"Ibu!" geram Damar dengan suara yang lirih karena tidak enak terdengar orang lain.

Meskipun kesehariannya di rumah, tapi Damar kadang tidak dengar jika ada kurir datang. Sehingga Bu Diyah yang selalu menerima paketan apapun. Tadi pagi saja beruntung Damar sedang di teras, sehingga saat kiriman tanamannya datang bisa langsung diterima sendiri.

Selain itu Damar juga suka meletakkan ponsel sembarangan, terlebih jika sudah bergelut dengan tanaman, dia kadang sampai lupa dan tidak dengar jika ada pesan atau panggilan ke ponselnya. Belum lagi Bu Diyah orangnya suka ingin tahu urusan anaknya, sehingga sering menerima telepon atau pesan milik Damar.

Bahkan Damar pun pernah ribut dengan Rania, kekasihnya karena pesan dari Rania tidak dibalas. Ternyata telah dibaca ibunya dan langsung dihapus. Cukup meresahkan juga memiliki orang tua seperti Bu Diyah, hal itu dilakukan karena beliau khawatir akan masa depan Damar yang belum jelas.

"Oke, Mas. Terima kasih banyak ya."

Ucapan Damar terdengar begitu lemas, langkah kakinya pun seakan tidak ada tenaga. Bagaimana tidak? Harapan satu-satunya untuk bisa membuktikan kepada keluarga bahwa bertani dan bercocok tanam bisa menghasilkan telah dihancurkan oleh ibunya sendiri.

Kini Damar hanya bisa mengikuti kegiatan seminar layaknya orang umum. Deru nafas pria berambut ikal itu memburu, menahan emosi yang semakin memuncak. Dia duduk dengan malas di bangku paling pojok belakang.

Menyaksikan para pengisi seminar yang memperkenalkan anggota baru greenhouse, membuat hati Damar sedikit tercubit.

"Seharusnya aku menjadi salah satu dari mereka," gumam Damar seraya menyugar rambutnya frustasi.

Semakin lama berada di acara seminar tersebut, suasana hati Damar semakin buruk. Kekecewaan tidak bisa dipungkiri, karena menjadi bagian greenhouse adalah impiannya saat ini.

"Sepertinya aku harus pergi, aku tidak bisa menikmati acaranya."

Baru saja Damar bangkit dari tempat duduknya, netranya menangkap sosok wanita yang sebelumnya membuat dia berteriak di jalanan.

Wanita anggun dengan balutan long-dress hitam, kini topi serta kacamatanya telah dilepas sehingga tidak terkesan layaknya orang berkabung.

Satu hal yang membuat Damar mengernyitkan dahi, dia penasaran mengapa wanita tersebut berjalan menaiki panggung. Akibat sibuk dengan pikirannya yang kecewa, Damar tidak mendengar dan mengikuti acara dengan baik, hingga ucapan host sebelumnya bahkan dia tidak tahu menahu.

"Selamat pagi semuanya, perkenalkan saya…

Brakkk…

Damar terkejut saat tiba-tiba tubuhnya tersungkur ke bangku yang berada di depannya akibat dorongan begitu kuat dari arah belakang. "Aw…" keluhnya.

"Ma-maaf, Mas. Maaf, kami terburu-buru."

Sebuah uluran tangan mencoba membantu Damar bangkit dari posisi tersungkurnya. Terlihat rombongan anak muda yang sepertinya telah ketinggalan acara seminar sehingga terburu-buru masuk dan tanpa sadar menabrak Damar.

"It's oke. Aku nggak papa kok," sahut Damar seraya mengangkat tangannya.

Rombongan anak muda itu pun mengangguk takzim, terlihat sekali dari wajah mereka merasa bersalah dan tidak enak. Tapi Damar tidak mengambil pusing karena hal tersebut adalah faktor ketidaksengajaan. Mereka pun duduk di deretan bangku sebelah Damar, karena disitulah sisa tempat yang masih kosong.

Netra Damar kembali tertuju pada wanita di depan sana. Seorang wanita yang begitu berwibawa dalam membawakan pidatonya, satu nilai plus lagi bagi Damar adalah wanita tersebut begitu memahami tentang tanaman. Hanya saja dia tidak begitu paham tentang ilmu-ilmunya karena beliau hanya pemilik sebuah perkebunan.

"Siapa dia? Menarik sekali wanita ini," gumam Damar.

Dalam hati Damar menyesal melewatkan perkenalan wanita tersebut akibat insiden tertabrak tadi. Mata Damar tidak ingin berpaling sedikitpun sampai wanita tadi turun dari panggung.

Perlahan Damar bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti kemana arah wanita tadi pergi. Sungguh dia masih penasaran. Sayangnya begitu Damar sudah hampir dekat, wanita tadi sudah bergabung dengan orang-orang kenalannya. Entah siapa, sepertinya bukan pakar pertanian, karena tidak ada satupun yang Damar kenal.

Akhirnya Damar memutuskan untuk pergi dari acara tersebut. Tidak ada alasan lagi untuk dia berada di sana. Harapan satu-satunya untuk bisa bergabung dengan greenhouse pupus sudah. Kini dia akan semakin diperolok oleh keluarganya.

Tak ingin langsung pulang, Damar kembali mengendarai kuda besinya. Tidak tentu arah tujuannya, yang jelas Damar ingin menenangkan pikiran terlebih dahulu.

"Aku harus cari pekerjaan kemana lagi yang sesuai dengan passion-ku ini?" monolog Damar sambil mengedarkan pandangan, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya.

Akan tetapi tidak ada satupun yang Damar temui. Selain hingar bingar kesibukan di kota, hanya polusi udara dan polusi suara yang dia dapat.

Ditengah banyaknya kendaraan, Damar berhenti tepat di sebelah mobil sedan berwarna merah. Tanpa sengaja seorang wanita yang duduk di bangku penumpang membuka kaca karena membenarkan letak spion.

"Rania?" panggil Damar dibalik helm full face-nya.

Sontak saja wanita tersebut menoleh kaget. Netranya terbelalak saat menyadari siapa yang memanggilnya. Sementara Damar langsung menatap seseorang yang berada di balik kemudi. Seorang pria mengenakan kemeja dan berdasi, sungguh kontras dengan dirinya yang hanya mengenakan jaket kulit dan celana Levis.

Belum sempat Damar bertanya, wanita yang bernama Rania itu segera menutup kembali kaca mobil. Disaat yang bersamaan jalanan sudah berangsur lancar, hingga mobil yang membawa Rania itu melaju dengan kecepatan sedang.

Damar pun tidak mau ketinggalan jejak, dia akan memastikan siapa yang membawa kekasihnya itu. Damar terus mengikuti kemanapun mobil itu melaju.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status