Share

Tawaran Pekerjaan

Pertanyaan Guntur bagaikan angin lalu. Damar masih terus memukuli samsak bertubi-tubi, layaknya memukul musuh yang paling dia benci.

Buggg…buggg buggg buggg…

"Ini untuk keluargaku yang selalu menyalahkan karena ambil jurusan pertanian!" desis Damar dengan deru nafas yang memburu, setelah melayangkan pukulan bertubi-tubi.

Buggg…

"Ini untuk Rania yang ternyata juga pengkhianat!"

Buggg… Pakkk… buggg… buggg…

"Ini untuk pria yang sudah berani merebut Rania dariku dan mempengaruhinya!" pungkas Damar di pukulan terakhir yang disertai tendangan pula.

Setelah puas melampiaskan semua amarahnya, Damar terduduk lemas di rerumputan. Guntur yang mulai paham dengan pokok permasalahan dan penyebab sahabatnya emosi sepagi ini, pergi mengambilkan air minum di dapur umum.

"Kadang hidup memang sekejam itu. Ada banyak orang yang membenci dan memojokkan kita, walaupun mereka adalah orang-orang terdekat kita."

Guntur berucap seraya menyodorkan segelas air minum sambil turut duduk di rumput. Sebenarnya cuaca sepagi ini memang paling bagus untuk berolahraga.

Akan tetapi tidak semua penghuni kost memiliki prinsip hidup sehat. Halaman belakang sering terlihat kosong, alat olahraga pun banyak yang menganggur. Terlebih ini weekday, sebagian besar anak kost bekerja dan kuliah.

"Tapi mau sampai kapan aku diginiin terus? Lama-lama sumpeg di rumah tau nggak?" sahut Damar setelah menenggak habis air minumnya.

Pria berambut lurus yang duduk di samping Damar itu hanya terkekeh. Mengenai nasib sial, nasib pahit ataupun masa terpuruk seseorang tidak ada yang tahu dimana ujungnya.

Maka dari itu tidak ada yang bisa menjawab itu akan berlangsung sampai kapan. Akan tetapi daripada terus merenungi nasib, kenapa tidak mencoba membuktikan bahwa pandangan orang-orang itu salah?

"Sampai kamu bisa membuktikan, bahwa pilihan kamu itu benar, Bro," sahut Guntur Sete beberapa saat.

Pria berbadan kurus itu menepuk bahu sahabatnya yang jauh lebih berisi. Dia kemudian mengajak Damar untuk masuk kamar, karena matahari mulai tinggi dan panas.

Di kamar yang berukuran tiga kali empat itu, Damar mengadukan segalanya tentang apa yang terjadi padanya pagi ini kepada sang sahabat. Keributan dengan ibu dan kakaknya yang hanya perkara sepele, hingga akhirnya dia disalahkan karena tidak mengambil jurusan bisnis.

Belum lagi saat di jalan malah bertemu dengan kekasih yang sudah menemani sejak lama berpaling dengan pria lain yang bermobil dan berdasi. Rasanya kesialan selalu menghampiri Damar.

"Ya mau bagaimana lagi? Tidak semua orang bisa sepemikiran denganmu, Dam. Jika kamu berharap mereka akan menerima pilihanmu, jelas itu egois."

"Kok kamu malah belain mereka si, Gun? Aku itu sahabat kamu!" sahut Damar tidak terima.

Guntur mengangkat telapak tangannya. "Aku hanya realistis. Kita ini hidup di kota, wanita mana yang akan mau dengan pria dengan hobi dan cita-cita jadi petani? Coba, bisa jawab nggak?"

Damar menghela nafas panjang, otaknya berkelana mengamati setiap wanita yang dia temui entah di jalan, tempat belanja ataupun makan. Memang kebanyakan wanita ingin hidup enak, tidak mungkin ada yang mau jadi istri seorang petani.

"Tapi petani juga bisa sukses, Gun."

Masih merasa tidak terima dengan jawaban sahabatnya, Damar pun membela diri. Dia ingin membuktikan bahwa pandangan orang-orang yang sebelah mata terhadap petani itu salah.

"Kalau begitu buktikan! Aku aja yang kerja kantoran begini diselingkuhi, apalagi kamu, Damar."

Guntur geleng-geleng kepala menyaksikan temannya yang masih bersikukuh ingin mewujudkan cita-citanya, meskipun tidak mendapatkan dukungan dari manapun termasuk dirinya.

Sebagai pria kota, jelas Guntur mengarahkan agar Damar melupakan cita-cita konyolnya itu. Lebih baik mulai belajar lagi di perusahaan milik orang tuanya.

"Lagian kamu aneh, udah enak tinggal nerusin bisnis orang tua. Malah mau hidup susah jadi petani."

"Susah kalau ngomong sama orang yang tidak paham dengan bercocok tanam."

Perdebatan antara dua pria yang memiliki pandangan berbeda tentang bertani itu pun terhenti. Mereka saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Drrrttt…drrrtttt…drrrttt…

Tiba-tiba ponsel Damar yang berada di saku celana bergetar. Segera pria bertubuh jangkung itu mengambil benda pipih tersebut.

"Danu? Tumben banget nih orang," gumam Damar saat mengetahui siapa yang tengah menunggu panggilannya diangkat.

Guntur yang sudah duduk di kasur hanya memperhatikan sambil mengernyitkan dahi. Dari nama yang disebut sepertinya cukup familiar, tapi dia lupa siapa itu Danu.

"Ada apa, Mase? Tumben banget" sapa Damar seraya berjalan ke tepi jendela.

"Hah?! Seriusan?" Raut wajah Damar berubah menjadi serius bahkan terkejut. "Waduh…aku pikir-pikir dulu ya, Mase. Nanti aku kabarin lagi."

Klik

Pembahasan yang sebentar dan membuat Damar begitu terkejut, semakin membuat Guntur penasaran. "Siapa, Dam?"

Seulas senyum terukir di sudut bibir pria berambut ikal itu. Jelas Guntur tambah penasaran karena semula Damar tengah bersitegang dengannya.

"Sepertinya kali ini semesta berpihak kepadaku, Gun." Damar berucap sambil meregangkan tangannya ke atas.

Pria berhidung mancung itu menjelaskan bahwa tadi yang telepon adalah Danu, temannya di Desa Pendul, tempat Damar KKN dulu.

Jadi menurut Danu, ada seorang juragan sayur dan buah yang sedang butuh pekerja untuk di kebunnya. Pekerja yang dibutuhkan bukan sembarangan, wajib mengerti tentang tanaman bahkan bila perlu memiliki ilmu tentang tanaman dan meningkatkan hasil panen.

Kini Guntur mulai paham, dia pernah mendengar nama Danu ya dari Damar yang sering bercerita. Sempat bertemu beberapa kali juga sewaktu mengantar dan menjemput Damar karena ada keperluan di masa KKN.

"Sebentar. Maksudnya kamu mau bekerja jadi tukang kebun di Desa Pendul gitu?" tanya Guntur tidak percaya.

Sialnya Damar malah tersenyum sambil mengangguk mantap. Sungguh jawaban diluar dugaan.

"Gila kamu, Bro. Sia-sia sekolah sampai sarjana, tapi kerjanya cuma jadi tukang kebun."

"Hmmm… ini nih ciri-ciri orang sekolah cuma mentingin ijazah, bukan ilmunya. Kamu nggak akan ngerti. Aku pulang dulu ya," pungkas Damar yang segera pergi.

Hal itu membuat Guntur terbengong dan geleng-geleng kepala. Dia tidak menduga anak dari keluarga Adiwangsa yang terkenal kaya, malah mau menjadi tukang kebun di desa.

Damar langsung mengendarai kuda besinya menuju rumah. Rasa sakit hati dan kecewa akibat dimarahi ibu dan kakak, pengkhianatan Rania seakan tidak dia rasakan lagi.

Kabar dari Danu merupakan obat yang mujarab bagi Damar. Kabar tersebut membuat kegundahan selama ini seakan menemui titik terang. Si bungsu di keluarga Adiwangsa tersebut pun tidak segan-segan memberikan kabar kepada ibunya bahwa telah mendapatkan pekerjaan.

"Apa?!"

Damar menutup kedua telinganya saat suara sang ibu begitu melengking saat mendengar kabar yang dia bawa.

"Keterlaluan kamu, Damar! Kamu mau bikin malu Ibu? Bisa-bisanya mau jadi tukang kebun di desa."

"Bu…ini tuh pekerjaan yang mendukung cita-cita Damar selama ini. Melalui perkebunan itu aku akan membuktikan bahwa pendapat ibu dan semua orang disini tentang bercocok tanam itu salah."

Meskipun sudah jika orang rumah tidak akan setuju dengan kabar yang dia bawa, Damar cukup terkejut jika ibunya akan berucap sedemikian rupa.

"Tidak, Damar! Lebih baik ibu kehabisan uang untuk kamu kuliah lagi di luar negri, kamu pelajari ilmu bisnis dan teruskan perusahaan keluarga."

Damar geleng-geleng kepala, dia merasa percuma dan buang-buang waktu saja dengan menjelaskan sesuatu pada orang yang tidak paham.

"Pokoknya Damar akan tetap pergi," pungkas Damar yang kemudian berjalan menuju kamarnya.

"Damar! Berani menentang ibu kamu ya? Damar!"

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status