Pertanyaan Guntur bagaikan angin lalu. Damar masih terus memukuli samsak bertubi-tubi, layaknya memukul musuh yang paling dia benci.
Buggg…buggg buggg buggg…"Ini untuk keluargaku yang selalu menyalahkan karena ambil jurusan pertanian!" desis Damar dengan deru nafas yang memburu, setelah melayangkan pukulan bertubi-tubi.Buggg…"Ini untuk Rania yang ternyata juga pengkhianat!"Buggg… Pakkk… buggg… buggg…"Ini untuk pria yang sudah berani merebut Rania dariku dan mempengaruhinya!" pungkas Damar di pukulan terakhir yang disertai tendangan pula.Setelah puas melampiaskan semua amarahnya, Damar terduduk lemas di rerumputan. Guntur yang mulai paham dengan pokok permasalahan dan penyebab sahabatnya emosi sepagi ini, pergi mengambilkan air minum di dapur umum."Kadang hidup memang sekejam itu. Ada banyak orang yang membenci dan memojokkan kita, walaupun mereka adalah orang-orang terdekat kita."Guntur berucap seraya menyodorkan segelas air minum sambil turut duduk di rumput. Sebenarnya cuaca sepagi ini memang paling bagus untuk berolahraga.Akan tetapi tidak semua penghuni kost memiliki prinsip hidup sehat. Halaman belakang sering terlihat kosong, alat olahraga pun banyak yang menganggur. Terlebih ini weekday, sebagian besar anak kost bekerja dan kuliah."Tapi mau sampai kapan aku diginiin terus? Lama-lama sumpeg di rumah tau nggak?" sahut Damar setelah menenggak habis air minumnya.Pria berambut lurus yang duduk di samping Damar itu hanya terkekeh. Mengenai nasib sial, nasib pahit ataupun masa terpuruk seseorang tidak ada yang tahu dimana ujungnya.Maka dari itu tidak ada yang bisa menjawab itu akan berlangsung sampai kapan. Akan tetapi daripada terus merenungi nasib, kenapa tidak mencoba membuktikan bahwa pandangan orang-orang itu salah?"Sampai kamu bisa membuktikan, bahwa pilihan kamu itu benar, Bro," sahut Guntur Sete beberapa saat.Pria berbadan kurus itu menepuk bahu sahabatnya yang jauh lebih berisi. Dia kemudian mengajak Damar untuk masuk kamar, karena matahari mulai tinggi dan panas.Di kamar yang berukuran tiga kali empat itu, Damar mengadukan segalanya tentang apa yang terjadi padanya pagi ini kepada sang sahabat. Keributan dengan ibu dan kakaknya yang hanya perkara sepele, hingga akhirnya dia disalahkan karena tidak mengambil jurusan bisnis.Belum lagi saat di jalan malah bertemu dengan kekasih yang sudah menemani sejak lama berpaling dengan pria lain yang bermobil dan berdasi. Rasanya kesialan selalu menghampiri Damar."Ya mau bagaimana lagi? Tidak semua orang bisa sepemikiran denganmu, Dam. Jika kamu berharap mereka akan menerima pilihanmu, jelas itu egois.""Kok kamu malah belain mereka si, Gun? Aku itu sahabat kamu!" sahut Damar tidak terima.Guntur mengangkat telapak tangannya. "Aku hanya realistis. Kita ini hidup di kota, wanita mana yang akan mau dengan pria dengan hobi dan cita-cita jadi petani? Coba, bisa jawab nggak?"Damar menghela nafas panjang, otaknya berkelana mengamati setiap wanita yang dia temui entah di jalan, tempat belanja ataupun makan. Memang kebanyakan wanita ingin hidup enak, tidak mungkin ada yang mau jadi istri seorang petani."Tapi petani juga bisa sukses, Gun."Masih merasa tidak terima dengan jawaban sahabatnya, Damar pun membela diri. Dia ingin membuktikan bahwa pandangan orang-orang yang sebelah mata terhadap petani itu salah."Kalau begitu buktikan! Aku aja yang kerja kantoran begini diselingkuhi, apalagi kamu, Damar."Guntur geleng-geleng kepala menyaksikan temannya yang masih bersikukuh ingin mewujudkan cita-citanya, meskipun tidak mendapatkan dukungan dari manapun termasuk dirinya.Sebagai pria kota, jelas Guntur mengarahkan agar Damar melupakan cita-cita konyolnya itu. Lebih baik mulai belajar lagi di perusahaan milik orang tuanya."Lagian kamu aneh, udah enak tinggal nerusin bisnis orang tua. Malah mau hidup susah jadi petani.""Susah kalau ngomong sama orang yang tidak paham dengan bercocok tanam."Perdebatan antara dua pria yang memiliki pandangan berbeda tentang bertani itu pun terhenti. Mereka saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Drrrttt…drrrtttt…drrrttt…Tiba-tiba ponsel Damar yang berada di saku celana bergetar. Segera pria bertubuh jangkung itu mengambil benda pipih tersebut."Danu? Tumben banget nih orang," gumam Damar saat mengetahui siapa yang tengah menunggu panggilannya diangkat.Guntur yang sudah duduk di kasur hanya memperhatikan sambil mengernyitkan dahi. Dari nama yang disebut sepertinya cukup familiar, tapi dia lupa siapa itu Danu."Ada apa, Mase? Tumben banget" sapa Damar seraya berjalan ke tepi jendela."Hah?! Seriusan?" Raut wajah Damar berubah menjadi serius bahkan terkejut. "Waduh…aku pikir-pikir dulu ya, Mase. Nanti aku kabarin lagi."KlikPembahasan yang sebentar dan membuat Damar begitu terkejut, semakin membuat Guntur penasaran. "Siapa, Dam?"Seulas senyum terukir di sudut bibir pria berambut ikal itu. Jelas Guntur tambah penasaran karena semula Damar tengah bersitegang dengannya."Sepertinya kali ini semesta berpihak kepadaku, Gun." Damar berucap sambil meregangkan tangannya ke atas.Pria berhidung mancung itu menjelaskan bahwa tadi yang telepon adalah Danu, temannya di Desa Pendul, tempat Damar KKN dulu.Jadi menurut Danu, ada seorang juragan sayur dan buah yang sedang butuh pekerja untuk di kebunnya. Pekerja yang dibutuhkan bukan sembarangan, wajib mengerti tentang tanaman bahkan bila perlu memiliki ilmu tentang tanaman dan meningkatkan hasil panen.Kini Guntur mulai paham, dia pernah mendengar nama Danu ya dari Damar yang sering bercerita. Sempat bertemu beberapa kali juga sewaktu mengantar dan menjemput Damar karena ada keperluan di masa KKN."Sebentar. Maksudnya kamu mau bekerja jadi tukang kebun di Desa Pendul gitu?" tanya Guntur tidak percaya.Sialnya Damar malah tersenyum sambil mengangguk mantap. Sungguh jawaban diluar dugaan."Gila kamu, Bro. Sia-sia sekolah sampai sarjana, tapi kerjanya cuma jadi tukang kebun.""Hmmm… ini nih ciri-ciri orang sekolah cuma mentingin ijazah, bukan ilmunya. Kamu nggak akan ngerti. Aku pulang dulu ya," pungkas Damar yang segera pergi.Hal itu membuat Guntur terbengong dan geleng-geleng kepala. Dia tidak menduga anak dari keluarga Adiwangsa yang terkenal kaya, malah mau menjadi tukang kebun di desa.Damar langsung mengendarai kuda besinya menuju rumah. Rasa sakit hati dan kecewa akibat dimarahi ibu dan kakak, pengkhianatan Rania seakan tidak dia rasakan lagi.Kabar dari Danu merupakan obat yang mujarab bagi Damar. Kabar tersebut membuat kegundahan selama ini seakan menemui titik terang. Si bungsu di keluarga Adiwangsa tersebut pun tidak segan-segan memberikan kabar kepada ibunya bahwa telah mendapatkan pekerjaan."Apa?!"Damar menutup kedua telinganya saat suara sang ibu begitu melengking saat mendengar kabar yang dia bawa."Keterlaluan kamu, Damar! Kamu mau bikin malu Ibu? Bisa-bisanya mau jadi tukang kebun di desa.""Bu…ini tuh pekerjaan yang mendukung cita-cita Damar selama ini. Melalui perkebunan itu aku akan membuktikan bahwa pendapat ibu dan semua orang disini tentang bercocok tanam itu salah."Meskipun sudah jika orang rumah tidak akan setuju dengan kabar yang dia bawa, Damar cukup terkejut jika ibunya akan berucap sedemikian rupa."Tidak, Damar! Lebih baik ibu kehabisan uang untuk kamu kuliah lagi di luar negri, kamu pelajari ilmu bisnis dan teruskan perusahaan keluarga."Damar geleng-geleng kepala, dia merasa percuma dan buang-buang waktu saja dengan menjelaskan sesuatu pada orang yang tidak paham."Pokoknya Damar akan tetap pergi," pungkas Damar yang kemudian berjalan menuju kamarnya."Damar! Berani menentang ibu kamu ya? Damar!"****Pasca Damar meminta izin pada ibunya untuk bekerja di perkebunan alias jadi tukang kebun, malam harinya di kediaman Adiwangsa diadakan sidang keluarga. Mungkin terkesan terlalu formal jika dibilang sidang, tapi itu memang suatu kegiatan dimana Damar dipojokan oleh semua anggota keluarga.Sebelumnya makan malam keluarga yang biasanya diwarnai dengan canda tawa Damar dengan Yoga, keponakannya yang masih duduk di bangku kelas lima SD. Malam ini cukup berbeda. Dari awal hingga akhir tidak ada yang berani bersuara hanya dentingan piring dan sendok yang sesekali bersahutan menggema di ruang makan.Kini Pak Aji, Bu Diyah bersama kedua anaknya duduk bersama di ruang tengah. Yoga telah diajak papanya menuju kamar. Selain ada tugas sekolah, tidak mungkin juga anak sekecil Yoga dilibatkan dalam urusan keluarga yang cukup serius."Ibu sudah bilang semuanya sama Ayah. Jadi bener kamu mau jadi tukang kebun di desa terpencil itu?" tanya Pak Aji membuka suara.Da
"Kita langsung berangkat?" tanya seorang pria yang mengendarai kuda besi yang mirip dengan punya Damar, hanya saja beda merek dan warna."Terserah, yang penting aku keluar dulu dari rumah. Sebelum ayahku berubah pikiran."Damar menyahut sambil terburu-buru naik di jok belakang. Seketika itu juga kuda besi melesat keluar pekarangan kediaman Adiwangsa. Sedikit tercubit hati Damar karena pergi dari tempat dimana dia lahir dan dibesarkan. Tapi kepergiannya ini memiliki maksud dan tujuan yang tidak kalah penting untuk sejarah hidupnya kedepan.Mengingat waktu sudah malam dan jalur yang akan dilalui cukup jauh dan sepi, Damar tidak langsung pergi ke Desa Pendul. Dia menginap dulu di kost Guntur satu malam."Kamu udah yakin dan pikirin ini mateng-mateng, Bro? Setelah ini kita tidak bisa bertemu untuk jarak yang lama dong? Bahkan komunikasi pun bakalan susah."Keesokan paginya, disaat Damar dan Guntur tengah bersiap untuk keberangkatan menuju Desa Pendul, Guntur meyakinkan lagi keputusan sang
Masa pengenalan Damar dengan lingkungan tempat dia akan bekerja selesai sudah, hari sudah berganti malam waktunya semua beristirahat.Netra Damar mengedar memperhatikan suasana kamar, memang sedikit berbeda dengan ruang tidurnya di rumah keluarga. Tapi dia tidak mempermasalahkan hal itu, namanya juga merantau pasti ada fase harus belajar menerima dan beradaptasi dengan keadaan. Lagipula disana tempatnya nyaman dan segar karena daerah dataran tinggi."Bro, kamu mau tidur di ranjang atas atau bawah?"Sebuah pertanyaan membuyarkan lamunan Damar. Dia menoleh pada sumber suara, dimana suara tersebut berasal dari Danu, satu-satunya pegawai di perkebunan yang dia kenal."Dimana saja bolehlah," sahut Damar dengan santai.Mendengar jawaban Damar membuat Danu terkekeh. Dia paham betul ini adalah hal baru bagi seorang Damar yang terbiasa hidup di kota dengan berbagai fasilitas cukup mewah. Jangankan ranjang tingkat seperti sekarang ini, berbagi kamar saja pastinya belum pernah."Udah, kamu di ba
"Hmmm… tuh kan terpesona? Kemarin pas diceritain sih nggak percaya."Damar mengerjapkan netra beberapa kali lalu menoleh pada Danu. "Maksudnya dia…"Iya. Dialah Bu Eliana. Nyonya besar sekaligus pemilik perkebunan ini," sahut Danu mengangguk pasti. "Yang sudah janda tiga kali itu," lanjutnya setengah berbisik.Tangan Danu meraih jari Damar yang masih menunjukan ke arah Eliana, beruntung sang nyonya tidak memperhatikan pasti. Arah pandangan wanita bermata sipit itu mengedar memperhatikan tanaman di perkebunannya.Melihat Damar masih terdiam dan terkagum-kagum dengan kecantikan sang juragan, Danu hanya bisa menghela nafas. Dia yang sudah berjalan beberapa langkah terpaksa kembali dan menyeret rekan kerja barunya itu."Eh, mau ngapain kamu? Aku masih normal ya," tolak Damar dengan refleks melepas tangan Danu.Tingkah Damar benar-benar bikin Danu mengelus dada. "Aku juga normal, Bro. Kita harus menghadap nyonya besar, bidadari kebunmu itu."Setelah mendengar alasan Danu menyeretnya, Damar
Bukan benar-benar marah, Damar hanya bercanda dalam melempar kerikil tadi. Danu pun paham rekan kerja barunya itu sedang kecewa berat akibat mati gaya di depan bos.Dua pria yang baru bersahabat sejak kemarin itu berjalan beriringan menuju kebun buah. Jika sebelumnya mereka menyiram tanaman sayur, kini tiba waktunya memberi pupuk pohon buah karena kebanyakan lebih buah memakai penyiraman otomatis.Damar terbelalak melihat buah-buahan yang sebagian besar terkena ulat, ada juga yang pohonnya hampir mati dan sebagian lagi penuh dengan pupuk di bawahnya."Sebentar, Nu. Ini kenapa bisa ada ulat? Katanya setiap hari dikasih pupuk, itu pupuk apaan?"Meskipun bukan kebun miliknya, tapi Damar benar-benar geram. Sekelas perkebunan besar seperti itu tapi pemberian pupuknya masih salah kaprah."Bentar."Danu berjalan menuju sebuah gudang tempat penyimpanan pupuk organik dan anorganik. Karena penasaran Damar pun mengikutinya."Jadi sebelumnya kita hanya fokus pakai pupuk organik, Mar. Tapi tiba-ti
Semalaman Damar diejek habis-habisan oleh Danu karena tantangan yang diberikan oleh nyonya bos."Apa sih, Kamu? Seneng banget kayaknya melihat aku menderita. Nasibku disini itu sedang di ujung tanduk tau nggak?"Damar melempar bantal pada Danu yang sedang duduk di bangku sebelah ranjang. Jika sebelah kanan ranjang ada nakas susun, maka di sebelah kiri terdapat lemari untuk menyimpan pakaian dan satu kursi untuk bersantai."Hahaha… nggak. Aku heran aja kayaknya nyonya bos dendam banget sama kamu ya? Bisa-bisanya anak baru dikasih PR berat begitu."Mendengar pertanyaan Danu hanya membuat Damar mengedikkan kedua bahunya. Dia sendiri juga heran. Apa karena dia mengaku sarjana pertanian dan paham betul tentang ilmu tanaman?Ah, tapi tidak drastis seperti itu juga. Sebagai pegawai baru biasanya tugasnya masih ringan. Baru berangsur untuk tugas yang berat hingga menjadi kepercayaan. Begitu urutan yang semestinya."Ah, aku tau," Danu mengangkat jari telunjuknya."Kenapa?""Pasti karena kamu b
"Set dah. Galak bener itu orang. Tapi tetap cantik sih, makin cantik malah," gumam Damar terkekeh.Pria bertubuh jangkung itu masih berdiri di balik tembok sambil memegangi dada, memastikan detak jantungnya kembali normal karena sempat berpacu akibat rasa takut dan baper yang subah hadir secara bersamaan.Saat itu pula Danu telah datang dan menatap Damar dengan heran. Pria yang memiliki tinggi badan lebih pendek dari Damar itu mendekati sambil menepuk bahu sang teman."Woy, ngapain kamu senderan disini?" Danu menatap tembok dan Damar secara bergantian. "Jangan bilang kamu habis…Belum selesai bertanya, netra Danu seketika melebar saat Damar menganggukan kepala. Dia pun menepuk jidat sambil geleng-geleng kepala."Aduh, Damar. Jadi anak baru jangan banyak tingkah. Nanti nyonya bos marah repot," keluh Danu."Emang udah marah dia. Lagian kamu juga tidak memberi tahu masalah peraturan tembok keliling ini."Tidak ingin dipojokan, Damar pun turut menyalahkan Danu yang tidak lengkap memberik
Meskipun mendapatkan reaksi yang kurang mengenakkan dari sang nyonya bos, Damar tetap mencoba menyampaikan idenya demi keamanan perkebunan dan juga keamanan nyonya bos sendiri."Bagaimana bisa begitu? Sengaja aku bikin tembok keliling agar terpisah antara perkebunan dan pekarangan rumahku. Kini kamu memberikan saran untuk diberi pintu. Jangan ngadi-adi kamu, Mar."Eliana nampak semakin murka dengan ide yang diberikan Damar. Wanita berambut keriting gantung itu menghela nafas kasar. Dia seakan sudah tidak betah lagi berbincang dengan pegawai barunya yang membuat naik pitam."Sabar dulu Nyonya. Saya belum selesai menyampaikan idenya. Jadi begini…Damar mulai melanjutkan pembicaraan tentang idenya yang mendadak muncul tadi. Dia menyarankan untuk diberi akses pintu antara perkebunan dan pekarangan rumah Eliana dengan tujuan agar sang nyonya tidak perlu memutar jika ada kepentingan ke perkebunan.Pintu tersebut harus terbuat dari besi yang kuat yang tidak bisa dibobol, sehingga nyonya bos