Share

Tantangan dari Ayah

Pasca Damar meminta izin pada ibunya untuk bekerja di perkebunan alias jadi tukang kebun, malam harinya di kediaman Adiwangsa diadakan sidang keluarga. Mungkin terkesan terlalu formal jika dibilang sidang, tapi itu memang suatu kegiatan dimana Damar dipojokan oleh semua anggota keluarga.

Sebelumnya makan malam keluarga yang biasanya diwarnai dengan canda tawa Damar dengan Yoga, keponakannya yang masih duduk di bangku kelas lima SD. Malam ini cukup berbeda. Dari awal hingga akhir tidak ada yang berani bersuara hanya dentingan piring dan sendok yang sesekali bersahutan menggema di ruang makan.

Kini Pak Aji, Bu Diyah bersama kedua anaknya duduk bersama di ruang tengah. Yoga telah diajak papanya menuju kamar. Selain ada tugas sekolah, tidak mungkin juga anak sekecil Yoga dilibatkan dalam urusan keluarga yang cukup serius.

"Ibu sudah bilang semuanya sama Ayah. Jadi bener kamu mau jadi tukang kebun di desa terpencil itu?" tanya Pak Aji membuka suara.

Damar yang sedari tadi menunduk sembari memainkan jemarinya sedikit mendongak, hingga pandangannya bertemu dengan sang ayah yang duduk berseberangan. Bu Diyah dan Gantari duduk di bangku samping kanan dan kiri Pak Aji.

Sungguh Damar bagaikan terdakwa yang sedang diadili di persidangan, dimana hakimnya adalah Pak Aji sang ayah.

"Yah…

Damar mencoba menjelaskan bahwa memandang sesuatu tidak boleh sebelah mata. Mungkin Desa Pendul memang terpencil dan jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota, tapi disana memiliki potensi maju asal ada yang mengajari.

Hahahaha!

Disela-sela penjelasan Damar, Pak Aji malah tertawa lepas. "Jadi kamu mau mengajari warga kampung biar maju dalam bertani? Hahahaha…yang namanya petani mau maju apapun ya tetap petani."

Nada ucapan Pak Aji benar-benar menghina niat dan tujuan Damar mengambil pekerjaan tersebut. Bu Diyah dan Gantari pun turut terkekeh dengan cita-cita si bungsu yang terdengar dangkal.

"Terserah kalian saja mau menganggap apa, tapi yang jelas Damar akan tetap mengambil pekerjaan tersebut," sahut Damar.

Wajah pria berhidung mancung itu muram, keningnya pun berkerut, menandakan siempunnya sudah tidak nyaman lagi.

"Oke."

Mendengar satu kata yang keluar dari Pak Aji cukup membuat dua wanita di keluarga Adiwangsa menoleh kaget. Terutama Bu Diyah, dia yang begitu menginginkan Damar menjadi penerus ayahnya di perusahaan. Sementara Gantari merasa aman, setidaknya tidak ada yang akan mengganggunya di perusahaan.

"Yah, kok kamu setuju gitu sih?" protes Bu Diyah.

Pria paruh baya dengan rambutnya yang sebagian sudah memutih mengangkat salah satu tangannya, sebagai pertanda bahwa istrinya diminta tenang.

"Mau bagaimana lagi, Bu? Ini sudah keputusan Damar. Ayah setuju-setuju saja, asalkan…

Ternyata dibalik persetujuan Pak Aji dengan kepergian Damar nanti memiliki syarat tertentu. Ya, bagaimanapun Damar adalah anak laki-lakinya yang diharapkan menjadi penerus. Sayangnya sang putra malah memiliki minat yang berseberangan dengan perusahaan yang dia bangun selama ini.

Ketiga orang yang berada di ruang tengah itu begitu serius menunggu kata-kata yang akan dilontarkan Pak Aji berikutnya. Terutama Damar, dia khawatir syarat yang diberikan akan cukup berat dan kesempatannya mewujudkan impian akan hilang.

"Asal Damar bisa hidup tanpa fasilitas dari kita," lanjut Pak Aji.

Bu Diyah membulatkan netranya, bibirnya pun terbuka cukup lebar saking terkejutnya. Membayangkan putranya tinggal di desa yang terpencil saja sudah membuatnya was-was, kini ditambah lagi tanpa fasilitas.

Masih teringat jelas Damar sering kekurangan ini dan itu sewaktu KKN dulu. Padahal segala sesuatu masih dijamin kampus dan pihak desa yang bekerja sama. Sementara ini Damar akan mengadu nasib, parahnya lagi menjadi tukang kebun.

Wanita berambut pendek dan bergelombang itu tentunya semakin khawatir, belum lagi sang ayah mengancam akan mencabut fasilitas. Kekhawatiran pun sampai puncak.

Mendengar syarat yang diajukan oleh ayahnya, bukannya menjadi takut Damar malah tersenyum sumringah. Setidaknya dia diberi kesempatan untuk membuktikan cita-cita dan impiannya yang dipandang sebelah mata.

"Oke. Akan Damar buktikan bisa hidup tanpa bayang-bayang nama Adiwangsa lagi."

Bu Diyah menggelengkan kepalanya dengan cepat, sementara Pak Aji hanya menaikkan satu alisnya mendengar jawaban si bungsu.

Merasa sidangnya sudah selesai, Damar pun beranjak dari tempat duduknya. Baru saja melangkah pria berkulit sawo matang itu menghentikan gerakannya.

"Satu lagi, Damar juga akan buktikan bahwa impianku ini mahal dan patut dibanggakan. Bukan dipandang sebelah mata," imbuhnya dengan penuh keyakinan.

"Silahkan saja. Ayah hanya butuh bukti, bukan bualanmu itu."

Pak Aji menyahut dengan mengangkat kedua tangannya. Jelas terlihat bahwa pemilik Adiwangsa group itu meremehkan ucapan dari putranya. Apalagi sesukses-suksesnya petani, tidak akan dipandang mata dunia, berbeda dengan bisnis perkantoran.

Damar mengangguk mantap, tatapannya mengintimidasi sang ayah dan dua wanita yang selama ini selalu hidup bersamanya. Kemudian pria bertubuh jangkung itu melenggang pergi ke kamarnya.

"Damar…" lirih Bu Diyah yang tidak rela anaknya harus pergi dari rumah.

"Udah, Bu. Biarkan saja, biar Damar merasakan akibat dari keputusannya yang salah."

Gantari mencegah ibunya yang hendak mengejar Damar. Wanita paruh baya itupun hanya terduduk lemah, bulir bening yang sedari tadi dia tahan, kini mulai mengalir membasahi pipi nya.

Selang beberapa detik Damar keluar lagi dengan membawa tas dan kopernya. Tiga manusia yang masih duduk di ruang tengah hanya memperhatikan Damar dalam diam.

Brakkk…

Kunci motor dengan segala perlengkapannya, jam tangan, handphone, ATM dan semua fasilitas yang Damar dapat dari orangtuanya di letakkan semua di meja, tepat di hadapan ayahnya.

"Ini semua fasilitas yang Ayah dan Ibu berikan aku kembalikan. Koper ini berisi pakaian yang dibeli dari uang kalian juga, Damar tidak akan bawa. Damar hanya membawa yang dibeli dengan uang semasa part time kuliah dulu."

Damar benar-benar hanya membawa barang-barang yang dia beli dengan uang hasil jerih payah sendiri. Bahkan uang pun dia hanya membawa satu lembar lima puluh ribuan. Karena selama jualan tanaman lewat online masih sepi.

"Tidak begitu, Damar. Kalau kamu tinggalkan semua ini, bagaimana hidupmu disana nanti? Terus kalau ibu ingin tau kabarmu bagaimana?"

Bu Dyah melayangkan serentetan pertanyaan. Dibalik sikapnya yang keras dan suka memaksakan kehendak, sebenarnya dia begitu menyayangi Damar. Hanya saja mungkin caranya yang salah dalam mendidik.

"Ibu tenang saja. Selagi Damar mau berusaha, pasti akan ada jalan untuk mendapatkan barang-barang ini kembali dengan uang Damar sendiri." Sahutan Damar begitu penuh keyakinan.

"Buktikan. Ayah butuh bukti bukan bualanmu seperti ini," sambung Pak Aji.

"Oke. Damar pergi."

Sebelum benar-benar meninggalkan rumah tinggal keluarga besarnya, tidak lupa Damar mencium tangan kedua orang tua dan kakaknya terlebih dahulu. Dia juga berpamitan dengan kakak ipar dan keponakan satu-satunya yang selalu menjadi teman berantem.

"Om Damar bakalan pergi jauh ya? Nanti kita nggak bisa main lagi dong, Om?" tanya bocah yang hobi main sepak bola itu.

Damar mengulum senyum. "Om pasti akan kembali, nanti kalau Om sudah kembali, Yoga sudah harus pandai main sepak bolanya ya," sahutnya seraya mengacak rambut sang keponakan.

Tiinnn…Tiiinnn…

Sebuah suara klakson mengalihkan perhatian Damar, dia pun mempercepat acara pamitannya. Sebagai seorang pria pantang untuk menangis, walaupun dalam hatinya cukup sedih karena akan berpisah dengan keluarganya dengan cukup lama.

Namun ada hal yang harus diperjuangkan, yakni harga diri dan cita-citanya. Apapun akan Damar lakukan demi pembuktian kepada orang-orang yang telah meremehkannya.

"Damar naik ojek? Emang dia punya uang? Bukannya dari sini ke Desa Pendul itu jauh?" tanya Bu Dyah pada Gantari.

Sayangnya Gantari tidak mengindahkan pertanyaan sang ibu dan seolah tidak peduli pada keselamatan adiknya diluar sana. Wanita berambut pendek itu pergi seraya mengedikkan kedua bahunya.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status