Share

Bab 7.

"Ayo kita pulang." Ardhan berjongkok di samping Hara. Ia mengucapkan itu dengan lembut sembari memegang kedua lengan Hara. Air mata masih membasahi pipi tirusnya.

Dengan tubuh yang lemas dan perasaan sedih yang mendalam. Hara pingsan saat akan pulang. Ardhan sigap menangkap tubuh kurus itu dan membawanya ke mobil. Ditarunya di kursi depan dan dipasangkan sabuk pengaman. Ardhan bergegas mengendarai mobil untuk kembali ke rumah Hara. 

Sesampainya di rumah ia menaruh Hara di kamar, membiarkannya berbaring. Lalu mengambil minyak angin dan menaruhnya di dekat hidung. Namun, Hara tak kunjung siuman. Ia membiarkan Hara, mungkin gadis kecil itu butuh istirahat. 

Ardhan ke belakang untuk memeriksa para pelayat yang masih ada. Mereka memasak makanan untuk kenduri nanti malam. Ardhan meminta maaf karena Hara tak dapat membantu dikarenakan pingsan. Meski tak terlalu menyukai keluarga Hara, para tetangga yang melayat paham. 

Ardhan ingin kembali ke kamar, tetapi sering ponsel menghentikan tangannya yang akan membuka pintu kamar. Dari ekspresi wajahnya ia nampak tak nyaman mendapat telepon itu. Namun, ia tetap menjawab dan menjauh, ia memilih tempat sepi di kamar lainnya. 

"Hal---." Belum sempat Ardhan menyelesaikan ucapannya, sosok di seberang sana sudah banyak bicara. 

"Apa ini Ardhan? Apa benar kamu menikah dengan anak perempuan jalang itu? Jawab Mama Ardhan. Jangan diam saja!" ucapnya dengan emosi. 

Ardhan menghela napas. "Iya." 

"Iya apa? Kamu benar menikah dengannya? Apa yang kamu pikirkan! Mama tidak menerima pernikahan ini!"

Inilah alasan ia tak memberitahu keluarganya, meski papanya memberi restu. Ia sudah menduga sang mama tak akan mengizinkan, mengingat kesalahpahaman masa lalu yang pernah terjadi. Dan dugaannya sekarang benar. 

"Saya sudah dewasa, Ma. Lagi pula selama ini Mama memaksa saya untuk menikah. Sekarang saya sudah menikah, harusnya Mama senang sekarang."

Terdengar teriakan kemarahan dari sebrang sana. Enggan menanggapi kemarahan lebih lama. Ardhan memutus telepon itu secara sepihak. Ia tahu mamanya pasti akan bertambah marah, tetapi ia sudah tiga puluh tujuh tahun, sudah sangat cukup memiliki kebebasan untuk memilih istri. 

Masih dilingkupi emosi akibat telepon dari mamanya Ardha memejamkan mata dan mengepalkan tangan. Ia tahu rumah tangganya dengan Hara tak akan mudah. Namun, ia sudah berjanji untuk membahagiakan Hara, bagaimanapun ia akan selalu menjadi tameng dan pelindung bagi istrinya itu. 

Ardhan hendak kembali ke kamar di mana Hara berada, tetapi belum sampai ia sudah melihat Hara yang baru saja keluar dari kamar dengan pakaian rumahan. Terlihat pula wajahnya lebih baik meski sedikit pucat. 

"Kamu mau ke mana? " Dalam pertanyaan Ardhan mengandung perasaan khawatir. 

"Mau bantu ibu-ibu masak. Enggak enak kalau enggak bantu."

"Istirahat saja, wajahmu pucat, " titah Ardhan disambut penolakan Hara. 

"Enggak. Aku mau bantu mereka. Enggak enak, masa iya sebagai tuan rumah aku enggak ngapa-ngapain. " 

Hara berjalan meninggalkan Ardhan tanpa menunggu persetujuan. Ardhan membiarkan, lagipula yang dikatakan Hara ada benarnya. Jika Hara tidak membantu Ardhan takut akan ada gosip tak enak lagi yang mungkin akan sampai di telinganya. 

Karena pernikahan yang begitu mendadak Ardhan sekarang bingung hendak berganti pakaian dengan apa. Sebab ia hanya memakai kemeja yang ia pakai sekarang. 

Ardhan langsung menyuruh anak buahnya untuk mengantarkan pakaiannya. Ia sudah tak tahan mengenakan baju yang basah oleh keringat itu. Setelah menunggu beberapa lama, ia ke luar untuk mengambil pakaian yang dibawakan anak buahnya. 

"Saya tidak akan masuk kantor beberapa hari ke depan. Saya juga tidak ingin diganggu. Jadi jangan menelepon sebelum saya telepon. Sampaikan juga hal ini pada sekretaris saya. Kamu boleh pergi."

***

Malam hari, di rumah Hara terdengar suara orang mengaji. Sekarang sedang dilaksanakan acara tahlilan untuk kepergian ibu Hara. Ardhan menjadi tuan rumah, ia yang bertanggungjawab atas rumah itu dan Hara. Ia sedang menemani bapak-bapak yang mengaji. Sementara Hara di dapur bersama ibu-ibu yang membantu memasak. 

Selesai acara rumah itu kembali sepi. Hanya ada Hara dan Ardhan yang membereskan rumah. Awalnya Ardhan meminta Hara untuk beristirahat saja, tetapi ditolak dengan alasan tidak enak hati. 

"Tidur saja, sudah malam. Biar saya yang menyelesaikan sisanya," ucap Ardhan saat melihat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. 

"Enggak. Ini bentar lagi juga selesai, nanggung," jawab Hara dan meneruskan menyapu bagian dapur. 

Ardhan menghela napas. Ia kembali ke depan untuk mengecek pintu dan jendela apakah sudah ia kunci. Saat kembali ia masih melihat Hara di dapur memasukkan beberapa peralatan makan ke lemari di atas wastafel. 

Karena postur tubuh yang pendek Hara kesusahan untuk menaruhnya. Dengan cekatan Ardhan mengambil alih peralatan makan yang ada di tangan Hara. Lalu ia juga mengambil peralatan makan lain yang ada di hadapan mereka. 

Bila ada orang yang melihatnya akan berpikir Ardhan memeluk Hara dari belakang, padahal tidak. Posisi mereka sangat dekat, bahkan rambut Hara menyentuh pakaian Ardhan saat pria itu bergerak. 

Hara yang bingung hanya diam mematung. Ia tak berniat untuk menoleh ataupun bergeser. Ardhan juga acuh, niatnya hanya ingin membantu Hara, tidak lebih. 

"Kenapa aku deg-degan gini, sih. Sadar Hara, sadar," ucap Hara dalam hati. Entah mengapa ia merasakan perasaan aneh ini. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status