Share

Bab 5

Awan mendung tengah menyelimuti Hara. Pagi ini dokter mengatakan kondisi sang ibu memburuk saat pemeriksaan pagi, karena hal itu ibunya perlu penanganan lebih serius. Ia menunggu di luar ruangan dengan cemas. Tak henti-hentinya bibir mungil itu merapal doa. Berharap sang ibu bisa bertahan lebih lama. 

Ia tak dapat berpikir jernih. Setelah mengirim pesan kepada Ardhan, ia menaruh ponselnya dan tak mengeceknya lagi. Hara butuh Ardhan sekarang. Ia butuh dada bidangnya untuk menangis. 

Suara-suara percakapan ia dan ibunya semalam terputar di otaknya. Apalagi senyuman sang ibu saat mengatakan bahagia akan melihat putrinya menikah. 

Suara pintu terbuka menyita perhatiannya. Langsung Hara berdiri dan menghampiri suster yang keluar. Ia tak mengatakan banyak hal, hanya memberi tahu bahwa sang ibu akan dipindahkan ke ruang ICU. 

Dokter serta suster lain keluar bersama sang ibu untuk dibawa ke ruang ICU. Saat melihat sang ibu, Hara langsung menangis. Sang ibu kehilangan kesadaran. Ia hanya mampu menangis sembari mengikuti suster. 

Ia hanya diperbolehkan menunggu di depan. Sementara dokter dan suster tengah menanganinya di dalam. Hara sudah tak memiliki kekuatan lagi. Ia menangis dan membiarkannya larut dalam kesedihan. 

Ia merogoh saku celananya yang bergetar. Tertera nama Om Ardhan di sana. Dengan cepat ia menjawab panggilan itu. Memang orang itulah yang ia butuhkan sekarang. 

"Ha-halo, Om." Suaranya terbata. Ia masih menangis dan mencoba menahan tangisnya agar suaranya terdengar jelas. 

"Halo, Hara, apa yang terjadi dengan tante Mirna? Bagaimana kondisinya? Hara, halo, Hara. Cepat jawab saya," ucap Ardhan beruntun tanpa jeda. Ia merasa khawatir sejak menerima pesan yang dikirim Hara. 

"I-Ibu masuk ICU, Om." Hara mengucapkan ini dengan suara lemah. Kekuatannya terkuras habis ketika menangis. Bahkan ia belum sarapan pagi ini. 

Sekarang ia sedang menuju ke rumah sakit. Ia mengabaikan rapat pagi ini dan mementingkan Hara. Ardhan tak bisa membayangkan bagaimana kondisi Hara sekarang. Dengan kecepatan di atas rata-rata Ardhan membawa mobil mewah berwarna hitam. 

Ia tak memikirkan keselamatannya. Yang terpenting baginya sekarang adalah cepat sampai di rumah sakit dan bisa melihat kondisi Hara. Entah mengapa perasaannya tak enak sejak semalam. Ia menyetir dengan perasaan gelisah. 

"Kamu tenang, ya, jangan menangis lagi. Saya akan segera sampai."

Setelah mengucapkan itu, sambungan telepon diputus Ardhan. Hara hanya diam dan berusaha mengontrol tangisannya. Dimasukkan kembali ponsel itu dan duduk menyenderkan punggung pada kursi. Sekarang ia takut. Takut sang ibu akan meninggalkannya. 

Ia takut hidup tanpa sang ibu. Setelah kepergian ayahnya, ia hanya berharap sang ibu diberi umur panjang serta kesehatan. Namun sayang, penyakit diabetes yang sudah lama diidap sang ibu memicu penyakit lain untuk datang. Mirna mengalami komplikasi setahun belakangan. Bahkan harus cuci darah karena ginjalnya juga bermasalah. 

Hara yang masih sekolah merelakan waktu luangnya untuk bekerja. Ia sadar uang yang dihasilkan tak akan cukup. Namun, dengan bantuan Ardhan ia cukup tenang. Karena itulah ia memutuskan mau menikah. Selain karena permintaan sang ibu, itu juga merupakan ucapan terima kasih atas kebaikan Ardhan selama ini kepada dirinya dan keluarga. 

Ardhan bergegas dengan cepat saat sampai di rumah sakit. Ia langsung menuju ICU. Ia berlari secepat yang ia bisa. Mengabaikan tatapan dari staf maupun keluarga pasien lain yang melihatnya. Rasanya tak sabar untuk segera mendekap tubuh Hara dan menguatkannya. 

Napasnya terengah-engah. Ia berdiri di lorong menuju ruang ICU untuk mengatur napas. Ia melihat Hara yang terduduk seraya menyenderkan punggungnya pada dinding. Rambutnya terlihat berantakan. Lihatlah tubuhnya yang kurus itu. Ardhan baru menyadari Hara terlihat lebih kurus sekarang. 

Ardhan bisa melihat napas Hara yang naik turun saat semakin dekat. Ia tak tega melihat wajah Hara saat ini. Hidung yang memerah, mata yang terlihat habis menangis, bahkan ia masih terlihat sesenggukan. 

Ardhan langsung mendekapnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. "Semuanya akan baik-baik saja, Hara." 

Ardhan memeluknya erat, Hara tak membalas. Hanya diam, kemudian terisak. Ardhan membiarkannya menangis. Ia tahu gadis kecilnya sedang ketakutan. Hatinya terasa sakit melihat gadis kecilnya seperti ini. 

Saat merasa lebih baik. Hara melepaskan dirinya. Ardhan memberinya sapu tangan dan menghapus sisa air mata. Mendapat perlakuan seperti itu, Hara kembali menangis dan memeluk Ardhan. 

Suara pintu membuat keduanya menghentikan adegan berpelukan itu. Ardhan menghampiri dokter, sementara Hara menyeka air mata dan membersihkan ingus pada sapu tangan yang diberikan Ardhan. Ia merasa canggung menemui dokter dengan keadaan seperti itu. 

"Bagaimana keadaannya, Dok?" Nada suara Ardhan terdengar cemas. Ia Berharap-harap cemas. Dalam hati berdoa agar Mirna tak apa-apa. 

Dokter terdiam sejenak. Ia menoleh melihat Hara. Dokter itu telah menangani Mirna sejak lama. Ia mengenal baik Ardhan dan Hara. Rasanya berat mengucapkan hal itu. Sebab, ia tahu bahwa Hara hanya tinggal mempunyai sang ibu. "Saya tidak yakin Ibu Mirna akan bertahan lebih lama lagi," ucapnya dengan suara pelan. 

"Beliau sudah bertahan sejauh ini, tetapi tak ada perubahan juga selama ia dirawat. Bahkan keadaannya semakin menurun setiap harinya," sambung sang Dokter lagi. 

Hara terdiam. Ia mencerna dengan baik perkataan dokter. Tubuhnya lemas, bahkan sekarang ia tak mampu untuk menangis lagi. Ardhan terdiam, ia tak tahu harus bagaimana sekarang. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status