Awan mendung tengah menyelimuti Hara. Pagi ini dokter mengatakan kondisi sang ibu memburuk saat pemeriksaan pagi, karena hal itu ibunya perlu penanganan lebih serius. Ia menunggu di luar ruangan dengan cemas. Tak henti-hentinya bibir mungil itu merapal doa. Berharap sang ibu bisa bertahan lebih lama.
Ia tak dapat berpikir jernih. Setelah mengirim pesan kepada Ardhan, ia menaruh ponselnya dan tak mengeceknya lagi. Hara butuh Ardhan sekarang. Ia butuh dada bidangnya untuk menangis.
Suara-suara percakapan ia dan ibunya semalam terputar di otaknya. Apalagi senyuman sang ibu saat mengatakan bahagia akan melihat putrinya menikah.
Suara pintu terbuka menyita perhatiannya. Langsung Hara berdiri dan menghampiri suster yang keluar. Ia tak mengatakan banyak hal, hanya memberi tahu bahwa sang ibu akan dipindahkan ke ruang ICU.
Dokter serta suster lain keluar bersama sang ibu untuk dibawa ke ruang ICU. Saat melihat sang ibu, Hara langsung menangis. Sang ibu kehilangan kesadaran. Ia hanya mampu menangis sembari mengikuti suster.
Ia hanya diperbolehkan menunggu di depan. Sementara dokter dan suster tengah menanganinya di dalam. Hara sudah tak memiliki kekuatan lagi. Ia menangis dan membiarkannya larut dalam kesedihan.
Ia merogoh saku celananya yang bergetar. Tertera nama Om Ardhan di sana. Dengan cepat ia menjawab panggilan itu. Memang orang itulah yang ia butuhkan sekarang.
"Ha-halo, Om." Suaranya terbata. Ia masih menangis dan mencoba menahan tangisnya agar suaranya terdengar jelas.
"Halo, Hara, apa yang terjadi dengan tante Mirna? Bagaimana kondisinya? Hara, halo, Hara. Cepat jawab saya," ucap Ardhan beruntun tanpa jeda. Ia merasa khawatir sejak menerima pesan yang dikirim Hara.
"I-Ibu masuk ICU, Om." Hara mengucapkan ini dengan suara lemah. Kekuatannya terkuras habis ketika menangis. Bahkan ia belum sarapan pagi ini.
Sekarang ia sedang menuju ke rumah sakit. Ia mengabaikan rapat pagi ini dan mementingkan Hara. Ardhan tak bisa membayangkan bagaimana kondisi Hara sekarang. Dengan kecepatan di atas rata-rata Ardhan membawa mobil mewah berwarna hitam.
Ia tak memikirkan keselamatannya. Yang terpenting baginya sekarang adalah cepat sampai di rumah sakit dan bisa melihat kondisi Hara. Entah mengapa perasaannya tak enak sejak semalam. Ia menyetir dengan perasaan gelisah.
"Kamu tenang, ya, jangan menangis lagi. Saya akan segera sampai."
Setelah mengucapkan itu, sambungan telepon diputus Ardhan. Hara hanya diam dan berusaha mengontrol tangisannya. Dimasukkan kembali ponsel itu dan duduk menyenderkan punggung pada kursi. Sekarang ia takut. Takut sang ibu akan meninggalkannya.
Ia takut hidup tanpa sang ibu. Setelah kepergian ayahnya, ia hanya berharap sang ibu diberi umur panjang serta kesehatan. Namun sayang, penyakit diabetes yang sudah lama diidap sang ibu memicu penyakit lain untuk datang. Mirna mengalami komplikasi setahun belakangan. Bahkan harus cuci darah karena ginjalnya juga bermasalah.
Hara yang masih sekolah merelakan waktu luangnya untuk bekerja. Ia sadar uang yang dihasilkan tak akan cukup. Namun, dengan bantuan Ardhan ia cukup tenang. Karena itulah ia memutuskan mau menikah. Selain karena permintaan sang ibu, itu juga merupakan ucapan terima kasih atas kebaikan Ardhan selama ini kepada dirinya dan keluarga.
Ardhan bergegas dengan cepat saat sampai di rumah sakit. Ia langsung menuju ICU. Ia berlari secepat yang ia bisa. Mengabaikan tatapan dari staf maupun keluarga pasien lain yang melihatnya. Rasanya tak sabar untuk segera mendekap tubuh Hara dan menguatkannya.
Napasnya terengah-engah. Ia berdiri di lorong menuju ruang ICU untuk mengatur napas. Ia melihat Hara yang terduduk seraya menyenderkan punggungnya pada dinding. Rambutnya terlihat berantakan. Lihatlah tubuhnya yang kurus itu. Ardhan baru menyadari Hara terlihat lebih kurus sekarang.
Ardhan bisa melihat napas Hara yang naik turun saat semakin dekat. Ia tak tega melihat wajah Hara saat ini. Hidung yang memerah, mata yang terlihat habis menangis, bahkan ia masih terlihat sesenggukan.
Ardhan langsung mendekapnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. "Semuanya akan baik-baik saja, Hara."
Ardhan memeluknya erat, Hara tak membalas. Hanya diam, kemudian terisak. Ardhan membiarkannya menangis. Ia tahu gadis kecilnya sedang ketakutan. Hatinya terasa sakit melihat gadis kecilnya seperti ini.
Saat merasa lebih baik. Hara melepaskan dirinya. Ardhan memberinya sapu tangan dan menghapus sisa air mata. Mendapat perlakuan seperti itu, Hara kembali menangis dan memeluk Ardhan.
Suara pintu membuat keduanya menghentikan adegan berpelukan itu. Ardhan menghampiri dokter, sementara Hara menyeka air mata dan membersihkan ingus pada sapu tangan yang diberikan Ardhan. Ia merasa canggung menemui dokter dengan keadaan seperti itu.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" Nada suara Ardhan terdengar cemas. Ia Berharap-harap cemas. Dalam hati berdoa agar Mirna tak apa-apa.
Dokter terdiam sejenak. Ia menoleh melihat Hara. Dokter itu telah menangani Mirna sejak lama. Ia mengenal baik Ardhan dan Hara. Rasanya berat mengucapkan hal itu. Sebab, ia tahu bahwa Hara hanya tinggal mempunyai sang ibu. "Saya tidak yakin Ibu Mirna akan bertahan lebih lama lagi," ucapnya dengan suara pelan.
"Beliau sudah bertahan sejauh ini, tetapi tak ada perubahan juga selama ia dirawat. Bahkan keadaannya semakin menurun setiap harinya," sambung sang Dokter lagi.
Hara terdiam. Ia mencerna dengan baik perkataan dokter. Tubuhnya lemas, bahkan sekarang ia tak mampu untuk menangis lagi. Ardhan terdiam, ia tak tahu harus bagaimana sekarang.
Ardhan bingung sesampainya di depan pintu kamar mereka. Suara tangis Hara membuatnya tak dapat berpikir dengan tenang. Khawatir dan cemas yang ia rasakan. "Hara, kamu tidak apa-apa di dalam? Tenang, Hara. Saya di sini, kamu tidak sendirian," ucap Ardhan mencoba menenangkan Hara karena ia tidak bisa masuk. Tidak ada pencahayaan untuknya bisa mencari kunci cadangan. Di dalam, Hara mencoba menenangkan dirinya setelah mendengar suara sang suami. Meskipun tadi ia marah, sekarang ada rasa sedikit lega karena ia tidak sendirian. Mencoba meredam suara tangis yang ia keluarkan karena tau ada orang yang mengkhawatirkannya di luar pintu. "Tenang, Hara. Jangan takut, saya di sini, " ucap Ardhan lagi, sebab Hara tak menjawab, hanya terdengar isak tangis dan sesenggukan. "Gelap, Om. Aku takut," ucap Hara lirih dengan isak tangis yang masih terdengar. Ardhan hanya bisa pasrah dan berharap listrik segera menyala. Dan benar, tak lama setelah itu listrik kembali menyala. Ardhan mengambil kunci
Ardhan yang merasa salah mencoba meminta maaf. "Maaf, Hara. Maafkan saya, saya tidak bermaksud demikian." Ucapan Ardhan dihiraukan Hara. Dengan rasa sakit akibat jatuh ke lantai. Ardhan mengejar Hara sampai ke kamar. Mendapati pintu yang tertutup Ardhan menduga bahwa Hara menguncinya. Saat mengetuk ternyata benar. Pintu itu dikunci dari dalam. Ardhan mencoba memikirkan cara yang pas agar Hara membukakan pintu, tetapi tak membuatnya tambah marah. Kemudian, sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya. Dengan senyum Ardhan membayangkan ide itu akan berhasil. Tok, tok. Ardhan mengetuk pintu diiringi suara dehamannya. "Hara, kenapa kamu kunci pintunya? Saya minta maaf Hara. Saya tidak bermaksud membuat kamu marah." Di dalam, Hara mendengkus mendengarnya. 'Apanya yang engga bermaksud buat aku marah. Jelas-jelas dia ngeledek. Mana ngeledeknya kesannya aku yang pengen banget dicium lagi. Salah sendiri sikapnya bikin pikiran ke mana-mana.' Hara mendiamkan Ardhan. Ia merasa kesal dan malu.
Suasana yang awalnya biasa saja menjadi berbeda bagi Hara. Entahlah, ada hal-hal baru yang ia sendiri bingung dalam menanggapi dan mencernanya. Apalagi tentang respon tubuh dan perasaannya. Ia hanya bisa merasakan dan belum mampu menjelaskan. Suara TV nampaknya kalah keras dibandingkan suara detak jantung Hara. Ardhan yang menyadarinya menahan tawa. Istri kecilnya sangat lucu. Padahal dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama, tetapi setelah menikah seperti orang asing saja. Dulu mereka banyak menghabiskan waktu sebagai om dan keponakan. Dulu rasanya nyaman-nyaman saja. Bahkan waktu kebersamaan mereka terasa cepat padahal sudah menghabiskan berjam-jam. Namun, sekarang semuanya berbeda. Entah hanya karena keadaan atau perasaan sudah naik tingkat menjadi rasa suka. Dengan ide jahilnya. Ardhan menggoda Hara. Ia mencodongkan badannya ke telinga Hara. "Hara, apa kamu mendengarnya?" tanya Ardhan sembari seperti mencari sesuatu. Dengan wajah polosnya. Hara mengerutkan dahi. Ia tak me
Indra penciuman Ardhan aktif kala memasuki rumah. Biasanya ia pulang saat langit sudah gelap, tetapi kali ini langit masih dihiasi taburan warna orange ia sudah ada di rumah. Langkahnya tanpa sadar membawanya ke sumber darimana aroma wangi itu berasal.Seorang gadis tengah asik memasak di depan kompor dengan celemek berwarna biru muda yang terlihat sedikit kebesaran. Ardhan tersenyum, pemandangan asing yang kini mulai terbiasa ia lihat. Hara tak menyadari kedatangan Ardhan dan masih sibuk dengan alat penggorengan serta masakan yang sedang ia masak. Tiba-tiba sebuah suara berat mengejutkannya. "Kamu masak apa? Aromanya dari ruang tamu sudah tercium. Sepertinya sangat lezat." Hara yang terkejut refleks menoleh ke sumber suara dengan kelopak mata yang terbuka cukup lebar. "Ngagetin aja, ih, Om," kesal Hara dengan wajah memberengut. Sementara Ardhan tersenyum lebar karena melihat senyuman itu. "Apa suara saya membuat kamu terkejut? Maaf jika begitu. Kamu pasti terlalu asyik memasak sam
Ada rasa aneh yang menyapanya. Detak jantungnya berdetak lebih kencang. Tubuhnya seolah membeku, otaknya mencoba mencerna apa yang terjadi. "Nah, sudah," ucapnya dengan senyum tersungging. Menyadari Hara yang diam tidak merespon membuatnya menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Dengan cepat ia meminta maaf. "Maaf, Hara. Saya tidak bermaksud lancang. Sekali lagi saya minta maaf." Radit dengan tulus meminta maaf. Hara langsung mencoba bersikap normal dan sealami mungkin, tetapi tetap saja ia merasa terkejut. Hara tersenyum dengan agak dipaksakan agar suasana kembali mencair dan memilih langsung masuk ke rumah. Radit mengikuti Hara. Melihat tubuh mungil itu entah mengapa membuat Radit tersenyum. Tingkah Hara terlihat lucu di matanya. Padahal perempuan itu adalah istri dari bos sekaligus orang yang ia anggap sebagai kakak. Sembari menunggu Hara yang sedang membersihkan diri. Radit menunggu di ruang tamu dengan memainkan ponselnya. Dengan baju formal Radit terlihat tampan. Pri
Setelah pernyataan Ardhan, Hara berubah. Bukan menjadi lebih dekat, ia membentangkan jarak. Meski tidur bersama, bukan berarti Hara menerima pernikahan itu dengan ikhlas.Aroma masakan yang keluar dari dapur membuat Ardhan yang sedang menuruni tangga tersenyum kecil. Ia sadar semalam setelah pernyataannya Hara memberi jarak, tetapi setidaknya ada kelegaan dalam dirinya. Ia tak mau munafik, setelah satu bulan menikah perasaan nyaman mulai muncul, bukan memandang Hara sebagai keponakan atau adik, tetapi sebagai seorang istri.Hara terlihat pandai memasak, tangannya dengan cekatan memasukkan bahan-bahan masakan ke dalam wajan dan mengaduknya, sembari makanan itu matang ia bergegas menyiapkan meja. Pagi tadi ia mengatakan kepada Mbok Sur bahwa sekarang soal memasak dirinya yang akan mengambil alih. Awalnya Mbok Sur menolak, tetapi Hara memaksa dan mengatakan Ardhan menyetujuinya."Kamu terlihat seperti istri yang sempurna, Hara," ucap Ardhan saat m