"Kamu sudah memilih gaun pernikahan?"
Matahari baru beranjak keluar. Matanya baru terbuka, bahkan ia belum sempat mencuci wajahnya, tetapi sang ibu sudah melontarkan kalimat yang merusak pagi harinya.
Hara membiarkannya. Ia memilih ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan mandi. Kemarin ia kembali malam hari setelah perdebatan panjang dengan Ardhan.
Saat menggosok gigi, ia menyentuh bibirnya. Bibir yang sebelumnya suci, kini sudah terkotori. Meskipun itu hanya kecelakaan tetap saja sudah berciuman dan ia menikmatinya. Mengingat hal itu membuat perasaan Hara semakin kesal, bagaimana bisa ia menikmati hal itu.
Memikirkan kejadian dan ucapan Ardhan memuatnya kesal dan malu. Ia menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran itu. Memilih mencuci wajah dan mandi adalah hal terbaik.
Saat keluar dari kamar mandi ia melihat sang ibu memegang ponselnya. Hal itu sudah biasa terjadi, tetapi entah perasaannya tak enak melihat sang ibu memegang ponselnya. Namun, ia membiarkan saja dan memilih memoles wajahnya dengan pelembab dan teman-temannya.
Saat sedang menatap dirinya di cermin dengan meratakan sesuatu di wajahnya. Ia dibuat terkejut oleh pertanyaan sang ibu. "Apanya yang manis Hara?"
"Hah. Eh. Apa, Bu?" tanya Hara.
Sadar anaknya sedang tak fokus, Mirna melupakan pembicaraan yang tadi ia mulai. Lebih baik ia beristirahat sekarang. Karena tak ada guna jika membahasnya sekarang.
Hara tak mengerti mengapa ibunya memilih diam. Enggan menganggu istirahat sang ibu. Ia memilih mencari sarapan pagi. Perutnya cukup keroncongan karena tadi malam ia tak dapat makan banyak.
Ponselnya bergetar saat menutup pintu kamar rawat inap. "Pagi-pagi udah ganggu aja, sih," gerutunya saat mendapati pesan dari Ardhan.
Dari pada selera makannya hilang. Hara mengabaikannya dan bergegas mencari makan. Ia memilih bubur ayam yang dijual di dekat rumah sakit itu. Selain enak, harganya juga ramah. Ia membeli dua bungkus dan membawanya ke dalam.
"Kamu harus menjaga pola makan," ujar Mirna saat Hara menyantap sarapannya.
"Iya, Bu." Hara menjawab seadanya. Ia kembali menyantap makanan itu.
"Kamu sudah memilih gaun pernikahan, 'kan?"
Ucapan Mirna membuat Hara menghentikan aktivitas makannya. Ia melihat sang ibu dan memundurkan mangkuknya ke meja di depan sofa yang sedang ia duduki.
"Bu. Aku tidak akan menikah dengan Om Ardhan. Jadi, tolong jangan bicarakan soal pernikahan lagi," ucap Hara dengan emosi.
"Kamu mau liat Ibu meninggal dengan membawa beban berat? Ibu enggak akan meninggal dengan tenang kalau kamu tidak mau menikah dengan Ardhan."
Hara menatapnya tak percaya. "Bu, kok ngomong gitu. Ibu bakal sembuh."
"Ibu bukan anak kecil yang bisa kamu bodohi. Lagi pula ibu yang merasakannnya. Jadi Ibu yang paham dengan kondisi tubuh."
"Apa sulitnya, Sayang kamu menikah dengan Ardhan? Kamu akan menjadi orang berada. Hidup enak, Ardhan sayang dengan kamu, dan dia bakal menjaga kamu." Hara tak jadi berbicara saat Mirna mengucapkan ini.
"Meski hubungan kalian bukan akan seperti suami istri. Setidaknya Ibu percaya dia akan menjaga dan tidak akan membiarkan kamu dalam bahaya. Jadi, Ibu mohon turuti permintaan terakhir Ibu," ucap Mirna dengan nada lembut.
"Aku sudah dewasa, Bu. Selama ini aku sudah menurut, dan menjadi anak baik. Tapi tolong mengerti aku sekali ini saja. Aku tidak mau menikah dengannya."
Hara tak menatap wajah ibunya. Ia memilih melihat sudut ruangan dengan tangan bersedekap di depan dada. Ia sungguh tidak mau menikah dengan Ardhan.
"Baiklah. Tidak apa-apa. Tapi jangan pernah kamu ke makam Ibu nantinya. Dan jangan hadir di pemakaman juga." Hara tak percaya dengan yang diucapkan ibunya.
"Bu, ayolah. Jangan seperti itu," ucap Hara. Ia mendekat dan memegang lengan Ibunya.
"Menikah atau Ibu tak akan menganggapmu sebagai anak," perintah tegas Mirna pada Hara.
"Baiklah. Ibu ingin aku menikah dengan Om Ardhan, 'kan? Aku akan turuti. Tapi aku tidak berjanji untuk tidak meminta pisah nantinya."
Setelah mengucapkan itu Hara kembali ke rumahnya. Ia mengambil berkas-berkas yang diperlukan. Lalu segera menelepon Ardhan.
"Om, aku setuju untuk menikah. Berkasnya sudah siap. Ayo berikan ke KUA. Jemput aku di rumah." Setelah mengucapkan itu Hara berganti pakaian.
"Mengapa tiba-tiba kamu setuju?" tanya Ardhan saat Hara naik ke mobil.
Hara diam. Ia memilih memakai sabuk pengaman dan duduk dengan nyaman. Ardhan langsung melajukan mobilnya untuk mengajukan pernikahan ke KUA terdekat.
"Saya masih dengan paham kenapa kamu tiba-tiba setuju," ujar Ardhan berharap Hara menjawabnya.
"Kenapa? Enggak suka?" tanya Hara dengan menatap mata yang kemarin membuatnya terpesona. Entah mengapa pandangannya turun melewati hidung bangir dan berhenti di bibir yang kemarin membuat dirinya berdebar.
Ardhan melihat pandangan Hara, hanya tersenyum kecil. Lalu mengambil ponsel di kantung jasnya dan memberikan itu ke Hara.
"Pilih gaunnya. Kali ini lebih tertutup."
Hara melihat-lihat sekilas. Dan benar saja. Kali ini bagian dadanya tidak terlalu diekspos, dan bagian punggungnya tidak seterbuka kemarin.
Ia menyukai salah satu dari gaun itu, tetapi meski terlihat sederhana harganya mengguncang kantong. Ia tak menyangka harganya semahal itu. Hara mengurungkan niatnya untuk memilikinya.
"Tidak ada yang kusuka. Kirim ke ponselku saja. Biar aku tanya ibu nanti," ucap Hara dan mengembalikan ponsel itu.
"Baiklah. Untuk tamu undangan Tante Mirna tidak ingin banyak tamu. Kamu bagaimana?"
"Hm, aku setuju."
"Kita akan lakukan pernikahan setelah Tante Mirna keluar dari rumah sakit."
"Terserah. Atur saja. Aku akan mengikutinya dan tidak banyak permintaan."
Ardhan mengangguk. Ia merasakan bahwa Hara terpaksa untuk menikah. Namun, ia tak terlalu memikirkan, toh ia juga menikahinya untuk balas budi. Jadi, harusnya tak masalah. Karena mereka pun tidak saling mencintai. Harusnya pernikahan ini akan berjalan lancar.
Awan mendung tengah menyelimuti Hara. Pagi ini dokter mengatakan kondisi sang ibu memburuk saat pemeriksaan pagi, karena hal itu ibunya perlu penanganan lebih serius. Ia menunggu di luar ruangan dengan cemas. Tak henti-hentinya bibir mungil itu merapal doa. Berharap sang ibu bisa bertahan lebih lama.Ia tak dapat berpikir jernih. Setelah mengirim pesan kepada Ardhan, ia menaruh ponselnya dan tak mengeceknya lagi. Hara butuh Ardhan sekarang. Ia butuh dada bidangnya untuk menangis.Suara-suara percakapan ia dan ibunya semalam terputar di otaknya. Apalagi senyuman sang ibu saat mengatakan bahagia akan melihat putrinya menikah.Suara pintu terbuka menyita perhatiannya. Langsung Hara berdiri dan menghampiri suster yang keluar. Ia tak mengatakan banyak hal, hanya memberi tahu bahwa sang ibu akan dipindahkan ke ruang ICU.Dokter serta suster lain keluar bersama sang ibu untuk dibawa ke ruang ICU. Saat melihat sang ibu, Hara langsung menan
"Apa tidak bisa diselamatkan, Dok? Lakukan apapun caranya. Berapapun biayanya akan saya bayar," ucap Ardhan menggebu-gebu. Ia tahu selama ini sudah memberikan yang terbaik untuk perawatan Mirna, tetapi ia berharap masih mungkin untuk menyelamatkannya.Dokter menghela napas sebelum menjawabnya. "Sebagus apapun penanganan dan semahal apapun biayanya, jika sudah waktunya, saya sebagai dokter tak mampu berbuat banyak."Ardhan kembali terdiam. Hara tersenyum getir. Ia tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya sekarang. Ketakutan terbesarnya sudah datang. Kehilangan paling menyakitkan sudah menantinya.Tak tega melihat Hara, sebelum pergi ia mengatakan ucapan penenang. "Doakan saja yang terbaik. Kita lihat satu jam kedepan bagaimana." Dokter berbalik dan meninggalkan Ardhan.Ardhan tak mampu berkata-kata. Ia memejamkan matanya sebentar dengan menghadap tembok. Keningnya tertempel di tembok, sementara itu tangan kanannya mengepal dan tangan kiri
"Ayo kita pulang." Ardhan berjongkok di samping Hara. Ia mengucapkan itu dengan lembut sembari memegang kedua lengan Hara. Air mata masih membasahi pipi tirusnya.Dengan tubuh yang lemas dan perasaan sedih yang mendalam. Hara pingsan saat akan pulang. Ardhan sigap menangkap tubuh kurus itu dan membawanya ke mobil. Ditarunya di kursi depan dan dipasangkan sabuk pengaman. Ardhan bergegas mengendarai mobil untuk kembali ke rumah Hara.Sesampainya di rumah ia menaruh Hara di kamar, membiarkannya berbaring. Lalu mengambil minyak angin dan menaruhnya di dekat hidung. Namun, Hara tak kunjung siuman. Ia membiarkan Hara, mungkin gadis kecil itu butuh istirahat.Ardhan ke belakang untuk memeriksa para pelayat yang masih ada. Mereka memasak makanan untuk kenduri nanti malam. Ardhan meminta maaf karena Hara tak dapat membantu dikarenakan pingsan. Meski tak terlalu menyukai keluarga Hara, para tetangga yang melayat paham.Ardhan ingin kembali ke kama
"Saya tidak memiliki niat lain." Ditatap tajam oleh Hara saat ia ikut masuk ke dalam kamar membuat Ardhan paham pemikiran istri kecilnya itu."Terus? Ngapain? Keluar sana. Aku mau tidur," ucap Hara mengusir Ardhan dari kamarnya.Ardhan terdiam sejenak. Lalu berucap, "saya tidur di mana?"Hara lupa bahwa hanya kamarnya yang bisa digunakan sekarang. Kamar almarhum ibunya tentunya cukup berdebu, sebab cukup lama ibunya di rumah sakit dan ia pun tak banyak waktu untuk membereskan rumah.Hanya ada tiga kamar di rumah Hara. Satu kamar di belakang dekat dapur digunakan untuk tempat penyimpanan. Satu kamar untuk almarhum ibunya dan satu kamar untuknya. Yang layak untuk dipakai tidur sekarang hanya kamarnya."Oke. Om bisa tidur di sini. Tapi jangan macam-macam. Awas aja kalau berani," ancam Hara dan membiarkan Ardhan tidur bersamanya.Ardhan berjalan dan duduk di tempat tidur. Saat itu Hara membawa pakaian dan hendak kel
"Kya ...."BugSuara teriakan itu dibarengi dengan suara seperti benda jatuh. Padahal hari masih pagi, tetapi sudah ada kericuhan yang terjadi.Seorang pria yang belum sepenuhnya sadar dari tidur nyenyaknya terpaksa terbangun akibat badan atletisnya menyentuh lantai. Ia meringis, dan rasa sakit langsung membuat nyawanya terkumpul."Badan kamu kurus tapi tendangan kamu kuat juga, ya," keluh Ardhan sembari berdiri dan mengelus bagian tubuhnya yang terbentur lantai."Lagian kenapa Om tidur ngelewatin batas dan peluk-peluk aku, hah." Hara menutupi tubuhnya dengan selimut."Apa jangan-jangan," ucapnya penuh selidik dan melihat pada tubuhnya.'Baju aku masih lengkap. Enggak ada tanda-tanda dibuka.'Ardhan menatap tak percaya istri kecilnya. "Kamu enggak saya apa-apakan. Enggak usah berpikir negatif, ini masih pagi," ujar Ardhan menyadarkan Hara yang tengah menilik pakaian yang ia pakai.
Suasana setelah kejadian Ardhan menggoda Hara cukup hening. Ardhan sibuk menonton TV dan Hara yang sibuk dengan rasa malunya. Sadari habis mandi ia tak keluar kamar dan hanya diam dengan umpatan-umpatan.Ardhan tak ambil pusing. Ia mengerti perasaan Hara. Istri kecilnya itu memang akan seperti itu jika sedang malu. Sudah lama mengenal, tampaknya memberi banyak keuntungan bagi Ardhan.Hari mulai siang, suara gesekan kayu pintu dan lantai terdengar. Ardhan menoleh, ia mendapati Hara yang sedang mengeluarkan kepalanya. Mungkin untuk melihat situasi. Saat tatapan mereka bertemu. Hara dengan cepat menutup pintu dengan keras sehingga menimbulkan suara. Ardhan terkekeh melihat tingkah Hara. Sementara Hara terus merutuki dirinya."Ayo, Hara. Kamu bisa. Kalau gini terus, dia bisa mikir kamu mulai suka," gumamnya menyemangati dirinya sendiri.Kemudian ia keluar dan ikut duduk untuk menonton. Meski begitu, ia duduk di kursi lainnya. Ardhan fo
Napas keduanya menderu, seperti orang yang habis lari maraton. Hara memalingkan wajah dengan pipi yang merona. Sementara Ardhan tersenyum, ia juga merasa salah tingkah. Seketika ruangan yang awalnya terasa panas, kini terasa canggung."Em, saya akan tidur sofa depan TV saja. Saya takut kelepasan," ucap Ardhan membelah keheningan dan segera keluar dari sana. Ia takut akan lepas kendali dan memangsa Hara jika malam ini tidur bersama.Hara diam tak menjawab. Ia masih sibuk menetralkan degub jantungnya. Ia tak menyangka bisa berbuat begitu. Apalagi yang terakhir dirinya lah yang memulai."Apa yang barusan lo lakuin, Hara. Ceroboh banget, sih. Om Ardhan bisa berpikir macam-macam tentang kamu kedepannya," ucapnya lirih sembali memegang kepalanya.Sebelum kembali ke kamarnya, Hara menyelesaikan merapikan barang mendiang sang ibu sembari mencoba agar tidak gugup nanti di depan Ardhan. Ia tak menangis lagi karena kepergian sang ibu, kini Ha
Netra cokelat gelap milik Ardhan tak henti-hentinya menatap Hara yang masih terlelap dalam tidurnya. Entah bagaimana sehingga posisi Hara sekarang berhadapan dengan Ardhan. Karena Hara lebih pendek daripada Ardhan. Ia tidur dengan bantal dada bidang Ardhan yang tengah terlentang. Kaki Hara menindih kaki Ardhan. Hara seperti sedang memeluk guling raksasa. Ardhan tak tahan untuk tidak mengulas senyum. Ia bahkan ingin tertawa membayangkan bagaimana reaksi Hara saat terbangun dan melihat posisi keduanya. Dari dekat, Ardhan bisa melihat jelas wajah istri kecilnya. Matanya terlihat sembab karena semalam menangis. Pandangannya turun dan berhenti pada bibir merah muda yang kemarin ia nikmati. 'Sadar Ardhan. Jangan berpikir macam-macam. Kamu tidak boleh melakukannya,' ujarnya dalam hati memperingatkan nafsu yang mulai muncul. Ia dengan cepat mengalihkan pandangannya dari bibir yang sekarang menjadi candu untuknya. Hara men