Share

Bab 4.

"Kamu sudah memilih gaun pernikahan?"

Matahari baru beranjak keluar. Matanya baru terbuka, bahkan ia belum sempat mencuci wajahnya, tetapi sang ibu sudah melontarkan kalimat yang merusak pagi harinya. 

Hara membiarkannya. Ia memilih ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan mandi. Kemarin ia kembali malam hari setelah perdebatan panjang dengan Ardhan. 

Saat menggosok gigi, ia menyentuh bibirnya. Bibir yang sebelumnya suci, kini sudah terkotori. Meskipun itu hanya kecelakaan tetap saja sudah berciuman dan ia menikmatinya. Mengingat hal itu membuat perasaan Hara semakin kesal, bagaimana bisa ia menikmati hal itu. 

Memikirkan kejadian dan ucapan Ardhan memuatnya kesal dan malu. Ia menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran itu. Memilih mencuci wajah dan mandi adalah hal terbaik. 

Saat keluar dari kamar mandi ia melihat sang ibu memegang ponselnya. Hal itu sudah biasa terjadi, tetapi entah perasaannya tak enak melihat sang ibu memegang ponselnya. Namun, ia membiarkan saja dan memilih memoles wajahnya dengan pelembab dan teman-temannya. 

Saat sedang menatap dirinya di cermin dengan meratakan sesuatu di wajahnya. Ia dibuat terkejut oleh pertanyaan sang ibu. "Apanya yang manis Hara?"

"Hah. Eh. Apa, Bu?" tanya Hara. 

Sadar anaknya sedang tak fokus, Mirna melupakan pembicaraan yang tadi ia mulai. Lebih baik ia beristirahat sekarang. Karena tak ada guna jika membahasnya sekarang. 

Hara tak mengerti mengapa ibunya memilih diam. Enggan menganggu istirahat sang ibu. Ia memilih mencari sarapan pagi. Perutnya cukup keroncongan karena tadi malam ia tak dapat makan banyak. 

Ponselnya bergetar saat menutup pintu kamar rawat inap. "Pagi-pagi udah ganggu aja, sih," gerutunya saat mendapati pesan dari Ardhan. 

Dari pada selera makannya hilang. Hara mengabaikannya dan bergegas mencari makan. Ia memilih bubur ayam yang dijual di dekat rumah sakit itu. Selain enak, harganya juga ramah. Ia membeli dua bungkus dan membawanya ke dalam. 

"Kamu harus menjaga pola makan," ujar Mirna saat Hara menyantap sarapannya. 

"Iya, Bu." Hara menjawab seadanya. Ia kembali menyantap makanan itu. 

"Kamu sudah memilih gaun pernikahan, 'kan?" 

Ucapan Mirna membuat Hara menghentikan aktivitas makannya. Ia melihat sang ibu dan memundurkan mangkuknya ke meja di depan sofa yang sedang ia duduki. 

"Bu. Aku tidak akan menikah dengan Om Ardhan. Jadi, tolong jangan bicarakan soal pernikahan lagi," ucap Hara dengan emosi. 

"Kamu mau liat Ibu meninggal dengan membawa beban berat? Ibu enggak akan meninggal dengan tenang kalau kamu tidak mau menikah dengan Ardhan."

Hara menatapnya tak percaya. "Bu, kok ngomong gitu. Ibu bakal sembuh."

"Ibu bukan anak kecil yang bisa kamu bodohi. Lagi pula ibu yang merasakannnya. Jadi Ibu yang paham dengan kondisi tubuh."

"Apa sulitnya, Sayang kamu menikah dengan Ardhan? Kamu akan menjadi orang berada. Hidup enak, Ardhan sayang dengan kamu, dan dia bakal menjaga kamu." Hara tak jadi berbicara saat Mirna mengucapkan ini. 

"Meski hubungan kalian bukan akan seperti suami istri. Setidaknya Ibu percaya dia akan menjaga dan tidak akan membiarkan kamu dalam bahaya. Jadi, Ibu mohon turuti permintaan terakhir Ibu," ucap Mirna dengan nada lembut. 

"Aku sudah dewasa, Bu. Selama ini aku sudah menurut, dan menjadi anak baik. Tapi tolong mengerti aku sekali ini saja. Aku tidak mau menikah dengannya."

Hara tak menatap wajah ibunya. Ia memilih melihat sudut ruangan dengan tangan bersedekap di depan dada. Ia sungguh tidak mau menikah dengan Ardhan. 

"Baiklah. Tidak apa-apa. Tapi jangan pernah kamu ke makam Ibu nantinya. Dan jangan hadir di pemakaman juga." Hara tak percaya dengan yang diucapkan ibunya. 

"Bu, ayolah. Jangan seperti itu," ucap Hara. Ia mendekat dan memegang lengan Ibunya. 

"Menikah atau Ibu tak akan menganggapmu sebagai anak," perintah tegas Mirna pada Hara. 

"Baiklah. Ibu ingin aku menikah dengan Om Ardhan, 'kan? Aku akan turuti. Tapi aku tidak berjanji untuk tidak meminta pisah nantinya."

Setelah mengucapkan itu Hara kembali ke rumahnya. Ia mengambil berkas-berkas yang diperlukan. Lalu segera menelepon Ardhan. 

"Om, aku setuju untuk menikah. Berkasnya sudah siap. Ayo berikan ke KUA. Jemput aku di rumah." Setelah mengucapkan itu Hara berganti pakaian. 

"Mengapa tiba-tiba kamu setuju?" tanya Ardhan saat Hara naik ke mobil. 

Hara diam. Ia memilih memakai sabuk pengaman dan duduk dengan nyaman. Ardhan langsung melajukan mobilnya untuk mengajukan pernikahan ke KUA terdekat. 

"Saya masih dengan paham kenapa kamu tiba-tiba setuju," ujar Ardhan berharap Hara menjawabnya. 

"Kenapa? Enggak suka?" tanya Hara dengan menatap mata yang kemarin membuatnya terpesona. Entah mengapa pandangannya turun melewati hidung bangir dan berhenti di bibir yang kemarin membuat dirinya berdebar. 

Ardhan melihat pandangan Hara, hanya tersenyum kecil. Lalu mengambil ponsel di kantung jasnya dan memberikan  itu ke Hara. 

"Pilih gaunnya. Kali ini lebih tertutup."

Hara melihat-lihat sekilas. Dan benar saja. Kali ini bagian dadanya tidak terlalu diekspos, dan bagian punggungnya tidak seterbuka kemarin. 

Ia menyukai salah satu dari gaun itu, tetapi meski terlihat sederhana harganya mengguncang kantong. Ia tak menyangka harganya semahal itu. Hara mengurungkan niatnya untuk memilikinya. 

"Tidak ada yang kusuka. Kirim ke ponselku saja. Biar aku tanya ibu nanti," ucap Hara dan mengembalikan ponsel itu. 

"Baiklah. Untuk tamu undangan Tante Mirna tidak ingin banyak tamu. Kamu bagaimana?"

"Hm, aku setuju."

"Kita akan lakukan pernikahan setelah Tante Mirna keluar dari rumah sakit."

"Terserah. Atur saja. Aku akan mengikutinya dan tidak banyak permintaan."

Ardhan mengangguk. Ia merasakan bahwa Hara terpaksa untuk menikah. Namun, ia tak terlalu memikirkan, toh ia juga menikahinya untuk balas budi. Jadi, harusnya tak masalah. Karena mereka pun tidak saling mencintai. Harusnya pernikahan ini akan berjalan lancar. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status