Share

Bab 6.

"Apa tidak bisa diselamatkan, Dok? Lakukan apapun caranya. Berapapun biayanya akan saya bayar," ucap Ardhan menggebu-gebu. Ia tahu selama ini sudah memberikan yang terbaik untuk perawatan Mirna, tetapi ia berharap masih mungkin untuk menyelamatkannya. 

Dokter menghela napas sebelum menjawabnya. "Sebagus apapun penanganan dan semahal apapun biayanya, jika sudah waktunya, saya sebagai dokter tak mampu berbuat banyak."

Ardhan kembali terdiam. Hara tersenyum getir. Ia tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya sekarang. Ketakutan terbesarnya sudah datang. Kehilangan paling menyakitkan sudah menantinya. 

Tak tega melihat Hara, sebelum pergi ia mengatakan ucapan penenang. "Doakan saja yang terbaik. Kita lihat satu jam kedepan bagaimana." Dokter berbalik dan meninggalkan Ardhan. 

Ardhan tak mampu berkata-kata. Ia memejamkan matanya sebentar dengan menghadap tembok. Keningnya tertempel di tembok, sementara itu tangan kanannya mengepal dan tangan kirinya menyangga tubuh dengan di letakkan di tembok. 

Setelah mendapatkan kesadarannya. Ia berjalan dan duduk di samping Hara. Awalnya Hara hanya diam. Lalu ia mengambil ponsel. Aktivitas Hara tertangkap indra penglihatan Ardhan. Ia menatapnya karena tak tahu apa yang akan Hara lakukan. 

"Om, kata Ibu, Ibu suka baju yang ini." Hara menyodorkan ponselnya yang menampilkan gambar baju pengantin. Akhirnya, setelah percakapan panjang dan sedikit mendesak sang ibu. Mirna memilih sebuah baju. 

"Kata Ibu ini cocok untuk Hara. Hara terlihat dewasa dan Om terlihat lebih muda," sambung Hara dengan senyuman. Sekarang yang ia ingat adalah ekspresi sang ibu saat mengucapkannya. 

Ardhan melihat baju pengantin itu. Harganya tak terlalu mahal. Bajunya terlihat sederhana, tetapi sangat cocok untuk tubuh Hara. Ia ikut tersenyum. Dari ucapan Hara bisa dipastikan Mirna mengatakan hal itu dengan wajah tersenyum dan hati bahagia. 

Satu jam terasa begitu cepat bagi Hara. Ia melihat dari luar jendela. Ardhan setia di sampingnya. "Om, apa sebaiknya kita menikah sekarang?"

Ardhan menoleh. "Apa maksud kamu? Kita tidak bisa menikah sekarang. Berkas-berkas baru diajukan kemarin, Hara. Tenang, Ibumu akan baik-baik saja."

Ardan memeluk gadis itu dari samping. Membiarkan lengannya sebagai tumpuan kepala Hara. Hara dan Ardhan memiliki perbedaan tinggi badan yang signifikan. Hara hanya sepundaknya, bahkan hampir tak ada. 

Keduanya benar-benar seperti om dan keponakan. Sangat tidak terlihat cocok bila dipandang sebagai pasangan. Dari balik jendela Hara melihat jelas apa yang dilakukan dokter. Ia menutup matanya saat dokter terlihat menggelengkan kepala kepada sang suster. 

Saat dokter keluar Ardhan langsung menghampirinya bersama Hara yang menggenggam erat tangan kekarnya. Hara belum menangis sekarang, ia masih menahannya. 

"Maaf. Kami sudah melakukan yang terbaik dan begitupun ibu Mirna. Beliau sudah menyelesaikan pertarungannya."

Hara langsung memeluk Ardhan dan menangis. Ardhan menahan air matanya meski matanya berkaca-kaca. Ia tak mungkin menangis sekarang. Jika ia menangis bagaimana Hara bisa kuat? 

"Tante sudah hebat berjuang selama ini, Hara. Ikhlaskan," ujar Ardhan lembut dengan makna mendalam. 

Hara masih diam. Ia belum mampu membuka suara. Hanya isak tangis yang masih terdengar. Setelah perginya dokter Ardhan langsung mendekapnya. Menyalurkan kekuatan dan berharap Hara bisa melewati perpisahan ini. 

***

"Ibu, Hara terlihat cantik bukan?" tanya Hara melihat pantulan dirinya yang berdandan dan memakai baju terusan panjang berwarna putih. 

Itu adalah baju yang dipilihkan sang ibu. Ardhan menggunakan segala cara untuk mendapatkannya. Meski agak longgar, Hara tak mempermasalahkannya. Baginya itu pas di badannya. 

Ia dan Ardhan memutuskan menikah secara agama sekarang di hadapan mayat Mirna. Hara tak mau ibunya pergi dengan permintaan yang tak mampu ia wujudkan. 

Dengan baju pengantin yang dipilihkan sang ibu, Hara ke depan mayat sang ibu setelah Ardhan selesai mengucap ijab qobul. Ardhan memakai setelan sederhana yang sama dengan Hara. Hanya celana bahan putih, kemeja putih dengan jas putih, dan penutup kepala hitam. Matanya terlihat berkaca-kaca saat mengucapkan ijab qobul di hadapan mayat Mirna. 

Ardhan tak menyangka, ia sudah menjadi suami Hara sekarang. Ia bisa membayangkan betapa bahagianya Mirna bila dapat melihat mereka berdua secara langsung. 

Hara menahan tangisnya. Ardhan mencium kening Hara dan tersenyum ke arah mayat Mirna. "Tante, Ardhan akan memenuhi janji yang sudah Ardhan ucapkan. Tante bisa beristirahat dengan tenang. Hara akan bahagia bersama saya. Jangan khawatirkan gadis kecil ini," ucapnya dengan senyum getir. 

"Ibu, Hara sudah mewujudkan mimpi Ibu. Lihat, Bu. Hara sudah menikah dengan Om Ardhan. Hara cantik,kan, Bu mengenakan baju pilihan Ibu? Ibu sekarang sudah bahagia di sana. Sudah tidak merasakan sakit lagi. Hara di sini akan bahagia juga."

Setelah mengucapkan itu Hara menangis di pelukan Ardhan. Ia tak mampu menahan lebih lama. Meski bertekad untuk tak menangis, tetapi tetap saja tak mampu menahannya. Kehilangan paling menyakitkan adalah kehilangan ibu yang telah melahirkan. Saat kehilangan ayah, ia tak setakut itu karena sadar masih ada sang ibu. Sekarang keduanya sudah pergi meninggalkan Hara sendiri. 

Para pelayat sekaligus saksi pernikahan mereka ikut bersedih. Meski ada beberapa yang merasa tak suka pernikahan itu, sebab menganggap Hara memanfaatkan keadaan untuk bisa dinikahi seorang Ardhan yang kaya raya. Mereka berpikir begitu karena jarak umur yang amat jauh. Namun, mereka tak mengucapkannya karena suasana berkabung. 

"Benar ternyata, keluarga ini mendekati dia agar bisa menikah. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Anak dan ibu sama saja," ucap lirih salah seorang pelayat. 

Hara yang mendengarnya menahan emosi. Ia tahu apa maksud pelayat itu. Namun, ia yakin ibunya bukan perempuan penggoda. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status