"Apa tidak bisa diselamatkan, Dok? Lakukan apapun caranya. Berapapun biayanya akan saya bayar," ucap Ardhan menggebu-gebu. Ia tahu selama ini sudah memberikan yang terbaik untuk perawatan Mirna, tetapi ia berharap masih mungkin untuk menyelamatkannya.
Dokter menghela napas sebelum menjawabnya. "Sebagus apapun penanganan dan semahal apapun biayanya, jika sudah waktunya, saya sebagai dokter tak mampu berbuat banyak."
Ardhan kembali terdiam. Hara tersenyum getir. Ia tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya sekarang. Ketakutan terbesarnya sudah datang. Kehilangan paling menyakitkan sudah menantinya.
Tak tega melihat Hara, sebelum pergi ia mengatakan ucapan penenang. "Doakan saja yang terbaik. Kita lihat satu jam kedepan bagaimana." Dokter berbalik dan meninggalkan Ardhan.
Ardhan tak mampu berkata-kata. Ia memejamkan matanya sebentar dengan menghadap tembok. Keningnya tertempel di tembok, sementara itu tangan kanannya mengepal dan tangan kirinya menyangga tubuh dengan di letakkan di tembok.
Setelah mendapatkan kesadarannya. Ia berjalan dan duduk di samping Hara. Awalnya Hara hanya diam. Lalu ia mengambil ponsel. Aktivitas Hara tertangkap indra penglihatan Ardhan. Ia menatapnya karena tak tahu apa yang akan Hara lakukan.
"Om, kata Ibu, Ibu suka baju yang ini." Hara menyodorkan ponselnya yang menampilkan gambar baju pengantin. Akhirnya, setelah percakapan panjang dan sedikit mendesak sang ibu. Mirna memilih sebuah baju.
"Kata Ibu ini cocok untuk Hara. Hara terlihat dewasa dan Om terlihat lebih muda," sambung Hara dengan senyuman. Sekarang yang ia ingat adalah ekspresi sang ibu saat mengucapkannya.
Ardhan melihat baju pengantin itu. Harganya tak terlalu mahal. Bajunya terlihat sederhana, tetapi sangat cocok untuk tubuh Hara. Ia ikut tersenyum. Dari ucapan Hara bisa dipastikan Mirna mengatakan hal itu dengan wajah tersenyum dan hati bahagia.
Satu jam terasa begitu cepat bagi Hara. Ia melihat dari luar jendela. Ardhan setia di sampingnya. "Om, apa sebaiknya kita menikah sekarang?"
Ardhan menoleh. "Apa maksud kamu? Kita tidak bisa menikah sekarang. Berkas-berkas baru diajukan kemarin, Hara. Tenang, Ibumu akan baik-baik saja."
Ardan memeluk gadis itu dari samping. Membiarkan lengannya sebagai tumpuan kepala Hara. Hara dan Ardhan memiliki perbedaan tinggi badan yang signifikan. Hara hanya sepundaknya, bahkan hampir tak ada.
Keduanya benar-benar seperti om dan keponakan. Sangat tidak terlihat cocok bila dipandang sebagai pasangan. Dari balik jendela Hara melihat jelas apa yang dilakukan dokter. Ia menutup matanya saat dokter terlihat menggelengkan kepala kepada sang suster.
Saat dokter keluar Ardhan langsung menghampirinya bersama Hara yang menggenggam erat tangan kekarnya. Hara belum menangis sekarang, ia masih menahannya.
"Maaf. Kami sudah melakukan yang terbaik dan begitupun ibu Mirna. Beliau sudah menyelesaikan pertarungannya."
Hara langsung memeluk Ardhan dan menangis. Ardhan menahan air matanya meski matanya berkaca-kaca. Ia tak mungkin menangis sekarang. Jika ia menangis bagaimana Hara bisa kuat?
"Tante sudah hebat berjuang selama ini, Hara. Ikhlaskan," ujar Ardhan lembut dengan makna mendalam.
Hara masih diam. Ia belum mampu membuka suara. Hanya isak tangis yang masih terdengar. Setelah perginya dokter Ardhan langsung mendekapnya. Menyalurkan kekuatan dan berharap Hara bisa melewati perpisahan ini.
***
"Ibu, Hara terlihat cantik bukan?" tanya Hara melihat pantulan dirinya yang berdandan dan memakai baju terusan panjang berwarna putih.
Itu adalah baju yang dipilihkan sang ibu. Ardhan menggunakan segala cara untuk mendapatkannya. Meski agak longgar, Hara tak mempermasalahkannya. Baginya itu pas di badannya.
Ia dan Ardhan memutuskan menikah secara agama sekarang di hadapan mayat Mirna. Hara tak mau ibunya pergi dengan permintaan yang tak mampu ia wujudkan.
Dengan baju pengantin yang dipilihkan sang ibu, Hara ke depan mayat sang ibu setelah Ardhan selesai mengucap ijab qobul. Ardhan memakai setelan sederhana yang sama dengan Hara. Hanya celana bahan putih, kemeja putih dengan jas putih, dan penutup kepala hitam. Matanya terlihat berkaca-kaca saat mengucapkan ijab qobul di hadapan mayat Mirna.
Ardhan tak menyangka, ia sudah menjadi suami Hara sekarang. Ia bisa membayangkan betapa bahagianya Mirna bila dapat melihat mereka berdua secara langsung.
Hara menahan tangisnya. Ardhan mencium kening Hara dan tersenyum ke arah mayat Mirna. "Tante, Ardhan akan memenuhi janji yang sudah Ardhan ucapkan. Tante bisa beristirahat dengan tenang. Hara akan bahagia bersama saya. Jangan khawatirkan gadis kecil ini," ucapnya dengan senyum getir.
"Ibu, Hara sudah mewujudkan mimpi Ibu. Lihat, Bu. Hara sudah menikah dengan Om Ardhan. Hara cantik,kan, Bu mengenakan baju pilihan Ibu? Ibu sekarang sudah bahagia di sana. Sudah tidak merasakan sakit lagi. Hara di sini akan bahagia juga."
Setelah mengucapkan itu Hara menangis di pelukan Ardhan. Ia tak mampu menahan lebih lama. Meski bertekad untuk tak menangis, tetapi tetap saja tak mampu menahannya. Kehilangan paling menyakitkan adalah kehilangan ibu yang telah melahirkan. Saat kehilangan ayah, ia tak setakut itu karena sadar masih ada sang ibu. Sekarang keduanya sudah pergi meninggalkan Hara sendiri.
Para pelayat sekaligus saksi pernikahan mereka ikut bersedih. Meski ada beberapa yang merasa tak suka pernikahan itu, sebab menganggap Hara memanfaatkan keadaan untuk bisa dinikahi seorang Ardhan yang kaya raya. Mereka berpikir begitu karena jarak umur yang amat jauh. Namun, mereka tak mengucapkannya karena suasana berkabung.
"Benar ternyata, keluarga ini mendekati dia agar bisa menikah. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Anak dan ibu sama saja," ucap lirih salah seorang pelayat.
Hara yang mendengarnya menahan emosi. Ia tahu apa maksud pelayat itu. Namun, ia yakin ibunya bukan perempuan penggoda.
"Ayo kita pulang." Ardhan berjongkok di samping Hara. Ia mengucapkan itu dengan lembut sembari memegang kedua lengan Hara. Air mata masih membasahi pipi tirusnya.Dengan tubuh yang lemas dan perasaan sedih yang mendalam. Hara pingsan saat akan pulang. Ardhan sigap menangkap tubuh kurus itu dan membawanya ke mobil. Ditarunya di kursi depan dan dipasangkan sabuk pengaman. Ardhan bergegas mengendarai mobil untuk kembali ke rumah Hara.Sesampainya di rumah ia menaruh Hara di kamar, membiarkannya berbaring. Lalu mengambil minyak angin dan menaruhnya di dekat hidung. Namun, Hara tak kunjung siuman. Ia membiarkan Hara, mungkin gadis kecil itu butuh istirahat.Ardhan ke belakang untuk memeriksa para pelayat yang masih ada. Mereka memasak makanan untuk kenduri nanti malam. Ardhan meminta maaf karena Hara tak dapat membantu dikarenakan pingsan. Meski tak terlalu menyukai keluarga Hara, para tetangga yang melayat paham.Ardhan ingin kembali ke kama
"Saya tidak memiliki niat lain." Ditatap tajam oleh Hara saat ia ikut masuk ke dalam kamar membuat Ardhan paham pemikiran istri kecilnya itu."Terus? Ngapain? Keluar sana. Aku mau tidur," ucap Hara mengusir Ardhan dari kamarnya.Ardhan terdiam sejenak. Lalu berucap, "saya tidur di mana?"Hara lupa bahwa hanya kamarnya yang bisa digunakan sekarang. Kamar almarhum ibunya tentunya cukup berdebu, sebab cukup lama ibunya di rumah sakit dan ia pun tak banyak waktu untuk membereskan rumah.Hanya ada tiga kamar di rumah Hara. Satu kamar di belakang dekat dapur digunakan untuk tempat penyimpanan. Satu kamar untuk almarhum ibunya dan satu kamar untuknya. Yang layak untuk dipakai tidur sekarang hanya kamarnya."Oke. Om bisa tidur di sini. Tapi jangan macam-macam. Awas aja kalau berani," ancam Hara dan membiarkan Ardhan tidur bersamanya.Ardhan berjalan dan duduk di tempat tidur. Saat itu Hara membawa pakaian dan hendak kel
"Kya ...."BugSuara teriakan itu dibarengi dengan suara seperti benda jatuh. Padahal hari masih pagi, tetapi sudah ada kericuhan yang terjadi.Seorang pria yang belum sepenuhnya sadar dari tidur nyenyaknya terpaksa terbangun akibat badan atletisnya menyentuh lantai. Ia meringis, dan rasa sakit langsung membuat nyawanya terkumpul."Badan kamu kurus tapi tendangan kamu kuat juga, ya," keluh Ardhan sembari berdiri dan mengelus bagian tubuhnya yang terbentur lantai."Lagian kenapa Om tidur ngelewatin batas dan peluk-peluk aku, hah." Hara menutupi tubuhnya dengan selimut."Apa jangan-jangan," ucapnya penuh selidik dan melihat pada tubuhnya.'Baju aku masih lengkap. Enggak ada tanda-tanda dibuka.'Ardhan menatap tak percaya istri kecilnya. "Kamu enggak saya apa-apakan. Enggak usah berpikir negatif, ini masih pagi," ujar Ardhan menyadarkan Hara yang tengah menilik pakaian yang ia pakai.
Suasana setelah kejadian Ardhan menggoda Hara cukup hening. Ardhan sibuk menonton TV dan Hara yang sibuk dengan rasa malunya. Sadari habis mandi ia tak keluar kamar dan hanya diam dengan umpatan-umpatan.Ardhan tak ambil pusing. Ia mengerti perasaan Hara. Istri kecilnya itu memang akan seperti itu jika sedang malu. Sudah lama mengenal, tampaknya memberi banyak keuntungan bagi Ardhan.Hari mulai siang, suara gesekan kayu pintu dan lantai terdengar. Ardhan menoleh, ia mendapati Hara yang sedang mengeluarkan kepalanya. Mungkin untuk melihat situasi. Saat tatapan mereka bertemu. Hara dengan cepat menutup pintu dengan keras sehingga menimbulkan suara. Ardhan terkekeh melihat tingkah Hara. Sementara Hara terus merutuki dirinya."Ayo, Hara. Kamu bisa. Kalau gini terus, dia bisa mikir kamu mulai suka," gumamnya menyemangati dirinya sendiri.Kemudian ia keluar dan ikut duduk untuk menonton. Meski begitu, ia duduk di kursi lainnya. Ardhan fo
Napas keduanya menderu, seperti orang yang habis lari maraton. Hara memalingkan wajah dengan pipi yang merona. Sementara Ardhan tersenyum, ia juga merasa salah tingkah. Seketika ruangan yang awalnya terasa panas, kini terasa canggung."Em, saya akan tidur sofa depan TV saja. Saya takut kelepasan," ucap Ardhan membelah keheningan dan segera keluar dari sana. Ia takut akan lepas kendali dan memangsa Hara jika malam ini tidur bersama.Hara diam tak menjawab. Ia masih sibuk menetralkan degub jantungnya. Ia tak menyangka bisa berbuat begitu. Apalagi yang terakhir dirinya lah yang memulai."Apa yang barusan lo lakuin, Hara. Ceroboh banget, sih. Om Ardhan bisa berpikir macam-macam tentang kamu kedepannya," ucapnya lirih sembali memegang kepalanya.Sebelum kembali ke kamarnya, Hara menyelesaikan merapikan barang mendiang sang ibu sembari mencoba agar tidak gugup nanti di depan Ardhan. Ia tak menangis lagi karena kepergian sang ibu, kini Ha
Netra cokelat gelap milik Ardhan tak henti-hentinya menatap Hara yang masih terlelap dalam tidurnya. Entah bagaimana sehingga posisi Hara sekarang berhadapan dengan Ardhan. Karena Hara lebih pendek daripada Ardhan. Ia tidur dengan bantal dada bidang Ardhan yang tengah terlentang. Kaki Hara menindih kaki Ardhan. Hara seperti sedang memeluk guling raksasa. Ardhan tak tahan untuk tidak mengulas senyum. Ia bahkan ingin tertawa membayangkan bagaimana reaksi Hara saat terbangun dan melihat posisi keduanya. Dari dekat, Ardhan bisa melihat jelas wajah istri kecilnya. Matanya terlihat sembab karena semalam menangis. Pandangannya turun dan berhenti pada bibir merah muda yang kemarin ia nikmati. 'Sadar Ardhan. Jangan berpikir macam-macam. Kamu tidak boleh melakukannya,' ujarnya dalam hati memperingatkan nafsu yang mulai muncul. Ia dengan cepat mengalihkan pandangannya dari bibir yang sekarang menjadi candu untuknya. Hara men
Ardhan dan Hara berjalan beriringan saat hendak masuk rumah. Setelah pintu terbuka, mulut Hara ikut terbuka. Bagian ruang tamu rumah itu tak kalah mewah. Tak hanya bagian luarnya yang indah, dalamnya tak kalah indah."Ayo ke kamarmu," ajak Ardhan dengan menggenggam tangan mungil Hara dan menariknya dengan lembut menuju lantai dua.Rumah itu cukup mewah dan pastinya mahal. Dilihat dari model, interior, dan eksteriornya. Bagian dalam rumah itu juga lebih di dominasi warna putih. Meski begitu, tak terlalu banyak barang juga. Hanya barang-barang penting.Hara kembali dibuat takjub oleh rumah itu. Kali ini kamarnya yang membuatnya ternganga. "I-ini kamar aku, Om? Serius?" Binar kebahagiaan terpancar dari mata kecilnya.Hara langsung masuk dan melihat lebih dalam. Kamar itu benar-benar luas dan indah. Perpaduan antara warna putih dan cokelat susu amat apik. Ada sofa, TV dengan layar besar, ranjang besar, dan ruangan luas.Ar
Kuku tajam Weni melukai pipi Hara. "Saya tidak akan tinggal diam. Saya akan memisahkan kamu dengan anak saya. Dan jangan harap kamu mendapat harta. Satu peserpun saya tidak akan memberikannya!" ujar Weni tepat di wajah Hara.Para pekerja tak ada yang berani melerai. Meski merasa kasihan, mereka tak mampu berbuat apa-apa. Mereka takut oleh Weni.Jari-jari besar dengan warna kulit putih kecokelatan memegang tangan Weni dan melepaskan cengkramannya atas dagu Hara dengan kasar. "Cukup, Ma! Dia istri Ardhan. Seharusnya Mama tidak bersikap kasar seperti ini!"Tubuh Hara gemetar saat Ardhan memeluknya. Tangis Hara bahkan sudah tak bersuara. Suaranya tercekat karena ketakutan yang ia rasa."Berani kamu Ardhan sama Mama? Anak durhaka kamu!" geram Weni atas tingkah anaknya barusan. Karena selama ini Ardhan tak pernah sekasar itu padanya."Mama yang sudah keterlaluan. Sudah cukup selama ini Ardhan diam atas tingkah Mama terhadap keluar