Share

Konfrontasi

Cahaya mentari yang menimpa wajahnya adalah hal pertama yang disadari Putri ketika terjaga keesokan harinya. Setelah itu, kepalanya yang agak pusing, lalu ...rasa nyeri di bagian pribadinya.

Kesadaran ini menghantam dirinya dengan hebat.

Panik dia menatap sekeliling hingga netranya tertumbuk pada sosok tampan yang duduk tak jauh darinya bersama secangkir kopi di atas meja.

"Akhirnya kau bangun." sapa Arya pada gadis yang nampak gugup itu.

Reaksi Putri bikin Arya heran, mengingat betapa liar percintaan mereka semalam. Sambil menatap gadis itu penuh minat, Arya berhitung dalam kepalanya. 'Satu, dua tiga... Action!'

Pertama: mereka akan menangis.

Namun yang terjadi, Putri cuma menatapnya tanpa ekspresi lalu memunguti bajunya yang terlempar menyedihkan. Setelah itu dia mengenakannya di depan Arya tanpa rasa canggung sedikitpun.

Dua: Mereka akan minta pertanggungjawaban.

Di luar ekspektasi Arya, Putri yang sudah selesai berpakaian malah duduk angkuh di depannya seperti seorang ratu. Tak ada sedikitpun rasa malu setelah semua yang terjadi.

Belum habis keheranan Arya, mulut Putri yang indah, berucap dingin, "Silakan bayar jasaku semalam, setelah itu kita berdua cuma orang asing."

Arya tergagap. Kalimat negosiasi yang sudah dia siapkan sejak tadi mendadak lenyap. Reaksi Putri yang di luar ekspektasi, membuat segalanya jadi rumit.

Namun sebagai laki-laki yang terbiasa dalam dunia bisnis, situasi di luar dugaan tak membuatnya bingung berlama-lama.

"Baiklah. Apa ini cukup?"

Putri menatap selembar cek yang diangsurkan pria yang semalam sempat membuatnya terpesona. Angka seratus juta rupiah tertulis di sana dengan jelas dan lugas.

Putri tersenyum getir.

Akhirnya seginilah nilai kegadisan yang susah payah dia jaga sejak dulu. Dan itu pun direnggut laki-laki yang bukan suaminya.

"Baiklah, aku simpan ceknya." sahutnya sambil menatap Arya dengan ketenangan luar biasa. Kertas bernilai seratus juta itu dipegangnya erat-erat.

'Setidaknya, aku dibayar setara dengan artis kelas B.' batinnya menghibur diri.

Begitu Putri sudah berlalu, Arya memandangi kepergiannya sambil mendengus, "Hmph, sepertinya dia pelacur profesional."

Begitu daun pintu yang besar itu terkunci, barulah Arya berdiri dan melangkah menuju ranjangnya yang masih acak-acakan.

Terbiasa disiplin sejak kecil membuatnya tak suka melihat sesuatu yang berantakan.

Dengan sekali sentak, dia menarik selimut yang menutupi ranjang, hingga noda merah darah yang terpampang nyata itu mengejeknya bagai lelucon.

"Sial!" makinya tanpa sadar.

Ternyata gadis belia yang dikiranya pelacur berpengalaman itu cuma perawan yang hilang arah.

Pantas saja semalam banyak kejanggalan. Mulai dari sulitnya gadis itu dimasuki, ciumannya yang kaku dan asal, hingga orgasmenya yang terlalu cepat.

Perempuan yang sudah berpengalaman akan sulit dipuaskan.

"Braakk!" Arya memukul tepian ranjang dengan gusar.

Dia sangat tak suka ini. Bercinta dengan perawan itu merepotkan. Ada rasa yang terlibat. Bahkan sekarang pun dia sudah merasa bersalah.

Arya memang bukan lelaki baik-baik. Sejak muda sudah bercinta dengan banyak wanita, tapi bukan perawan. Mereka melakukannya atas dasar suka sama suka dan kesenangan belaka.

Setelah merenung sejenak, dia membuka rekaman CCTV yang tersambung ke ponselnya, memindai wajah Putri, lalu menelepon seseorang. "Tolong cari informasi tentang gadis ini," perintahnya sebelum buru-buru meninggalkan penthouse.

Sementara itu, Putri yang masih kesakitan dan kalut akhirnya tiba di unit kumuhnya. Sejujurnya, dia bahkan tak ingat bagaimana caranya dia bisa sampai di sini.

"Braakkk!" Dia membanting pintu hingga Sophia yang masih tidur keluar dari kamarnya dan marah-marah.

"Kamu kenapa, hah? Udah bayar cuma sepertiga, tapi masih belagu," sergah Sophia sambil berkacak pinggang.

"Tutup mulutmu! Kau berniat menjualku semalam, iya kan?" Putri meraung tak kalah marah. Wajahnya yang selalu tenang kini merah padam.

Sophia yang masih memakai piyama tidur itu cuma mengorek-ngorek kupingnya malas dan memandang muka Putri dengan ekspresi geli. "Menurutmu bagaimana lagi kau harus dapat peran, hah? Uang tak punya, deking tak ada, kenapa pula mereka mesti memilihmu?"

"Tapi kau yang bilang kita cuma perlu bicara." Putri sekuat tenaga menahan diri agar jangan sampai melukai Sophia.

Jawaban Putri sontak bikin tawa Sophia meledak, hingga di ruangan yang sempit itu cuma suaranya saja yang terdengar. Setelah dia tertawa sampai kehabisan nafas, barulah Sophia menyahut, "Tentu saja kau perlu bicara tapi dengan mulut yang letaknya di antara kedua pahamu."

Amarah langsung naik ke ubun-ubun Putri. Bukannya merasa bersalah, Sophia malah menghinanya habis-habisan. Dalam sekejap, penguasaan diri tadi pun lenyap. Di bawah kendali emosi, dia mengambil barbel yang diletakkan sembarangan dekat meja TV, hendak memukulkan benda itu ke kepala rekan unitnya yang culas.

"Hei, kau mau membunuhku? Apa kau sudah siap dipenjara? Punya uang ganti rugi? Dasar perempuan barbar!" seru Sophia namun tak urung dia langsung melipir keluar dari apartemennya. Dia takut Putri yang nekat bakal berbuat sesuatu.

"Baamm!"

Barbel yang dipegang Putri jatuh begitu saja menghantam lantai. Ucapan Sophia soal penjara dan ganti rugi membuatnya sadar satu hal. Tak ada yang bisa dia pertaruhkan untuk membela diri.

Kesadaran ini bikin Putri lemas hingga terduduk di lantai. Samar-samar dia mendengar bunyi pintu yang terkunci dari luar hingga kalimat pengusiran dari mulut rekan satu unitnya, "Keluar hari ini juga! Aku tak butuh orang udik jadi kawan satu unit."

Putri cuma duduk terpaku dengan mata kosong. Hatinya sakit memikirkan segala kepahitan yang mendera dirinya.

Ada sejurus lamanya dia duduk di sana sebelum memutuskan menyucikan diri dari sisa noda yang melekat pada tubuhnya.

"Byur, byur, byur... ."

Bunyi guyuran air terdengar silih berganti. Tak puas hanya pakai gayung, Putri menyalakan shower lalu dia terduduk lemas dibawah guyuran air sambil menatap tubuhnya yang dipenuhi bekas kecupan di mana-mana.

Tiba-tiba dia merasa sangat kotor.

"Puih!"

Putri meludahi sekujur tubuhnya yang kotor itu sambil menggosoknya sekeras yang dia bisa. Sementara itu, air mata tampak membanjiri pelupuk matanya.

"Apa kau puas ibu mengetahui hidupku sudah hancur?" ratapnya pilu. Sayangnya, hanya bunyi guyuran air yang menyahuti kesedihan hatinya.

Pada saat beginilah, Putri ingin betul bertemu dan bertanya pada ibunya. Mengapa wanita yang sudah melahirkannya itu tega menelantarkannya begitu saja.

Andaikata dia punya orang tua yang utuh, kalau saja dia punya pendidikan yang tinggi, mungkin malapetaka ini tak akan menimpanya.

'Apa sebaiknya kuakhiri saja hidup yang sia-sia ini.'

Sekelebat pikiran buruk melintas dalam benak Putri. Hidup tanpa kasih sayang sang ibu selalu jadi luka yang menganga dalam batinya. Luka yang membuatnya merasa tak berharga, tak diinginkan.

"Tuhan, kalau bunuh diri itu dosa, cabut saja nyawaku... ." gumamnya lirihi namun lagi-lagi cuma kecipak air yang menemani pilunya.

Akhirnya Putri cuma bisa menghabiskan sisa hari dalam genangan air itu sampai dirinya mati rasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status