"Putri, tolong kamu letakkan tas ini di display utama."
Putri cepat-cepat mengiyakan perintah atasan barunya sambil mengangkat tas yang dimaksud dalam sebuah tray khusus.Sudah sebulan sejak peristiwa pahit kemarin, dia mulai belajar menerima kenyataan. Selain pindah tempat tinggal, atas rekomendasi atasannya yang lama, dia juga bekerja di salah satu cabang resmi brand ternama di dunia.Bentuk fisik dan pembawaannya yang menarik, membuat Putri diterima langsung oleh atasannya sekarang."Selamat siang bu Putri, ada yang bisa kami bantu?"Telinga Putri yang awas menangkap suara rekan kerjanya saat dia tengah sibuk memajang tas limited edition itu pada display."Ya, saya mau tas keluaran terbaru. Hari ini kekasih saya sedang senang dan mau membelikan saya hadiah, iya kan Beb?"Sahutan pria yang dipanggil 'beb' itu tak terlalu jelas di pendengaran Putri namun mendengar klien baru ini punya nama yang sama namun kehidupan yang jauh berbeda dengannya, jadi memantik rasa penasaran.Putri pura-pura menoleh ke samping seolah mau mengambil kotak tas, tetapi matanya melirik cepat ke arah wanita muda yang tampak menawan itu.Deg!Jantungnya nyaris berhenti. Ternyata klien mereka adalah artis papan atas yang tengah naik daun bernama Putri Marion sedangkan yang dipanggilnya 'beb' tadi adalah pria yang sudah menghabiskan malam kelam dengannya di Bharata Tower.Tak mau terlibat masalah, Putri buru-buru menundukkan kepala agar tak menarik perhatian. Tapi rupanya, petaka selalu datang beriringan. Tiba-tiba saja suara sedingin malam itu memecah keheningan."Sayang, mengapa kau tak mencoba tas yang itu saja? Kurasa modelnya cocok untukmu."Seharusnya, kalau yang bicara ini bukan laki-laki pemilik cek yang uangnya sudah dia pakai untuk membayar biaya operasi sang nenek, sudah pasti Putri bakal girang. Komisi penjualan dari tas yang dipegangnya setara dengan gaji setengah bulan.Malangnya, pria berkaos polo tersebut adalah makhluk yang paling tak ingin ditemuinya di bumi."Hmm, baiklah. Biasanya pengamatanmu tak pernah salah," sahut si cantik menyanggupi permintaan sang kekasih.Detak jantung Putri makin mengencang seiring dengan langkah mereka yang makin dekat. Namun sebagai pramuniaga dia tak punya pilihan selain bersikap profesional.Setelah mengatur ekspresi mukanya, Putri menyapa klien VIP mereka dengan senyum paten khas pramuniaga."Selamat siang, Bu Putri. Ada yang bisa saya bantu?"Tanpa menatap wajah pramuniaga yang melayaninya, Putri Marion menunjuk salah satu tas yang barusan dipajang Putri."Aku mau lihat tas yang itu."Sesuai posisinya sebagai putri konglomerat sekaligus pesohor tanah air, tak dinyana nada bicara sang aktris selalu terkesan memerintah.Masih dengan senyum yang melekat di bibir, Putri mengambil tas itu. Dengan tangan yang masih tertutup sarung, dia membuka resletingnya serta menunjukkan kompartemennya satu-persatu.Tentu saja tak banyak yang bisa dilihat. Seperti tas mewah kebanyakan, barang yang mereka jual punya desain sederhana yang lebih fokus pada kemewahan dibandingkan fungsi."Hmmm, saya paham. Saya mau yang warna Ivory saja," sahut Marion sambil menatap sekeliling. Kali ini matanya tertumbuk pada salah satu card holder yang dipajang berdekatan dengan tas yang baru diambil Putri. "Saya juga mau card holder itu," ujarnya datar.Putri kembali mengiyakan walaupun pipinya sudah memanas.Meski sejak tadi dia sibuk memandang muka Marion namun alam mendesain periferal vision wanita jauh lebih luas dari laki-laki, akibatnya mau atau tidak, tatapan mata pria yang berdiri di sisi Marion masih bisa dideteksi Putri."Ini Bu. Card holder terbaru kami dibuat dari lamb skin sehingga teksturnya lembut tetapi... .""Iya, aku tahu. Tak usah banyak bicara kalau tak ditanya." Marion langsung memotong ucapan Putri yang bersemangat.Hampir saja Putri kehilangan senyum patennya namun dia menahan diri sekuat tenaga. Ternyata, aktris yang selalu ditampilkan berperangai lembut di layar kaca, tak sebaik yang terlihat.Sejak tadi Putri bisa melihat keangkuhan yang tersirat dari bahasa tubuhnya."Bagaimana Sayang, sudah siap?" Laki-laki berparas dewa itu bertanya pada kekasihnya yang sejak tadi begitu hanyut dalam dunia belanja."Sebentar Arya sayang, aku masih mau beli kosmetik. Lipstik aku udah habis... ." rengeknya kecil seraya menggamit lengan sang kekasih.Putri mengamati interaksi keduanya dalam diam dan pura-pura menyibukkan diri dengan tas-tas yang sempat diminta Marion untuk diturunkan dari display namun tak jadi dibeli.Dari sudut pandangnya, Putri melihat laki-laki yang ternyata bernama Arya itu agak risih diperlakukan berlebihan oleh sang kekasih.Tanpa sadar seulas seringai sinis terbit di bibir Putri. Rasa tak nyaman Arya adalah berkah baginya. Bila perlu, dia lebih suka kalau aktris kelas A itu memeluk Arya sampai laki-laki itu pingsan lantaran kesal."Putri..."Tiba-tiba Putri yang tengah sibuk bekerja langsung mendongak sementara Marion pun tak kalah kaget. Dia menatap sang kekasih, lalu berkata lirih, "Ada apa sayang, tumben kamu panggil namaku.""Nggak ada, cuma mau bilang kamu itu cantik waktu tersenyum."Penuturan sang kekasih langsung membuat Marion tersenyum sumringah sementara Putri jadi salah tingkah. Pasalnya waktu mengucapkan kata-kata tadi, mata Arya terarah sepenuhnya pada dirinya.Tak mau larut dalam perasaan yang menghanyutkan, Putri kembali melanjutkan kesibukannya.Namun laki-laki bernama Arya seolah tak mau melihatnya hidup tenang. Seraya menggamit lengan Marion, dia kembali berujar, "Putri, antarkan tasnya ke ruang tunggu kami."Pada saat inilah bencana yang tak terduga terjadi.Demi mendengar namanya sama dengan pramuniaga yang melayani mereka, Marion langsung balik badan. Bibirnya yang disulam penuh itu berkata lirih, "Jadi... namamu Putri juga?""Iya, Bu." Putri menyahut kalem dengan senyum yang masih tercetak di bibirnya."Panggilkan manajer toko, aku mau bicara," ujarnya dengan mata yang masih melekat pada nametag Putri. Sejak masuk hingga tadi, baru sekaranglah dia betul-betul memperhatikan wajah pramuniaga yang melayaninya.Putri yang tak menaruh curiga dengan permintaan sang klien segera memanggil atasannya lalu mereka bersama-sama menemui Marion dan Arya yang sudah duduk di ruang tunggu khusus pelanggan VIP."Ada yang bisa saya bantu, Bu Putri?" ujar manajer toko begitu mereka sudah di depan Marion.Aktris berwajah blasteran itu menatap sang manajer sekilas sebelum mengarahkan pandangan pada nametag yang tersemat di dada Putri. Nama Putri M tertulis dengan jelas di sana."Bahkan inisial nama belakang pun sama," desisnya lirih dalam suara yang tersaput oleh murka yang kentara.Saat tiga orang dewasa lain bingung menerka-nerka kemana arah pembicaraan Marion, perempuan berambut ikal coklat itu langsung berkata lugas, "Mulai detik ini, jangan pakai nama Putri M pada nametag-mu, aku tak suka."Sontak seisi ruangan hening mendengar permintaan konyol ini. Apa hak Marion mengganti nama orang lain sesuka hati?"Sayang, cukup. Jangan membesar-besarkan hal yang tak perlu," ujar Arya dingin."Tapi bagiku ini sangat perlu," sahut Putri sebelum kembali menatap wajah manajer toko dan Putri bergantian. Sejurus kemudian, dia mengeluarkan ultimatum yang jadi andalan pelanggan istimewa di seluruh penjuru, "Pakailah nama lain atau aku ... tak akan belanja di sini lain kali."Sontak Putri terhenyak mendengar permintaan yang berlebihan ini. Lewat sudut matanya, dia juga bisa melihat kekagetan yang sama pada raut wajah kedua laki-laki dewasa yang duduk di ruang tunggu elegan itu."Cukup Sayang, sebaiknya kita pulang. Jangan suka berlebihan." Akhirnya Arya memecah keheningan, mukanya yang tampan nampak rikuh menahan malu. Tanpa menunggu persetujuan Marion, dia langsung bangkit berdiri. "Kalau begitu, kami pulang dulu. Saya tunggu kabar baiknya," pungkas Marion seraya melempar tatapan mematikan pada Putri. Putri dan manajer toko mengantar kepergian kedua tamu istimewa itu sampai hilang dari pelupuk mata. Setelah Marion dan Arya tak terlihat lagi barulah manager toko menoleh pada Putri dan bertanya, "sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa mbak Putri sampai marah sama Kamu?"Putri menelan ludah susah payah, terlalu bingung menceritakan kisah yang dia sendiri tak mengerti ujung pangkalnya. Kalau dia mengatakan ada k
Arya tengah sibuk berkutat di depan laptop kpetika panggilan masuk dari Bram mengganggu ketenangannya. Ogah-ogahan dia mengangkat telepon sang asisten sebelum mimik wajahnya berubah drastis. "Apa kamu bilang? Dia menolak?"Suara Bram terdengar sangat kesal dari seberang sana. "Tak cuma menolak, dia juga meneriakiku orang cabul, bayangkan!""Hahahaha." Arya yang awalnya mendelik kini tertawa keras membayangkan asisten sekaligus sahabat masa kecilnya dikatai orang cabul. Sebagai lajang berkualitas, belum pernah ada kaum Hawa yang berani mempermalukan mereka. "Kenapa ketawa, Bos? Puas melihat kemalanganku?" Suara Bram jelas bersalut rasa kesal. "Easy, easy. Let's hold it now. Nanti kita pikirkan cara lain." Arya menyahut kalem dengan seulas senyum di bibirnya. "Bos, kenapa harus repot mengurusi cewek sok jual mahal? Kalau memang sungkan, Bos bisa kasih uangnya untukku. Dengan senang hati aku pasti memaafkanmu mewakili
"Oh?" Surya mengerling menatap sahabatnya sebelum tawanya meledak, "Hahaha, ya mana mungkin bisa ingat. Koleksi pacarmu saja jauh lebih banyak dari ubanku."Ledekan sahabatnya membuat Arya tersenyum miring. Kedengaran berlebihan walau tak sepenuhnya salah. Gara-gara kelakuannya yang hobi gonta-ganti pacar ini pula maka sang ibu ngotot mendekatkannya dengan Putri Marion. "Jadi bagaimana bisa gadis itu bekerja di sini? Setahuku waktu terakhir kemari, aku tak melihatnya." Arya berucap santai padahal jantungnya agak berdegup menanti jawaban Surya. Dia tak mau sahabatnya ini mengendus sesuatu yang kelak bisa dijadikan bahan ejekan di komunitas mereka. "Aku kurang tahu. Manajer kami yang merekrutnya sekitar dua bulan lalu. Tapi dia cuma bisa bekerja dari sore sampai malam," beber Surya sembari meneguk cocktailnya dalam satu sesapan. Arya nampak manggut-manggut sementara hatinya meringis pilu. Kalau benar Putri bekerja di sini juga, berarti gadis itu
Suara ini membuat langkah Putri berhenti nyaris seketika. Tubuhnya berdiri kaku dengan posisi membelakangi meja yang diduduki Arya dan teman-temannya. "Kamu kenapa berdiri saja? Kalau dipanggil, ya menyahut. Tatap muka yang memanggil."Mendengar atasannya langsung ikut menimpali, Putri perlahan berbalik dan bergerak menuju meja. Waktu jaraknya hanya tinggal dua meter lagi, dia mengangguk sekilas dan berkata, "ya Pak, ada yang bisa saya bantu?""Kamu perempuan yang bilang aku orang cabul, iya kan?" sambar Bram telak. Sepertinya, penghinaan yang dia terima sore tadi masih bikin darahnya mendidih hingga detik ini. Pernyataan Bram sukses mengundang gelak tawa di meja itu, bahkan Surya sampai terpingkal-pingkal. "Mukamu memang cabul, Bram.""Si cantik ini hanya bilang yang sebenarnya.""Sepertinya kau bisa memulai karier di dunia film panas, tak ada kata terlambat Bram... ."Muka Putri memerah mendengar semua cand
Arya yang jadi pusat perselisihan tetap melanjutkan makannya dengan tenang seolah apa yang dibicarakan ibu dan kakaknya tak punya hubungan apapun dengannya. "Arya, apa kamu akan terus mengabaikan orang yang bicara padamu?" tanya nyonya Bharata menahan kesal. Mukanya yang cantik nampak murka menyaksikan gelagat putra keduanya. Hilang kesabaran dengan anggota keluarganya, Arya cepat-cepat memasukkan kunyahan terakhir ke mulutnya, lalu meneguk segelas susu sampai tandas. Perlahan dia mengusap mulutnya dengan serbet basah lalu mengedarkan pandangan pada setiap wajah yang ada di meja makan. Ada enam orang yang duduk mengelilingi meja, termasuk sang kakak ipar, Rabina. Semua wajah, kecuali tuan Bharata, menatap Arya penuh minat. Bersiap menanti jawaban yang akan diberikan penguasa Bharata Entertainment itu. "Saranku, sebaiknya kakak fokus dengan Bharata Textile. Bukankah nilai sahammu terus turun di bursa?" cetus Arya dengan ekspresi menjengkelkan.
Setelah peristiwa tak menyenangkan di lounge D'Artz milik keluarga Angkasa tempo hari, Putri kembali bekerja di toko barang branded bernama Mon Tresor seperti biasa. Mon Tresor sendiri sebenarnya masih berlokasi di Angkasa Plaza. Karena ini pula, terkadang Putri seusai bekerja di toko langsung bergegas ke D'Artz. Kala Putri tengah sibuk mengatur tas yang menjadi tanggung jawabnya di display, suara feminin yang akrab tiba-tiba menyapa telinganya. "Sayang, aku cuma mau beli satu tas aja, please... ."Meski agak berbisik, suara itu masih terdengar agak jelas. Agar privasi pelanggan tersebut tidak terganggu, Putri pura-pura menunduk seraya sibuk menekuni kegiatannya. "Tapi kamu baru beli dompet kemarin. Jangan berlebihan dong matrenya... ."Suara parau pria yang menemani sang wanita tampak tak ikhlas. Bahkan sebagai pendengar saja Putri jadi tak enak hati. Namun rupanya, perempuan bersuara empuk itu belum mau menyerah.
Begitu urusan dengan Sophia usai, senyum di wajah manajer toko langsung lenyap. Dengan tatapan menusuk, dia mulai menginterogasi Putri. "Jadi, masalah apa lagi kali ini? Kemarin dengan Putri Marion sekarang dengan Lady Sophia." Mata Putri mengerjap sesaat. Tak percaya jika manajer toko yang selalunya ramah kini bersikap sangat dingin. Tanpa bertanya apapun, secara tak langsung sudah memberinya vonis sebagai pembuat onar. "Pak, kaki saya agak pegal sebab berkali-kali mesti meraih tas yang letaknya cukup tinggi. Kebetulan produk terakhir yang diminta bu Sophia ada di box, makanya itu saja yang saya tunjukkan sama beliau," tutur Putri lemah. Hatinya berharap ada sedikit empati dari sang atasan. Alih-alih mendengar penjelasan Putri, manajer toko justru menoleh pada pramuniaga yang memanggilnya barusan. "Ceritakan apa yang kamu lihat tadi," ujarnya tegas. Pramuniaga bernama Cindy itu menatap Putri sekilas, lalu berkata lirih," saya juga kurang jela
Umpatan Aryo rupanya tak bikin Arya bergeming. Seulas garis miring tercetak di bibirnya yang indah. "Kenapa harus marah? Memangnya ada yang salah dengan kata-kataku? Justru aku yang harus kesal karena sampai detik ini, sahamku yang tertanam di Bharata Textile belum menghasilkan laba yang berarti."Brakk!! Fakta seterang cahaya yang baru saja dikemukakan Arya, sangat melukai ego Aryo. Tanpa sadar dirinya menggebrak meja lalu sekonyong-konyong bangkit dan menarik kerah kemeja adiknya. "Kamu mau menantangku sekarang, hah?"Alih-alih terpancing, Arya dengan tenang menatap lurus wajah kakaknya. Murka yang nyata tampak berkobar-kobar di sana bagai lidah api yang siap menyambar apapun yang ada di depannya. "Kurasa cara barbar ini tak sesuai untukmu," ujar Arya menepis cekalan Aryo dari kerah bajunya. "Atau kamu memang sudah turun serendah ini?" tantangnya lagi tanpa mengalihkan pandangan dari sang kakak. Sejak dulu kakaknya memang selalu impu