Anehnya, tak ada sahutan apapun.
Pada saat ini sadarlah Putri kalau yang tinggal di ruangan ini cuma dirinya dan Sony.Perlahan pria bertubuh gempal itu mendekatinya dan berkata penuh kelembutan, "Sayang, mereka sudah keluar. Saatnya pertunjukan kita dimulai.""Ap--apa maksud Anda?"Bukannya menanggapi, Soni malah terkekeh geli, "Hahaha, kau begitu lugu bikin aku tak sabar ingin beraksi."Sekali sentak, tali yang mengikat kimono Soni pun terlepas, menampakkan perut yang buncit serta dada yang ditumbuhi bulu-bulu lebat.Pemandangan tak senonoh ini bikin Putri hampir muntah. "Pergi... Men--jauh dariku," geramnya marah.Dengan gerakan lamban, gadis malang itu beringsut menjauhi Soni yang mendekatinya seraya menyeringai nakal. Tingkah produser kawakan itu persis ular yang sedang mengincar mangsa."Pergi kubilang! Pergi!"Putri berteriak histeris, namun tindakannya justru bikin Soni makin bergairah.Biasanya, pria paruh baya ini memadu kasih dengan calon artis muda yang selalu memberikan segalanya dengan sukacita. Setelah sekian lama, baru kali ini dia mendapat perlawanan.Insting pemburu dalam dirinya jadi tergugah."Ayo manis, beri perlawanan yang lebih dahsyat," ujarnya dengan seringai menjijikkan.Putri makin mual mendengar kalimat Soni yang ambigu namun dia sungguh tak berdaya.Kesadarannya terus menurun sementara tubuhnya bereaksi aneh. Rasa panas di dalam sana mulai menjalar hingga dia hampir tak bisa menahan diri agar tak merobek setiap inci kain yang menutupi tubuhnya."Tolong... jangan begini. Jauhi aku... ." pintanya berlinang air mata.Sayangnya, perasaan Soni sudah tumpul lantaran hasrat yang membara."Sraakk!"Dalam sekali tarikan, outer yang menutupi bahu Putri terkoyak begitu saja. Menampakkan kulit mulus kencang, penuh aura kemudaan."Hahahaha, kulitmu sungguh indah, Sayang. Kau sangat mempesona."Tangan Soni yang kekar berbulu, mulai menyentuh kulit yang terbuka itu bahkan menjilatnya sedikit."Tolong... hen--hentikan," isak Putri tertahan.Putri menggigit bibirnya agar kesadarannya jangan sampai hilang. Dalam benaknya dia bersumpah akan memberi perlawanan hingga titik darah penghabisan.Pada saat terdesak ini, tiba-tiba dia ingat sesuatu. Dulu waktu masih di desa, dia sempat ikut pencak silat yang salah satu teknik dasarnya adalah tendangan.Tanpa peduli keindahan gerak yang jadi ciri khas bela diri yang satu ini, Putri mengarahkan kakinya sekuat tenaga ke arah kemaluan Soni."Aaarrggghh!"Lolongan Soni yang bagai hewan sekarat sontak memenuhi ruangan itu.Berjalan sempoyongan, Putri mengambil salah satu botol di atas meja lalu memecahkan ujungnya, hingga beling berserakan di lantai. Bagian tajam dari botol itu dia arahkan ke leher.Sambil mendekati pintu, dia mengeluarkan ancamannya, "Awas! Jangan mendekat. Kalau tidak saya akan mati di sini.""Diam! Dasar pelacur kecil. Mau lari kemana, hah?"Putri tak lagi meladeni kata-kata Soni. Tergesa dia mengambil kartu pembuka pintu di atas meja lalu berjalan secepat yang dia bisa.Waktunya tak banyak, sebentar lagi obat dalam minuman itu akan merampas semua kesadarannya yang masih tersisa."Tunggu! Jangan pergi sialan!" teriak Soni seraya berusaha bangkit.Namun tubuhnya yang tambun bikin gerakannya jadi lamban apalagi saat dia berhasil berdiri, badannya malah terpeleset oleh minuman yang tumpah dari botol yang dipecahkan Putri.Tak cukup sampai di sini, tubuh itu pun jatuh kembali menimpa beling yang masih berserak di atas lantai."Aduuuhh!"Sekali lagi lolongan Soni memenuhi kamar.Pada saat dia masih sibuk mengumpat, Putri sudah berhasil membuka pintu kamar dan berlari mencari pintu lift terdekat.Suasana amat hening, karena malam memang sudah larut.Memakai busana yang sudah compang-camping dan bertelanjang kaki, Putri yang ketakutan itu akhirnya berhasil menemukan lift. Dengan panik dia menekan tombol-tombolnya lalu terduduk lemas.Seluruh tenaga dan kesadaran yang tersisa seolah habis waktu memberi perlawanan pada Soni tadi."Tiinggg!"Pintu lift kembali terbuka. Sembari berpegangan pada dinding, Putri keluar lalu berjalan sendirian di tempat asing ini.Dalam pandangannya yang semakin samar, dia melihat sebuah pintu dan tanpa berpikir panjang Putri mengetuknya sekuat tenaga."Kak Sophia, buka!"Pintu besar itu tak bergeming. Putri makin putus asa. Takut kalau-kalau Soni bakal menyusul dari belakang."Kak! Buka cepat! Ada orang jahat!"Sejurus lamanya Putri berteriak-teriak bagai kesurupan, namun daun pintu itu tetap menutup.Ketika harapannya hampir pupus, akhirnya pintu itu terkuak. Bersamaan dengan itu tubuhnya pun lunglai, menabrak sesuatu yang menyerupai tubuh manusia."Akhirnya kakak datang," ujarnya lalu memeluk tubuh yang hangat itu sekuat tenaga.Arya yang baru selesai mandi tercekat.Tadi dia membuka pintu karena mendengar ketukan samar. Siapa sangka, begitu daun pintu terkuak yang menyambutnya malah seorang gadis muda yang melemparkan tubuhnya dengan sukarela."Hei sadar. Kau salah alamat."Namun gadis itu tak bergeming, mulutnya malah meracau tak jelas.Dan yang tak kalah mencengangkan, gadis belia itu mulai menarik lepas outer-nya yang compang-camping."Hei, berhenti! Jangan gila."Namun gadis itu tak peduli. Mulutnya yang merah dan sensual, justru berbisik serak di telinga Arya, "Pa--nas, Kak."Arya hampir gila. Badannya cuma dibalut handuk dan tubuh sintal berisi ini membelitnya erat seperti gurita. Banyak wanita yang mengincar dirinya, namun dengan cara elegan bukan vulgar begini.Tak punya pilihan, Arya mengangkat dan merebahkan tubuh Putri di atas sofa lalu bersiap mengenakan bajunya.Sialnya, saat ini pula perempuan muda itu menarik tali gaun backless satinnya. Praktis, tubuh indahnya cuma ditutupi bra dan celana dalam sekarang."Sial!" Arya memaki pelan sambil cepat-cepat balik badan.Namun baru tiga langkah berjalan, dia menoleh lagi. Sekarang gadis nekat itu bahkan menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan.Raut muka gadis ini tumpang tindih dengan ekspresi wanita saat mencapai klimaks mereka dalam film panas yang pernah ditontonnya.Arya mengacak rambutnya frustasi. Hasrat kelelakiannya di bawah sana sudah berdiri tegak, siap mengerjakan tugasnya detik ini juga."Persetan!" ujarnya gusar lalu mengangkat tubuh gadis muda itu ke kamarnya.Tak sabar, dia membuka pakaian dalam Putri yang tersisa dan nyatalah kalau tubuh itu memang seindah yang dibayangkannya.Arya mulai mencumbu Putri hingga gadis belia itu melenguh. Tentu saja, desahan dan ekspresinya yang murni makin memantik gairah kelelakian Arya."Rubah penggoda. Ingat, kau yang memintanya," ujarnya parau.Setelah itu, perlahan Arya memasukkan dirinya dalam tubuh Putri. Anehnya, senjatanya yang sudah siap sempurna itu terasa sulit untuk masuk, seperti ada yang menghalangi.Namun Arya yang sudah dikuasai nafsu malah makin tertantang. Dengan bersemangat dia menancapkan kelaminnya lebih kuat hingga melesak jauh dalam tubuh Putri."Ahhh!" jerit Putri tiba-tiba.Untuk sesaat raut puas di wajahnya digantikan oleh ringis kesakitan.Menyadari ada yang tak beres, Arya memperlambat gerakannya hingga tubuh Putri bisa beradaptasi. Setelah itu, ritmenya makin cepat dan intens hingga mereka berdua sama-sama mereguk manisnya asmara. Lagi dan lagi.Cahaya mentari yang menimpa wajahnya adalah hal pertama yang disadari Putri ketika terjaga keesokan harinya. Setelah itu, kepalanya yang agak pusing, lalu ...rasa nyeri di bagian pribadinya.Kesadaran ini menghantam dirinya dengan hebat.Panik dia menatap sekeliling hingga netranya tertumbuk pada sosok tampan yang duduk tak jauh darinya bersama secangkir kopi di atas meja. "Akhirnya kau bangun." sapa Arya pada gadis yang nampak gugup itu.Reaksi Putri bikin Arya heran, mengingat betapa liar percintaan mereka semalam. Sambil menatap gadis itu penuh minat, Arya berhitung dalam kepalanya. 'Satu, dua tiga... Action!'Pertama: mereka akan menangis. Namun yang terjadi, Putri cuma menatapnya tanpa ekspresi lalu memunguti bajunya yang terlempar menyedihkan. Setelah itu dia mengenakannya di depan Arya tanpa rasa canggung sedikitpun. Dua: Mereka akan minta pertanggungjawaban.Di luar ekspektasi Arya, Putri yang sudah selesai berpakaian malah duduk angkuh di depannya seperti seorang ratu. Tak
"Putri, tolong kamu letakkan tas ini di display utama."Putri cepat-cepat mengiyakan perintah atasan barunya sambil mengangkat tas yang dimaksud dalam sebuah tray khusus. Sudah sebulan sejak peristiwa pahit kemarin, dia mulai belajar menerima kenyataan. Selain pindah tempat tinggal, atas rekomendasi atasannya yang lama, dia juga bekerja di salah satu cabang resmi brand ternama di dunia. Bentuk fisik dan pembawaannya yang menarik, membuat Putri diterima langsung oleh atasannya sekarang. "Selamat siang bu Putri, ada yang bisa kami bantu?"Telinga Putri yang awas menangkap suara rekan kerjanya saat dia tengah sibuk memajang tas limited edition itu pada display. "Ya, saya mau tas keluaran terbaru. Hari ini kekasih saya sedang senang dan mau membelikan saya hadiah, iya kan Beb?"Sahutan pria yang dipanggil 'beb' itu tak terlalu jelas di pendengaran Putri namun mendengar klien baru ini punya nama yang sama namun kehidupan yang jauh berbeda dengannya, jadi memantik rasa penasaran. Putri
Sontak Putri terhenyak mendengar permintaan yang berlebihan ini. Lewat sudut matanya, dia juga bisa melihat kekagetan yang sama pada raut wajah kedua laki-laki dewasa yang duduk di ruang tunggu elegan itu."Cukup Sayang, sebaiknya kita pulang. Jangan suka berlebihan." Akhirnya Arya memecah keheningan, mukanya yang tampan nampak rikuh menahan malu. Tanpa menunggu persetujuan Marion, dia langsung bangkit berdiri. "Kalau begitu, kami pulang dulu. Saya tunggu kabar baiknya," pungkas Marion seraya melempar tatapan mematikan pada Putri. Putri dan manajer toko mengantar kepergian kedua tamu istimewa itu sampai hilang dari pelupuk mata. Setelah Marion dan Arya tak terlihat lagi barulah manager toko menoleh pada Putri dan bertanya, "sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa mbak Putri sampai marah sama Kamu?"Putri menelan ludah susah payah, terlalu bingung menceritakan kisah yang dia sendiri tak mengerti ujung pangkalnya. Kalau dia mengatakan ada k
Arya tengah sibuk berkutat di depan laptop kpetika panggilan masuk dari Bram mengganggu ketenangannya. Ogah-ogahan dia mengangkat telepon sang asisten sebelum mimik wajahnya berubah drastis. "Apa kamu bilang? Dia menolak?"Suara Bram terdengar sangat kesal dari seberang sana. "Tak cuma menolak, dia juga meneriakiku orang cabul, bayangkan!""Hahahaha." Arya yang awalnya mendelik kini tertawa keras membayangkan asisten sekaligus sahabat masa kecilnya dikatai orang cabul. Sebagai lajang berkualitas, belum pernah ada kaum Hawa yang berani mempermalukan mereka. "Kenapa ketawa, Bos? Puas melihat kemalanganku?" Suara Bram jelas bersalut rasa kesal. "Easy, easy. Let's hold it now. Nanti kita pikirkan cara lain." Arya menyahut kalem dengan seulas senyum di bibirnya. "Bos, kenapa harus repot mengurusi cewek sok jual mahal? Kalau memang sungkan, Bos bisa kasih uangnya untukku. Dengan senang hati aku pasti memaafkanmu mewakili
"Oh?" Surya mengerling menatap sahabatnya sebelum tawanya meledak, "Hahaha, ya mana mungkin bisa ingat. Koleksi pacarmu saja jauh lebih banyak dari ubanku."Ledekan sahabatnya membuat Arya tersenyum miring. Kedengaran berlebihan walau tak sepenuhnya salah. Gara-gara kelakuannya yang hobi gonta-ganti pacar ini pula maka sang ibu ngotot mendekatkannya dengan Putri Marion. "Jadi bagaimana bisa gadis itu bekerja di sini? Setahuku waktu terakhir kemari, aku tak melihatnya." Arya berucap santai padahal jantungnya agak berdegup menanti jawaban Surya. Dia tak mau sahabatnya ini mengendus sesuatu yang kelak bisa dijadikan bahan ejekan di komunitas mereka. "Aku kurang tahu. Manajer kami yang merekrutnya sekitar dua bulan lalu. Tapi dia cuma bisa bekerja dari sore sampai malam," beber Surya sembari meneguk cocktailnya dalam satu sesapan. Arya nampak manggut-manggut sementara hatinya meringis pilu. Kalau benar Putri bekerja di sini juga, berarti gadis itu
Suara ini membuat langkah Putri berhenti nyaris seketika. Tubuhnya berdiri kaku dengan posisi membelakangi meja yang diduduki Arya dan teman-temannya. "Kamu kenapa berdiri saja? Kalau dipanggil, ya menyahut. Tatap muka yang memanggil."Mendengar atasannya langsung ikut menimpali, Putri perlahan berbalik dan bergerak menuju meja. Waktu jaraknya hanya tinggal dua meter lagi, dia mengangguk sekilas dan berkata, "ya Pak, ada yang bisa saya bantu?""Kamu perempuan yang bilang aku orang cabul, iya kan?" sambar Bram telak. Sepertinya, penghinaan yang dia terima sore tadi masih bikin darahnya mendidih hingga detik ini. Pernyataan Bram sukses mengundang gelak tawa di meja itu, bahkan Surya sampai terpingkal-pingkal. "Mukamu memang cabul, Bram.""Si cantik ini hanya bilang yang sebenarnya.""Sepertinya kau bisa memulai karier di dunia film panas, tak ada kata terlambat Bram... ."Muka Putri memerah mendengar semua cand
Arya yang jadi pusat perselisihan tetap melanjutkan makannya dengan tenang seolah apa yang dibicarakan ibu dan kakaknya tak punya hubungan apapun dengannya. "Arya, apa kamu akan terus mengabaikan orang yang bicara padamu?" tanya nyonya Bharata menahan kesal. Mukanya yang cantik nampak murka menyaksikan gelagat putra keduanya. Hilang kesabaran dengan anggota keluarganya, Arya cepat-cepat memasukkan kunyahan terakhir ke mulutnya, lalu meneguk segelas susu sampai tandas. Perlahan dia mengusap mulutnya dengan serbet basah lalu mengedarkan pandangan pada setiap wajah yang ada di meja makan. Ada enam orang yang duduk mengelilingi meja, termasuk sang kakak ipar, Rabina. Semua wajah, kecuali tuan Bharata, menatap Arya penuh minat. Bersiap menanti jawaban yang akan diberikan penguasa Bharata Entertainment itu. "Saranku, sebaiknya kakak fokus dengan Bharata Textile. Bukankah nilai sahammu terus turun di bursa?" cetus Arya dengan ekspresi menjengkelkan.
Setelah peristiwa tak menyenangkan di lounge D'Artz milik keluarga Angkasa tempo hari, Putri kembali bekerja di toko barang branded bernama Mon Tresor seperti biasa. Mon Tresor sendiri sebenarnya masih berlokasi di Angkasa Plaza. Karena ini pula, terkadang Putri seusai bekerja di toko langsung bergegas ke D'Artz. Kala Putri tengah sibuk mengatur tas yang menjadi tanggung jawabnya di display, suara feminin yang akrab tiba-tiba menyapa telinganya. "Sayang, aku cuma mau beli satu tas aja, please... ."Meski agak berbisik, suara itu masih terdengar agak jelas. Agar privasi pelanggan tersebut tidak terganggu, Putri pura-pura menunduk seraya sibuk menekuni kegiatannya. "Tapi kamu baru beli dompet kemarin. Jangan berlebihan dong matrenya... ."Suara parau pria yang menemani sang wanita tampak tak ikhlas. Bahkan sebagai pendengar saja Putri jadi tak enak hati. Namun rupanya, perempuan bersuara empuk itu belum mau menyerah.