Share

Terjerat Pesona Sang Pengawal
Terjerat Pesona Sang Pengawal
Author: Zara Sun

Bab 01

Stacey Waldermar POV

“Angkatlah telpon itu, Lynch. Sudah 4 kali dia menelponmu, apa dia kekasih barumu?”

“Aku tidak memiliki kekasih baru…”

Alessandra, wanita itu segera menoleh dan dia datang membawa dua gelas teh panas yang diisi ulang lalu duduk di hadapanku. “Apa dia tampan? Apa dia actor terkenal? Jangan mencoba menyembunyikan apapun dariku, Lynch. Aku tahu segalanya tentangmu, ayolah, siapa dia, kenapa dia terus menelponmu?”

Aku mendengus. “Bukan siapa-siapa.”

“Apa? Emily, kau mempunyai kekasih baru?”

Suara itu, aku dan Alessandra menoleh bersamaan—aku terpejam sesaat, Brad, direktur perusahaan restoran cepat saji itu menatapku lebih serius sembari melepaskan jas lalu meletakkan di sandaran kursi kemudian memberikan kecupan pada Alessandra yang biasa dilakukan sepasang kekasih lalu duduk di hadapanku, lebih tepatnya duduk di samping Alessandra.

“Dia bukan kekasihku,” koreksiku.

“Lalu siapa?”

Kedua alisku terangkat bersamaan. “Wow, kalian sangat penasaran dengan kehidupan asmaraku, ternyata. Dia bukan kekasihku, aku tidak mengenal siapa yang menelponku, mereka hanya orang asing yang ingin menelponku.”

Alessandra terdiam. “Maksudmu?” Kali ini kedua alisnya berkerut. “Dia penguntit? Bagaimana bisa mendapatkan nomor ponselmu?”

Aku mengangkat kedua bahuku sebagai jawaban. “Aku tidak tahu, sejak pagi tadi dia sudah menelponku, dia bilang ingin bertemu denganku.”

“Apa kau sering mendapatkan telpon seperti ini darinya?” Tatapan Brad kali ini lebih serius dari biasanya. “Berapa kali dia menelponmu hari ini?” tanyanya lagi, kali ini dengan raut wajah khawatir.

“Beberapa dari mereka sering menelponku tapi pagi ini dari orang yang berbeda.”

“Kenapa kau tidak mengganti nomor ponselmu saja?”

Aku membuang napas panjang dan menggeleng. “Brad, mereka akan kembali menelponku, aku pernah mengganti nomorku dan mereka tetap menelponku, mengirimkan pesan dan bahkan melamarku! Yang aku lakukan hanya memblokir nomor mereka lalu mereka tidak menelponku lagi.”

“Kenapa kau tak pernah bilang pada kami, Lynch. Bagaimana nantinya mereka menyakitimu, jangan pernah menyepelekan hal seperti ini.

Alessandra juga pernah mendapatkan hal seperti itu dan berakhir terluka, kau tahu apa yang pria itu katakan?” Aku menggeleng. “Pria itu bilang dia melakukan ini karena Alessandra tidak membalas pesan dan telponnya.”

“Jika mereka tidak mengganggu kehidupanku, aku tidak akan bertindak, Brad.” Keningku berkerut. “Dan, kenapa kalian tidak pernah bercerita jika kau pernah mendapatkan terror seperti ini, kapan kejadiannya?” tanyaku.

“Ah, ya, sudah lama, aku sudah lupa. Lagipula media tidak tahu tentang ini, hanya aku dan Brad yang tau,” sambung Alessandra.

“Mereka sudah mengganggu kehidupanmu bahkan aku terganggu dengan panggilan telpon itu dan kau?” Brad menggeleng pelan. “Bagaimana kau bisa santai dengan hal ini? Emily, kau seorang model, mereka semua mengenalmu, bahkan dimanapun kau berada, mereka tahu, apa yang kau lakukan pun mereka tahu. Dengarkan aku, ganti nomor ponselmu yang baru.”

Aku mencoba untuk tidak memikirkan dan membahas hal ini kepada siapapun termasuk Alessandra dan Brad karena aku tahu bahwa mereka akan mengkhawatirkanku dan mereka akan bertindak lebih jauh sementara aku tidak ingin memperpanjang masalah ini karena aku pernah mendatangi salah satu orang yang terus mengganggu hidupku dan ternyata dia adalah tulang punggung keluarganya, memiliki satu anak laki-laki yang masih berusia empat tahun.

Kami bertiga sudah delapan tahun bersama sejak aku memutuskan untuk masuk ke agensi dan secara tidak sengaja, aku bertemu dengannya dan kami berteman hingga detik ini, aku bahkan menganggap mereka berdua seperti keluargaku sendiri walaupun usiaku terpaut empat tahun lebih muda dari mereka.

“Ayolah, aku baik-baik saja.”

Brad menggeleng, aku memutar bola mataku malas. “Besok aku ada pemotretan, aku harus pulang, James akan menelponku dan memarahiku jika aku tidak pulang.”

“Kau selalu saja mengalihkan pembicaraan, Emily…” timpal Alessandra.

Aku bangkit dan mengambil tasku di sofa. “Kau bisa menginap malam ini. Jika kau tidak ingin menginap biarkan Brad mengantarmu pulang, aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendirian setelah aku tahu selama ini kau merahasiakan penguntit dari kami.”

Alessandra mengangkat lengan kiri dan matanya membulat. “Ini sudah pukul 1:27 pagi!” pekik wanita berambut pirang itu lalu memukul lengan Brad dan menatap pria itu dengan penuh peringatan. “Apa yang kau lakukan di kantor hingga pulang selarut ini, Mr. Fucking Rodney?!”

Brad hanya memutar bola matanya lalu menatapku. “Lihat, bahkan aku bekerja saja dia terus mencurigaiku, Emily!” gerutunya.

Sore tadi, setelah aku menyelesaikan beberapa syuting di salah satu acara talk show, aku langsung pergi ke tempat tinggal Alessandra menemani wanita berambut pirang itu hingga Brad kembali dari perusahaannya—kami sudah sering seperti ini, menghabiskan waktu bersama Alessandra tetapi satu yang menjanggal, aku belum memberitahu mereka tentang identitas asliku. Aku merasa bersalah kepada mereka berdua tetapi ia ingin menunggu waktu yang tepat untuk ini.

Aku menggeleng. “Aku ingin pulang, Brad, kau tidak perlu mengantarku pulang, aku bawa mobil sendiri dan bagaimana bisa aku pulang dengan tunangan sahabatku sendiri. Bagaimana jika ada paparazzi yang melihat, aku tidak ingin menjadi berita buruk,” kataku seraya melangkah menuju pintu keluar.

Kedua alisku terangkat ketika Brad melewatiku untuk membukakan pintu mobilku. “Beruntung sekali kau mendapatkan tunangan seperti Brad, aku sangat iri,” gumamku seraya masuk ke dalam mobil.

“Dia hanya mencari perhatian padamu, Emily. Aku sudah bersamanya sejak kami di bangku SMA,” sahut Alessandra bersedekap dada.

Brad yang mendengar itu mendengus. “Itulah yang dilakukan para wanita jika sedang marah, Emily. Dia sendiri yang mengatakan padaku untuk membukakan pintu jika sedang bersama wanita.”

Aku tertawa pelan seraya menyalakan mesin mobilku. “Sudahlah, aku tidak akan pulang jika terus meliht kalian bertengkar seperti ini. Aku harus pulang, jaga dirimu, bye!”

“Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu! Telpon aku jika kau sudah sampai, mengerti?”

Stacey mengangguk. “Yes, Miss. Thorne. Aku mencintaimu.”

“Aku juga.”

Aku memundurkan mobil dari garasi kemudian melambaikan tangan pada mereka sebelum aku benar-benar melaju meninggalkan area kompleks rumah mewah tiga lantai itu.

Di perjalanan, aku memasang sabuk pengamannya lalu mengunci semua pintu lalu menyalakan musik, suasana jalan tampak sepi. Suara deruman mobilku menggema jalanan ketika aku baru saja keluar dari kawasan mewah itu. Baru saja music menyala dimenit kedua, suara dering ponsel membuatku melirik, itu James. Pria berusia kepala tiga itu kembali menelponku, sudah terhitung lima kali untuk malam ini aku memutar kedua bola mataku dan segera mengambil earphone di dasbor mobil dan memasang di telingaku.

“Stacey! Dimana kau?!”

“Damn it!” Aku memekik kaget ketika suara James menggema telinga, aku segera menjauhkan benda itu lalu kembali memasangnya. “James! Aku sedang dijalan, berhentilah menelpon dan mengganggu konsenterasiku.”

“Ribuan kali aku sudah mengatakan padamu untuk tidak menyetir sendiri, itu bahaya!”

“Tidak dengan ribuan kali, James. Kau mengatakan itu kurang dari 10 kali, jangan dilebih-lebihkan, tidak baik.”

“MISS. WALDERMAR!”

“That’s me, James, that’s my name,” gumamku seraya melirik kaca spion. “Aku akan sampai dalam 15 menit, jangan menelponku, aku mencintaimu, bye.”

“Hey—”

Aku segera memutuskan sambungan telepon itu lalu menarik earphone dan melempar benda itu ke samping sebelum James kembali bersuara. Aku kembali focus pada jalanan dan menambah kecepatan untuk cepat sampai mansion agar James tidak kehilangan pita suara karena aku terus membuat pria itu marah setiap hari.

Mataku melirik spion kemudian aku membelokkan stir ke kanan dengan kening berkerut, mengernyit bingung saat melihat mobil hitam yang berada di belakang dengan jarak yang sangat dekat. Aku menancap gas dan menjalankan mobilku lebih cepat untuk menghindari mobil yang ada di belakang.

“Apakah mereka mabuk?”

Mataku melirik jam yang ada di lengan kiri menunjukkan pukul dua pagi, dimana jalanan tampak sepi karena sudah semakin malam dan aku hanya sendiri di dalam mobil. Ditambah baru-baru ini, ada seorang pria asing melemparkan batu ke arah mobilku, saat aku baru saja keluar dari tempat pemotretan.

Saat polisi datang, mereka mengonfirmasi bahwa itu hanyalah tindakan dari penggemarku yang menggunakan cara apapun agar bisa menarik perhatianku. Aku tidak menaruh kecurigaan berlebih kemudian, tetapi berikutnya, ada sebuah surat ancaman yang ditulis dengan tinta merah darah.

“Stacey Welsh Waldermar.”

Ancaman tersebut bahkan menyebar pada nama dan identitas asliku, bukan persona yang kugunakan ketika menjadi model.

Fokusku terbagi ketika aku kembali melirik kaca spion dan keningku kembali berkerut saat melihat mobil hitam itu kembali berada di belakang mobil bahkan hanya berjarak kurang dari lima meter dengan lampu begitu terang menusuk mataku.

“Di jam seperti ini?” Aku menggeleng tidak percaya. “Kenapa mereka sangat menyeramkan?”

Aku tidak bisa melihat siapa orang yang ada di dalam sana karena kaca sangat gelap—aku memelankan laju mobil untuk melihat apakah mereka mengikutiku atau tidak. Aku terus melirik mobil di sampingku dan benar dugaanku mereka mengikutiku. Sial, brengsek! Kenapa kesialan selalu menghampiriku? Bahan bakar mobilku hampir mendekati habis, bagaimana jika tiba-tiba berhenti di tengah tengah? Aku bersumpah, ini kali pertamaku sangat takut menyetir mobil.

Shit! Come on, Stacey.

Mataku tak pernah lepas dari kaca spion dan terus menambah kecepatan. Mobil di belakangku pun ikut menambah kecepatan. Tanpa berpikir panjang, aku langsung membelokkan mobil tanpa menyalakan lampu sein dan saat itu juga aku bernapas lega karena mobil yang mengikutiku menghilang.

“Oh my God, James…”

Begitu sampai, pintu gerbang terbuka otomatis lalu aku kembali menjalankan mobil masuk ke dalam pekarangan. Aku segera turun dari mobil dan mengambil beberapa barang belanjaan yang tadi aku beli bersama Alessandra dan membawa barang-barangnya tetapi langkah kakiku terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namaku. Aku segera menoleh dan tersentak kaget hingga tubuhku terjatuh ke lantai marmer mansion saat menaiki tangga untuk masuk.

“Fuck!”

・༓☾ ☆ ☽༓・

“Aku sudah berulang kali mengatakan hal ini padamu, Stacey. Tapi kau selalu saja membantahku, ayolah, kali ini saja.”

Keningku berkerut. “Kenapa jadi kau yang marah? Aku hanya bertanya padamu bukan mendengar ocehanmu sejak aku bangun 30 menit yang lalu hanya karena pria sialan itu masuk ke dalam mansionku diam-diam. Ini bukan salahku sepenuhnya, sepanjang hari aku berada di luar, aku tidak sedang mengurus rumahku, James. Selama ini yang mengurus tempat sialan ini hanya kau dan Bakeer… dan Prescott, bukan—”

“Aku tidak pernah mempermasalahkanmu pergi keluar hingga larut malam jika kau bersama seseorang, Stacey. Yang aku permasalahkan disini adalah kau pergi sendiri tanpa ada seseorang yang mendampingimu hingga larut malam dan jika kemarin kau menuruti perintahku untuk tetap tinggal di mansion, paparazzi sialan itu tidak datang dan kau tidak akan terluka,” tunjuk James dengan tegas.

Aku mendengus pelan. “Jadi semua yang terjadi adalah salahku?”

“Ya,” sambung James.

Mataku beralih ke mata wanita cantik yang sejak tadi memperlihatkan pertengkaranku dengan James di mejaku. Dia bernama dr. Diana, dokter keluarga Waldermar, tentu dia mengenal baik keluargaku termasuk James karena wanita berusia hampir kepala lima itu berteman baik dengan ayahku—aku dan James sendiri sudah sangat mengenal keluarga dr. Diana begitupun sebaliknya, maka dari itu dr. Diana sudah terbiasa melihat pertengkaran kami.

“Apa kakiku baik-baik saja, dr. Diana?”

Wanita itu menarik napas lalu membuangnya seraya bangkit dan mendekat ke arahku dan duduk di sisi ranjangku. “Aku tidak percaya dengan kalian yang selalu bertengkar setiap hari, James. Stacey baru saja terkena musibah malam tadi dan kau memarahinya,” ucap dr. Diana. “Dan kau Stacey, lebih baik kau menuruti apa yang dikatakan James, ini bukan hanya untuknya tapi untukmu juga, jika semalam James tidak keluar, kita tidak tahu apa yang terjadi padamu,” lanjutnya.

“Lalu bagaimana dengan kakiku?”

dr. Diana tersenyum. “Kondisi kakimu baik-baik saja. Tidak ada yang patah, hanya terkilir tetapi kau membutuhkan istirahat yang cukup sampai kakimu benar-benar pulih.”

“Katakan pada gadis manja ini, Diana,” ketus James.

Wanita itu kembali tersenyum. “Aku sarankan untuk tetap di mansion hingga beberapa hari kedepan—”

“Dan aku sudah mengatur jadwalmu beberapa hari kedepan,” potong James dan berhasil membuatku terpejam sesaat dengan tangan yang mengepal. James hanya menahan tawanya. “Kau tetap disini, selagi aku mengantar Diana keluar,” peringat James kemudian mengantarkan dokter Diana keluar dari kamarnya menuju mobil milik wanita itu. Aku berdecak pelan dan menjatuhkan tubuhku di atas tumpukan bantal hingga sosok James kembali muncul dalam pandanganku.

“James, apa kata Diana? Maksudku, hari ini ada pemotretan—”

“Tidak ada pemotretan hari ini, aku sudah mengosongkan jadwalmu selama seminggu hari kedepan. Kau harus beristirahat selama seminggu hari itu,” cetus James.

“Apa kau bilang? Seminggu?!”

James mengangguk. “Diana mengatakan kalau kau perlu beristirahat cukup dan aku tidak mau kau sakit dan itu akan membuat Mr. Waldermar khawatir denganmu.”

“Bagaimana dengan pemotretanku?”

“Kesehatanmu lebih penting, Stacey. Jangan terus membuatku marah padamu.”

Aku berdecak kesal. “Pemotretan tidak akan membuatku mati, James.”

“Aku bilang tidak ya tidak!”

“Ya baiklah! Dasar keras kepala!”

“Hey! Mengacalah dulu sebelum kau berbicara, Stacey Waldermar! Semua yang terjadi adalah kesalahanmu termasuk kaki terkilirmu itu!” teriak James hingga pria itu menghilang dari balik pintu.

Aku mengusap wajahku dengan kasar lalu menurunkan kedua kakiku kemudian melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Dua puluh menit berlalu, aku menyelesaikan ritual tiap hariku dengan air dan beberapa produk untuk membersihkan tubuhku karena semalam aku tidak mandi. Aku mengenakan pakaian santai berwarna abu-abu dengan handuk yang masih menutupi rambut basahku seraya keluar dari kamar dan mendatangi James yang sedang berkutat di dapur membelakangiku, aku menarik kursi dan duduk sembari menopang wajah memandangi tubuh belakang James.

“Dimana makananku?”

Selama seperkian detik setelah aku mengeluarkan suaraku, James berbalik memberikan segelas susu vanila hangat dan roti bakar yang diletakkan tepat di hadapanku.

“James, bagaimana kabar Dad?”

Sebelah alis James terangkat secara tiba-tiba. “Apa? Ada apa dengan ekspresi wajahmu?”

James mengangkat kedua bahu. “Tidak ada, hanya aneh saja tiba-tiba kau bertanya tentang ayahmu, kau tidak pernah seperti itu sebelumnya,” katanya.

Tentu James kaget, karena memang saat aku memutuskan pergi ke New York, aku dan ayahku sudah tidak berbicara lagi, aku tak pernah menghubungi ayahku sekalipun begitupun sebaliknya. Hanya James yang menjadi perantara pembicaraan antar kami berdua—hubunganku dan ayahku tidak baik jadi itulah mengapa James jadi orang ketiga untuk membuat kami berbicara walaupun tidak secara langsung.

“Bagaimana pun dia ayahku…” gumamku.

“Mr. Waldermar baik-baik saja, dia sedang berada di Spanyol dan kembali ke Canada bulan ini, kau mau bertemu dengannya? Aku akan membuat jadwal pertemuan kalian.”

“Dua wanita itu ikut?” tanyaku lalu menyuap makananku.

James menggeleng. “Mereka di mansion.”

Aku membulatkan bibirku berbentuk ‘O’ sebagai jawaban kemudian kembali melanjutkan sarapan pagiku sementara itu James terus memandangiku dari samping, tentu aku menyadarinya dari ujung mataku—aku menyesal bertanya tentang hal itu karena James mengubah posisi duduknya penuh menghadapku, memandangku dan pertanyaan itu akan kembali muncul dari bibirnya karena ini kali pertamaku menanyakan kabarnya setelah delapan tahun aku tidak bertanya tentangnya.

“Kau tidak ingin bertemu ayahmu?” tanya James.

Hening.

Aku sudah tidak bisa menghitung berapa banyak pertanyaan itu yang selalu dilontarkan James untukku, aku menggeleng. “Aku tidak akan datang kalau mereka masih bersama ayahku.”

James menegak minuman dan berkata. “Stacey, kau sudah dewasa, ini bukan saatnya kau seperti anak kecil yang merengek tidak dibelikan apa yang kau inginkan, kau paham?”

“Ya, aku tahu, James.”

James memegang tanganku. “Ayahmu selalu menanyakanmu, dia ingin kau datang ke mansion dan berbicara seperti dulu, dia merindukanmu Stacey, kau putri kandungnya.”

“Aku tidak akan datang kalau dia masih bersamanya, ya aku tau aku egois dan keras kepala, tapi kali ini saja, James…”

“Bagaimana kalau aku mengatur jadwalmu dan ayahmu untuk bertemu diluar?”

Aku terdiam dan menatapnya. “Kalaupun dia merindukanku, dan dia ingin bertemu denganku, dia akan datang atau menelponku untuk menanyakan kabarku, bukan lewat perantara sepertimu, paham?”

“Stacey sudah 4 tahun kau tidak bertatap muka dengannya, dia sangat merindukanmu.”

“Bilang padanya, aku tidak bisa. Aku sibuk sama sepertinya,” kataku dengan sedikit ketus lalu bangkit dan melenggang pergi menaiki tangga menuju kamarku.

・༓☾ ☆ ☽༓・

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status