"Kau ingin naik jabatan, Jennifer?" Kedua alis tebal Richard menyatu. Tangannya masih mengelus pelan paha yang menggoda itu."Siapa yang tidak ingin naik jabatan, Richard?" balas Jennifer dengan menengadahkan wajahnya ke atas menghadap Richard. Jarak antar wajah mereka sangat dekat hingga bisa merasakan hangatnya sentuhan napas masing-masing."Kau juga ingin kan?" kelitnya sambil mengusap lembut dada bidang milik Richard. Richard terlihat diam dan berpikir sejenak. Tiba-tiba ia mengulas senyumnya."Ayo kita kerja sama, Jennifer. Kita membentuk simbiosis mutualisme. Aku akan membantumu. Dan kau, juga akan menguntungkanku," cetus Richard dengan mata berbinar. Jennifer hanya menanggapi dengan setengah senyum. Ia merasa jika kerja sama akan membuatnya selalu dekat dengan Richard, ini di luar rencananya. Ia hanya ingin informasi saja, namun apa boleh buat? Richard harus bisa menguntungkan Jennifer secara maksimal. Batinnya mengintimidasi.Mendadak Richard menghadap ke Jennifer. Kedua tanga
Mendadak hidung Demian mencium bau yang tidak beres. Aroma ini bukan aroma yang dimiliki oleh manusia biasa, melainkan bau anyir yang berasal dari kaum sebangsanya, yaitu vampir. Tapi.. apa mungkin di rumah ini ada vampir selain dirinya? Batin Demian berkecamuk.Mata Demian yang tajam dan tangkas diedarkan ke seluruh sudut kamar Shada. Sementara hidung mancungnya melacak ke arah sumber aroma tersebut. Segera saja ia menemukan aroma itu berasal dari area tangga dan sekitarnya."Kau mendengarku, Demian?" ulang Shada membuyarkan Demian dari pikirannya yang sedang menerka-nerka."Eh, iya. Aku akan pergi. Sebelum itu jawab dulu satu pertanyaanku," Demian menyeringai melihat Shada yang sudah siap menikamnya. Ia tahu Shada benci saat dirinya mengulur-ulur waktu serta terkesan tidak menurutinya. Shada memutar bola matanya malas."Demian, come on! Temanku sudah menungguku di bawah!" Kini Shada mendelik ke arah Demian yang semakin terkekeh."Hahaha.. okay. Kalau begitu aku akan menanyakannya be
"Shada! Ya ampun!" pekik Ruth dari kejauhan.Ruth segera berlari menghampiri Shada. Ia lekas membantu Shada berdiri, kemudian membawanya ke toilet. Sebelum beranjak, mata tajam Ruth menghunjam ke arah Jennifer. Jennifer bungkam. Setelah mata Ruth berpaling, ia menyunggingkan senyum tipisnya.Rasakan itu, Shada! Itu baru pemulaan. Batinnya penuh dengan kemenangan.Ruth berjalan cepat membimbing Shada ke toilet. Shada hanya diam dan wajahnya pucat pasi. Ia trauma melihat kulitnya meruam merah serta rasa perih yang berdenyut membakar sebagian besar tangannya.Ruth segera menyalakan kran air di wastafel. Dengan cekatan, ia meraih pelan kedua tangan Shada lalu memasukkan ke dalam aliran air dingin wastafel tersebut. Ia cukup gugup."Sabar ya. Setelah ini aku berjanji, kau akan baik-baik saja," Ruth berusaha menenangkan Shada. Tangannya dengan lembut mengusap bahu wanita itu."Terima kasih, Ruth. Untung ada kau. Aku tidak bisa membayangkan kalau sendirian tadi. Aku malu." Shada meringis. Ia
"Hmm? Kau mau bertanya apa?" Kini kerutan di dahi Shada semakin jelas.Demian bangkit dari posisi rebahnya. Ia menatap Shada dengan ekspresi serius. Tapi Shada tak bisa menebak apa yang akan ditanyakan pria tersebut."Siapa temanmu yang menginap di sini semalam?" Kedua mata indah Demian beralih untuk menjelajahi isi kamar Shada. Sontak Shada mengikuti arah pandang Demian sambil berkacak pinggang."Ruth. Kenapa?" Shada berpaling lagi kepada Demian. Ia tampak bingung. Beberapa kali Shada terlihat mengerjapkan matanya cepat.Tiba-tiba Demian menghela napasnya berat. Sudah ia duga. Demian hanya tahu bahwa teman yang paling berbeda di kehidupan Shada adalah wanita itu.Demian lalu menganggukkan kepalanya sembari menggigit bibir bawahnya rapat. Tampak khawatir. Apa tujuannya Ruth berada di sini? Apakah hanya ketidaksengajaan yang mempertemukan mereka?Shada semakin dibuat heran oleh sikap pria yang ada di depannya sekarang. "Kenapa? Apa ada masalah?"Kedua mata Shada mengejar wajah Demian y
Pria itu menarik rambutnya frustasi. Kedua kakinya sudah berjalan ke sana ke mari, namun tetap saja tidak menemukan ketenangan. Sementara degup jantungnya berdetak cepat. Ia juga sempat memijat pelipisnya, pening dengan apa yang baru saja ia lihat.Max menatap layar monitor yang sudah terbelah sembari mengingat apa yang tadi sudah ditangkap oleh kedua indera penglihatannya. Max melihat seorang pria yang ia yakini Demian masuk ke kamar Shada lewat balkon minimalis di sana.Setelah itu, tak berapa lama kemudian, Shada terlihat mendatangi Demian. Meskipun Demian tidak terlalu kentara, Max bisa menilai bahwa mereka sedang berbincang, hingga akhirnya Demian bangkit.Max bahkan sudah tidak kuat menatap monitor saat Demian menarik tangan Shada mendekat ke tubuh pria tersebut. Setelahnya, Demian menggendong Shada dengan cepat.Bahkan kecepatan Demian tak terlalu bisa ditangkap oleh rekaman CCTV yang menyala. Max geram lalu segera melempar sebuah botol wine ke monitor sehingga layar itu langsu
"Apa maksudmu, Shada?" Ruth tidak percaya dengan indera pendengarannya sendiri. Apalagi ketika wanita di depannya menuduh Ruth adalah vampir. Ia memandangi Shada dengan gugup, mencari-cari pembenaran di pikirannya."Oh, ayolah. Kau pasti tahu maksudku. Apa kau benar-benar vampir?" ulang Shada dengan setengah berbisik. Shada menyelidiki secara penuh raut muka Ruth.Ruth menggelengkan kepalanya tegas. "Dari mana kau tahu tentang vampir? Aku bukan vampir," sangkal Ruth cepat. Demian pasti memberitahunya. Batin Ruth langsung menebak."Aku bertemu salah satunya. Jangan bohong padaku. Aku tidak suka ketidakjujuran." Kedua mata Shada tajam. Menunjukkan betapa serius dirinya.Ruth menghela napas. Ia memejamkan kedua matanya rapat, sampai-sampai di dahi pucatnya terlihat garis kerutan yang amat jelas."Yah, okay. Itu benar, kau tidak salah," akunya kemudian seraya mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Ruth lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap Shada sungguh-sungguh."Rahas
Max semakin tidak bisa menahan semua rasa sakit yang merayap hingga ke saraf-saraf tubuhnya. Ia mulai menggeliat aneh. Max sempat melirik ke arah Richard yang mulai mabuk dan tak sadarkan diri. Saat ini, hanya Max yang bisa menolong dirinya sendiri.Max memutuskan untuk segera keluar ruangan ketika rasa gelisah mulai mencekik dan mendominasi tubuhnya. Ia berlari dengan keringat yang mulai bercucuran membasahi dahi putihnya. Napasnya tercekat, tapi melegakan bisa lekas menemukan sebuah papan bertuliskan toilet di sana. Meskipun tidak dengan kesadaran penuh.Namun saat Max akan memasuki toilet tersebut, ia justru menabrak seorang wanita."So-sorry," ujarnya berusaha memegang kendali tubuhnya. Kedua tangannya terangkat di depan dada tanda meminta maaf.Max tak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas. Ia hendak melewatinya saja, tetapi tangan wanita tersebut berhasil mencegahnya."Pak, jangan masuk ke sana. Itu toilet wanita," bisik sosok perempuan yang kini mendekatinya, membuat gele
"Kau yakin akan menemuinya sekarang?" tanya Shada ragu. Ia juga agak kesal jika Demian meninggalkan tehnya begitu saja tanpa dihabiskan. Itu berarti Demian tidak menghargainya.Berkebalikan dari Shada, Demian justru semakin yakin. Mudah sekali melacak keberadaan Ruth di kota ini. Tetapi masalahnya, wanita itu juga bisa menghindarinya kapanpun tanpa kesulitan yang berarti."Aku yakin sekali," ucap Demian tegas. Mata kelamnya lurus menatap ke depan.Kemudian Demian menoleh ke arah Shada. "Kau mau ikut? Katamu ingin menguping pembicaraan kami," ledek Demian langsung disusul oleh tekukan wajah Shada."Tidak usah, tidak jadi. Aku sedang tidak mood." Shada membuang muka dan melipat tangan di depan dada. Demian yang mendengar dengusan halus dari sistem pernapasan wanita di sampingnya tersebut kini tertawa.Demian mengubah posisi tubuhnya menghadap Shada agar bisa memandangnya lebih teliti. Semakin dilihat, sikap Shada semakin lucu. Demian menyeringai, ingin menggodanya lebih. Ia lantas mengu