LOGIN"Laras..."
Laras sedang menyapu teras rumah sambil menggendong Aidan ketika seseorang memanggilnya. Dia mendongak melihat tetangganya yang baik hati melambai dari dalam mobil. Sepertinya mereka baru pulang.
Sinta, tetangga yang selalu membantu Laras, menyediakan popok dan baju untuk Aidan. Ia turun dari mobil sambil membawa kantong belanjaan yang penuh.
Mereka pindah ke lingkungan tempat tinggal Laras sepuluh tahun yang lalu dan telah bertetangga selama bertahun-tahun.
"Kak Sinta, baru pulang ya..." Laras tersenyum pada wanita itu.
Sinta menghampirinya sambil membawa kantong belanjaan sementara suaminya memarkir mobil di garasi rumah mereka yang besar di depan rumah Laras.
"Ini aku beli popok dan baju baru Aidan. Juga kebutuhan untuk makan sehari-hari kalian...." Sinta memberikan kantong belanjaan pada Laras lalu meraih Aidan dari gendongannya.
“Aduh Kak Sinta … ini ….”
“Jangan merasa sungkan. Sebagai tetangga harus saling membantu.” Sinta mengedip pada Laras, lalu menatap bayi di pelukannya.
"Cup, cup, Aidan sudah minum susu belum?”
"Sudah Kak. Terima kasih Kak. Kak Sinta sudah banyak membantu kami." Laras merasa tidak enak menerima pemberian Sinta.
“Ini bukan apa-apa, jangan selalu berterima kasih setiap kali aku membantumu. Jangan merasa sungkan padaku,” ujarnya lalu melanjutkan kalimatnya.
"Ada yang mau aku bicarakan denganmu. Ayo ikut aku ke rumah.” Sinta dengan bersemangat berbalik menuju ke rumahnya sambil menggendong Aidan.
Laras tak sempat mencegahnya dan terpaksa menyimpan barang-barang pemberian Sinta di dalam rumah lalu menyusul Simya.
"Oh, hai Laras ... Aidan bagaimana kabarnya??" Suami Sinta, Dian, bertanya dengan senyum ramah pada Laras sambil mengantongi kunci mobil di dalam saku celananya.
"Aidan baik, Kak Dian," balas Laras sopan pada suami Sinta.
"Ayo sini masuk ...." Sinta terus berjalan sambil menggendong Aidan masuk ke dalam rumah besar mereka. Dia berjalan duluan sambil menggoda bayi di pelukannya.
Sementara itu suami Sinta berjalan di samping Laras. Dia mengulurkan tangannya mengusap bahu Laras.
"Apa mertuamu masih sering datang ke rumahmu?"
“Ya.” Laras menjawab dengan kepala tertunduk sambil mengepalkan tangannya karena Dian berdiri begitu dekat dengannya.
Begitu mereka masuk ke dalam rumah, tangan Dian di pundak Laras turun mengelus pundak sebelum berhenti di pantatnya. Dia agak meremas pantat Laras membuat wanita itu tersentak.
"Kamu belum makan, kan? Makanlah di rumah kami."
“Tidak usah repot, Kak Dian.”
Laras mengepalkan tangannya, tidak berani berteriak atau memarahi Dian karena memegang pantatnya. Dia hanya berharap Sinta segera berbalik dan membuat Dian menjauh darinya.
Sinta terlalu asyik dengan bayi di pelukannya.
Sinta adalah tetangganya yang baik sejak Laras hamil. Itu karena Sinta tidak memiliki anak hingga dia begitu baik pada Laras dan Aidan.
Tapi suaminya kebalikannya. Dia adalah orang yang mesum, apalagi pada Laras yang lebih muda dan cantik di bandingkan Sinta.
Mereka adalah pasangan yang sudah menikah selama sepuluh puluh tahun dan sudah berusia 30 tahun tapi belum dikarunia anak namun begitu harmonis di permukaan.
Karena itu Laras tidak bisa dan merasa takut melaporkan kelakuan mesum suami Sinta. Takut akan menghancurkan rumah tangga Sinta dan hubungan tetangga.
Dia merasakan Dian merendahkan kepalanya dan berbisik di telinga Laras. Tangannya masih belum lepas dari pantat Laras.
"Jika butuh beras atau uang, datang aja di rumah. Nanti aku akan kasih."
Laras diam lalu bergerak menjauh dari Dian, bergegas ke arah Sinta.
"Kak Sinta, tadi mau bicarakan apa?"
Sinta berhenti dan berbalik sambil tersenyum padanya. "Oh, ini aku bantu kamu cari kerjaan. Apa kamu mau jadi pengasuh?"
"Pengasuh?"
"Ya," balas Sinta lalu memandang suaminya. "Sayang, tolong siapkan teh dan kue untuk Laras ya. Kami mau mengobrol."
Dian mengangguk sambil tersenyum, bersikap seolah tidak melakukan tindakan tercela di belakang istrinya.
"Ok, aku ke dapur dulu." Dia berjalan meninggalkan Sinta dan Laras di ruang tamu.
Laras menghembuskan napas lega setelah Dian pergi.
Sinta meraih tangannya dan menyuruhnya duduk di sampingnya.
"Kamu ingat tidak aku cerita tentang kakakku?"
"Ya. Kakak kamu yang menikah tiga tahun lalu dengan orang dari keluarga Wikrama yang bergengsi itu?"
Nama keluarga Wikrama sudah tidak asing di negara ini. Karena keluarga Wikrama adalah pemilik perusahaan Wikrama Group, sebuah perusahaan besar dan bergengsi yang memiliki cabang di mana-mana.
Ini adalah mengapa Sinta begitu dihormati di lingkungan tempat tinggal mereka, karena kakak perempuannya menikah dengan kepala keluarga Wikrama.
"Ya, kakakku istri ketiganya. Saat ini menantunya punya bayi dan bayinya rewel sekali susah minum susu. Menantunya tidak bisa mengeluarkan ASII dan malas nyusuin anaknya. Jadi dia cari pengasuh yang bisa nyusuin anaknya." Sinta melirik payudara Laras. " Kebetulan ASI kamu melimpah, lihat ... Kamu sampai bocor."
Laras melirik ke bawah dan merasa malu melihat pakaian depannya basah karena ASI-nya bocor.
"Ah ... Ini ... Tadi aku habis nyusuin Aidan, sebentar aku akan ganti baju dulu ….”
"Tidak apa-apa, santai saja. Kamu mau kerja jadi pengasuh dan ibu susu?" Sinta menahan Laras yang hendak berdiri.
Laras ingin menjawab bahwa dia sangat ingin, tapi khawatir dengan Aidan.
Seolah membaca pikiran Laras, Santi melanjutkan ucapannya. "Jangan khawatir soal Aidan. Aku bisa menjaganya. Soalnya pengasuh yang mereka cari harus tinggal di rumah mereka dan jaga anak 24 jam. Gajinya besar sekitar 15 juta."
Mata Laras membelalak.
"15 juta? Serius?!"
"Ya, soalnya anak yang diasuh ini anak Presdir Wikrama Group dan cucu pertama keluarga Wikrama. Makanya gaji pengasuh gede. Gajinya juga bakal naik nanti sampai 20 juta.."
Laras tak bisa berkata-kata. Dengan gaji sebesar itu, dia tidak perlu khawatir menjual rumah dan membesarkan bayinya.
"Terima aja. Kamu bisa menitipkan Aidan sama aku. Aku bakal jaga Aidan baik-baik. Aidan sudah seperti anakku sendiri. Dan aku akan mengawasi rumah kamu agar ibu mertuamu tidak berbuat macam-macam."
. . .
Di sinilah Laras kini berada, duduk di ruang tamu yang luas dan mewah, dikawal tatapan tajam seorang pelayan berseragam. Tatapan itu menusuk, seolah merendahkan kekaguman Laras yang melirik ke sana kemari bagai orang udik, baru pertama kali menjejak kaki di rumah mewah.
Sofa empuk nan mahal, yang seharusnya nyaman, terasa bagai jarum yang menusuk pantatnya.
Ini adalah mansion mewah keluarga Wikrama yang terhormat dan terkenal paling bergengsi. Hanya dengan mendengar nama keluarga itu saja sudah membuat semua orang berdecak kagum dan bahkan tak berani membayangkan berada di tempat tinggalnya.
Laras menghentikan pandangannya yang tak henti menjelajah, berusaha tenang. Setelah beberapa saat hening, ia memberanikan diri.
"Kapan Nyonya Sofia datang?" tanyanya kepada pelayan.
"Nyonya tidak bisa mewawancarai Anda secara langsung hari ini. Nyonya ada urusan mendadak. Yang akan mewawancarai Anda adalah Nyonya Winda. Tapi Nyonya Winda juga sedang tidak ada di rumah."
"Ah, jadi aku harus menunggu?” Laras kehabisan kata-kata.
Dia sudah menunggu hampir lima jam.
Mengeluh bukanlah pilihan. Ia tak mau kehilangan kesempatan menjadi pengasuh dan ibu susu bagi putri Presdir perusahaan ternama itu.
“Benar.” Pelayan itu kembali menatapnya acuh tak acuh.
Tiba-tiba, tangisan bayi menggema dari lantai atas. Seorang wanita paruh baya berseragam, seorang pengasuh, menuruni tangga dengan bayi di gendongannya.
" Tania, apa Nyonya Winda belum pulang?" tanyanya, suaranya cemas dan lelah.
"Belum. Ada apa lagi dengan Nona Chloe?" tanya pelayan itu, Tania, mengernyit.
Tangisan bayi itu semakin keras, memecah kesunyian ruang tamu.
"Entahlah. Dia tidak berhenti menangis. Popoknya sudah diganti, diberi minum juga tak mau. Aku sungguh tidak tahu lagi harus bagaimana menenangkan Nona Chloe," ujar pengasuh itu, nadanya penuh keputusasaan. "Tolong hubungi Nyonya Winda. Aku benar-benar tidak sanggup lagi. Dia tidak mau berhenti menangis."
"Aduh, bagaimana ini..." Tania meringis, meraih telepon di atas meja, mencoba menghubungi ibu bayi itu.
Laras, yang sedari tadi memperhatikan, kini menatap bayi dalam gendongan sang pengasuh. Wajahnya merah padam karena tangis. Jika tangisan itu tak segera mereda, masalah serius akan muncul. Laras bangkit dari sofa.
"Boleh aku... aku menggendongnya? aku yang melamar sebagai pengasuh dan ibu susu untuk Nona Chloe."
Pengasuh itu menatap Laras dengan mata berbinar, namun ragu. "Kamu bisa?"
"Ya, bayi itu tampaknya lapar..."
"Tapi dia menolak minum susu," gerutu pengasuh itu.
"Biar aku coba menyusui Nona Chloe."
Pengasuh itu melirik Tania, yang mengernyitkan kening, telepon masih menempel di telinganya. Chloe adalah putri berharga Sang Presdir, cucu pertama keluarga Wikrama, sehingga majikan mereka sangat protektif. Tania tidak ingin sembarangan menyerahkan bayi itu.
"Tunggu sebentar, biar aku minta izin pada Nyonya Winda. Tidak boleh sembarang orang menyentuh Nona Chloe," balas Tania, mencoba menghubungi Winda sekali lagi. Setelah panggilan ketiga, telepon akhirnya diangkat.
Tania menghela napas lega.
"Halo Nyonya, Chloe menangis...."
"Di situ ada pengasuh, kenapa tidak diurus?" Suara di telepon menyela, kesal.
"Masalahnya Nona Chloe tidak mau minum susu dan terus menangis. Bisakah Nyonya pulang dan urus Nona Chloe...?"
"Kalian kenapa tidak becus sekali! Masa mengurus bayi saja tidak bisa!”
"Maaf, Nyonya, tapi bisakah kamu pulang...? Kami sungguh tidak tahu bagaimana menghentikan tangisan Nona Chloe."
"Argh aku sedang sibuk. Beri dia susu atau apa kek. Repot banget sih."
Pelayan itu menghembuskan napas dalam-dalam.
"Ada calon pengasuh dan ibu susu yang datang. Apa boleh dia menyusui...?"
Sebelum Tania menyelesaikan kalimatnya, Winda menyela santai. "Ya, boleh saja. Asal tenangkan anak itu. Nanti sejam lagi aku pulang. Pastikan Chloe tidak menangis lagi sebelum Ardhan pulang."
Panggilan langsung diputuskan begitu saja.
"Baik, Nyonya Winda," balas Tania masam dan datar, mengembalikan telepon ke atas meja, lalu melirik Laras. "Nyonya Winda sudah mengizinkan agar Nona Chloe disusui."
Pengasuh itu kemudian menyerahkan Chloe pada Laras dengan tatapan penuh harap.
Laras memeluk bayi itu. Dia berusia tiga bulan, sama seperti Aidan-nya, tangisannya tak berhenti namun kini terdengar serak, membangkitkan rasa iba dalam diri Laras.
Dari percakapan Tania dan Nyonya Winda, ia menebak bahwa ibu bayi ini kurang perhatian pada putrinya.
Mungkinkah ini penyebab Chloe rewel dan terus menangis?
Laras menepuk pantat dan mengusap punggung Chloe dengan menenangkan, membuat tangisan bayi kecil itu mereda. Mata jernih nan basah itu menatap Laras sedih.
"Sssstt, sayang, kamu pasti haus, ya..." Laras berkata lembut, menimangnya, lalu mulai menurunkan kerah bajunya, mengeluarkan salah satu buah dadanya dan menyodorkan putingnya ke mulut bayi itu.
Bayi itu awalnya menolak, namun Laras membujuknya dengan sabar, karena tahu bayi mungkin belum mengerti cara menyusu. Ia membujuk hingga Chloe membuka mulut dan menyusu di dadanya dengan lapar. Tangisan bayi itu pun reda. Semua orang menghela napas lega.
Laras tak menyadari sepasang mata gelap menyaksikan seluruh tindakannya.
Merasakan tatapan intens dan panas, Laras mendongak, melihat ke belakang Tania. Seorang pria tinggi dan tampan, mengenakan setelan kerja formal, kemeja hitam dan rompi krem, sambil menenteng jasnya di lengan.
Dia berdiri dengan ekspresi tertegun. Matanya yang gelap tampak intens dan tak terbaca. Tatapan itu begitu intens dan panas, membuat wajah Laras memerah.
Mobil itu sangat familiar, seperti BMW hitam yang selalu dikendarai Ardhan.Ardhan memiliki kesukaan untuk mengoleksi mobil dari merek BMW. Bahkan garasi keluarga Wikrama lebih banyak terparkir mobil BMW dibandingkan jenis mobil merek lain yang dipakai anggota keluarga Wikrama yang lain.Laras sudah beberapa kali menaiki mobil itu dan akrab dengan mobil BMW yang dikendarai Ardhan Wikrama.Namun ketika dia melihat plat nomor mobil itu berbeda, Laras menghembuskan napas yang tanpa sadar di tahannya.Konyol jika dia berpikir Ardhan ada di sini sekarang.Namun mobil itu bukan mobil yang dipakai Sinta atau Dian. Mungkinkah mereka membeli mobil baru? Atau ada tamu yang datang berkunjung di rumah mereka?"Kak Laras, sedang apa?" Sandra berdiri di sampingnya lalu menatap mobil mewah yang terparkir di halaman rumah Shinta."Wah, itu mobil yang sangat mewah. Apa itu jenis mobil BMW keluaran terbaru? Aku bisa tahu karena salah satu teman kampusku punya mobil seperti itu. Sepertinya tetanggamu j
"Hmm ...." Laras menanggapi dengan acuh tak acuh mulai berjalan mencari susu formula untuk Aidan."Baiklah, aku anggap Kak Laras sudah memaafkan kami," kata Sandra dengan riang lalu menyusul Laras."Wah, Aidan sudah tumbuh tambah besar dan gemuk. Lihat wajah lucu dan kulit putihnya, dia sangat mirip dengan Kak Rizal." Sandra mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi Aidan di stroller.Laras langsung menahan tangannya."Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya dengan waspada. "Aku hanya ingin memegang pipi Aidan.""Apa kamu sudah mencuci tangan?""Uhmm apa itu perlu?" Sandra mengernyit.Laras mendorong tangan Sandra menjauh dari wajah Aidan."Kulit anak-anak itu sensitif. Jadi jangan sembarang mencubit atau memegang Aidan," balas Laras datar.Sandra ingin memutar matanya mendengar kata-kata Laras. Namun karena dia sedang ingin berbaikan dengan Laras, dia menahan sikap yang seperti biasa."Oh, aku tidak tahu hehehe ... Omong-omong Kak Laras banyak uang ya? Kamu bahkan bisa membeli stroller yan
Sebelum pulang, Laras singgah di sebuah toko supermarket untuk membeli kebutuhan popok dan susu untuk Aidan. Dia kebetulan bertemu Sandra, mantan adik iparnya."Kak Laras, apa kabar?" dia menyapa Laras dengan sikap yang sangat ramah.Laras menatapnya sesaat dengan sebelah alis terangkat.Sandra, adik iparnya yang dulu selalu bersikap ketus dan mengompori hubungan Laras dan Rizal agar mereka bertengkar, lalu menghasut ibu mertuanya untuk membenci Laras.Laras membuang muka dan mendorong stroller Aidan menjauh. Dia sudah memutuskan untuk menjauh dari keluarga mertuanya yang toxic dan tidak ingin terlibat apapun dengan mereka."Kak Laras, tunggu!" Sandra buru-buru mengejarnya lalu berjalan di sebelahnya. "Kak Laras, kapan pulang?" Dia bertanya dengan nada yang sangat ramah dan manis."Minggu lalu," balas Laras datar, malas meladeni mantan adik iparnya namun dia tidak mau bertengkar saat sedang berbelanja di supermarket karena dia tahu Sandra tidak akan berhenti meski dia mengabaikannya.
“Sa-sayang aku ….”“Pertimbangkan pilihan yang aku berikan padamu. Mulai sekarang aku akan membekukan seluruh kartu kredit yang aku berikan padamu.”“Kenapa kamu seperti ini? Padahal semuanya baik-baik saja dan Chloe tidak rewel ….”Tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi dari kamar sebelah.Tak lama kemudian, pintu kamar mereka diketuk dari luar dengan keras dan mendesak.“Tuan! Nyonya! Tolong keluar sebentar!”Ardhan hanya menatap pintu kamar dengan dingin dan tak beranjak dari tempatnya.Winda dengan kesal berdiri lalu menuju pintu kamar dan membuka pintu.Vina, pengasuh baru Chloe berdiri di depan pintu mereka dengan campur aduk kesal, lelah dan tak berdaya.“Apa yang terjadi?”“Nyonya, Nona Chloe mulai demam.”“Lalu kenapa kamu tidak mengurusnya? Beri obat atau telpon Dokter Andrew untuk memeriksa Chloe.”“Tapi Nyonya ….”Winda berdecak dan mengusir Vina karena tidak tahan mendengar tangisan anaknya.“Bawa Chloe pergi. Bukankah tugas kamu untuk menenangkannya? Kenapa kamu membawa
Ketika Winda pulang pada pukul 12 malam, dia melihat Ardhan belum tidur. Suaminya duduk di sofa dan laptop yang terbuka di atas meja dalam kamar mereka.Dia melipat tangan di depan dada dan mendongak dengan tatapan tajam di matanya saat Winda masuk ke kamar mereka.“Sayang, kamu sudah pulang? Kenapa belum tidur?” Winda menyisir rambutnya dan bertanya dengan lembut sambil mendekati Ardhan.“Kamu dari mana?” Suara Ardhan terdengar dingin dan menusuk.“Uhm … aku ada syuting iklan tadi siang lalu bertemu dengan teman-temanku. Maaf ya, aku pulang agak telat. Aku lupa waktu, hehe jangan marah, ok?” Dia duduk di samping Ardhan sambil tersenyum manis meraih lengan suaminya.“Winda ….” Ardhan memanggilnya dengan suara rendah.“Kamu pergi seharian tapi sama sekali tak memedulikan Chloe?”“Apa maksudmu? Tentu saja aku peduli pada Chloe. Lagipula bukankah ada pengasuh yang selalu menjaga Chloe?”“Kamu meninggalkan Chloe pada pengasuh yang baru kamu kenal?” Suara Ardhan terdengar semakin dingin.
Ketika Ardhan pulang kerja pada pukul 10 malam dan pergi ke kamar Chloe untuk memeriksa putrinya, dia melihat seorang wanita paruh baya dengan seragam babysitter sedang menggendong putrinya yang menangis dan memaksanya minum susu dari dot.Dia tak melihat keberadaan Laras di kamar itu."Kamu siapa?" Ardhan bertanya dengan suara tajam. "Apa yang kamu lakukan pada putriku?!""Halo Tuan, aku Vina, pengasuh baru yang dipekerjakan Nyonya Winda." Pengasuh memperkenalkan dirinya dan berhenti memaksakan dot susu pada bayi perempuan di pelukannya."Pengasuh baru? Lalu di mana Laras?""Laras? Maksud Tuan pengasuh Nona Chloe sebelumnya? Dia sudah diberhentikan. Jadi aku pengasuh baru Nona Chloe. Nyonya Winda tidak memberitahumu, Tuan?"Raut wajah Ardhan berubah membeku sesaat lalu mengerutkan kening dengan ekspresi keras.Jadi sekarang Laras tidak berada di mansion ini lagi. Ardhan merasakan perasaan aneh mendengar pengasuh muda putrinya itu sudah tidak ada lagi di rumah ini, dan tidak akan melih







