LOGINRumah itu masih tenang. Terlalu tenang untuk ukuran jam sepuluh pagi.
Di kamar utama, gundukan selimut di tengah ranjang bergerak-gerak. Rasya dan Aurora masih bergunggung di sana, menikmati kemalasan hari Minggu setelah... aktivitas pagi mereka yang intens di meja makan tadi.Mereka akhirnya pindah kembali ke kasur untuk tidur lagi.TING TONG! TING TONG!Bel rumah berbunyi nyaring dan tidak sabaran.Aurora mengerang, menarik selimut menutupi kepalanya. "Siapa sih, Sayang... paket?""Biar aku yang buka," gumam Rasya dengan suara serak, mencium bahu Aurora sekilas sebelum memaksakan diri bangun.Rasya menyambar kaos oblong dan celana pendeknya, lalu turun ke lantai satu dengan rambut acak-acakan dan wajah bantal.Ia membuka pintu utama. Matanya menyipit menyesuaikan cahaya matahari."Siapa—"Kalimat Rasya terhenti. Matanya membelalak seketika. Kantuknya hilang 100%.Di teras,Rumah itu masih tenang. Terlalu tenang untuk ukuran jam sepuluh pagi.Di kamar utama, gundukan selimut di tengah ranjang bergerak-gerak. Rasya dan Aurora masih bergunggung di sana, menikmati kemalasan hari Minggu setelah... aktivitas pagi mereka yang intens di meja makan tadi. Mereka akhirnya pindah kembali ke kasur untuk tidur lagi.TING TONG! TING TONG!Bel rumah berbunyi nyaring dan tidak sabaran.Aurora mengerang, menarik selimut menutupi kepalanya. "Siapa sih, Sayang... paket?""Biar aku yang buka," gumam Rasya dengan suara serak, mencium bahu Aurora sekilas sebelum memaksakan diri bangun.Rasya menyambar kaos oblong dan celana pendeknya, lalu turun ke lantai satu dengan rambut acak-acakan dan wajah bantal.Ia membuka pintu utama. Matanya menyipit menyesuaikan cahaya matahari."Siapa—"Kalimat Rasya terhenti. Matanya membelalak seketika. Kantuknya hilang 100%.Di teras,
Aurora baru saja keluar dari walk-in closet, wajahnya berseri-seri meski matanya lelah. Ia baru saja pulang setelah seharian di butik melakukan final fitting.Aurora melompat ke kasur, merentangkan tangannya lebar-lebar di samping Rasya yang terlihat sedang iseng main ponsel—padahal sedang memantau email terenkripsi dari Raka."Selesai," desah Aurora lega, menatap langit-langit kamar. "Gaun final-nya selesai, Sayang. Dan itu... magical."Rasya meletakkan ponselnya, ia selipkan di bawah bantal. Rasya memiringkan badannya, menumpu kepala dengan tangan, menatap Aurora."Sesuai ekspektasi?" tanya Rasya."Lebih," jawab Aurora antusias, menoleh ke suaminya. "Gradasi warnanya, jatuhnya kain... Mbak Ratih sama Hana sampai nangis pas liat fitting terakhir tadi."Rasya tersenyum. Satu beban terangkat. Setidaknya karya istrinya sudah aman. Sekarang tinggal memastikan "manusia-manusia" yang akan memakainya juga aman."Hebat," puji Rasya, mengelus pipi Aurora. "Kamu hebat."Aurora menggeser tubuh
Beberapa hari setelah malam penuh keluh kesah itu, energi Aurora telah kembali sepenuhnya. Masalah supplier kancing sudah ia temukan solusinya lewat koneksi lama di Jepang, dan kini, fokusnya benar-benar pada eksekusi mahakarya terakhirnya. Namun, semangat itu kadang menjadi pedang bermata dua. Ia sering lupa waktu, lupa istirahat, terobsesi pada kesempurnaan. Malam ini, jam dinding di butik Aurora Meschach sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, suara perdebatan masih terdengar di ruang pribadi Aurora. Dinding-dinding itu, kini tertutup sepenuhnya oleh mood board raksasa. Foto-foto makro dari perjalanan mereka—pola batik Megamendung, gradasi tenun Mbojo, hingga tekstur bukit Padar—menjadi latar belakang kekacauan kreatif malam itu. Aurora berdiri di tengah ruangan, rambutnya dicepol asal-asalan dengan pensil menusuk di tengahnya. Kemeja putihnya kusut, lengannya digulung tinggi. Wajahnya lelah, tapi matanya menyala penuh obsesi saat ia berdebat dengan Ratih. "Tidak, Mbak.
Seminggu telah berlalu. Rutinitas baru mereka mulai terbentuk di rumah ini. Namun bagi Aurora, fokusnya kini tersedot sepenuhnya pada satu hal: debut Paris.Di kamar tidur utama yang bernuansa hangat, Aurora duduk bersandar di headboard. Ia mengenakan gaun tidur sutra tipis, rambutnya digerai bebas. Di pangkuannya, sebuah iPad menyala terang, menampilkan deretan email yang membuatnya mengerutkan kening dalam-dalam.Pintu kamar mandi terbuka. Rasya keluar dengan handuk melilit pinggang dan handuk kecil mengeringkan rambutnya yang basah. Uap hangat menguar dari kulitnya, membawa aroma sabun maskulin yang segar.Ia melihat istrinya yang sedang menggigit bibir bawah, menatap layar dengan frustrasi."Hei," sapa Rasya lembut, melempar handuk kecilnya ke keranjang, lalu naik ke tempat tidur. "Sudah malam, Nyonya. Masih cemberut di depan layar?""Ada yang nggak beres, Sayang," gumam Aurora tanpa mengalihkan pandangan.Jantung Rasya berdesir waspada. "Nggak beres kenapa?""Supplier ka
Jam dinding digital di ruang tengah menunjukkan pukul sembilan malam. Rumah itu hening dan nyaman. Lampu-lampu utama sudah dipadamkan, menyisakan lampu gantung warm white yang temaram. Pintu utama terbuka. Rasya melangkah masuk dengan langkah berat. Ia melonggarkan dasi yang rasanya mencekik lehernya seharian ini. "Perang" di kantor tadi benar-benar menguras energinya. Ia merasa seperti habis lari maraton, padahal hanya duduk memimpin rapat. "Sayang?" Suara lembut itu menyapa dari arah tangga. Aurora berjalan turun, mengenakan piyama satin panjang berwarna sage green. Rambutnya diikat asal, dan wajah Aurora begitu cerah menyanbut suaminya seolah tanpa beban. Kontras sekali dengan wajah kusut Rasya. "Kamu baru pulang?" tanya Aurora lembut, berjalan mendekat. "Katanya cuma tiga jam? Ini udah malam banget." Rasya memaksakan senyum terbaiknya. Ia merentangkan tangan, menyambut pelukan istrinya. "Maaf," gumam Rasya, membenamkan wajahnya di bahu Aurora, menghirup aroma t
Sepeninggal Rasya, rumah itu kembali hening. Tapi bagi Aurora, ini bukan keheningan yang sepi, melainkan keheningan yang penuh inspirasi. Ia membuat secangkir teh chamomile, lalu naik ke lantai dua. Aurora membuka pintu studionya. Cahaya matahari dari jendela utara menyambutnya, menerangi ruangan luas yang masih minim perabot itu. Ia meletakkan cangkir tehnya di meja kerja. Dengan semangat menggebu, Aurora mulai membuka koper-koper besar berisi koleksi kain premiumnya. Satu per satu, ia menyusun gulungan kain itu ke dalam rak besi di Fabric Library. Ia menyentuh tekstur kain-kain itu dengan penuh kasih sayang. "Rumah baru kalian," bisik Aurora pada gulungan kain favoritnya. Setelah selesai menata kain, Aurora duduk di meja kerja, membuka buku sketsanya. Halaman kosong. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan Paris Fashion Week. Lampu sorot, catwalk, tepuk tangan riuh, dan kritikus mode yang ternganga melihat karyanya. Ia membayangkan Rasya duduk di front row, ters







