Share

5. Biang Gosip

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2024-08-14 10:40:04

Tanpa menghiraukan Siska yang sedang komat-kamit, aku segera pergi dari konternya Kang Rohman menuju pasar.

Di toko langganan, aku pun membeli keperluan yang benar-benar dibutuhkan untuk Farah dan adik-adiknya. Seragam untuk kedua anakku sebagai baju salin, juga payung dan jas hujan.

Untuk Dani aku membelikan sepeda kecil. Tempo hari ia sempat menangis karena tidak diberi pinjaman oleh anaknya Bu Mirna. Anak itu kegirangan hingga berjingkrak-jingkrak. Aku tersenyum samar, antara bahagia dan terharu. Sebenarnya ingin memberikan apapun yang mereka inginkan, tapi karena perekonomian kami yang terbatas, biasanya aku hanya bisa menasehati mereka. Tak lupa mengajak mereka untuk berdoa supaya ayahnya dapat rezeki.

Setelah disisihkan untuk keperluan sebulan ke depan, uang sisa kiriman dari Mas Akbar akan kusimpan di tabungan sekalian membuat rekening baru.

***

Hampir dzuhur ketika aku keluar dari bank. Aku pun langsung menjemput suci di sekolah. Dani nampak kelelahan, sepertinya anak itu sudah ingin beristirahat. Karena di jok belakang terdapat sepeda Dani, maka Suci duduk di depan bersama adiknya.

Ketika aku sampai di depan rumah, Siska dan Bu Mirna sedang berada di dekat pagar yang membatasi rumah mereka. Sepertinya tempat itu sudah menjadi pilihan yang tepat ketika mereka bergosip.

Melihat aku datang, mereka sontak menoleh. Pasti Siska sudah bicara pada Bu Mirna perihal pertemuan kami di konter Kang Rohman. Hal itu bisa dilihat cara Bu Mirna menatapku.

Meskipun sekilas, tapi aku tahu mereka tengah memperhatikan benda yang kubawa di jok belakang. Keduanya pasti kepo karena tahu kalau aku dikirim uang oleh Mas Akbar.

Tanpa menghiraukan kedua wanita tersebut, aku langsung masuk ke rumah untuk menemani Dani yang sepertinya sudah ingin tidur siang. Kebetulan Suci sudah bisa berganti pakaian sendiri.

Lelah pergi selama setengah hari, aku pun malah ikut tertidur. Maklum, biasanya aku hanya diam di rumah. Aku terbangun setelah kurang lebih setengah jam terlelap. Langsung keluar untuk mengangkat jemuran. Kebetulan hari ini cuaca sedang panas.

Ternyata dua orang tetanggaku di seberang jalan masih ada di teras rumah Siska. Keduanya nampak asik mengobrol sambil sesekali melihat ke arah rumahku.

Setelah selesai mengangkat jemuran, aku pun masuk rumah. Berniat membersihkan diri karena belum salat dzuhur. Tapi niat itu tertunda ketika melihat layar ponsel menyala.

Ada dua panggilan tak terjawab dari Mas Akbar, aku tidak mendengarnya ketika berada di luar barusan. Karena tidak mau berisik, takut mengganggu Dani, akhirnya aku memilih mengirimkan pesan.

[Maaf Mas, aku barusan mengangkat jemuran di luar.]

[Tidak apa-apa. Cuma mau nanya, apa sudah sampai rumah?]

[Alhamdulillah sudah, Mas. Dani langsung tidur, mungkin anak itu capek.]

[Ya sudah, nanti malam Mas telepon.]

[Iya Mas, semangat kerjanya, ya.]

Sebelum menutup aplikasi, iseng aku melihat pembaruan status. Tiga puluh menit yang lalu tetangga depan rumahku ternyata membuat status WA.

Kok, belom dianterin ya?

Oh, rupanya dua orang itu masih berada di teras karena sedang menunggu pesanan sesuatu. Biasanya siang-siang begini mereka memesan makanan dari kampung sebelah.

Ponsel kuletakkan kembali kemudian pergi membersihkan diri dan salat zuhur, meski sudah sedikit terlambat. Lepas itu aku kerjakan pekerjaan rumah yang tadi pagi tertunda karena harus pergi ke konter Kang Rohman dan ke pasar, lalu ke bank. Pekerjaan ini harus segera kuselesaikan sebelum Dani bangun.

Satu jam kemudian, anak bungsuku itu bangun dan langsung minta main sepeda di luar sambil makan. Anak itu begitu antusias dengan sepeda barunya.

Tak sengaja aku melirik ke arah teras rumah depan, ternyata mereka sudah tidak ada. Mungkin barang yang ditunggu oleh Siska sudah datang.

Namun, baru beberapa menit aku menyuapi Dani, Bu Mirna keluar rumah begitu pula dengan Siska. Ada apa dengan mereka? Seperti yang janjian keluar rumah. Atau keduanya masih menunggu sesuatu. Ah, kenapa aku jadi mengurusi mereka?

Fokus pada Dani yang makannya lahap sambil digoda oleh kedua kakaknya, aku tidak menghiraukan kehadiran dua tetanggaku di teras rumah mereka masing-masing. Sehingga aku tidak sadar kalau Bu Mirna mendekat.

"Wah, Dani punya sepeda baru, ya, Teh Tami?"

Aku menoleh ketika mendengar suara wanita itu sudah berdiri di luar pagar bambu rumah kami.

"Iya, Bu. Alhamdulillah."

"Jadi, Mas Akbar sekarang bekerja di kota, ya? Pantesan tidak kelihatan lagi jualan."

"Iya, Bu."

"Padahal enakan jualan. Bisa dekat dengan keluarga."

"Kebetulan jualan lagi sepi. Banyak yang ngutang gak bayar juga. Ditambah lagi Mas Akbar mengalami musibah. Gerobaknya ada yang nabrak. Jadi nyoba ke kota aja."

"Kerja apa Mas Akbar di kota?"

"Belum tahu juga, Bu. Mas Akbar juga belum cerita."

"Orang kampung kalau ke kota paling kerja bangunan. Yang punya ijasah juga belum tentu kerja enak, apalagi yang gak punya ijasah." Bu Mirna terkekeh. Jelas sekali dia sedang merendahkan suamiku. Dia belum tahu saja kalau dulu sebelum menikah denganku, Mas Akbar kerja di kantoran.

Meski sekarang belum yakin kalau Mas Akbar bias kerja seperti dulu lagi, tapi aku masih berharap kehidupan kami akan berubah.

Musibah yang menimpa Mas Akbar dan gerobaknya tempo hari ternyata ada hikmahnya. Itu juga yang menjadi alasan mengapa suamiku sekarang ada di kota. Orang yang tempo hari menabrak gerobaknya itu berjanji akan memberikan pekerjaan setelah Mas Akbar menolak sejumlah uang sebagai ganti rugi untuk gerobaknya yang rusak.

"Oh ya, Teh Tami. Kok, mesin cucinya belum datang, ya?" tanya Bu Mirna setelah beberapa saat kami saling diam. Wanita itu setia berdiri di luar pagar halamanku.

"Maksudnya mesin cuci apa, Bu Mirna?" Keningku berkerut.

"Bukankah Teh Tami habis beli mesin cuci?" tanya bu Mira lagi dengan wajah heran membuatku jadi bertambah bingung

"Siapa bilang saya habis beli mesin cuci?"

Ini pasti gosip dari Siska.

"Teh Tami 'kan habis ambil uang kiriman dari Mas Akbar. Kang Rohman bilang, jumlahnya cukup banyak. Cukuplah untuk membeli mesin cuci. Bukankah tadi dari konter langsung ke pasar?" Kali ini Bu Mirna bergerak membuka pintu pagar lalu duduk di teras, persis di sebelahku.

"Memang benar, tadi saya ngambil uang di konternya Kang Rohman. Terus pergi ke pasar, tapi nggak beli mesin cuci, kok. Memangnya Bu Mira tahu dari siapa?"

"Dari Kang Rohman atuh."

Lagi-lagi Bu Mirna menyebut nama Kang Rohman, orang yang sangat tidak mungkin bergosip. Selain dia itu seorang pria yang memang tidak suka bergosip, Kang Rohman juga orangnya pendiam. Ini pasti berita dari Siska, bukankah wanita itu tadi ada di sana ketika aku mengambil uang.

Jadi, status Siska yang sedang menunggu sesuatu itu bukannya menunggu pesanan makanan, melainkan menunggu mesin cuci. Karena dia menyangka aku telah berbelanja barang itu.

"Saya nggak beli mesin cuci, Bu Mirna. Lebih baik uangnya ditabung dulu. Kalau masalah nyuci, sih, tangan saya juga masih kuat. Masih banyak keperluan yang harus dibeli dan lebih penting daripada mesin cuci."

"Oh gitu, ya. Berarti informasinya tidak benar, nih, Kang Rohman. Kalau begitu saya permisi dulu, ya, Teh Tami."

"Ya Bu, silakan."

Bu Mirna bangkit lalu berjalan tergesa-gesa.

Aku hanya bisa menahan senyum. Kasihan sekali Kang Rohman difitnah terus. Padahal aku yakin, kalau yang membawa gosip ini adalah Siska.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    42. Pov Lestari

    Kepergian Bapak membuatku semakin merasa bersalah. Pasalnya Bapak terkena serangan jantung setelah ada dua orang polisi mencari Mas Firman ke rumahnya. Mas firman memang akhir-akhir ini tengah dicari oleh banyak pihak. Kesalahannya semakin bertambah. Terakhir ia dilaporkan oleh salah satu temannya karena terlibat utang ratusan juta. Usut punya usut, ternyata uang itu ia gunakan untuk bermain judi online, selain bersenang-senang dengan jalang itu.Hidupku kini benar-benar kembali ke nol. Menumpang hidup di rumah Teh Tami dan mau tak mau harus bekerja untuk mencukupi hidupku bersama dua orang anak dan juga Ibu. Orang tuaku juga ikut-ikutan bangkrut karena ulah Mas firman. Untuk biaya tahlilan Bapak, Teh Tami yang menanggung. Saat ini aku mengandalkan uang kiriman Teh Tami untuk makan sehari-hari. "Tari, kita tidak mungkin terus menerus mengandalkan kakakmu. Kedepannya harus bisa mandiri. Kamu harus cari kerjaan. Anak-anak biar Ibu yang urus," ucap Ibu sore ini selepas acara tahlilan

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    41. Ambisi

    Tangisku pecah setelah gundukan tanah basah dihadapanku ditaburi bunga-bunga beraneka rupa. Di dalamnya, jasad Bapak terbujur. Sore kemarin aku mendapat kabar dari Ibu kalau bapak berpulang secara mendadak. Padahal paginya kami masih berbincang di telepon. Lebih dari dua bulan aku tinggal di Jakarta, belum sempat pulang menengok beliau. Kami cukup direpotkan dengan urusan pindah sekolah anak-anak. Saat melakukan panggilan video, Bapak terlihat segar. Aku juga setengah tidak percaya kalau Bapak akan pergi secepat ini. "Sudah, Ma, ikhlaskan. Tidak baik meratapi kepergian seseorang yang kita sayang sebabkan itu akan menjadi beban baginya." Mas Akbar merangkulku kemudian tangan kekarnya terasa mengusap punggungku. Aku bukannya tidak ikhlas, tapi keinginanku untuk membawa Bapak berkunjung ke rumahku di Jakarta belum sempat terkabul. Beliau sempat memintaku untuk menunjukkan keadaan rumah kami di Jakarta saat kami melakukan panggilan video. Saat itu Bapak tak hentinya mengucap syukur

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    40 Saras

    Niat menanyakan tentang Saras pada Mas Akbar masih harus aku tunda sampai anak-anak tidur. Biasanya mereka tidur cepat, tapi karena tadi di mobil sempat terlelap, jadi Farah sampai di rumah sangat susah disuruh masuk kamar. Begitupun dengan Suci. Setelah aku bujuk dengan alasan besok harus sekolah, akhirnya kedua anak perempuanku mau masuk kamar. Aku pun berganti pakaian dan membersihkan wajah. Lepas itu berjalan ke ruang tengah untuk menemui Mas Akbar. Meskipun dalam hati masih bingung, kalimat apa yang harus kusampaikan pada beliau untuk menanyakan perihal Saras. "Ponselmu tadi menyala dua kali." Belum juga aku duduk di sampingnya, Mas Akbar sudah menunjuk benda pipih yang tergeletak di atas meja. Aku baru ingat, ponsel itu tadi berada di tas. Mungkin karena berbunyi, Mas Akbar mengeluarkannya untuk melihat siapa yang menghubungiku. "Siapa yang telepon?" tanyaku seraya duduk di sampingnya. Lalu meraih benda tersebut. "Bi Ica." Mataku menyipit. Ada apa Bi Ica malam-malam telep

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    39. Nama Wanita Lain

    Minggu ketiga kami berada di Jakarta. Hari ini menjadi hari yang paling mendebarkan. Bagaimana tidak, kemarin sore pada saat Mas Akbar baru pulang dari kantor, beliau mengabarkan bahwa Papa dan Mama mertuaku ingin bertemu dengan kami. Kabar itu pun diperkuat oleh telepon dari Tante Devi, katanya papanya Mas Akbar, orang yang dulu paling menentang hubungan kami, sangat gembira ketika mendengar kabar menantu dan cucunya ini sudah ada di Jakarta. "Ini berkat kesabaranmu, Tami. Selama ini sudah mendampingi Akbar meskipun hidup kalian pas-pasan. Tante yakin kamu punya doa yang baik-baik untuk suami dan keluarganya." Itu yang diucapkan Tante Devi di akhir percakapan kami melalui telepon. Anak-anak pun begitu bahagia ketika mendengar akan bertemu dengan omah dan opahnya. Mereka juga bersemangat bangun pagi. Meski demikian, aku tidak lupa lupa memberi nasihat pada tiga anakku. Supaya mereka bisa menjaga sikap di rumah omah dan opahnya nanti. Terutama Farah yang sudah besar. Keluarga Mas

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    38. Pulang

    Seminggu kemudian, anak-anak sudah selesai ulangan. Aku pun sudah menemui kepala sekolah mereka untuk meminta izin dan mengurus surat-surat pindah. Tentu saja beliau tidak mengizinkan dengan alasan tunggu sampai kenaikan kelas. Tetapi, kalau mau izin pergi ke Jakarta diperbolehkan. Akan tetapi, surat pindah baru bisa dikeluarkan setelah anak-anak naik kelas nanti. Aku pun setuju, yang penting kami bisa berangkat ke Jakarta untuk menemui orang tuanya Mas Akbar. Mertuaku, sekaligus kakek dan neneknya anak-anakku. Sore nanti rencananya, Pak Amir akan datang menjemput kami. Tadi pagi aku sempat berpamitan pada Bapak dan Ibu, mengabarkan bahwa kami akan tinggal bersama Mas Akbar. Meskipun belum selesai mengurus surat di kantor kelurahan. Bapak sangat sedih ketika aku mengatakan akan tinggal di Jakarta. Aku juga sebenarnya tidak mau meninggalkan Bapak dalam keadaan sakit-sakitan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, sebagai seorang istri aku harus manut pada suamiku. "Sebenarnya Bapak

  • Terkuaknya Rahasia Suamiku    37. Identitas Palsu

    Selesai menemani Bapak ke dokter, aku langsung berpamitan. Selain karena sudah tidak begitu khawatir, aku juga penasaran pada Bi Ica. Dari nada bicaranya aku tahu kalau wanita itu serius. Rasa ingin tahuku cukup besar, apalagi yang dilakukan oleh Siska lantaran Bi Ica terdengar sangat emosi. Tiba di kampungku, di warung Ceu Entin terlihat banyak orang. Awalnya kukira karena banyak yang belanja. Aka tetapi, ketika aku melintas, Bi Ica memanggilku. Otomatis aku pun mengerem mendadak. "Sini Teh Tami, mampir dulu!" "Ada apa, sih, Bi?" Aku memperhatikan beberapa orang yang tengah asik mengobrol di emper warung. "Eh, kan saya mau curhat." "Di sini? Kan banyak orang. Di rumah say aja, yuk!" Jujur saja aku risih kalau harus ngobrol di emper warung. "Di sini aja. Mereka sudah pada tahu, kok." Bi Ica melirik beberapa tetangga yang masih asyik dengan gosip mereka. Aku menggeleng perlahan. Selain karena tidak pernah bergosip di emper warung Ceu Entin, aku juga risih karena banyak orang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status