MasukBhumi menoleh, kaget. Seorang wanita cantik berdiri di sana, dengan rambutnya yang basah menempel di bahu. Sehelai handuk putih melilit tubuhnya erat-erat.
[Nama: Dahayu Nisha Umur: 35 Tahun Status: Desainer, Janda Ukuran: 38 D] 'Ya Tuhan .... Kenapa harus bertemu yang besar-besar di saat seperti ini?' pria itu menggerutu dalam hati. Wanita itu masih berdiri di sana dengan menyipitkan mata melihat Bhumi yang tampak salah tingkah. Dengan tangan yang putih mulus mencengkeram erat ujung handuk di dada. "Ma-maaf aku, aku salah kamar," Bhumi berkata dengan tubuh yang sempoyongan hampir roboh. "Pria mesum! Keluar sekarang juga!" Bhumi mendekat selangkah, tangannya terangkat setengah seperti hendak menenangkannya. Jangan sampai komplotan Reno tahu jika ia sedang bersembunyi di kamar itu, "Tunggu, aku bisa jelaskan—" "Jangan mendekat!" teriak wanita itu lagi, suaranya melengking tinggi sedikit gemetar. Kedua tangannya yang mendadak terjulur ke depan, "Berhenti di sana, atau aku akan telepon polisi!" Gerakan impulsifnya itu justru menjadi malapetaka. Handuk yang dengan susah payah dililitkan di tubuhnya tiba-tiba melorot dan jatuh ke lantai begitu saja. Tubuh polos tanpa sehelai benang pun terlihat di depan mata. Bhumi menarik napas panjang dengan dada berdegup kencang. Payudara yang indah. Lekuk tubuh yang sempurna, serta Lembah bukit yang tertutup sedikit rumput hitam membuat darahnya semakin mendidih Dengan cepat Bhumi memejamkan matanya dan menggeleng cepat. 'Sadar...! Tenang..sadar Bhumi, jangan sampai ia masuk penjara oleh kenikmatan sesaat!' pria itu berbicara pada dirinya sendiri. Sementara itu, wanita yang bernama Dahayu masih membeku di tempat. Wajahnya yang semula pucat, takut kini berubah menjadi merah padam. Hingga beberapa detik kemudian... "AAAA—!!!" Teriak wanita itu, suaranya menggema di ruangan. Bhumi langsung memutar tubuhnya dengan gerakan panik, tangannya menutup matanya dengan erat. "Maaf! Maaf! Aku tak sengaja, sungguh! Aku tidak melihat apa-apa!" bantahnya tergagap. "Kau.. kau! Tunggu di sini, jangan kemana-mana!" wanita itu membalikkan badan dengan gerakan cepat, ia segera membungkuk untuk mengambil handuk yang tergelatak di samping kakinya sebelum buru-buru masuk kembali ke kamar mandi, meninggalkan Bhumi yang masih berdiri dengan membelakanginya. Beberapa saat kemudian, wanita itu keluar sudah mengenakan dress panjang berwarna marun. Begitu melangkah keluar, tubuhnya langsung ditabrak oleh Bhumi yang tiba-tiba berlari masuk ke kamar mandi, menyenggol bahunya. "Eh, kau mau ngapain!?" teriaknya, panik, dan langsung mengikuti Bhumi dari belakang. Begitu masuk ke kamar mandi, Bhumi sudah membasahi seluruh tubuhnya di bawah shower air dingin. Pakaiannya menempel basah, membuat otot dada dan perutnya tercetak dengan jelas. "Keluar dari sini, atau aku bisa berbuat nekat!" geram pria itu tanpa sadar dengan tatapan tajam lurus ke arah Dahayu yang masih berdiri di ambang pintu. Dahayu yang semula marah, kini nyalinya entah kemana. Ia memperhatikan wajah Bhumi yang memerah tidak wajar. Dada naik turun dengan cepat, juga napasnya tersengal-sengal tak wajar. Pria itu berdiri dengan sedikit membungkuk salah satu tangan memegangi lutut, dan tangan lainnya menempel di dinding keramik putih mencengkram dengan erat. Urat-urat tangannya menegang berusaha menahan gelombang panas dan rasa mual yang meledak dan membakar di sekujur tubuhnya. Wanita itu mendekat dengan langkah hati-hati, dengan pandangan mata penuh rasa khawatir. "Kau... kau tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari sebelumnya. "D-Diam!" sanggah Bhumi dengan lantang. "Jangan... mendekat. Pergi!" Dia mencoba berdiri lebih tegak, tetapi tubuhnya limbung, terpaksa kembali berpegangan pada sisi kamar mandi untuk menahan diri agar tidak terjatuh. Wanita itu menyipitkan matanya, mengamati gejala aneh pada Bhumi. Pipi yang memerah tak wajar, keringat dingin yang bercampur dengan air shower, napas yang ngos-ngosan, dan gemetar yang tak terkendali. Bibirnya sedikit ternganga, "Dia terkena obat perangsang??" Dahayu akhirnya menghela napas panjang, bahunya yang tadinya tegang sedikit mengendur. Dia memutar badan, berjalan keluar kamar mandi, lalu kembali dengan sebotol air mineral dingin dari mini bar. Dilemparnya ke arah Bhumi, yang dengan cepat menangkap botol itu. "Minum. Pelan-pelan," Setelah Bhumi menenggak habis air di botol itu, ia lalu Merobek kaosnya yang sudah basah dan melemparkannya ke lantai. "Hah.. brengsek! Panas sekali!" Melihat itu Dahayu langsung menutup matanya rapat-rapat dan berteriak, "Kau, kau! Apa yang kau lakukan?! Jangan berpikir macam-macam! Aku... Aku... " suaranya tercekik, panik. Bhumi menatapnya dengan pandangan tajam, napasnya masih terdengar berat. "Keluar! Ada yang cepat harus aku lakukan!" hardiknya, suaranya parau dan terdengar hampir putus asa. Dahayu tidak perlu disuruh dua kali. Dengan cepat ia membuka pintu dan melesat keluar, langsung menutup pintu kamar mandi itu. Setelah wanita itu pergi, Bhumi melepaskan celananya dengan gerakan gugup. "Reno, bangsat! Aku akan balas ini!" gerutunya melemparkan celana ke sudut yang agak kering. Dengan napas tersengal, ia menjatuhkan dirinya ke lantai yang dingin, punggungnya menempel pada dinding keramik. Lalu apa lagi yang bisa Bhumi lakukan selain olah raga tangan? Pria itu dengan frustasi harus menuntaskan hasratnya sendiri. Pekerjaan yang sering di lakukan para jomblo abadi di luar sana. "Arghh... Brengsek . Ah.. ugh!" Erangan berat dari kamar mandi terdengar sampai ke luar, Dahayu yang masih berdiri di depan pintu langsung melotot dengan memegangi dadanya. "A-a-apa yang di lakukannya?" ia bergumam dengan badan bergidik. Antara geli dan takut. Lalu dengan rasa penasaran, Dahayu membuka pintu kamar mandi tanpa suara. Rasa panas langsung menjalar ke seluruh tubuh melihat apa yang ada di depan matanya itu. Bhumi dengan posisi berdiri sedikit membelakanginya sedah mendongak ke atas dengan telanjang bulat. Tangan kirinya menopang tubuh berpegangan pada sisi tembok, dan tangan kanan bergerak cepat ke atas dan ke bawah. "Arghh...." Desah Bhumi membuat Dahayu menutup mulut. Matanya perlahan turun, ia melihatnya! Sesuatu yang.... ***"Ke-kenapa punyanya besar sekali?" Beberapa kali Dahayu mengerjapkan mata. Ia melihat dengan jelas "Pasar Darat" ( pajang besar dan berurat) yang sedang di pijat dengan cukup kasar oleh pria itu sendiri. Dahayu duduk di sisi ranjang, kedua lututnya dirapatkan, tangan menggenggam ujung seprai yang berkerut. Matanya menatap kosong ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Apa yang baru saja terjadi? Ada pria asing di kamarnya. Dan kini... pria itu sedang menggunakan kamar mandinya seolah ia pemilik tempat ini. Wanita itu kembali menelan ludah. Dan berpikir, kenapa dia bisa datang kesini? Dan... siapa yang sudah memberinya obat? "Apa mungkin ini semua sudah di atur oleh...???" ia lalu menggeleng cepat. "Tidak mungkin," ucapnya lagi mengusir apa yang di dalam pikirannya. Dahayu lalu meraih ponsel di meja nakas, jarinya gemetar saat ingin menekan angka darurat. Namun seketika jarinya berhenti di udara. 'Kalau dia memang pria jahat, bukankah dari tadi dia sudah menyerangku
Bhumi menoleh, kaget. Seorang wanita cantik berdiri di sana, dengan rambutnya yang basah menempel di bahu. Sehelai handuk putih melilit tubuhnya erat-erat.[Nama: Dahayu NishaUmur: 35 TahunStatus: Desainer, JandaUkuran: 38 D]'Ya Tuhan .... Kenapa harus bertemu yang besar-besar di saat seperti ini?' pria itu menggerutu dalam hati.Wanita itu masih berdiri di sana dengan menyipitkan mata melihat Bhumi yang tampak salah tingkah. Dengan tangan yang putih mulus mencengkeram erat ujung handuk di dada."Ma-maaf aku, aku salah kamar," Bhumi berkata dengan tubuh yang sempoyongan hampir roboh."Pria mesum! Keluar sekarang juga!"Bhumi mendekat selangkah, tangannya terangkat setengah seperti hendak menenangkannya. Jangan sampai komplotan Reno tahu jika ia sedang bersembunyi di kamar itu, "Tunggu, aku bisa jelaskan—""Jangan mendekat!" teriak wanita itu lagi, suaranya melengking tinggi sedikit gemetar. Kedua tangannya yang mendadak terjulur ke depan, "Berhenti di sana, atau aku akan telepon p
Ke dua matanya, yang tadi masih menyisir kerumunan, kini terpaku pada seseorang yang sudah berdiri di hadapan mereka berdua, "Kak? Kau ada di sini?" sapa pria itu, tatapannya hangat ketika menatap Selina.'Dunia memang sempit sekali ya? Ternyata Reno, adik sepupu Selina... Haah!' gerutu Bhumi dalam hati, ia mencoba tetap tenang ketika melihat Reno, dan Alya. Mantan kekasih dan selingkuhannya itu.Alya, dengan mata yang tajam, menyenggol lengan Reno dan menunjuk Bhumi dengan lirikan mata, sinis. Reno yang menyadari keberadaan Bhumi segera melepaskan tangan Alya dan mendekat satu langkah lagi, wajahnya menyeringai sinis. "Ck...ck...ck... Berani juga kau datang ke acara reuni ini ya?" ujarnya, mengusap dagu dengan pelan."Kalian saling kenal?" tanya Selina, melihat adik keponakannya itu menyapa Bhumi. Ia lalu menatap Reno dan Bhumi bergantian, bingung. "Yah... kami satu angkatan," jawab Bhumi singkat. Tangannya masuk ke dalam saku celana, ekspresi cukup santai."Kak, kau tak tahu? Dia i
Malam itu, dengan jantung berdebar, Bhumi sudah tiba di alamat yang tertera di grup teman sekolah.Pria itu masuk dengan menunduk merapikan kemeja yang baru saja ia beli setengah jam yang lalu. Membuatnya tak sangaja menabrak seseorang yang baru saja keluar dari lift.“Eh, maaf—”Ia segera mendongak dan matanya membulat sempurna. “Selina?” bisik Bhumi tak percaya.Wanita itu, anggun dalam balutan gaun krem yang elegan, menatapnya dengan ekspresi kaget yang sama sebelum bibirnya melengkung membentuk senyum kecil yang manis.“Bhumi? Astaga, kau ngapain di sini?” “Reuni kampus,” jawab Bhumi santai, “Kau sendiri?”Selina terkekeh pelan, lalu menganggukan kepalanya. “Aku ada janji pertemuan. Seseorang ingin menjual barang koleksi antik dan aku tertarik untuk menjadikannya sebagai hadiah ulang tahun kakekku.”Ucapan itu baru saja meluncur dari bibirnya yang merah saat Bhumi merasakan sensasi aneh yang familiar di dada. Getaran halus dari kalung giok naga di lehernya membuat pria itu seketi
Bhumi terpaku. Matanya menatap pria berkacamata bulat besar yang berdiri di hadapannya. Informasi yang diberikan oleh mata rubahnya membuat Bhumi menelan ludah dengan susah payah.[Nama: Widodo.Pekerjaan: Kolektor.Umur: 55 Tahun.Status: Penipu, mantan narapidana.]'Oh... tukang kibul ternyata,' batin pria itu sambil menggeleng pelan. Widodo, pria berperut buncit dengan cincin batu akik berwarna merah tua melingkar di jempolnya, perlahan melangkah semakin dekat. Ia tersenyum dan sesekali membenarkan kacamatanya yang melorot."Bagaimana, anak muda?" ucapnya pelan namun masih terdengar jelas di tengah hiruk pikuk pasar. "Kau lepaskan barang itu padaku. Seratus juta… sekarang juga."Suasana pasar seketika pecah oleh bisik-bisik terkejut dan tak percaya dengan apa yang mereka dengar. Widodo tersenyum bangga meskipun Bhumi sama sekali tak memberikan reaksi apa pun. Beberapa pedagang yang tadi mencibir Bhumi kini mulai berbisik-bisik, mata mereka menyorot penuh minat ke arah mangkuk kecil
“Janu! Ranjanu, apa yang terjadi?!”Suara Bhumi memecah keheningan malam itu. Tubuh pria di hadapannya melenguh beberapa kali, ''Tolong, ah.. sakit.'' ucap pria bernama Ranjanu itu dengan mencoba mengangkat tangannya.Bhumi segera membantu sahabatnya itu untuk berdiri dengan menopangnya dari sisi kanan. Terlihat darah mengalir dari sudut bibirnya, mengenai baju yang sudah lusuh dan robek di beberapa bagian.“Untung saja aku bertemu denganmu, kalau tidak... mungkin aku sudah mati di sini,” gumam Janu pelan sambil meludah, darah segar kembali keluar dari mulutnya.Bhumi menahan napas, lalu tanpa pikir panjang memapah sahabatnya itu. “Diam, jangan bicara macam-macam!” teriaknya dengan nada marah, namun tak bisa menutupi rasa cemas dan juga khawatir.Tubuh Janu terasa berat di pundaknya. Mereka berjalan terseok, melewati gang sempit yang remang diterangi lampu jalan. Suara anjing menggonggong di kejauhan bercampur dengan derit sandal Bhumi yang basah. Udara malam lembab menusuk hidung, b







