MasukMalam itu penthouse Kevin terasa lebih sunyi dari biasanya.
Kevin baru saja mengantar Nadia pulang, masih senyum-senyum sendiri ingat ciuman di rooftop restoran tadi. Tapi senyumnya langsung hilang begitu melihat missed call dari “Papa” – 12 kali. Ada apa ya? Kenapa papa telpon sebanyak itu? Apa ada keadaan darurat? Dia langsung telpon balik. “Kevin, Kamu temui papa sekarang juga,” suara papa Kevin dingin di ujung telepon. “Kantor pusat. Jangan bawa alasan.” Kevin nggak berani nanya apa-apa. Dia langsung ganti jas, naik Porsche, ngebut ke kantor Cathy Group di kawasan Sudirman yang masih terang benderang meski jam 10 malam. Di ruang rapat lantai 42, papa Kevin – Anthony Cathy – sudah duduk di ujung meja panjang. Di sebelahnya… Vincent Huang, kakaknya Ray, manager senior divisi pengembangan properti, usia 23 tahun, tampan versi dewasa, selalu pakai jas Armani dan senyum tipis yang nggak pernah sampai ke mata. Kevin masuk, langsung disuruh duduk. “Kevin,” buka papa tanpa basa-basi. “Papa denger lo lagi pacaran sama anak beasiswa. Nadia Putri… apa itu?” Kevin kaget. “Pa, dari mana—” “Vincent yang cerita,” potong papa sambil melirik Vincent yang cuma angguk kecil. “Katanya cewek itu bikin lo lupa kuliah, lupa tanggung jawab keluarga. Benar?” Kevin langsung tatap Vincent tajam. Vincent cuma senyum tipis. “Pa, itu nggak benar. Nadia malah bantu aku belajar. Nilai Ekonomi Makro aku naik dua tingkat gara-gara dia.” Papa Kevin ketawa dingin. “Anak beasiswa bantu anak Cathy Group belajar? Jangan lucu. Papa udah liat foto-foto lo berdua di pasar malam, di rooftop restoran. Lo lagi main-main sama cewek kampung, Kevin. Ini bukan waktunya.” Kevin berdiri. “Pa, aku serius sama Nadia.” “Serius?” papa angkat suara. “Lo baru 19 tahun! Lo harus serius sama perusahaan, sama kuliah, sama masa depan! Bukan sama cewek yang jelas-jelas cuma numpang nama baik lo!” Vincent akhirnya buka suara, suaranya halus tapi beracun. “Om Anthony, maaf saya ikut campur. Tapi saya kenal Nadia dari dulu. Dia… pernah deket sama saya waktu SMA. Waktu itu dia bilang sendiri, dia nggak mau sama cowok yang ‘cuma’ manager biasa. Dia mau yang lebih tinggi. Sekarang Kevin pewaris Cathy Group… kebetulan sekali, bukan?” Kevin langsung berdiri, muka merah padam. “Lo bilang apa, Vincent?!” Vincent tetap tenang, buka map di depannya, keluarin beberapa foto lama: Nadia sama cowok yang mirip Vincent waktu remaja, lagi jalan bareng di mall kecil. “Nadia mantan saya, Kevin. Kita putus karena dia bilang saya nggak cukup kaya buat dia. Sekarang dia sama lo… lo yakin dia sayang sama lo, atau sama nama belakang lo?” Papa Kevin langsung percaya. “Cukup. Kevin, mulai besok lo putus sama Nadia. Fokus kuliah dan perusahaan. Kalau lo nggak nurut, papa potong semua kartu kredit lo, mobil lo, apartemen lo. Semua.” Kevin gemetar. “Pa… lo nggak ngerti—” “Papa ngerti yang terbaik buat anak papa!” bentak papa. “Vincent, tolong awasi Kevin mulai sekarang.” Vincent angguk. “Tentu, Om.” Kevin keluar ruang rapat dengan langkah gontai. Di lift, dia telpon Nadia, tapi nggak diangkat – Nadia lagi tidur. Malam itu Kevin nggak pulang ke penthouse. Dia nyetir muter-muter Jakarta, sampe akhirnya parkir di depan kosan Nadia jam 2 pagi, cuma liat jendela kamar gadis itu dari kejauhan. Pagi harinya, Nadia bangun dengan perasaan aneh. Kevin nggak bales chat semalaman. Dia ke kampus sendirian. Di gerbang, Kevin sudah nunggu. Matanya merah, kayak nggak tidur. “Vin, lo kenapa?” Kevin tarik Nadia ke pojok parkiran. “Nad… gue harus cerita sesuatu.” Dia ceritain semua: pertemuan semalam, omongan papa, foto-foto lama, tuduhan Vincent. Nadia langsung pucat pasi. “Vincent… Vincent Huang… kakaknya Ray?” Kevin angguk. Nadia mulai gemetar. “Dia mantan gue, Vin. Tapi… itu nggak kayak yang dia ceritain.” Nadia cerita panjang. Waktu kelas 3 SMA, Nadia pernah deket sama Vincent (yang waktu itu kelas 3 di SMA yang sama). Vincent anak orang kaya juga, tapi Nadia putusin dia karena Vincent terlalu posesif dan suka ngejek temen-temen Nadia yang “miskin”. “Gue yang mutusin dia, Vin. Bukan dia yang ninggalin gue. Dan gue nggak pernah bilang soal uang! Dia yang selalu bilang ‘nanti kalau kita pacaran, aku beliin lo tas Chanel, biar lo nggak malu sama temen-temen lo’.” Kevin diam mendengar. “Dia bohong, Vin. Dia cemburu sama lo. Dia selalu benci adiknya sendiri aja lebih sukses dari dia.” Kevin peluk Nadia erat-erat. “Gue percaya lo. Tapi… papa gue nyuruh gue ninggalin lo. Kalau nggak, dia bakal potong semua akses gue.” Nadia mundur selangkah, mata berkaca-kaca. “Jadi… lo mau ninggalin gue?” Kevin langsung genggam tangan Nadia kuat-kuat. “Enggak. Gue bakal lawan papa gue. Gue bakal buktikan ke dia kalau gue bisa tanggung jawab perusahaan sekaligus sama lo.” Nadia nangis. “Tapi Vin… gue nggak mau jadi beban.” “Lo bukan beban. Lo alasan gue mau jadi lebih baik.” Mereka pelukan di parkiran, nggak peduli orang-orang pada foto. Siang itu, Kevin langsung ke kantor lagi. Kali ini dia bawa Nadia. Di ruang rapat yang sama, papa Kevin dan Vincent lagi rapat. Kevin masuk tanpa ketuk pintu, tarik Nadia masuk bareng. “Pa, ini Nadia. Pacar gue. Dan mulai sekarang, dia bakal sering ke sini.” Papa Kevin melotot. Vincent pura-pura kaget. “Kevin! Lo gila?!” “Enggak, Pa. Gue serius. Gue bakal buktiin ke papa kalau gue bisa handle perusahaan sekaligus jagain orang yang gue sayang.” Vincent nyengir tipis. “Om, kayaknya Kevin lagi dibutakan cinta. Kalau Kevin remaja biasa yang lahir di keluarga bisa sih gak masalah, tapi sebagai pewaris tunggal Cathy Group. Dia harus lebih sadar akan posisinya.” Papa Kevin diam lama. Lalu dia buka suara, suaranya lebih pelan. “Kalau lo serius… bawa dia dinner ke rumah minggu depan. Mama lo juga mau liat. Kalau dia bisa diterima keluarga, papa nggak akan ganggu lagi.” Kevin kaget. “Pa… serius?” Papa angguk. “Tapi kalau dia nggak lolos… lo tahu konsekuensinya.” Vincent muka langsung gelap. Malam itu, Nadia panik di kosan. “Dinner sama keluarga lo? Gue takut, Vin. Gue nggak biasa…” Kevin peluk Nadia dari belakang. “Lo nggak sendirian. Kita hadapi bareng.” Tapi di luar kosan, Vincent lagi berdiri di mobilnya, tatap kosan Nadia dengan mata penuh dendam. “Lo pikir lo bisa ambil segalanya dari gue lagi, Nadia?” Dia buka HP, kirim pesan ke nomor misterius. “Plan B. Kita gerak sekarang.”Pagi hari.Penthouse Kevin gelap, hanya cahaya matahari pagi menembus tirai. Kevin berdiri di balkon dengan hoodie hitam, rambut berantakan, mata merah karena nggak tidur sama sekali.Nadia masih tertidur di sofa, wajahnya sembab setelah semalaman menangis dalam pelukannya.Arkan duduk di meja bar, laptop terbuka, kopi hitam yang sudah dingin.Kevin akhirnya buka suara tanpa menoleh:“Dia ada di Jakarta.”Arkan menghadap Kevin.“Lo yakin?”Kevin memasukkan rokok ke mulut, menyalakannya, menghembuskan asap cepat.“CCTV di bawah penthouse gue tadi malam… ada seorang cowok berdiri di seberang jalan selama empat menit.”Kevin membuang abu.“Tim keamanan gue telepon jam lima pagi.”Arkan tersentak.“Itu—”Kevin menatap Arkan dengan mata yang tajam dan gelap.“Kairo.”Arkan langsung menutup laptop.“Mana rekamannya?”Kevin menggeleng.“Dia nutup wajah. Hoodie hitam. Tapi… cara berdirinya, cara dia miring kepala sedikit…”Kevin menggertakkan gigi.“Itu gaya gue waktu SMA.”Arkan menelan luda
Video terus berjalan.Hujan.Suara langkah kaki di tanah basah.Napas seseorang yang terengah.Kevin menatap layar tanpa berkedip.Tubuhnya kaku.Di video, seorang remaja laki-laki menyeret tangan seorang gadis kelas 10 yang basah kuyup — rambutnya menempel di wajah, lututnya berdarah.Gadis itu adalah Nadia.Dan laki-laki itu—Kevin merasakan jantungnya berhenti.Remaja itu mendongak ke kamera.Wajahnya jelas.Fitur wajahnya… sama.Suara… sama.Tatapan… sama.Hanya lebih muda.Tiga tahun lebih muda.“Nggak… ini nggak bener…”Kevin mundur selangkah.Nafasnya patah.“Ini… gak mungkin… GAK MUNGKIN…”Di layar, remaja itu tersenyum kecil.Penuh obsesi.“Kalau gue nggak bisa punya lo, Nad…orang lain juga nggak boleh.”Kevin menutup mulutnya.Tangan gemetar.“VIN…”Nadia memegang hoodie Kevin, tubuhnya gemetaran.“Aku udah bilang… jangan liat…”Tapi Kevin menepis tangan Nadia—BUKAN karena marah pada Nadia.Melainkan karena dia merasa…dia sendiri sedang jatuh.“ITU SUARA GUE!!”Kevin bert
Gelap.Sunyi.Listrik padam total.Nadia memeluk dada Kevin, tubuhnya gemetar keras.Tok. Tok. Tok.Ketukan itu lagi.Tiga kali.Pelan.Berirama.Kevin menoleh ke jendela besar penthouse yang sekarang hanya diterangi kilat hujan.“Nad, tetap di belakang gue,” bisiknya pelan.Nadia menggenggam baju Kevin sampai kusut.“Jangan buka, Vin… please…”Kevin menelan ludah, mengatur napas, langkahnya pelan mendekat ke kaca yang dipenuhi butiran air.Di luar sana, dari lantai 32, tidak mungkin ada orang yang bisa mengetuk kaca.Tidak ada balkon.Tidak ada akses servis.Hanya angin.Dan hujan badai.Tapi ketukan itu jelas.Terarah.Tok. Tok. Tok.Kilatan petir menyinari kaca sesaat.Dan Kevin melihatnya.Seseorang berdiri di rooftop gedung seberang.Bukan monster.Bukan bayangan kosong.Seseorang nyata.Pria muda, berjaket hitam, memegang…sebuah payung hitam persis seperti milik Arkan.Wajahnya tidak terlihat jelas.Tapi tubuhnya…sikapnya…Tidak asing.Kevin tidak bisa melihat detail — hujan t
Pukul 00.32 – Penthouse KevinHujan masih menghantam jendela kaca besar.Nadia duduk di sofa, dibungkus selimut tebal, wajahnya pucat.Matanya kosong.Kevin menyiapkan teh hangat, tapi tangannya gemetar.Ini pertama kalinya Kevin benar-benar melihat Nadia…hilang.Dia duduk di sebelah Nadia, pelan, takut membuatnya makin runtuh.“Nad…”Kevin menyentuh punggung tangan Nadia.Nadia terkejut kecil, lalu memalingkan wajah.“Sorry. Gue… gak bisa tenang.”Kevin menelan ludah.Napasnya pendek.“Lo boleh takut. Lo boleh nangis. Tapi lo gak sendirian.”Nadia menggigit bibir bawah, menahan tangis yang ingin meledak.“Kalau lo tau nama itu, Vin…segala hal tentang gue bakal berubah.”Kevin meraih wajah Nadia dengan kedua tangan, lembut.“Gue nggak peduli namanya.Gue peduli siapa yang bikin lo kayak gini.”Nadia menutup mata erat-erat.“Jangan paksa gue…”Kevin menunduk, menyentuh kening Nadia dengan keningnya.“Nad. Gue nggak mau kehilangan lo hanya karena rahasia yang lo simpan sendiri.”Nadia
Pukul 23.47 – Hujan tidak berhenti.Kos Nadia sunyi.Lampu kamar redup.Nadia duduk di lantai, punggung menempel tembok, lutut memeluk dada.HP-nya berkedip.Pesan dari nomor tak dikenal:“Link folder sudah dibuka 12 kali.Kevin akan tau semuanya dalam hitungan jam.”Nadia meraih rambutnya, menggenggam, tangan gemetar.“Kenapa… kenapa kalian lakuin ini lagi…”Air mata jatuh tanpa suara.Dia ingin teriak.Tapi tidak bisa.Dia ingin lari.Tapi kaki tidak mau bergerak.Dan saat Nadia hampir menutup HP—Tiba-tiba pintu kamarnya digedor KERAS.DUAK! DUAK! DUAK!“NADIA!”Nadia terlonjak.Itu suara Kevin.Panik.Marah.Patah.Nadia bangkit dengan lutut goyah, membuka pintu sedikit.“V–Vin… lo ngapain—”Pintu didorong Kevin langsung, dan Kevin masuk dengan napas liar, jas hujan masih meneteskan air ke lantai.Mata Kevin merah dan gelap.“Nadia.”Suaranya pecah.“Siapa yang ngirimin gue video itu?!”Nadia langsung membeku.Kevin memegang bahunya, bukan kasar—tapi terlalu keras sampai Nadia ter
Hujan deras turun sepanjang sore.Gedung kampus yang biasanya ramai berubah sunyi, hanya suara rintik-rintik menampar kaca.Nadia duduk di ruang panitia OSPEK, sendirian.Tangan memegang pencil, tapi tidak bergerak.Kertas jadwal ospek di depannya kosong.Matanya menerawang.Suara Arkan masih terngiang:“Lo bakal hancurin dia kalau lo gali masa lalunya.”Nadia menarik napas panjang, mencoba stabil.Tapi tiba-tiba pintu terbuka.Kevin.Dengan jas hujan hitam, rambut sedikit basah, mata merah karena kurang tidur.Tanpa bicara, dia masuk dan langsung mengunci pintu.Nadia kaget. “Vin?”Kevin jalan cepat ke arahnya, lalu jongkok di depan kursi Nadia.Dia memegang kedua tangan Nadia erat-erat, seperti takut gadis itu menghilang dari tangannya.“Nad… lo ngejauh lagi hari ini.”Nadia menggeleng. “Gue cuma capek.”Kevin menatap dalam.“Bilang sama gue kalau lo baik-baik aja.”Nadia diam.Detik itu juga Kevin tahu: dia tidak baik-baik saja.“Tadi lo nangis lagi, ya?”Kevin menyentuh pipi Nadia







