🙏🙏🙏
"Nyonya Salwa?" sapa Revin dengan hormat.Salwa menoleh menatap Revin bersamaan dengan Hendra. Salwa mengamati wajah Revin. Sepertinya ia mengenalinya. "Kamu...?""Saya Erwin, Nek," ucap Revin. Melihat dari jarak dekat membuat Revin merasa pasti bahwa wanita tua ini adalah Salwa. Itu sebabnya ia langsung memanggilnya dengan sebutan nenek.Mata Salwa melebar. Dia pun langsung mengenalinya. "Eh iya, kau Erwin ternyata. Kau sudah besar sekarang ya." Salwa mencoba bersikap ramah walau hatinya sedang gundah gulana. Terakhir bertemu dengan Erwin adalah saat Erwin yang sudah remaja datang mengunjunginya untuk bertemu Lili.Revin tersenyum kecil. "Iya Nek. Nenek ternyata kenal dengan ayah mertua saya, ya?" tanyanya mengorek. Sebenarnya dia penasaran apa hubungan Nenek Salwa dengan Hendra. Kenapa mereka berjalan bersama untuk menjenguk Lisa?"Ayah mertuamu? Maksudmu Hendra?" tanya Salwa cukup terkejut."Iya, Nek," lugas Revin.Salwa sekilas menatap Hendra. "Dia putra saya," ucap Salwa membuat R
Beberapa hari telah berlalu. Pertemuan dengan klien penting membuat Revin terpaksa harus meninggalkan rumah sakit. Alex terus-menerus mendesaknya, akhirnya Revin mau untuk berkompromi. Jika memang ada hal penting dan mendesak dia akan pergi ke kantor, tapi jika tidak, dia akan bekerja dari rumah sakit.Para karyawan di kantor bisa merasakan bagaimana Revin bertingkah uring-uringan selama berada di sana. Itu karena dia ingin segera kembali ke rumah sakit. Begitu urusannya beres, Revin memang segera kembali."Nenek bisa beristirahat di kamarku jika merasa capek. Aku menyewa satu kamar di lantai atas rumah sakit ini," tawar Revin saat ia mendapati Nenek Salwa duduk di ruang tunggu ICU. Setiap hari Nenek Salwa datang berkunjung ke rumah sakit padahal dia sudah tua."Tidak perlu, Erwin. Kalau lelah, Nenek akan pulang.""Baiklah." Revin menjawab dengan nada rendah. Kemarin, Salwa sudah menceritakan pada Revin kenapa ia sampai harus berbohong waktu itu. Nafa memang benar-benar wanita jahat sa
Dengan rasa penasaran yang tinggi, Revin membalik-balik halaman buku itu, memeriksa seberapa banyak buku harian itu terisi oleh tulisan Lisa. Ternyata hanya beberapa lembar.Tanpa berpikir lebih lama, Revin langsung kembali ke lembar pertama buku itu dan mulai membacanya.Senin, tanggal x bulan y tahun xyzz"Ada tumor di rahimku. Bayiku tumbuh bersama tumor jahat. Kata Dokter pertumbuhan bayiku akan terganggu karena tumor itu. Aku tidak bisa membiarkan hal buruk itu terjadi. Jadi aku meminta tolong Dokter Inggrid untuk menolong bayiku."Kamis, tanggal x bulan y tahun xyzz"Aku tidak suka Cherrine. Dia perempuan jahat. Aku takut dia akan menyiksa bayiku kalau aku sudah meninggal. Aku takut.... Bagaimana nanti?"Revin meraba pelan tulisan itu. Kertas yang mengering setelah sebelumnya basah. Ini pasti bekas air mata. Revin menghela napasnya pelan. "Aku juga sebenarnya tidak suka Cherrine. Aku sungguh menyesal, Lisa. Gara-gara kemunculannya kau jadi banyak pikiran. Kenapa aku bertingkah se
"Kenapa kau...." Damian mengatupkan mulutnya menatap rumit Dani yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit."Tidak apa-apa. Kecelakaan kecil begitu tidak akan membuat Ayah mati," ucap Dani tersenyum. Padahal kepalanya baru saja mendapat tiga jahitan."Aku tidak menyangka, kau menolong mamaku tanpa berpikir terlebih dahulu. Kau memiliki tiga anak dan seorang istri. Tanggung jawabmu besar. Kalau kau mati bagaimana, Ayah?""Ayah melakukannya karena reflek. Lagian dia itu ibu dari salah satu anakku. Dan kalaupun Ayah mati, Ayah meninggalkan harta kok untuk kalian," jawab Dani apa adanya."Jangan-jangan itu harta simpananmu yang berasal dari mamaku ya?" tanya Damian dengan nada mengejek."Kalau boleh jujur sebagian besar memang iya dari dia.""Pasti itu sangat banyak," tebak Damian."Tergantung siapa yang menilai. Ngomong-ngomong, kalau kau ingin melihat mamamu, pergilah sekarang. Dia pasti membutuhkanmu.""Apa kau tidak heran kenapa mamaku ditangkap polisi? Atau jangan-jangan kau tahu al
"Akui dengan jujur, apa kau tadinya berniat membawa kabur istri orang?""Apa maksudmu?" tanggap Damian tak paham.Revin segera membuka halaman terakhir dari tulisan Lisa di buku harian yang sedari tadi ada di genggamannya. "Lihat ini! Kau berniat membawa kabur Lisa, kan?"Damian membungkuk membaca isi buku itu sekilas. "Ini....buku hariankah?""Ya! Kenapa Lisa menulis seperti itu. Kalian pasti sudah berencana kabur!" seru Revin sambil menahan emosi, tetapi tanpa permisi Damian langsung merampas buku itu dan membaca lebih seksama halaman terakhir dari tulisan Lisa."Kalian membenciku, kan? Aku pun membenci kalian semua! Papa, Mama Nafa, Kak Revin, kalian pasti ingin menyiksa bayiku! Tak akan kubiarkan kalian melakukan itu! Dasar Iblis.""Aku akan menitipkan bayiku pada Damian supaya kalian tidak bisa mengganggu bayiku.""Damian, ayo kita pergi!"Damian terdiam dengan kening mengerut. Dia masih ingat pembicaraan terakhirnya dengan Lisa lewat telepon siang itu saat dia masih berada di sek
"Kenapa kaget begitu? Wajar dong dia membencimu, Papa Mertua," ucap Revin sambil memungut diary itu dengan cepat dari lantai.Hendra menatap Revin dengan wajah muram. "Bukankah di situ namamu juga tertera? Putriku juga membencimu!""Iya, aku tahu," jawab Revin dengan mata meredup."Apa buku itu memang...buku harian milik Lisa?""Iya."Tangan Hendra terulur. "Berikan buku harian itu, aku ingin membaca isi lainnya.""Tidak. Aku tidak bisa memberikannya padamu," lugas Revin.Kening Hendra mengerut. "Kenapa? Aku papanya. Aku berhak mengetahui seluruh isinya.""Aku yang duluan menemukan buku ini. Jadi aku punya hak untuk tidak meminjamkanmu, Papa Mertua!" tegas Revin.Mata Hendra menyipit. "Jangan kau panggil aku 'papa mertua' lagi.""Kenapa? Aku suami Lisa, jadi kau ini siapaku kalau bukan papa mertua?""Bukankah sebelumnya kau sudah berencana untuk bercerai dengan Lisa? Aku juga sangat menginginkan hal itu. Lebih baik kau ceraikan putriku sekarang.""Aku tidak akan menceraikannya," lugas
Saat ini operasi sedang berlangsung. Selain Revin dan kedua orang tuanya, di sana juga ada Hendra dan Salwa.Revin tampak duduk dengan tubuh lunglai. Tadi dia begitu tegang hingga rasanya energinya terkuras semua karena rasa takut. Matanya terus menatap pintu ruang operasi, melihat lampu yang menyala di sana kapan akan padam."Lisa, bertahanlah. Kumohon.... Asalkan kau bisa bertahan, itu saja sudah cukup bagiku," ucap Revin di dalam hati dengan rasa takut yang masih setia menggelutinya. Pikirannya sama sekali tidak berfokus pada bayi mereka. Dia hanya memikirkan Lisa.Berbeda dengan Revin, Alex dan Renata justru berfokus pada keselamatan bayi. Mereka sangat gelisah karena calon cucu mereka akan lahir prematur."Nyonya Salwa, sudah berapa lama Lisa dioperasi?" tanya Damian yang baru saja hadir. Wajahnya terlihat sangat cemas. Tadi dia hendak menjenguk Lisa, tapi seorang perawat memberitahunya bahwa Lisa sedang menjalani operasi karena mengalami pendarahan."Sudah dua jam," jawab Salw
"Mungkin saja dia sibuk," jawab Hendra asal menebak.Sebenarnya Liliana sedang pulang kampung karena adiknya akan melakukan operasi jantung. Ben-lah yang membiayai pengobatan adik Liliana. Sesuai dengan janji, Liliana harus selalu berada di sisi Revin. Dia adalah pilihan Renata dan Alex untuk menjadi pasangan Revin nanti.Di tempat lain, masih di rumah sakit itu, Alex dan Renata sedang membuka surat hasil tes DNA. Revin memang mengatakan bahwa tes DNA tidak perlu dilakukan karena dia yakin pada Lisa. Tapi Alex dan Renata tetap bersikeras untuk melakukannya."Apa itu hasil tes DNA?" tanya Revin sambil melangkah ke arah mereka."Iya," jawab Alex singkat. Dia membuka surat itu dan membacanya dengan raut serius. Tidak lama kemudian, sebuah senyuman terukir di wajahnya. "Ren, bayi itu memang darah daging Revin. Kita benar-benar sudah menjadi kakek dan nenek sekarang!" seru Alex dengan wajah berbinar. Renata dengan cepat merebut surat itu dan membacanya. Wajahnya pun berubah cerah saat meli