Ini hanya soal waktu Ibu. Semua akan terbongkar seiring berjalannya waktu yang kulalui bersama kekasihku. Jika saja hari itu aku memilihi jujur, perasaanku mungkin belum sebesar sekarang pada Gus Ubaidillah. Hingga rasa sakit kehilangannya tidak akan membuat terluka lebih dalam.Namun, semua sudah terjadi. Masa lalu tak bisa diubah meski kita memilihnya sekali pun. Aku tak bisa menyalahkan Ibu. Sebab, wanita yang melahirkan dan membesarkanku hanya menginginkan kebaikan untuk putrinya.Bukan hanya perut mual, kepala juga terasa sedikit berputar. Ada apa ini? Perasaan datang bulan yang kujalani selama ini tidak semenyakitkan sekarang. "Adek ndak papa? Masuk angin mungkin," ucapnya cemas. Tangan kiri Gus bergerak memegang pundakku lalu beralih mematikan AC dan membuka kaca mobil sedikit, memberi ruang oksigen untuk masuk.Aku mengangguk sambil menutup mulut karena mual."Iya, akhir-akhir ini kita sering begadang malam." Ucapan itu mengingatkan bahwa aktivitas malam kami memang menyita b
"Hamil?" Gus tersentak. Ia memandangku setelah sempat menoleh pada Fay. Detik kemudian, senyum terbentuk di bibirnya. Gus Bed pasti senang aku hamil. Tapi, apa jadinya jika yang kukandung adalah anak Fay dan dia mengetahui itu?"Wah, MaasyaAllah. Cepat sekali ...." Tangan kanan Bude memegangi pundakku, sementara tangan lain memegangi perut."Tapi kan Adek datang bulan." Gus menimpali kemudian."Oh." Wajah Fay meredup. Syukurlah, ucapan Gus menghancurkan dugaannya. Apa kamu sangat ingin aku hamil anakmu, Fay? Jika iya, kamu sungguh di luar batas. "Em, ya. Li sedang datang bulan Bude. Hehe." Aku meringis senang."Ouh, jadi datang bulan. Kalau begitu mungkin sedang masuk angin kali." Bude berasumsi. "Ya, sudah. Lebih baik kita masuk sekarang. Barusan sudah ada panggilan.""Ya, Bude." Gus Bed setuju, ia lalu memegangi dua pundakku dan merangkulnya sembil berjalan. Lalu pria itu menyempatkan berpamitan pada Fay."Mari Kang, kami pergi dulu.""Ya." Fay menjawab singkat sembari meraih tan
Ya Rabb ... bagaimana hamba akan menghadapi rasa bersalah yang makin besar ini? Apalagi yang bisa kulakukan sekarang selain memohon belas kasihMu, meratap atas banyaknya kesalahan dan dosa yang membuatMu murka ....Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis. Air mata yang terus saja luruh tanpa bisa kubendung barang setetes. Bagaimana jika ini adalah anak Fay? Apa yang akan kukatakan pada Gus Bed saat ia tahu anak dalam kandunganku bukan anaknya?Bagaimana juga caraku menghadapi Fay? Aku yakin dia tak akan tinggal diam begitu tahu aku tengah hamil anaknya."Mau kakak bikinin anak berapa, Li?" tanya Fay yang hari itu memelukku dalam posisi duduk. Aku yang duduk di pangkuannya, menelengkan kepala menggodanya. "Yang banyak ... sampai rumah kita penuh dengan anak-anak."Kami duduk di bawah pohon rindang di pagar belakang kampus. Tempat yang biasa kugunakan 'ngisep' narkoba dengan teman-temanku kini jadi tempat favorit kami menghabiskan waktu bersama."Banyak? Emang sanggup ngel
"Excuse me ...." (permisi)Suara seorang cabin crew datang mengejutkan. Kami sontak menoleh."Please don't make a fuss," sambungnya lagi.Lagi dan lagi. Ini seperti kebetulan yang diatur oleh Tuhan. Setiap kali aku akan bicara, ada saja sesuatu yang menahannya.Mungkin kah memang aku harus menutupnya rapat-rapat ya, Allah? Setidaknya itulah yang kuyakini sekarang. Aku seperti mendapat teguran dari sisi diriku yang lain, aib yang sudah Allah tutup rapat malah akan kubuka sendiri. Belum tentu anak yang kukandung anaknya Fay, mengingat KB yang kupasang sehari setelah akad. Dalam waktu itu aku sudah berkali-kali melakukan hubungan suami istri dengan Gus Bed."Oh, okay. Sorry." Gus Bed menyahut."Ayo, Dek. Adek dengar 'kan kita mengganggu orang lain di sini." Kini Gus mengajakku kembali ke kursi dengan mengarahkan tangannya ke sana."Can I help you, Mister?" (Bisakah aku membantumu, Pak?) Wanita berseragam seksi itu menawarkan bantuan."Are you sick, Miss?" (Anda sakit, Bu?) Belum lagi G
Apa yang sebenarnya terjadi, Gus? Jika kamu punya masa lalu, tak berkenan kah bercerita padaku?Apa karena masa lalu itu juga Gus Bed bisa menerima semua keburukan di masa laluku sebagai gadis bebas pecandu narkoba? Ya, bisa jadi.Jujur saja aku sangat penasaran wanita mana yang sempat singgah di hatinya? Apa mereka juga melakukan hal yang aku dan Fay lakukan? Karena jodoh itu adalah cermin. Jika kita tak bisa menjaga diri, maka jodoh kita yang bahkan belum bertemu, juga tidak menjaga diri.Nyeri. Cemburu. Itu lah dua kata menggambarkan hatiku sekarang. Aku menyesal dulu terlalu bebas dan berpacaran. Aku takut Gus pun berlaku hal yang sama di masa lalu.Pria yang sudah mengangkut koper-koper dari bagian bagasi itu mendekat. Sedikit pun tak tampak lelah di wajahnya. Kenapa binar selalu menghias wajah tampanmu, Gus? Belum pernah sekali saja terlihat gurat beban di sana.Yah, aku pasti salah paham. Gusku tidak mungkin seburuk aku. Kutekan prasangka itu kuat-kuat. Meski nanti ada waktuny
"Kapan giliran saya?" tanyaku pada PJ acara."Setelah ini, Gus. Selesai Mbak Liana Anindita." Lelaki yang membawa kertas di tangan itu menjawab."Hem." Aku manggut-manggut. "Memangnya Mbaknya itu siapa?" Penasaran saja karena bisa sampai diundang di acara sebesar sekarang. Seminar mahasiswa yang melibatkan beberapa kampus sebagai peserta. "Beliau dosen di Universitas Islam. Diundang jadi pembicara karena mendapat nilai comelaude saat lulus S1 di sini.""Waw, S1 jadi dosen?""Bukan, beliau sudah S2. Direkomendasikan langsung oleh profesor saya jadi dosen di Universitas Islam.""Memangnya S2 di mana?" "Sastra Arab di Malaysia." "Wah jauh." Entah kenapa aku jadi banyak bertanya. Padahal tak ada ketertarikan sedikit pun pada gadis itu, walau tadi sempat berpapasan sebentar. Gadis yang terlihat manis dengan hijab lebarnya. Perempuan bernama Liana itu terus bicara di atas podium. Sejak memperkenalkan diri aku sama sekali tak tertarik atau pun peduli hingga dia mengulas sebuah pernyataa
"Memangnya kalau kakak ikut, Li mau kasih apa?" godaku pada gadis cantik di ujung telepon, yang akhir-akhir ini selalu bersikap manja."Em, apa ya ....? Kakak mau apa? Bakso?""Gak lah. Bosen. Mau yang lebih dari itu ....""Apa ya? Semuanya udah aku kasih ke Kakak lho. Sampe bingung mau kasih apa lagi?" "Masa? Kakak ngerasa belum semua, deh. Kakak maunya yang lebih lho.""Hem. Mulai deh .... tolong dikondisikan ya pikirannya. Tidak ada kemesuman di antara kita." Li seolah tahu apa yang kupikirkan. Ini gara-gara Doddy yang manas-manasin tempo hari. "Cewek ... sebelum lo tiduri, dia bakal campakkan lo setelah dapat pria yang lebih baik!" ucapnya meremehkan. Pemuda itu jauh lebih muda dariku, tapi otaknya ngeres luar biasa. Gara-gara itu aku jadi sering iseng godain Li untuk diajak ML."Ya, udah. Pokoknya ikut aja. Hang out kali ini bakalan seru, karena Liana Anindita yang jadi peje-nya.""Yah, okelah apa sih yang nggak buat Li.""Janji?!""Ish kayaknya gak bisa banget ya jauh-jauh da
Langkahku perlahan memasuki kamar dengan ornamen klasik. Menapaki deretan keramik kotak besar yang berkilau sepanjang ruangan. Perabot mewah juga berjajar di sana. Dari sini semua orang akan tahu bahwa Fay berasal dari keluarga kaya, papanya juga seorang pria keturunan Belanda. Mereka punya banyak bisnis yang dijalankan oleh orang lain.Pernah suatu ketika saat bersama, aku mengejek Fay karena meminta ditraktir bakso di warung favorit kami."Ye ... masa anak orang kaya minta traktir!" Dia hanya tertawa gemas. Tak jarang rekeningku tiba-tiba gendut, dan ketika aku menanyakan, Fay seringkali berkilah.Pria itu seringkali bersikap sederhana. Tak menampakkan sedikit saja kesombongannya karena memiliki harta lebih. Hem, kenapa Fay kembali mengisi ingatan? Ini pasti karena cemburu yang kurasakan lantaran tahu tentang masa lalu Gus, lalu sisi burukku membalas dendam dengan mengingat kebaikan Fay. Seolah lupa, pria itu yang mendatangkan prahara dalam hidupku.Kututup pintu kamar setelah se