Bab 6
Enam bulan telah berlalu, Niara masih berusaha mencari Devan bersama Rahel. Namun, tidak ada kabar yang mereka temukan. Meskipun demikian, tidak menyurutkan semangat Niara untuk terus mencari keberadaan Devan. Ratna juga sudah melahirkan bayinya, semua keperluan bayi diurus oleh Niara setiap hari, bahkan membuat Niara berangkat ke kantor dalam keadaan mata sayu karena kurang tidur. Suara cicak terasa menyengat gendang telinga, tanda sepi sedang menemani. Di rumah Niara sedang berdua dengan bayi Ratna dikarenakan para iparnya sedang bepergian liburan ke luar negeri setelah uang warisan dari Devan cair. “Mas, kamu di mana?” gumam Niara yang hampir setiap hari dia lontarkan. Dering telepon berbunyi, Niara gegas mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. (Bu, maaf mengganggu waktu anda malam-malam begini. Saya mau berkabar jikalau besok saya tidak bisa masuk kerja dikarenakan ibu saya di kampung meninggal dunia, jadi saya harus pulang dengan segera. Besok akan ada manajer senior yang akan menggantikan saya menjemput Ibu) (Innalillahi wainnailaihi roji’un. Baik, Ruben. Semoga amal ibadah Ibu kamu diterima oleh Allah) (Aamiin, terima kasih atas doanya, Bu) Niara menyudahi panggilan teleponnya, ia kembali melamun sembari memikirkan bagaimana dia besok hari, di mana kiranya ia bisa menitipkan bayi Ratna yang tidak mungkin Niara bawa ke kantornya. Ting-nong... Suara bel berbunyi Niara terperanjat. “Siapa yang datang malam-malam begini?” Berjalan cepat menuju tivi CCTV untuk melihat siapa yang sedang memencet bel di luar. “Irham?” Niara gegas berlari menurununi anak tangga menuju pintu utama. Irham adalah suami Ratna, ia adalah seorang navigator kapal tanker yang baru bisa pulang ke rumah hingga beberapa bulan sekali. Ia meninggalkan Ratna tepat sembilan bulan yang lalu saat Ratna baru dinyatakan hamil oleh dokter. Niara dengan cepat membuka kunci pintu kemudian masih berlari menuju pagar yang juga dikunci. Sesampainya di pagar rumah, Irham sedang berdiri memunggungi Niara dengan ponsel yang menempel di telinga. “Irham,” panggil Niara kepada suami dari adik iparnya. Irham membalikan badan. “Niara, apa benar Ratna sudah melahirkan bayi kami?” tanyanya segera. Niara mengangguk memberikan jawaban. Dia masih belum mengetahui kabar tentang kematian Devan dikarenakan kapal tankernya tiada tersedia wifi kapal atau satelit komunikasi sehingga tidak bisa berkabar padanya. “Di mana, di mana anakku?” “Silakan masuk! Adzando ada di dalam.” Niara mempersilakan. “Adzando, jadi namanya Adzando.” Irham merasa sangat bahagia, setiap hari ia selalu memikirkan istri dan bayi dalam perut Ratna. “Di mana Ratna, Ra. Dia sudah tidur?” Sembari berjalan. Niara kebingungan harus menjawab apa. Niara berpura-pura tidak mendengar saja dan mengarahkan Irham ke kamar yang terdapat Adzando yang sedang teridur. Irham bergegas mendatangi, ia menatap bayinya dengan tatapan penuh cinta namun dia tidak segera menyentuh bayinya dikarenakan dia belum membersihkan diri setelah dari perjalanan. “Niara, di mana Ratna dan Devan, kenapa Adzando tidur di kamar kalian?” Irham mulai menghujam Niara dengan pertanyaan. “Sebaiknya kamu mandi dulu, Ham. Kamu kan baru dateng dari perjalanan. Setelah itu baru kita bicarakan.” Irham tak membantah atau kembali menambah pertanyaan, ia pun berjalan menuju kamar mandi dan meninggalkan Niara bersama Adzando yang masih tertidur pulas. Di saat Irham melenggang menuju kamar mandi, Niara juga melenggang menuju dapur untuk membuatkan minuman hangat untuk Irham yag pastinya lelah setelah melakukan perjalanan yang jauh. Niara tak begitu fokus karena ada beberapa hal yang mengganjal hati dan pikirannya, mengerjap kejadian silam yang telah berlalu kian tahun yang lalu. Irham adalah teman sekampung Niara dulunya, dia adalah sosok laki-laki yang pernah meminang Niara di saat Niara masih belum bertemu dengan Devan, namun waktu itu Niara belum ingin menikah dan tidak menaruh rasa apapun pada Irham. Sehingga keduanya sama-sama merantau ke kota untuk melanjutkan pendidikan masing-masing dan terpisah beberapa tahun lamanya. Tapi, takdir mempertemukan mereka kembali dengan membawa jodoh masing-masing. “Sepi banget, Ra.” Irham sudah selesai mandi dan mengganti pakaian. Niara terhenti dari lamunan masa lalunya. “Em, iya Ham. Ini, minumlah dulu!” Menyodorkan segelas kopi jahe hangat kepada Irham. Irham tersenyum seutas lalu meraih segels kopi tersebut dan perlahan menyeruputnya. “Oh iya, Ra. Kamu belum jawab pertanyaanku.” Mengingatkan. Niara mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Bersiap untuk memberikan jawaban. “Semenjak kamu pergi, beberapa hal telah terjadi di rumah ini. Mas Devan sudah tidak ada.” Hampir saja kopi yang berda di mulut Irham tersembur ke luar dari mulutnya. “Sudah tidak ada, maksdu kamu?” “Mas Devan sudah meninggal karena kecelakaan mobil tunggal enam bulan yang lalu.” Irham menepuk jidatnya tak percaya. “Turut berduka cita ya, Ra. Maaf, aku benar-benar tidak tahu dan tidak ada yang memberitahuku.” “Tidak apa, Ham. Aku ngerti kok jika di laut tidak ada signal.” Irham melanjutkan menyeruput kopinya. “Terus, Ratna di mana?” “Ratna... Anu, Ratna ke luar negeri bersama Kak Erwin dan Kak Lia.” “Apa, ke luar negeri? Dia baru beberapa hari sehabis melahirkan dan anaknya dia tinggalkan begitu saja sama kamu? Keterlaluan kamu Ratna.” Irham berdiri, matanya memanans dan dia gegas merogoh ponselnya kembali. Niara panik, dia yakin jikalau Irham akan menelpon Ratna dan memarahinya. “Jangan, Ham. Aku mohon jangan!” Irham mengurungkan niatnya, ia heran mendapati reaksi Niara yang tidak biasa baginya. “Ada apa, Ra?” tayanya. Berbagai prasangka timbul di benak Irham, ia mentap Niara dengan pandangan menyelidik. “Apa Ratna menyakitimu lagi?” tebak Irham setela mendapati luka lebam di bagian pergelangan tangan Niara yang terbuka karena tadinya ia baru selesai mencuci gelas. Niara tak bergeming, jemarinya meremas baju bagian lutut, kemudian perlahan kepalanya menggeleng pelan. “Ra, jangan bohong sama aku. Kita kenal sejak kecil, aku sudah sangat tau mengartikan ekspresimu. Kamu jangan takut, sekarang ada aku di sini pasti aku akan membelamu.” Mencondongkan wajahnya ke arah Niara. “Kita buat laporan ke polisi agar mereka yang tega menyakitimu bisa diamankan.” Niara terperanjat. “Jangan! Jangan libatkan polisi dalam hal ini. Lagipula, Ratna itu istrimu dan dia baru saja melahirkan anak kalian. Kasian Adzando jika tumbuh tanpa sosok ibu.” “Ra, maafkan aku. Andai saja Ratna tidak tahu jikalau dulu aku pernah melamarmu. Pasti dia tidak akan sejahat ini sama kamu.” Tiba-tiba Irham berlutut di hadapan Niara. Niara bingung, ia segera meminta Irham untuk bangun. Apa yang Irham katakan memang benar, Ratna membenci Niara setelah tahu jikalau dulunya Irham pernah melamar Niara. Irham memang masih sangat mencintai Niara meski dalam keadaan keduanya sudah menikah dan hidup masing-masing, dia juga kerap kali membandingkan sikap Ratna yang pemalas dengan Niara. Itulah mengapa Ratna sangat membenci Niara dan ia ingin Niara tak lagi hadir dalam kehidupannya dengan Irham. “Ham, sudah. Masalalu biarlah berlalu. Tidak perlu dikenang lagi.” “Kamu benar, Ra. Tapi sebaiknya kita harus memberikan efek jera pada mereka.” “Aku ngerti, Ham. Makasih sudah peduli padaku. Tapi aku punya caraku sendiri. Biarlah permainan ini tetap berjalan seperti ini adanya karena aku belum temukan waktu yang tepat untuk melakukan pembalasan, aku masih sangat memerlukan mereka sekarang.” Irham menaikkan sebelah keningnya. “Maksud kamu, rencana apa?” Niara gelagapan. Dia tidak sadarkan diri atas apa yang telah ia ucapkan. “Tidak ada, Ham. Bukan rencana apa-apa. Permisi, sudah jam segini aku harus segera tidur karena besok pagi harus masuk kerja.” Ada tanya dan keanehan yang mengganjal di hati Irham saat ini. Namun, dia memilih untuk tidak membahas lebih dalam lagi dikarenakan dia mengerti jikalau Niara tak ingin rencananya diketahui.Suara ponsl berdering, salah seorang lelaki berbadan kekar itu merogoh ponselnya yang berada di dalam saku celananya. “Hallo, Tuan.... Baik, kami akan segera ke sana.” berbicara pada ujung telephone. “Cepat, Tuan meminta kita berdua ke markas!” ujarnya mengajak teman di sampingya. “Tapi, gimana dengan dua tawanan Tuan? Siapa yang jagain mereka berdua di sini?” tanya temannya. “Ini perintah Tuan, kamu mau kena amuk sama Tuan?” “Enggak lah. Cepatan kita berangkat!” Mereka berdua pun bergegas pergi meninggalkan Niara dengan Devan yang masih sibuk berbincang bersama. Tak berapa lama, selang beberapa menit kepergian kedua penjaga itu, Devan pun mengajak Niara untuk keluar dari rumah milik Rizwan. “Sayang, ayok kita pergi dari sini! Jangan lepasin tangan aku ya!” titah Devan memegangi tangan Niara dengan erat. “Tapi, Mas. Bukannya di depan banyak penjaga?” Devan memegangi pipi Niara dan menatapnya dengan dalam. “Sayang, kamu tenang aja. Di depan enggak ada siap-s
Getar di dada Niara tak membuat Niara gentar, ada rasa senang dan takut bercampur menjadi satu. Perlahan ia mengikuti langkah Erwin yang berjalan di depannya. Erwin, kakak ipar yang sempat hendak melecehkannya itu membawa kabar yang sangat tidak Niara duga. Benarkah, jika apa yang selama dua tahun belakangan ini yang dia lakukan pada Niara hanyalah dusta belaka? Jarak kamar dengan ruangan tengah lumayan memakan beberapa langkahan kaki, rumah megah ini membuat jarak tiap ruangan lumayan berjarak. Niara telah sampai di ruangan tengah, ia segera menatap tengkuk kepala belakang pria yang sedang duduk di sofa membelakanginya. Ada tanda di kepala itu, tanda yang dulunya sangat Niara kenali. "Mas Devan," gumam Niara. Seketika, tengkuk kepala itu bergeser, membalikkan kepalanya kepada Niara. Kali ini Niara benar-benar bahagia, sosok yang selama ini ia rindukan sekarang berada di depan matanya. "Ara," ucap Devan dengan bibir yang bergetar. Ia berdiri, dengan mata yang berkaca-kaca
Lelaki itu masih lekat menatap Niara yang hampir kehabisan napas. Ia masih tak percaya dengan apa yang menghadang di hadapan matanya. Senyuman terukir dari bibir laki-laki itu, ia kemudian berdiri dan bertepuk tangan dengan riang gembira. "Niara, kenapa kamu menatapku begitu? Kamu nggak menyangka kalau kita akan ketemu lagi?" ucapnya berjalan mendekat ke arah Niara yang terdiam mematung. Rizwan juga bangkit dari kursinya. Ia dengan cepat meraih jemari lelaki itu yang hampir saja memegangi dagu Niara. "Syut... Jangan kamu sentuh calon pengantinku, Win!" titah Rizwan. Niara menatap lekat kepada Rizwan. Seolah memberikan pertanyaan kepadanya. "Kenapa, Ra? Kamu nyari siapa?" tanya Rizwan mengolok-olok. Niara segera memegangi kerah baju Rizwan. "Di mana Devan? Di mana suamiku Devan?" teriak Niara kepada Rizwan. Lelaki yang berada di antara neraka itu menarik Niara, menjauhkan dari Rizwan. "Lepaskan!" Berontak Niara. "Erwin, bawa dia ke kamarku!" titah Rizwan memperbaiki
Seorang lelaki berbadan kekar yag sedari tadi menunggu di depan pintu ruangan VVIP dengan tegas meminta Niara untuk ikut bersamanya atas perintah dari Rizwan. Niara tak menyanggah, ia menyatjui perintah dan mengikuti lelaki tersebut. Rahel menahan tangan Niara dengan cepat agar langkahnya terhenti. “Ra, janga!” pinta Rahel sembari menggelengkan kepalanya. Niara perlahan melepaskan tangan Rahel darinya. “Kamu jagan khawatir, Hel. Aku enggak akan kenapa-napa kok. Aku janji akan rutin hubungin kamu.” Niara beralih kepada Aisyah yang terdiam di pojok. “Aisyah, aku minta tolong nitip Rahel sama Alex ya ke kamu. Jaga mereka!” pinta Niara dengan sangat penuh permohonan. Aisyah menjawab dengan anggukan lembut. “Terima kasih banyak, Aisyah.” Memeluk Aisyah dengan erat. “Tapi, gimana dengan kamu, Mbak?” tanya Aisyah perlahan. “Sudah, jangan khawatirin aku. Aku pergi!” Niara yang sudah kembali dipanggil oleh lelaki itu segera meninggalkan ruangan. Ia mengikuti langkah lelaki itu d
Mendapati Ekspresi Niara, Aisyah gegas mengambil ponselnya yang jatuh ke lantai. "Mbak, ada apa?" "Kenapa Rizwan?" ucap Niara. 'Aisyah, Aisyah. Kamu mau bantuin mereka?' Suara dari balik telepon itu menarik perhatian Aisyah. "Pak Rizwan," ucapnya gegas menempelkan ponselnya ke telinga. 'Pak, kenapa bisa ponsel Pak Van sama Bapak? Pak, saya perlu bicara dengan Pak Van.' Aisyah mulai takut dengan Rizal setelah mendengar pernyataan dari Niara dan Rahel bagaimana bejatnya dia. 'Berikan kembali pada Ara, aku mau ngomong sama dia!' Aisyah menurut, segera memberikan ponselnya kembali kepada Niara. "Mbak, Pak Rizwan mau ngomong." 'Ara, apa kamu tau orang yang sedang kamu hubungi ini? Dia adalah orang hang selama ini kamu cari...,' ucap Rizwan. 'Bicara!' ujarnya menyuruh seseorang. Niara terdiam. Menunggu... 'Ara, ini aku,' ucap dari balik telepon, suaranya terdengar susah payah. 'Mas Devan,' teriak Ara histeris. Meskipun sudah sangat lama tidak mendengar suara Devan, Niar
'"Apa, menikah denganmu?" Niara berdiri, menggertak meja. "Enggak!" lanjutnya. Bukan hanya sampai di situ, Niara juga menumpahkan isi minumannya kepada Rizwan. Bukannya balik memarahi, Rizwan hanya tersenyum menanggapi Niara. Ia kembali merogoh ponselnya, menelpon seseorang dan ia berbincang dengan ponselnya. Napas Niara naik turun, ia masih berusaha mengolah emosi. "Di mana Rahel, Ra? Bawa dia ke sini! Aku akan serahkan Alex padanya." Rahel pasti sudah mendengar apa yang Rizwan katakan. Entah benar atau tidak ucapan Rizwan, yang pasti Niara belum sepenuhnya mempercayai. Niara masih berhati-hati, terlebih dengan kebaikan hati Rizwan saat ini. 'Rahel, kamu di mana?' tanya Niara pada earphone yang terpasang. 'Aku menuju ruangan, Ra. Secepatnya sampai.' Ceklek... Pintu terbuka, memperlihatkan Rahel yang gelagapan. Dia seperti habis berlari kencang. "Di mana anakku?" ucap Rahel segera. "Sabar, Hel. Aku akan penuhi janjiku karena kamu sudah membawa Ara padaku. Seben