Ratna sedang mondar-mandir di ruang tengah. Dia merasa tidak tenang setelah kepergian Niara ke kantor karena rasa takut yang menghantuiya.
“Ratna, kamu itu kenapa sih dari tadi mondar-mandir?” tanya Lia santai duduk di depan tivi. “Aku khawatir, Mbak. Gimana kalau si Lusuh itu menceritakan apa yang terjadi di rumah ke orang-orang? Bisa mamp*s kita,” jawab Ratna yang tidak berhenti mondar-mandir. Lia nampak santai menanggapi. “Kamu jangan khawatir, Ratna. Si Lusuh itu nggak bakalan berani cerita ke siapa pun, aku yakin seratus persen mengenai hal itu.” Lia tersenyum licik. Ratna pun gegas duduk di samping Lia dan ia mendekatkan telinganya karena penasaran mengapa Lia se-percaya diri itu. “Kenapa Mbak Lia seyakin itu?” tanya Ratna melotot. Lia memiringkan bibirnya meremehkan. “Karena aku punya kuncinya,” jawabnya. “Kunci?” Ratna semakin penasaran dibuat Lia. “Benar, kunci yang bisa membungkam Niara untuk selamanya.” “Apa itu, Mbak?” Ratna antusias. Lia menempelkan jari telunjuknya ke bibir Ratna. “Syuutt!” desis Lia. “Nanti pasti Mbak kasih tahu, tapi untuk saat ini tidak dulu. Kamu fokus buat lahiran dulu aja.” “Tapi, Mbak.” Lia beranjak dari ruang tengah menuju kamarnya, membuat Ratna mat* penasaran, jika dipikir ulang memang benar bahwa Niara sangat menurut pada Lia dan Lia juga terlihat tahu banyak tentang Niara bahkan lebih dulu dari Ratna yang tinggal bersama Niara, padahal Lia baru saja datang dari Australia. Setelah memasuki waktu istirahat makan siang, Niara dan Rahel pergi bersama menuju tempat pemakaman. Untuk pertama kalinya dia menziarahi gundukan tanah dengan nisan yang tertulis rapi nama suaminya. “Ra, kamu kuat?” tanya Rahel kepada temannya yang nampak menempelkan telinganya ke gundukan tanah, ia juga nampak menarik napas dan menutup matanya. “Ra,” panggil Rahel sedikit khawatir. Niara kembali membuka matanya kemudian seutas senyuman mengembang di bibirnya. Membuat Rahel merasa heran dengan tingkah temannya itu. “Ra, kamu oke kan? Nggak sedang kesurupan?” “Enggak lah, Hel. Ini tetep aku, Niara.” Niara tersenyum dan menaburkan bunga yang sudah dia bawa ke atas kuburan. “Terus, kenapa ekspresimu gitu?” Niara menatap Rahel yang berada di seberangnya. “Aku sekarang sudah ngerasa yakin seratus persen jika yang berada di dalam kuburan ini bukan Mas Devan,” celoteh Niara lancar. Mendengar pengakuan Niara, Rahel merasa semakin khawatir, ia gegas mendekati Niara dan menempelkan tangannya ke dahi Niara. “Kamu beneran nggak lagi sakit, kan? Kenapa omongan kamu ngelantur gini, Ra.” Niara menarik tangan Rahel dengan cepat. “Hel, aku beneran. Aku nggak ngelantur.” “Tapi... Oh, aku tau. Mungkin memang berat buat nerima kenyataan, Ra. Tapi aku yakin kamu pasti bisa kok secara perlahan nerima ini semua.” “Hel, aku beneran. Dia bukan Mas Devan, aku bisa ngerasain sejak waktu aku datengin dia waktu kejadian kecelakaan. Aku sama sekali nggak ada ngerasain hawa dari Mas Devan. Aku nggak ngerasain apa-apa.” “Tapi, Ra. Itu mustahil. Semua bukti merujuk pada Devan.” “Hel, dengerin aku. Apa kamu mau menyalahkan naluri seorang istri?” Rahel menjawab dengan gelengan kepala. “Maka dari itu, kamu bisa kan bantuin aku buat ngebuktiin ini? Biar aku nggak ngerasa penasaran lagi. Jika nantinya kenyataannya benar bahwa yang dikubur ini benar Mas Devan, aku janji nggak akan begini lagi. Tapi selama aku belum menemukan kebenarannya, sampai kapan pun akan aku cari Mas Devanku.” “Baik, Ra. Jika itu yang bisa bikin kamu tenang dan bahagia, aku akan bantu kamu.” “Makasih, Hel. Kamu memang teman terbaikku Sejenak melepas rasa lelah, Niara harus kembali pulang ke rumah yang tentunya sudah bertumpuk pekerjaan yang harus dikerjakannya. Badan yang lelah tetap harus dipaksa mengerjakan pekerjaan rumah, ditambah cacian yang membuat telinga panas sudah kenyang bagi Niara. Prang... Suara gelas kaca jatuh ke lantai ditimpali dengan suara teriakan Ratna. Niara yang baru saja selesai mencuci piring kotor setelah mengepel seisi rumah tersentak, ia gegas berlari menuju dapur. “Niara baj*ngan!” teriak Ratna terdengar seantero rumah, membuat orang seisi rumah yang sudah tertidur pun terbangun. “Ratna, kamu nggak kenapa-napa? Kenapa nggak bilang aku aja kalau kamu mau minum. Aku baru selesai ngepel.” Niara menyapu pecahan gelas yang berhamburan. “Kamu sengaja kan biar bikin aku jatuh?” Lia dan Erwin juga datang karena terbangun dari tidur mereka. “Astaga Ratna, kamu kenapa?” “Dek, kamu nggak kenapa-napa?” Erwin panik. “Iya, Kak. Aku nggak apa-apa, untung cuman kepeleset dikit.” Ratna bangun dibantu oleh Erwin dan Lia. “Ini semua salah Niara, dia pasti sengaja bikin aku jatuh. Kan?” tuduh Ratna. “Astagfirullah, Ratna. Demi Allah aku nggak pernah berpikiran dan berniat seperti itu.” Erwin langsung saja menampar wajah Niara. “Kamu memang seekor hama!” “Mas, udah! Kalau pukulan kamu membekas di pipinya, akan sangat sulit bagi kita bersembunyi.” Lia menahan tangan suaminya yang sudah kembali mengayun mengarah ada Niara. “Tapi Sayang, dia bener-bener udah keterlaluan. Ini bukan yang pertama kalinya loh.” “Mas, sudah. Biar aku yang urus dia.” Lia pun menghampiri Niara dan ia menarik rambut Niara dengan keras sampai kepala Niara mendongak paksa. “Kamu Niara, jangan sampai kesabaranku habis. Kamu ingat kan apa yang akan aku lakukan kalau kamu membantah?” “I-iya, Mbak. Niara ingat,” jawab Niara susah payah. Mereka bertiga meninggalkan Niara sendirian di dapur yang sambil menahan sesak di dada, setelah berusaha menahan sesak beberapa saat, dia pun beranjak untuk mengerjakan pekerjaan lainnya yang mungkin akan selesai waktu lewat dini hari, tidur Niara hanya beberapa jam saja karena pagi hari ia sudah harus berangkat bekerja dengan memasang wajah bahagia. Setelah selesai mengerjakan semua pekerjaan, Niara masuk ke kamarnya, dia tidak segera tidur namun sibuk menyusun barang di dalam almari kayu, bukan hanya barang Niara namun juga barang-barang milik Devan yang dia sayangi yang hampir dibuang oleh para iparnya. “Mas, kamu dimana sekarang? Ara rindu, Mas,” ucap Niara sembari memeluk baju Devan. Apa yag bisa mengobati rasa rindu selain temu? Tentunya tidak ada. Begitulah yang Niara rasakan saat ini, sebuah rindu panjang uang tak berujung namun mempuni harapan yang dalam. Suaminya tercinta sudah dikabarkan meninggal dunia, tapi dia sendirian menolak kabar itu, tidak ada yang percaya dengan naluri seorang istri yang dia miliki, namun bisakah keajaiban itu benar terjadi? Tubuh Niara yang sudah lelah menuntunnya untuk memejamkan mata, semua anggota tubuhnya memerlukan istirahat meski hanya sebentar. Terasa baru saja matanya mengantup, suara alarm sudah memekak telinga menunjukkan jarum jam sudah mengarah ke angka empat subuh, Niara gegas bangun dari tidurnya. Ia tidak lepas dengan dapur, request masakan sudah tertulis rapi di depan pintu kulkas, menu yang berbeda-beda dan bermacam setiap harinya harus Niara sajikan. Belum lagi diminta untuk membuat jus, cemilan, minuman, pijat dan sebagainya. Bukan hanya perkara dapur, tapi juga dalam ranah tanaman di depan dan belakang rumah, belum lagi semua pakaian yag harus dia cuci, setrika dan lipat dalam almari.Mentari pagi menyusup pelan ke sela tirai putih yang bergoyang lembut diterpa angin. Di halaman belakang rumah, Niara duduk di bangku taman sambil menyiram tanaman kesayangannya. Di sebelahnya, secangkir teh hangat mengepul, menguarkan aroma menenangkan.Dari kejauhan, langkah kaki mendekat. Devan muncul dengan kemeja putih santai, wajahnya bersih, damai, jauh berbeda dari lelaki yang dulu pulang dalam luka dan kemarahan.“Aku pikir kamu masih tidur,” kata Niara tanpa menoleh.Devan duduk di sebelahnya. “Mana bisa tidur kalau istriku nggak di samping.”Niara tersenyum kecil. “Gombalmu pagi-pagi tetap saja.”Mereka terdiam sebentar, menikmati suara burung dan desir angin.“Niara,” Devan memecah keheningan, menatap istrinya lekat-lekat. “Kamu tahu... kadang aku masih merasa bersalah.”Niara menoleh, bingung. “Bersalah kenapa?”“Karena aku pergi terlalu lama. Karena aku membiarkanmu terluka di rumah yang seharusnya jadi tempatmu berlindung.”Niara menggeleng. “Kamu nggak pernah benar-ben
Kebenaran yang Tak Bisa DikuburLangit malam tampak mendung, angin bertiup pelan saat Devan duduk di ruang kerjanya, menatap selembar foto usang.Foto itu memperlihatkan dirinya bersama tiga pria lain—mantan kolega bisnis lama. Mereka dulu sahabat, kini dua di antaranya telah memusuhi Devan sejak ia memutuskan menarik semua sahamnya dan membentuk DPM Group sendiri.Dan salah satunya adalah pria yang baru saja muncul kembali lewat ancaman: Juan Arvanio.Beberapa hari setelah konferensi pers, Devan menerima informasi dari orang kepercayaannya bahwa Juan—pria licik yang dulu hampir membuat perusahaan bangkrut—telah kembali ke Indonesia. Juan yang dulu pernah mengancam akan “menghilangkan” Devan karena dianggap mengkhianati kesepakatan bisnis kotor mereka.Kini ia kembali. Dan tak hanya itu, dia tahu tentang Niara.Sementara itu, Niara sedang berbelanja bahan makanan di supermarket. Ia memilih buah dengan santai, tak sadar bahwa ada mata yang mengikuti dari kejauhan.Seseorang dengan ja
Rumah Devan dan Niara terasa lebih tenang sejak konferensi pers. Udara di dalamnya tak lagi terasa menyesakkan seperti dulu. Tapi di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang menggantung di udara—seperti bayangan yang belum sepenuhnya pergi.Pagi itu, Niara sedang merapikan meja makan saat suara pintu depan diketuk.“Mas, ada orang,” serunya.Devan menghampiri. Begitu membuka pintu, ia menemukan seorang kurir berdiri dengan amplop cokelat besar di tangan.“Untuk Pak Devan.”Setelah menerima dan menandatangani bukti serah terima, Devan membawa amplop itu ke ruang tamu. Tatapannya tajam saat membuka isinya.Niara mendekat. “Surat apa itu?”Tak ada suara.Devan hanya memegang selembar kertas putih dengan tulisan tangan:“Kami tahu siapa yang membuatmu koma. Dan mereka belum puas.”Niara memucat. “Apa maksudnya... ini ancaman?”Devan menatapnya lama, lalu menatap kertas itu lagi.“Sepertinya... permainan ini belum selesai.”Sementara itu, di rumah yang dulu mereka tinggali bersama, Ratna se
Hotel bintang lima di pusat kota sore itu tak seperti biasanya. Lobi dipenuhi awak media, kamera, dan suara bisik-bisik penasaran. Tak ada yang benar-benar tahu siapa yang akan muncul. Tapi satu nama kini memenuhi berita sejak pagi:“Devan Pemilik DPM Group– Hidup atau Tipu Daya?”Ruangan konferensi telah disiapkan dengan megah. Latar panggung menampilkan logo DPM Group dalam warna emas mengilap. Beberapa petinggi perusahaan terlihat duduk di barisan depan, namun kursi di tengah panggung masih kosong.Dan kemudian, tepat pukul 17.00, pintu utama terbuka.Langkah kaki berderap masuk—pelan tapi mantap.Devan berjalan ke depan, mengenakan setelan jas abu gelap yang membentuk siluet percaya diri. Di sampingnya, seorang wanita dengan gaun putih sederhana namun elegan, berjalan tenang di sisinya.Niara.Kilatan kamera langsung menyambar seperti petir. Bisik-bisik tak percaya meledak.“Itu istrinya?”“Yang katanya Cuma pembantu rumah tangga?”“Serius? Cantik banget, tapi kelihatan lugu...”
Pagi baru saja menjingga ketika Niara terbangun, namun Devan sudah tidak ada di sebelahnya. Sejenak ia mengira semuanya hanya mimpi—kehadiran Devan, keberaniannya, dan perlindungan yang kini mulai membungkusnya perlahan. Tapi suara pintu terbuka membuyarkan lamunannya. “Mas?” panggil Niara pelan. Devan masuk, mengenakan kemeja lengan panjang berwarna navy dan celana bahan hitam. Di tangan kirinya, ia memegang sebuah map coklat tebal. “Maaf, aku bangunin kamu?” tanyanya sambil duduk di tepi ranjang. Niara menggeleng. “Kamu dari mana?” “Ketemu seseorang. Sekalian ambil ini.” Ia menunjukkan map itu. “Ada beberapa hal yang aku pikir kamu berhak tahu sekarang.” Niara menatap map itu, lalu memandang wajah suaminya. “Mas... kamu sebenarnya siapa?” Devan menatap istrinya dalam-dalam. Mata itu, mata yang dulu begitu jernih saat ia menikahi Niara secara sederhana di masjid kecil, kini penuh luka yang tak semestinya ada. “Aku Devan, suamimu,” jawabnya pelan. “Tapi aku juga Deva
Malam itu, Niara duduk di teras belakang sambil memeluk lututnya. Angin berembus lembut, membawa aroma bunga kamboja dari pekarangan, tapi hatinya masih belum sepenuhnya tenang. Sudah bertahun-tahun ia dianggap tak lebih dari pelengkap rumah tangga orang lain. Kini, dalam waktu kurang dari dua hari, segalanya terasa berubah begitu cepat—tapi perubahan itu terasa seperti mimpi. “Sayang.” Suara berat itu membuatnya menoleh. Devan datang membawa dua cangkir coklat hangat. “Mas bikinin buat kamu. Aku masih ingat kamu selalu minum ini tiap malam waktu kamu susah tidur.” Niara tersenyum, walau matanya masih menyimpan lelah yang panjang. Ia menerima cangkir itu dengan dua tangan. “Terima kasih, Mas.” Devan duduk di sebelahnya, menatap langit gelap yang mulai bertabur bintang. “Maafin aku, Niara. Aku ninggalin kamu di rumah ini terlalu lama. Aku kira... kalau aku jauh, kamu akan lebih tenang. Aku nggak nyangka mereka setega itu padamu.” Niara hanya diam. Ia bukan tak