Share

Bab 3: Mencoba Mendekat  

Bab 3: Mencoba Mendekat

Aku berpikir keras sejak semalam, bahkan setelah salat subuh tenang tidak ada bersamaku. Ismi bahkan belum membalas pesan yang kukirimkan sejak semalam untuknya. Terpaksa, aku mencoba mengintip dari balik jendela, berharap ada siluet Ismi yang tercetak dari kamarnya.

Nihil! Kamar Ismi gelap gulita. Tidak ada lampu yang menyala dan sepertinya gorden pun tertutup rapat.

Aku gelisah berat, khawatir dengan kondisi Ismi- istri cantikku. Bagaimana jika kutanyakan saja pada ibu soal Ismi, sekaligus izin padanya untuk kembali ke rumah mertuaku?

Tidak ingin mengulur waktu, aku turun dari ranjang. Gawai baru yang bisa dilipat itu kusembunyikan di dalam saku, harap-harap mungkin Ismi mengabari sebentar lagi.

Begitu aku membuka pintu, tercium aroma pekat dari nasi goreng yang dimasak ibu. Rupanya, ibu masih melakukan hal ini meski aku sudah menikah sekalipun.

“Bu?” panggilku seraya beranjak meninggalkan kamar.

T-shirt baru serta celana longgar menjadi temanku hari ini. Aku tidak ingin berpenampilan lusuh di depan Ismi dan mertua, bisa-bisa mereka illfeel padaku, padahal baru saja sehari menikah.

“Mau ke mana?” Ternyata bapak sudah mencegat lebih dulu.

Beliau datang dengan dua gelas kopi hitam serta koran edisi hari ini. Sorot matanya memerintah agar aku mengekori dirinya hingga ke teras belakang, melewati dapur yang sedang dijelajahi oleh ibu.

Sempat aku mengintip ibu memasak, rupanya jumlah makanan yang diaduk olehnya tidak sedikit. ingin sekali aku bertanya mau dibawa ke mana makanan yang cukup untuk sepuluh orang itu di pagi hari begini. Tapi, sekali lagi bapak mencegahnya. “Cepat, Za!”

Terpaksa aku menurut meski sebenarnya dongkol luar biasa. Inginku untuk bertemu Ismi kembali pupus di tengah jalan. Bapak malah memilih salah satu kursi rotan dan duduk dengan santai di sana. Padahal, bapak hanya memakai sarung dan kaos kutang yang membuat perut buncitnya terpampang.

“Duduk, kok bengong? Efek kebanyakan duit, Nak?” sindir bapak.

Beliau pasti mengungkit soal gajiku yang baru saja naik lagi bulan lalu. Ya, aku bekerja di sebuah perusahaan start-up di Kota Jogja dan dipromosikan sebagai kepala bagian alias manajer. Perusahaan itu belum lama ini viral hingga saham dan keuntungannya naik puluhan kali lipat.

Sebenarnya, alasan beliau begini karena bapak ingin aku jadi PNS pemerintahan. Beliau berharap agar impiannya dahulu bisa kuteruskan. Namun, durhakanya diri ini, bukannya mendaftar di PNS, aku malah melamar di perusahaan start-up yang meski berulang kali kujelaskan pada bapak dan ibu, mereka juga tidak akan paham.

“Bapak mau bahas apa?” sahutku seraya menempati kursi rotan kosong di sebelah bapak.

“Loh, apa Bapak sudah tidak bisa ngobrol lagi dengan anak sendiri? Kamu cuma menikah, bukannya ....”

“Tidak, Pak. Hanya saja ....”

“Jangan datang dulu ke rumah Ismi, tunggu keadaan mereda, ya?” Kebetulan bapak mengungkitnya, sekalian saja aku mendesak agar bapak bercerita yang sebenarnya.

“Oke, aku tidak akan ke sana dulu, tapi Bapak harus bicara dengan jujur, sebenarnya kenapa dengan Ismi, Pak?”

“Ismi baik-baik saja, Za. Apa yang kamu lakukan semalam sampai dia menjerit? Apa ... kamu paksa dia?” selidik bapak. Aku tercekat mendengarnya, mendadak saja bapak membuatku menjadi pria pemaksa yang tidak sabaran. “Tsk, tidak boleh begitu, Za. Kamu harus melakukan pendekatan, jangan langsung coblos!”

“Bapak, astaga!” Ibu menyahut lebih dulu.

Rupanya beliau sempat mendengar omelan bapak terhadapku. Saat aku berpaling, ibu datang dengan nampan yang berisi nasi goreng telur dadar yang harum. Wajahnya mendadak cemberut karena bapak asal bicara soal Ismi dan aku.

“Kamu makan di dalam saja, Za. Sekalian, bawakan rantang untuk rumah mertuamu, mungkin mereka belum sempat masak,” titahnya.

Kali ini giliranku yang mengernyit. Aku tidak paham alasan apa yang membuat ibu mertua tidak masak sarapan pagi ini. Apakah ini karena Ismi? Apa sesuatu yang buruk terjadi dengannya? Atau mungkin tubuh Ismi terluka parah karena tertindih olehku?

“Tidak perlu khawatir, mungkin mereka telat bangun saja itu, Za. Sana!” perintahnya sekali lagi.

Aku tidak ingin menunggu lebih lama dan langsung beranjak ke dalam. Di atas meja makan, ibu sudah menghidangkan sepiring nasi goreng dan telur dadar yang sama untukku, juga segelas air putih.

Aku jadi terbayang satu hal, saat nanti kami pindah ke Jogjakarta, maka seluruhnya akan jadi Ismi saja. Tidak ada ibu atau mertua, bapak atau bapak mertua, hanya aku dan Ismi berdua saja. Ah, perutku geli, serasa digelitik.

Buru-buru sarapan kuhabiskan, lalu menyimpan piring kotor di wastafel agar ibu tidak mengomel nantinya. Setelahnya, langsung aku melangkah dengan satu rantang tuwerwer ibu yang berat.

Seraya memanjatkan do’a tentunya, aku menyeberang jalanan kecil menuju rumah Ismi. Pagi sudah cukup terang saat aku berdiri di depan rumah istriku yang jelita itu.

Sejenak, aku mencoba menenangkan diri. Tidak boleh terlalu bersemangat, dan jangan lupa berdo’a agar sesuatu yang tidak diinginkan menjauh dari kami semua.

“Assalamualaikum?”

Kuhela napas, sulit sekali menyembunyikan fakta jika aku sangat bahagia beristrikan Ismi. Ingin rasanya kami cepat bertemu, mengobrol dan tentu saja memadu kasih berdua. Semoga ini adalah hari yang baik untukku dan Ismi.

“Assalamualaikum?”

“Waalaikumsalam, masuk, Za? Ibu dan bapak lagi di belakang!” sahut ibu mertuaku.

Rupanya pintu sudah terbuka dan aku bebas masuk kapan saja. Tentulah hal ini membuat semangatku kian membara. Bergegas aku melepas sandal, lalu melangkah ke dalam rumah usai mendorong perlahan daun pintu.

Saat wajah kutengadahkan, sosok yang kudamba sejak semalam itu sedang berdiri di sisi sofa. Dia memakai pakaian gamis lengkap dan jilbab panjang yang rapi. Wajahnya sudah berhias tipis, tidak lupa kaos kaki untuk menutupi dua kakinya yang seputih salju (betewe, aku sudah lirik semalam).

“Selamat pagi, Mas?” sapanya.

Aku merasa luruh ke lantai mendengar intonasi bicaranya yang super syahdu itu. Melihatnya mendekat dengan dua tangan terulur, rupanya Ismi mencoba menyalamiku dan langsung mengambil alih rantang itu.

“Mas sudah makan? Aku siapkan teh atau kopi?” tawarnya.

“Tidak perlu, aku sudah makan di rumah.”

Langsung aku mengekori Ismi, sedetik pun rasanya tidak ingin berpisah dengan gadis itu. Sampai kami tiba di dapur dan bertemu dengan ibu mertuaku yang baru saja datang dari kebun. Dia membawa buah naga merah yang segar, juga dua buah gambas berukuran besar.

“Sudah sarapan, Za? Bilang ibumu ... jangan repot-repot masak terus untuk kami.” Begitulah dia mengingatkan.

“Tidak masalah, Bu. Mereka senang melakukannya,” balasku lagi seraya senyam-senyum.

Padahal, sesaat lalu aku semangat sekali datang ke sini. Sekarang, sulit untuk bergerak atau bertindak. Khawatir apa yang kulakukan akan menambah permasalahan, apa lagi sampai melukai Ismi seperti semalam.

“Duduk, Mas? Biar aku siapkan camilan, roti bakar mentega dan segelas susu,” ujar istriku lagi.

Lekas aku duduk di kursi dan melipat dua tangan di atas meja bak anak kecil. Saat ini, pandanganku terpaut dengan Ismi yang sedang menuang susu ke panci lalu dipanaskan dengan api kecil. Dia juga memasukkan dua lembar roti yang sudah diolesi margarin ke pemanggang, seketika aroma gurih menyebar seisi dapur.

“Terima kasih, Ismi.”

“Tidak apa-apa, Mas. Sudah tugasku sebagai istrimu. Apa lagi, semalam aku melakukan kesalahan besar, maaf karena membuat Mas Reza terkejut,” ujarnya seraya berpaling.

Saat itu, aku menemukan sorot mata sedih darinya. Seperti sebuah penyesalan yang disembunyikan. “Aku paham, Ismi. Jadi kamu tidak perlu minta maaf.”

Beberapa menit setelahnya, Ismi mengantarkan susu panas dan roti panggang ke meja. Rupanya dia membuat dua porsi untuk kami nikmati bersama.

Sejenak aku memandangi piring keramik putih itu. Beginikah rasanya beristri? Ini piring pertamaku dari Ismi, serta gelas pertama yang dibuatkan olehnya. Jauh berbeda getarannya dibandingkan ibu di rumah. Sama-sama hangat, namun tidak serupa.

“Terima kasih, Ismi?” lirihku sembari menunggunya duduk.

Ismi bergegas menempati kursi yang biasanya diduduki ayar mertua. Dia menawarkanku selai untuk ditambahkan di roti, andai makanan itu masih cukup hambar terasa.

Aku buru-buru menggigit sepotong agar Ismi tidak repot bangun lagi untuk mengambil semua hal yang bisa menemani camilan kami. Sampai akhirnya, kudengar dari arah luar ayah mertua muncul dari kebun.

Dia memandangi kami berdua, terlihat bahagia sampai wajahnya yang kelelahan itu jadi cerah kembali. Wajar jika beliau begini, mengingat kami berdua adalah anak tunggal dari keluarga dan sudah mencukupi usia untuk berumah tangga.

“Wah, anak-anakku!” ujarnya seraya berlalu.

Ayah mertua mencuci kedua tangannya di wastafel, lalu dia kembali ke meja kami dan duduk di kursi yang berlawanan denganku. Seraya menghela napas, ayah mertua memandangi kami berdua. Sorot matanya seolah berkata jika ada banyak hal yang ingin dia bicarakan.

“Jadi ... kapan kalian akan ke Jogja?”

“Jogja?” balasku.

“Iya, ibumu bilang cuti menikahmu tidak panjang karena kamu sudah menghabiskan banyak cuti saat libur kemarin,” sahutnya.

Aku mengangguk dengan ucapan beliau, karena memang benar begitu adanya. Lalu, kupandangi Ismi, sepertinya dia tidak terkejut dengan perkataan ayahnya sampai hanya duduk tenang sembari menikmati sarapan.

“Iya, Pak. Sebenarnya aku harus kembali, tapi karena kami baru ....”

“Ya, tidak apa-apa. Sana balik kalian, jangan banyak-banyak liburnya!” desak ayah mertua yang membuatku terkejut.

“Aku bisa mengajukan ....”

“Tidak apa-apa, bawalah Ismi ke Jogja sekalian, ya? Kalian kan sudah menikah, tidak boleh terpisah lagi. Paham, ya?” desaknya sekali lagi.

Aku terpaksa mengiyakan permintaan ayah mertua. Jika sudah begini, bukankah inginku bersama Ismi jadi lebih mudah ke depannya?

“Baik, Pak. Besok kami akan pulang,” balasku dengan senyuman.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status