Bab 2: Tangisan Ismi
Aku menekan knop pintu kamar kayu berwarna coklat kemerahan itu saat suasana rumah masih begitu meriah. Terdengar dari arah luar orang tua kami mengobrol senang hingga mereka tidak akan punya waktu menggodaku yang akan masuk ke kamar pengantin.
Jujur saja, jantungku berkejaran hebat mengingat di dalam kamar ini ada Ismi yang mungkin saja menunggu diriku. Atau kabar terburuknya dia sudah tertidur di ranjang pengantin kami.
Ah ... padahal aku laki-laki, tapi tetap saja tidak mampu meredam bahagiaku sendiri. Bahkan, ingin sekali kuumbar ke dunia soal Ismi yang sangat jelita dan salihah itu. Berhasil menikahinya bak memenangkan pertandingan terbesar sejagat raya.
Aku yakin benar, sebelum pulang ke desa, Ismi pastilah sudah menerima banyak pinangan di usianya yang sudah dua puluh enam. Mungkin, lamaran-lamaran itu tidak ada yang bersambut karena aku belum bertemu dengannya.
Wah, memikirkannya saja sudah membuatku terlalu bersemangat sampai lupa mengucapkan salam pada gadis jelita itu. Tersadar aku sudah melangkah ke dalam ruangan yang sama dengan Ismi. Disambut angin sejuk dari pendingin udara dan kamar beraroma furniture baru.
Kutemukan wajah kaget Ismi yang sedang duduk di atas sebuah kursi bundar, dia gugup hingga tidak sengaja menyenggol botol pelembab wajahnya di atas meja rias. Bahkan bagi perempuan mana pun hal itu pasti menyakitkan jika melihat skincare tumpah tidak bisa dipakai.
“Oh? Mas ....” Ismi bersuara. Dia buru-buru bangkit dan membereskan kekacauan kecilnya.
Sedangkan aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari Ismi. Bagaimana bisa seorang perempuan secantik ini? Meski seluruh tubuhnya tertutup gamis dan jilbab panjang, aku tetap bisa melihat keindahan darinya.
“Ma-maaf, Ismi? Aku ....”
“Maaf, Mas. Kamarnya sedikit kecil,” balasnya dengan suara yang sangat pelan. Lalu, dia mengalihkan pandangannya dariku.
Saat itulah aku mengedarkan pandangan. Kamar Ismi memang berukuran lebih kecil hingga perabotan yang kuhadiahkan untuknya membuat ruang gerak Ismi jadi terbatas.
Terlalu bersemangat saat membeli perabotan kamar, aku bahkan tidak mempertimbangkan ukuran kamar Ismi. Apa lagi, ibu dan bapak langsung setuju saat kutunjuk satu set perabotan minimalis berwarna putih.
“Tidak masalah, Ismi.”
Lalu, kami berdua kembali hening. Gadisku memalingkan muka setelah melirik sejenak. Dia memilin jemarinya, dan tidak berhenti menoleh ke segala arah.
Aku ikut melakukan hal yang sama. Melirik jendela yang ditutupi gorden abu-abu, atau rak gawang yang berisi jilbab dan beberapa tas Ismi. Tidak lupa ke arah meja riasnya yang dipenuhi oleh berbagai jenis skincare. Ya, wajar saja jika kulitnya sebening kristal. Orang tuanya pasti memberikan yang terbaik untuk anak tunggal mereka itu.
Jadi, aku tidak boleh kalah sama sekali. Jangan sampai keindahan Ismi memudar setelah menikah denganku.
“A-apa makanannya enak?” tanya Ismi yang mengusir keheningan di antara kami berdua.
Gadisku beranjak menuju ranjang. Dia duduk di tepinya seraya menekuk wajah ke arah lemari. Melihatnya begitu, aku tersenyum hingga dua lesung pipiku menyala terang. Ismi pasti begitu malu karena harus berbagi ruangan dengan seorang pria yang baru dikenalnya beberapa hari lalu.
“Iya, Ismi yang masak?” sahutku seraya beranjak menuju ranjang.
Aku mencoba mengikis jarak dengan Ismi demi mencairkan suasana. Perlahan, aku menempati sisi ranjang bersama Ismi, dan langsung menatap lemari agar kecanggungan tidak merajalela di antara kami berdua.
Tidak pernah pacaran, tidak terlalu dekat dengan perempuan dan selalu sibuk belajar lalu bekerja, aku hampir tidak punya pengalaman soal makhluk Allah yang ini. Tapi, bukankah ini adalah hadiah dari semua kesabaran itu? Aku menikahi gadis yang salihah dan cantik seperti Ismi.
“Berdua dengan ibu.”
“Ismi pandai masak, ya? Cantik juga!” pujiku seraya menyembunyikan senyum.
Ismi tersipu di sebelahku. Dia langsung memalingkan muka hingga tidak ada lagi obrolan selanjutnya di antara kami. Sepertinya, peluruku terlalu tajam sampai target tidak lagi mampu berkutik.
“A-apa sebaiknya ....”
“Mas, maaf, apa bisa tolong ambilkan guling di lemari paling atas, hanya ada satu di sini,” ujarnya tiba-tiba.
Ismi menunjuk ke arah lemari. Wajahnya yang cantik itu tersiram lampu hingga terlihat berkilauan. Sejenak aku terpaku, gagal mengontrol diri hingga hanya duduk memandangi Ismi. Berulang kali di dalam hati aku mengucap syukur karena berhasil mempersunting bidadari di dunia ini.
“Mas?” panggilnya lagi.
Kurasakan desir darah menyebar deras, sebagiannya menembus sampai ke otak. Berkat Ismi, aku tersadar meski kini dilingkupi rasa malu yang teramat dalam. Istriku pasti melihat bagaimana konyolnya diriku.
“Iya, sebentar.” Sembari mengusap wajah, aku beranjak dari ranjang demi memenuhi permintaan kecil dari sang gadis pujaan.
Meski susah payah karena tingginya lemari atas, aku berhasil menurunkan satu buah guling yang ternyata disusul bed cover. Aku berbalik demi menghindari benda besar itu, namun tubuhku yang terkejut tidak cukup kuat menahan bebannya hingga akhirnya terjatuh dan menabrak Ismi.
Tidak kusangka, malam pertama kami akan sekacau ini. Aku menindih Ismi dan mungkin juga menyakitinya.
“Aaarrgghh!” Kudengar Ismi memekik.
Tiba-tiba saja dia mendorong diriku dan langsung beringsut naik ke ranjang. Ismi menangis, menjerit, bahkan meminta pertolongan dari orang tuanya sendiri.
Saat aku hendak menanyai kondisinya, Ismi mengamuk. Dia melempariku dengan bantal lalu mendekap dirinya di sudut ranjang sendirian seperti ketakutan. Tangannya bergetar, Ismi tidak bisa berhenti menangis, dia juga memohon pengampunan dan meminta agar waktu diulur lebih dulu.
Semua itu terjadi dengan begitu cepat hingga aku terperangah dibuatnya. Ismi tiba-tiba saja berubah panik seperti kerasukan. Dia juga menolak untuk dibantu olehku dan terus menangis sembari meminta maaf padaku.
“Ismi?” Aku memanggil namanya.
Setiap kali hendak mendekat, Ismi mengangkat tangannya seolah sedang menghalangi hadirku. Dia meringis, menangis, dan memelas agar aku tetap berada di jarak yang aman dengannya.
Diambang kebingungan itulah, orang tua kami berdua melesak masuk. Mungkin mereka mendengar teriakan Ismi dan tangisnya di malam yang harusnya romantis ini.
“Astagfirullah!” Ibuku menjerit. Sedang ibu mertuaku langsung berlari dengan selembar selimut yang diambilnya dari ranjang kami.
Ismi dibalut olehnya. Dia segera memeluk Ismi dan terus menenangkan sang putri.
Aku terdiam menyaksikan itu semua. Malam pertama yang kukira akan berjalan manis ini, tiba-tiba saja berubah menjadi petaka yang dahsyat.
Hatiku bak disayat-sayat kala menemukan Ismi menolak hadirku. Dia meminta pada orang tuanya agar aku keluar untuk sementara waktu. Dia butuh sendiri dan menenangkan diri.
“Reza, mari keluar dulu, biar ....”
“Tidak, Bu! Aku akan menemani Ismi,” sahutku lantang.
Aku tidak ingin melangkah meski hanya setapak saja. Ismi adalah istriku, tanggung jawab yang sudah kuikrarkan di depan Allah Taala, lantas di mana letak berhaknya mereka memintaku keluar dari sini?
“Jangan keras kepala, Reza!” Ibu meneriakiku. Alhasil, aku yang selama ini tidak pernah mendengar suaranya melengking itu terkejut.
Kepalaku berpikir dengan cepat, jika ini berarti bukan hal sederhana. Ada sesuatu yang mungkin mereka rahasiakan dariku.
“Keluar sebentar, Reza ... Ismi hanya terkejut denganmu.” Begitulah Ibu Mertuaku membujuk.
Terpaksa aku menurut, terlebih ibu menarik perlahan dengan tangan lemahnya. Akhirnya, aku berada di luar kamar Ismi setelah bersamanya kurang dari satu jam.
Pintu kamar Ismi kembali ditutup rapat oleh Bapak Mertuaku, dan hanya terdengar tangisan Ismi yang mulai mereda perlahan. Sedang aku mencoba untuk memahami apa yang terjadi.
“Jangan terburu-buru, Ismi tidak terbiasa, Za!” Ibu menegurku lagi.
Kupandangi beliau, aku yakin benar ada sesuatu yang sebenarnya ditahan olehnya. “Bu ....”
“Malam ini, tidurlah di rumah, ya? Beri Ismi waktu untuk terbiasa dengan status barunya,” bujuknya lagi.
Kedua kalinya ibu menyeretku pulang. Dia membawa paksa meski sebenarnya aku tidak rela berpisah dengan Ismi.
Tapi, demi kebaikan Ismi dan kesehatannya, aku menurut. Kupandangi sekali lagi pintu kamar istriku, sepertinya tidak akan mudah. Pasti ada alasan kenapa Ismi jadi seperti ini.
--
Malam menggelap saat kutemukan hadirmu
Kau berdiri di peraduan, menatap ke arahku
Cantik, namun hanya bisa kugapai dalam angan
Sebab itulah, kuputuskan untuk terus tidur, berharap bangunku ada bersamamu
-@Bemine_3897
Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)“Ini bagaimana, maksudnya?” Aku berseru tanpa sadar pada ibu dan bapak.Keduanya serentak melirik ke arahku. Ibu membenarkan kerudungnya sedikit dan bapak langsung tersenyum.Beliau melipat tangan di dada, kemudian bersandar pada sofa. Ekspresinya seolah berkata jika dirinya telah melakukan sesuatu yang sangat besar hingga wajar untuk disombongkan.“Pak?” Aku memanggil bapak.Penasaran dengan apa yang telah terjadi sebenarnya, hingga bapak dan ibu memasang wajah berseri seperti ini. Jika memang mereka berdua tahu soal masa lalu, lantas kenapa tidak ada yang membicarakannya denganku dan Ismi?Selama ini, kami berdua saling terjebak di dalam labirin gelap. Aku membiarkan Ismi kesulitan sendirian, sedang diriku berusaha mencari jalan keluar sendirian.Andai saja saat itu aku benar-benar berhasil membebaskan diri, tentu saja saat ini kami tidak akan duduk begini. Mungkin, Ismi sudah kembali ke rumah almarhum orang tuanya, dan bapak serta ibu sedang memelu
“Mas, apa Bapak dan Ibu sudah tiba? Kenapa lampu di rumah ini menyala?” papar Ismi saat aku menghentikan laju mobil di depan rumah.Aku bergegas menengok. Benar dugaan Ismi, lampu rumah kami menyala, terlihat terang dari jendela dan lubang anginnya.Tapi, apa mungkin bapak dan ibu langsung berangkat setelah aku menghubungi mereka berdua? Bagaimana cara mereka masuk jika sudah tiba?“Mas, sepertinya begitu,” sambung Ismi.Perempuan itu menyentuh lenganku. Tangannya terasa dingin dan manik matanya bergoyang saat kuperhatikan. Sepertinya, dia gugup akan sesuatu hingga tidak bisa mengontrol tenang pada dirinya sendiri.“Ah, maaf!” ucapnya tiba-tiba.Ismi menarik tangannya dariku seperti terkejut. Tidak ingin mengubah suasana dan perasaannya, aku menahan gerak Ismi.“Jangan melepasnya, aku tidak akan pernah menolak lagi,” ingatku pada Ismi. Senyum
Bab 36: Jogja LagiMalam itu, untuk pertama kalinya aku dan Ismi menembus jarak yang selama ini menjadi sekat pemisah di antara kami berdua. Tidak ada lagi batasan yang mencekikku dan Ismi, menarik kami dari hubungan dalam dan manis yang seharusnya kami rajut sejak lama berdua.Kami telah berdamai, menerima dengan lapang dada segala permasalahan yang pernah menimpa. Melepas segala rasa sakit dan kecewa antara satu sama lain, dan memilih untuk saling terbuka.Meski pernikahan kami diawali dengan rasa sakit, malam itu aku dan Ismi berhasil menghiasinya dengan obat serta pupuk terbaik. Perlahan-lahan, hubungan yang layu kembali mekar, penuh gairah dan kami berharap akan tumbuh subur hingga akhir hayat.Aku tersenyum paginya, memandangi pantai Kuta Bali yang masih sepi. Tiba-tiba saja hujan mengguyur hingga kegiatan kami untuk berwisata ditunda oleh pihak perusahaan.Bukan karena indahnya pantai Kuta, melainkan manisnya w
Bab 35: Titik Temu Perasaan Kami BerduaAku tidak bodoh, tentu saja tidak. Melihat ekspresi Ismi yang panik dan histeris itu, aku mulai mencoba menghubungkan satu per satu momen hingga menemukan titik terang.Perempuan yang belum lama ini kuambil dari kedua orang tuanya itu semakin terisak. Dia menutup kedua mata dan memilih untuk tetap diam meski aku masih mencoba menyusun potongan demi potongan kenangan dan kaitannya dengan tangisan Ismi.Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah memerhatikan Ismi dengan saksama. Perempuan di depanku ini entah mengapa mulai terasa sangat familier. “Ismi?” panggilku hampir setengah berteriak.Aku ikut menyibak selimut karena terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu duduk bersila di sebelah perempuan itu. Sedangkan Ismi masih mengatur napas yang memberat akibat ulahnya sendiri.“Aku tidak sedang bercanda sekarang! To-tolong jelaska
Bab 34: Seranjang Lagi“Mas?” Ismi kembali memanggil namaku dengan suaranya yang mendayu.Sejenak, aku merasa darah berdesir di setiap untaian nadi, lalu menembus cepat hingga ke otak. Di sana, aliran itu mengaktifkan sesuatu yang selama ini terpendam, sebuah hal yang mengundang gejolak hingga berpakaian setipis ini pun di malam dingin terasa begitu panas.“Mas, makanlah lagi?” sambung istriku.Kupalingkan muka padanya. Dua insan yang sedari tadi mengembuskan desah tidak sopan itu sudah berlalu. Mereka meninggalkan balkon dengan pintu terbuka hingga aku dan Ismi leluasa melanjutkan makan malam kami yang tertunda.“Makanannya lezat-lezat, ya? Perusahaan besar memang beda,” ujar Ismi kembali.Meski dia tidak mengucapkannya dengan jelas, aku paham sekali kalau Ismi sedang berbasa-basi. Wajahnya yang bening itu terlihat memerah di bawah sinar rembulan, dan gerak-geriknya begitu r
Bab 33: Ho-ney-moon “Ini kamar kalian!” Wanita yang selalu mengaku sebagai penggemar Ismi berseru saat kami check in di sebuah hotel berbintang. Hotel mewah yang berbatasan langsung dengan pantai Kuta Bali itu menyambut rombongan kami dengan ramah. Mereka menghidangkan welcome drink dan memberikan kami ruang tunggu untuk meluruskan kaki. Segalanya terasa eksklusif, menjunjung tinggi kenyamanan tamu meski kami datang ke sini karena ditraktir oleh perusahaan, meski kami datang karena diperintah oleh sebuah organisasi besar yang di bawahnya kami mencari makan. Aku duduk di sebuah sofa berbentuk setengah lingkaran berwarna merah, di sebelahku Ismi menempatinya dengan sangat tenang, bahkan punggungnya tegak tanpa bersandar. Selain kami, tiga pasangan lain memilih berdiri, menikmati camilan atau sekadar melempar pandang ke pantai Kuta. Sisanya adalah para perempuan dan laki-laki lajang yang memilih sofa berlawanan.