“Mas, apa Bapak dan Ibu sudah tiba? Kenapa lampu di rumah ini menyala?” papar Ismi saat aku menghentikan laju mobil di depan rumah.
Aku bergegas menengok. Benar dugaan Ismi, lampu rumah kami menyala, terlihat terang dari jendela dan lubang anginnya.
Tapi, apa mungkin bapak dan ibu langsung berangkat setelah aku menghubungi mereka berdua? Bagaimana cara mereka masuk jika sudah tiba?
“Mas, sepertinya begitu,” sambung Ismi.
Perempuan itu menyentuh lenganku. Tangannya terasa dingin dan manik matanya bergoyang saat kuperhatikan. Sepertinya, dia gugup akan sesuatu hingga tidak bisa mengontrol tenang pada dirinya sendiri.
“Ah, maaf!” ucapnya tiba-tiba.
Ismi menarik tangannya dariku seperti terkejut. Tidak ingin mengubah suasana dan perasaannya, aku menahan gerak Ismi.
“Jangan melepasnya, aku tidak akan pernah menolak lagi,” ingatku pada Ismi. Senyum
Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)“Ini bagaimana, maksudnya?” Aku berseru tanpa sadar pada ibu dan bapak.Keduanya serentak melirik ke arahku. Ibu membenarkan kerudungnya sedikit dan bapak langsung tersenyum.Beliau melipat tangan di dada, kemudian bersandar pada sofa. Ekspresinya seolah berkata jika dirinya telah melakukan sesuatu yang sangat besar hingga wajar untuk disombongkan.“Pak?” Aku memanggil bapak.Penasaran dengan apa yang telah terjadi sebenarnya, hingga bapak dan ibu memasang wajah berseri seperti ini. Jika memang mereka berdua tahu soal masa lalu, lantas kenapa tidak ada yang membicarakannya denganku dan Ismi?Selama ini, kami berdua saling terjebak di dalam labirin gelap. Aku membiarkan Ismi kesulitan sendirian, sedang diriku berusaha mencari jalan keluar sendirian.Andai saja saat itu aku benar-benar berhasil membebaskan diri, tentu saja saat ini kami tidak akan duduk begini. Mungkin, Ismi sudah kembali ke rumah almarhum orang tuanya, dan bapak serta ibu sedang memelu
Bab 1: Pengantinku, IsmiAku tidak bisa menutupi senyum kala melihat gadis pujaan yang secantik bidadari itu muncul di depan kami semua. Dia memakai gamis panjang dengan jilbab lebar yang menutupi lekuk tubuhnya.Dia tersenyum, cantik sekali. Jemari lentiknya sibuk menata gelas demi gelas yang berisikan jus pomegranate untuk keluarga kami berdua. Lalu, dari arah belakang ibu mertuaku muncul dengan membawa makan malam.“Wah ... cantiknya mantuku, Pak!” Ibuku berseru saat Ismi mundur selangkah untuk menyimpan nampan.Sontak saja aku melirik beliau, hatiku menghangat dengan cepat, ibuku sendiri begitu menyukai Ismi hingga pernikahan kami pasti akan mudah ke depannya. Apa lagi Bapak sudah berteman baik dengan keluarga Ismi.“Iya, dong ... anak siapa dulu?” Ibu mertuaku sekaligus Ibunya Ismi menyahut.Dia mengeluarkan semangkuk sayur sop dan tulang sapi serta sepiring ayam goreng bumbu kunyit. Setelahnya, Ismi menyusul lagi dengan sepiring perkedel berukuran besar dan tumis bayam. Kami aka
Bab 2: Tangisan IsmiAku menekan knop pintu kamar kayu berwarna coklat kemerahan itu saat suasana rumah masih begitu meriah. Terdengar dari arah luar orang tua kami mengobrol senang hingga mereka tidak akan punya waktu menggodaku yang akan masuk ke kamar pengantin.Jujur saja, jantungku berkejaran hebat mengingat di dalam kamar ini ada Ismi yang mungkin saja menunggu diriku. Atau kabar terburuknya dia sudah tertidur di ranjang pengantin kami.Ah ... padahal aku laki-laki, tapi tetap saja tidak mampu meredam bahagiaku sendiri. Bahkan, ingin sekali kuumbar ke dunia soal Ismi yang sangat jelita dan salihah itu. Berhasil menikahinya bak memenangkan pertandingan terbesar sejagat raya.Aku yakin benar, sebelum pulang ke desa, Ismi pastilah sudah menerima banyak pinangan di usianya yang sudah dua puluh enam. Mungkin, lamaran-lamaran itu tidak ada yang bersambut karena aku belum bertemu dengannya.Wah, memikirkannya saja sudah membuatku terlalu bersemangat sampai lupa mengucapkan salam pada g
Bab 3: Mencoba MendekatAku berpikir keras sejak semalam, bahkan setelah salat subuh tenang tidak ada bersamaku. Ismi bahkan belum membalas pesan yang kukirimkan sejak semalam untuknya. Terpaksa, aku mencoba mengintip dari balik jendela, berharap ada siluet Ismi yang tercetak dari kamarnya.Nihil! Kamar Ismi gelap gulita. Tidak ada lampu yang menyala dan sepertinya gorden pun tertutup rapat.Aku gelisah berat, khawatir dengan kondisi Ismi- istri cantikku. Bagaimana jika kutanyakan saja pada ibu soal Ismi, sekaligus izin padanya untuk kembali ke rumah mertuaku?Tidak ingin mengulur waktu, aku turun dari ranjang. Gawai baru yang bisa dilipat itu kusembunyikan di dalam saku, harap-harap mungkin Ismi mengabari sebentar lagi.Begitu aku membuka pintu, tercium aroma pekat dari nasi goreng yang dimasak ibu. Rupanya, ibu masih melakukan hal ini meski aku sudah menikah sekalipun.“Bu?” panggilku seraya beranjak meninggalkan kamar.T-shirt baru serta celana longgar menjadi temanku hari ini. Aku
Bab 4: Upaya KeduakuSesuai dengan keinginan dari orang tua kami, aku dan Ismi kembali ke Jogja dengan mobil. Ah ya, aku belum menyebutkan soal mobil baruku, ya? Tahun lalu, aku meminang sebuah Civic putih karena saat itu belum punya keinginan untuk menikah dan seluruh uang yang kuhasilkan hanya untuk diri sendiri. Bahkan ibu dan bapak menolak menerima pemberianku dengan berbagai alasan.Akhirnya, aku memilih memboyong mobil impian itu usai cicilan rumah lunas dan surat kepemilikan berpindah tangan. Sekarang, aku sudah punya fasilitas sempurna untuk menanggung Ismi dan calon anak-anak kami nanti.Sepanjang perjalanan dari Desa Ledok Sambi menuju Kota Jogja, aku hanya berdiam diri di balik setir kemudi. Ismi juga melakukan hal yang sama, malah lebih sering melihat ke luar jendela.Beberapa kali aku melirik ke arah Ismi. Gadis itu hanya sibuk menarik jilbabnya yang terbuat dari kain halus berwarna pink hingga membalut tubuh. Dia juga tidak membiarkan embusan angin menyapu kulitnya selai
Bab 5: Keanehan pada Ismi“Weh, pengantin baru wajahnya masam !” Salah satu rekan kerjaku berteriak begitu tiba di kantor.Dia menyeret tas besarnya dengan susah payah dan meletakkannya di dekat kubikel. Setelah itu, dia menempati kursi putar yang terletak di depan mejaku. Pria gempal ini adalah salah satu karyawan yang aku bawahi langsung dalam urusan pekerjaan, namun secara usia dia jauh lebih tua.“Jadi, bagaimana malam pertamanya?” usiknya lagi meski ada karyawan perempuan di antara kami.Dia memutar kursi hingga terdengar bunyi berderit, lalu membenarkan sweeter motif kotak-kotaknya yang naik hingga ke perut. Terdengar helaan napasnya yang berat, dan dia menyeringai ke arah salah satu karyawan perempuan di kantor.“Apa kamu penasaran juga?” ucapnya tanpa mengedipkan mata.Aku memerhatikan kelakuan tidak senonohnya itu, hingga gadis yang duduk di depannya menjadi risih dan sibuk mencari cara untuk pergi. Meski demikian, pria gempal itu masih berceramah seolah dirinyalah yang pali
Bab 6: Pendapat Dokter FarahWajah Farah berubah saat mendengar ucapanku yang ragu. Cukup sulit menjelaskan kondisi yang kami alami saat ini hingga aku sendiri hanya bisa menekuk wajah.Antara malu, bingung sekaligus rasa bersalah karena harus mengungkit kekurangan Ismi. Tapi, jika tidak begini kapan aku mampu membuka tirai yang membatasi kami?“Jadi ... maksudmu istrimu itu?” Farah mengernyit.Kuiyakan terkaannya meski belum selesai kalimatnya. Wajar saja jika Farah masih tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Sedikit di luar nalar mengingat Ismi sangat sehat sebagai seorang gadis, dan dirinya berasal dari keluarga baik-baik.“Iya, begitulah!” ucapku penuh rasa malu.Jauh di dalam hati, aku merutuki diri karena menyebarkan kekurangan Ismi. Tapi, semoga dia paham jika hal ini hanya untuk memperbaiki hubungan kami.Pernikahan ini tidak akan berlangsung hanya sa
Bab 7: Sebuah Pagi Bersama IsmiSejak pertemuan dengan Farah itu, gelisahku merambat lebih jauh dan dalam. Aku tidak bisa tenang dan terus memandangi Ismi setiap kali punya kesempatan.Ada terlalu banyak tanya yang tenggelam di dalam mulut dan tidak bisa kuutarakan. Alhasil, semuanya menumpuk menjadi beban berat yang mengusik tenang.Tidak ada yang bisa aku lakukan, tidak ada yang mampu kutanyakan. Ismi dan aku berubah menjadi dua orang yang hidup di ruangan yang sama sejak malam itu. Bedanya, Ismi memperlakukanku dengan sangat baik layaknya seorang suami sesungguhnya.Setiap pagi, sarapan disediakan meski aku tidak meminta. Pakaian kerjaku telah diletakkannya di atas ranjang, termasuk charger laptop dan gawai. Tidak lupa, dia memilihkan sepatu yang cocok dengan pakaian yang telah diaturnya. Kuakui, Ismi sangat lihai melakukan itu semua, dan penampilanku jadi lebih rapi dibanding sebelumnya. Sebenarnya, aku cuk