Share

Bab 4

Author: Lilia
Setelah pesta resmi dimulai, aku baru menyadari betapa perhatiannya Farel terhadap Nia.

Farel dengan sukarela menarikkan kursi untuknya, menahan minuman untuknya, bahkan memperhatikan ketika tali gaunnya melorot lalu dengan lembut menyentuh bahunya untuk membetulkannya.

Hal-hal seperti ini, aku tidak pernah mendapatkannya.

Selama dua tahun bersamanya, Farel tak pernah melakukan hal-hal seperti itu untukku.

Kupikir memang begitu karakternya, dingin dan selalu menahan diri, tidak peduli dengan perhatian-perhatian kecil semacam itu.

Ternyata tidak.

Dia hanya tidak mau melakukannya untukku.

Sepuluh hari lagi, aku akan benar-benar meninggalkan tempat ini. Aku tahu, aku tidak akan pernah lagi melihat Farel bersikap seperti itu padaku.

Aku minum sampanye sambil mendengar Nia tertawa manja dan bercakap-cakap dengan tamu lain.

Dia bercerita tentang pengalaman berliburnya di Negara Bagarta, tentang kerinduannya pada kota ini. Setiap ucapannya begitu tepat dan anggun.

"Nia memang gadis baik," bisik seorang wanita di sampingku. "Farel begitu memperhatikannya, pasti mereka akan berakhir bahagia."

Tanganku yang memegang gelas sedikit mengencang.

"Ayo, ayo, kita main gim!" Pembawa acara muncul untuk menghidupkan suasana. "Kita main Jujur atau Tantangan!"

Layar besar menyala, pembawa acara menjelaskan aturannya: "Di layar akan muncul dua foto, semua orang memilih foto yang lebih mereka sukai! Sebagai bintang utama malam ini, Pak Farel, Anda harus mulai duluan!"

Set pertama adalah dua jenis anggur merah yang berbeda.

Farel memilih tanpa ragu sisi kiri yang kadar alkoholnya lebih rendah.

"Karena Nia nggak bisa minum alkohol yang terlalu kuat," jelasnya.

Seluruh ruangan bergemuruh dengan sorak-sorai.

Set kedua adalah dua buket bunga, mawar dan lili.

Farel memilih bunga lili.

"Nia suka aroma yang lembut dan elegan."

Set ketiga adalah dua destinasi liburan, Negara Cremo dan Negara Orphe.

"Negara Orphe. Nia butuh udara segar untuk memulihkan kesehatannya."

Setiap pilihannya, Farel lakukan demi Nia.

Aku menatap Farel di atas panggung dan teringat dua tahun yang kami jalani bersama.

Dia tak pernah menanyakan apa yang kusukai, tak pernah mengingat makanan favoritku, atau tempat yang ingin kukunjungi.

"Set terakhir!" seru pembawa acara dengan bersemangat. "Yang ini agak spesial. Ini foto dua wanita cantik!"

Di layar muncul dua foto.

Di sebelah kiri adalah foto Nia, mengenakan gaun putih, tersenyum lembut di taman, terlihat murni seperti malaikat.

Di sebelah kanan adalah fotoku, mengenakan gaun malam merah di sebuah pesta, dengan tatapan mata yang penuh percaya diri dan bersemangat.

Suasana tiba-tiba hening.

Semua mata tertuju pada Farel.

Farel berdiri di atas panggung, menatap layar, dan terdiam selama beberapa detik.

Beberapa detik itu terasa seperti berabad-abad bagiku.

Aku tahu dia akan memilih Nia, tetapi tetap saja aku menyimpan sedikit harapan terakhir, berharap dia memilihku.

Meski sekadar untuk menjaga gengsi atau sekadar karena rasa kasihan.

"Aku memilih ...." Suara Farel terdengar di mikrofon. "Nia."

Sorak-sorai dan tepuk tangan riuh menggema di ruangan.

Aku meletakkan gelas sampanye, berbalik, dan berlari keluar dari ruangan.

Di dalam kamar mandi, aku menarik napas dalam-dalam di depan cermin, berusaha menenangkan diri.

Aku seharusnya tidak menaruh harapan apa pun. Sejak awal memang tidak seharusnya.

Setelah menenangkan diri, aku keluar dari kamar mandi dan bersiap kembali ke ruang VIP.

Di koridor yang remang-remang, tepat saat aku tiba di tikungan, beberapa pria yang sudah mabuk menghentikanku.

"Hai, Cantik, sendirian?" Salah satu pria mendekat sambil terhuyung-huyung. "Temani kami minum sebentar, yuk?"

"Minggir." Aku mundur selangkah.

"Jangan dingin seperti itu dong." Pria lain itu mengulurkan tangan ingin menyentuhku. "Kami cuma ingin kenalan ...."

Aku mundur beberapa langkah dan melihat sosok Farel di pintu ruang VIP.

Dia sedang berbicara dengan tamu dan aku menatapnya penuh permohonan.

Farel melihatku, ekspresinya langsung muram. Dia sedang hendak berjalan mendekat.

Tiba-tiba terdengar suara Nia di dalam ruang, terdengar kesakitan. "Aduh! Kakiku."

Farel segera berbalik, melihat Nia memegangi kursi dengan wajah pucat.

"Ada apa?" Dia berlari mendekat.

"Aku sepertinya keseleo." Mata Nia berlinang air mata, tampak sangat lemah dan memelas.

Farel langsung berjongkok memeriksa pergelangan kakinya, sepenuhnya melupakan diriku yang ada di koridor.

Nia bertanya sesuatu padanya dengan suara lembut, tetapi Farel tanpa menoleh, berkata, "Sudah, nggak usah dipedulikan. Dia bisa menyelesaikannya sendiri."

Pada detik itu, hatiku benar-benar hancur.

Aku meraih botol anggur di meja dan dengan sekuat tenaga melemparkannya ke dinding.

"Prang!"

Serpihan kaca berhamburan, beberapa orang mabuk itu kaget oleh suara yang tiba-tiba.

Kuangkat botol yang sudah pecah itu, ujung kaca yang tajam kuhadapkan pada mereka. "Pergi!"

Beberapa orang melihat kebengisan di mataku dan segera lari terbirit-birit.

Kaca itu menggores telapak tanganku, darah menetes ke lantai.

Aku menatap lukaku, merasakan sakitnya, tetapi berpikir bahwa sakit ini tidak seberapa.

Setelah pesta selesai, aku berdiri sendirian di depan pintu masuk menunggu mobil datang.

Nia keluar dibantu Farel, berjalan perlahan.

"Alisa," sapa Nia begitu melihatku, lalu melangkah mendekatiku. "Maaf, tadi itu aku tiba-tiba keseleo, jadi Kak Farel nggak bisa membantumu. Tapi, sepertinya kamu menanganinya dengan baik ya."

Dia melirik tanganku yang terluka, matanya berkilat dengan rasa puas.

"Ya." Aku mencibir. "Aku memang selalu bisa menyelesaikan masalahku sendiri."

"Baguslah." Nia tersenyum manis. "Sebenarnya aku agak khawatir kalau Farel membawamu ke sini malam ini. Soalnya kalian dulu ...."

"Memang dulu kenapa?"

"Kamu nggak benar-benar mengira Kak Farel punya perasaan khusus padamu, kan?" Nia mendekat, suaranya pelan. "Kak Alisa, Kak Farel cuma merasa kasihan padamu. Sekarang ini kamu nggak punya rumah, dia menolongmu semata-mata karena belas kasihan. Itu saja."

"Oh, ya?"

"Tentu saja," kata Nia dengan tatapan jahat. "Permainan malam ini juga kamu melihatnya, 'kan? Di hati Kak Farel cuma ada aku. Dari SMA sudah begitu, nggak akan pernah berubah."

Tepat pada saat itu, sebuah mobil sedan hitam tiba-tiba kehilangan kendali dan melaju lurus ke arah kami.

Farel segera berlari ke arah kami, bergegas melindungi Nia di pelukannya.

Sementara aku, tertabrak mobil yang lepas kendali itu dan terjatuh dengan keras.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 22

    Alisa belajar tunduk pada takdirnya di hari kedua puluh tujuh dia dikurung.Dia tidak lagi melawan, tidak lagi mogok makan, bahkan terkadang tersenyum pada Farel.Awalnya, Farel masih curiga. Namun, perlahan-lahan dia mulai percaya bahwa Alisa benar-benar sudah menyerah."Pagi ini mau makan apa?" tanya Farel sambil merapikan dasi di tepi ranjang.Alisa bersandar di sandaran kasur, rambut panjangnya terurai. Dia menjawab dengan datar, "Apa pun yang kamu masak."Gerakan tangan Farel sempat terhenti. Dia sedikit terkejut, lalu segera tersenyum dan menjawab, "Baik."Setelah itu, dia pun berbalik menuju dapur. Langkahnya jarang terasa begitu rileks.Alisa menatap sosok Farel lenyap di ambang pintu, lalu cepat-cepat menyingkap selimut. Dari bawah kasur, dia mengeluarkan sebuah komputer mini.Itu adalah hasil curian dari ruang kerja Farel minggu lalu.Dia mengetik cepat di papan ketik, memasukkan kata sandi.Diam-diam dia menembus sistem keamanan pulau dan memancarkan sinyal permohonan pertol

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 21

    Sebab ada urusan bisnis di Grup Keano yang perlu ditangani, Farel terpaksa kembali ke kota selama beberapa hari.Senja hari di pulau pribadi.Hari ketiga sejak kepergian Farel, Alisa berdiri di depan jendela besar, menatap cahaya terakhir matahari yang perlahan ditelan garis khatulistiwa.Seorang pelayan masuk dengan hati-hati, meletakkan segelas susu hangat di meja. "Nyonya, setidaknya minumlah sedikit," ucap pelayan itu.Alisa tidak bergerak, hanya bertanya, "Kapan dia kembali?""Pak Farel bilang akan segera kembali setelah urusan perusahaan selesai," jawab pelayan itu.Prang!Gelas kaca melayang menghantam dinding dan pecah berantakan. Susu tumpah ke lantai."Aku bukan nyonya siapa pun. Keluar dari sini!" tegur Alisa dengan dingin.Pelayan itu ketakutan dan cepat-cepat mundur.Alisa membungkuk, memungut pecahan kaca paling tajam dari lantai.Pada saat yang sama, di kantor pusat Grup Keano.Ruang rapat penuh orang, Farel duduk di kursi utama mendengar para karyawannya melapor. Jari-j

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 20

    Pagi hari di pulau pribadi.Helikopter mendarat di landasan tengah pulau, suara baling-balingnya akhirnya melambat, menyisakan suara ombak yang pecah di karang.Farel menggendong Alisa turun dari helikopter. Begitu kakinya menyentuh tanah, Alisa langsung mendorong Fajar menjauh."Penahanan ilegal, ya?" tanya Alisa. Dia mendengus dingin, gaun pengantinnya berkibar liar ditiup angin laut. "Sejak kapan kamu juga mulai pakai cara licik seperti ini?" tanya Alisa.Alih-alih marah, Farel justru tersenyum tipis. "Memangnya kenapa?" tanya Farel.Jarinya yang dingin menyapu pelan wajah Alisa, tetapi tatapannya membara, "Alisa, kamu milikku."Dia melanjutkan, "Seumur hidupmu, jangan pernah bermimpi jadi milik orang lain."Di vila utama.Farel menuntun Alisa berkeliling pulau."Semua yang ada di sini milikmu," ucap Farel sambil membuka pintu kaca raksasa. Hembusan laut yang asin langsung menyerbu ke dalam. "Mulai dari taman, kolam renang, perpustakaan, bahkan samudera itu."Alisa tidak tergerak sa

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 19

    Sehari sebelum pernikahan, di mansion pribadi Keluarga Fathir.Alisa duduk di depan meja rias di kamar pengantin, jarinya menelusuri taburan berlian di gaun pengantin.Di luar jendela, matahari bersinar hangat. Para pelayan sibuk menata lokasi acara pernikahan besok. Segala sesuatu tampak begitu sempurna.Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu."Putri Kecil?" panggil Hendra.Hendra masuk sambil membawa secangkir teh bunga hangat dan sebuah kotak beludru mungil di tangan lainnya.Dia mengenakan setelan hitam rapi, kerah kemejanya terbuka sedikit, tatapannya sangat lembut."Kamu hampir nggak makan sarapan," ucap Hendra sambil memberikan cangkir teh ke tangan Alisa. Dia lalu berkata, "Bibi di dapur bilang kamu cuma minum setengah gelas susu."Alisa mendongak, kemudian tersenyum dan bertanya, "Apa kamu mencoba mendidikku?""Aku mana berani," ucap Hendra sembari menunduk sedikit, lalu menyerahkan kotak itu ke tangan Alisa. "Aku cuma takut kamu kelaparan," lanjut Hendra.Alisa membuka ko

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 18

    "Bukankah Keluarga Fathir di Kota Appia dan Keluarga Keano di Kota Persy nggak pernah berhubungan? Itu Pak Farel, 'kan? Kenapa dia ada di sini?"Bisikan para tamu menyebar di seluruh aula pesta.Semua mata serentak tertuju pada sosok tegap yang berdiri di pintu. Farel mengenakan jas yang rapi dan berdiri tegap di sana, tetapi tatapannya suram menakutkan."Kenapa mata Pak Farel menatap langsung ke Nona Alisa setajam itu. Jangan-jangan, dia datang untuk merebutnya?"Hendra segera memeluk Alisa ke dalam dekapannya. Lengannya terentang di depan tubuhnya, seolah ingin meleburkan gadis itu ke dalam darah dan dagingnya sendiri.Alisa perlahan berubah tenang.Dia menatap Farel, lalu tersenyum. "Untuk apa Pak Farel datang? Membawa hadiah pernikahan untuk kami?" tanya Alisa.Kata-kata itu bagai sebilah pisau yang menancap di dada Farel.Rahangnya menegang, urat di pelipisnya tampak menonjol. Farel berkata dengan suara sangat serak, "Alisa, ikut aku pulang."Senyum Alisa justru makin dalam. "Pula

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 17

    Hendra pun berkata, "Sepuluh tahun lalu, di pesta kapal pesiar itu ….""Kamu lupa siapa yang pernah kamu selamatkan?" tanya Hendra,Alisa tertegun. Ingatannya seperti ditarik kembali ke masa sepuluh tahun silam.Malam pesta itu, Alisa berdiri di tepi dek, membiarkan angin laut menerpa wajah. Tiba-tiba dia mendengar suara tubuh jatuh ke air.Seorang anak laki-laki tercebur.Sebelum orang-orang di sekitar sadar, Alisa sudah melompat ke laut.Air laut dingin sampai menusuk tulang. Alisa berenang sekuat tenaga ke anak itu sampai beberapa kali tersedak air. Akhirnya, dia berhasil menyelamatkan anak itu ke atas kapal."Kamu nggak apa-apa?" tanya Alisa. Tubuhnya basah kuyup, tetapi dia hanya fokus memberi pertolongan darurat.Anak itu akhirnya memuntahkan air asin, lalu membuka mata. Bulu matanya masih basah, menggantung butir air.Alisa melepas jaketnya, membungkus tubuh kecil yang gemetar dan berkata, "Bocah, lain kali hati-hati. Jangan lari ke dek lagi."Anak itu menggenggam ujung jaketnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status