Share

Bab 5

Author: Lilia
Saat tertabrak mobil, kesadaranku mulai kabur.

Rasa sakit menyebar dari seluruh tubuh, tetapi yang lebih menyiksa adalah keputusasaan karena merasa sepenuhnya ditinggalkan.

Segudang kenangan melintas di pikiranku.

Pertama kali aku bertemu Farel, dia duduk di belakang meja kerjanya, kacamata emasnya memantulkan cahaya dingin.

Aku sengaja memprovokasinya, tetapi dia tak tergoyahkan.

Saat pertama kali dia menindihku, dia memanggilku Putri Kecil, suaranya serak dan rendah, begitu menggoda hingga membuatku terpesona.

Aku mengira itu cinta.

Malam demi malam, aku berbaring di pelukannya, mendengarkan detak jantungnya, berpikir bahwa aku telah menemukan tempatku untuk pulang.

Adegan terakhir membeku pada momen barusan itu. Farel tanpa ragu langsung menyerbu ke Nia dan memeluknya dalam pelukannya.

Sedangkan aku, seperti orang yang tak penting, ditinggalkan di tengah bahaya.

Saat membuka mata lagi, aku mendapati diriku terbaring di ranjang rumah sakit.

Ruang perawatan sangat hening, sampai terdengar suara Farel sedang menelepon.

"Nia, masih sakit kah?" Suara Farel terdengar begitu lembut sampai terasa asing bagiku.

"Sudah mendingan. Terima kasih, Kak Farel." Suara Nia terdengar lemah. "Kalau bukan karena kamu memelukku tepat waktu, aku mungkin sudah ...."

"Jangan pikirkan hal-hal itu lagi." Farel menenangkannya, "Dokter bilang kamu hanya syok ringan, nggak ada luka luar."

"Kak Farel, kalau bisa mengulang kembali, kamu pasti akan menyelamatkanku dulu, 'kan?"

Farel tidak ragu menjawab, "Tentu saja."

"Tapi, Kak Alisa tertabrak ...."

"Dia nggak punya alasan untuk marah." Suara Farel terdengar datar. "Dalam situasi darurat, tentu aku akan menyelamatkan orang yang paling rentan dulu. Dia sendiri juga paham alasannya."

Aku memejamkan mata, merasa jantungku ditikam dengan kejam.

Rupanya di hati Farel, aku bahkan tidak punya hak untuk marah.

Suara langkah kaki terdengar, tirai kamar rumah sakit dibuka.

Farel berdiri di samping ranjang, melihat aku terbangun, wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah. "Sudah bangun?"

"Hmm." Suaraku agak serak.

"Dokter bilang kamu cuma mengalami gegar otak ringan, luka lecet di kaki dan nggak yang serius," kata Farel. "Aku sudah menyiapkan tim medis terbaik. Beberapa hari ke depan, aku akan tetap di sini untuk menjagamu."

"Terima kasih," jawabku sambil menatap langit-langit. "Sepuluh hari lagi, aku akan mengembalikan biaya pengobatan ini padamu."

Farel mengerutkan dahi. "Maksudmu apa? Sepuluh hari lagi?"

"Aku bilang, biaya pengobatannya akan kukembalikan," kataku sambil menoleh padanya. "Semua biaya penginapan selama ini juga akan aku hitung dan kukembalikan bersamaan."

Ekspresi Farel sedikit canggung. "Alisa, kamu nggak perlu menghitung sedetail itu denganku."

"Kenapa nggak?" Suaraku terdengar tenang. "Kita memang nggak ada hubungan, 'kan?"

Ruang perawatan sempat hening beberapa detik.

Farel tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya berkata, "Istirahatlah yang cukup."

Beberapa hari berikutnya, Farel memang tetap berada di rumah sakit untuk merawatku.

Dia selalu datang tepat waktu untuk mengecek kondisiku, memastikan perawat memberiku obat sesuai jadwal, bahkan sesekali menyuapiku makan.

Namun, aku tetap bersikap dingin.

Tidak menangis, tidak rewel, tidak manja, dan tidak keras kepala.

Seperti memperlakukan orang asing yang baik hati, sopan, tetapi menjaga jarak.

Sikapku seperti ini membuat Farel tampak agak tidak nyaman.

Pada sore hari di hari ketiga, Farel duduk di kursi di samping tempat tidur, memperhatikan aku yang sedang membolak-balik majalah.

"Alisa," ucapnya.

"Hm?" Aku tak mendongak menatapnya.

"Soal malam itu ...." Farel terhenti sejenak. "Aku menyelamatkan Nia dulu, bukan karena aku nggak ingin menyelamatkanmu."

"Tubuh Nia lemah, nggak tahan benturan. Itu pilihan terbaik ...."

Aku meletakkan majalah dan memotong ucapannya. "Aku tahu."

Farel menatapku, sorot matanya menyingkap sedikit emosi yang sulit dimengerti. "Kamu benaran nggak marah?"

"Kamu ingin aku marah?"

Tepat pada saat itu, suara keributan terdengar dari lorong.

"Cepat! Bawa ke UGD sekarang!"

"Ada apa?"

"Nona Nia jatuh dari tangga, lukanya cukup parah!"

Ekspresi Farel langsung berubah.

Dia sontak berdiri dan buru-buru berkata, "Aku ada urusan sebentar."

Farel berjalan menuju pintu, menoleh sejenak ke arahku. "Nanti aku akan menemuimu lagi."

Aku mendengar langkahnya yang tergesa-gesa makin menjauh, lalu memejamkan mata dengan lelah.

Nia sekali lagi berhasil menjauhkan Farel dariku.

Sementara aku, bahkan tidak memiliki tenaga untuk memperjuangkannya.

Lagi pula, seminggu lagi, Farel bisa dengan terang-terangan bersama Nia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 22

    Alisa belajar tunduk pada takdirnya di hari kedua puluh tujuh dia dikurung.Dia tidak lagi melawan, tidak lagi mogok makan, bahkan terkadang tersenyum pada Farel.Awalnya, Farel masih curiga. Namun, perlahan-lahan dia mulai percaya bahwa Alisa benar-benar sudah menyerah."Pagi ini mau makan apa?" tanya Farel sambil merapikan dasi di tepi ranjang.Alisa bersandar di sandaran kasur, rambut panjangnya terurai. Dia menjawab dengan datar, "Apa pun yang kamu masak."Gerakan tangan Farel sempat terhenti. Dia sedikit terkejut, lalu segera tersenyum dan menjawab, "Baik."Setelah itu, dia pun berbalik menuju dapur. Langkahnya jarang terasa begitu rileks.Alisa menatap sosok Farel lenyap di ambang pintu, lalu cepat-cepat menyingkap selimut. Dari bawah kasur, dia mengeluarkan sebuah komputer mini.Itu adalah hasil curian dari ruang kerja Farel minggu lalu.Dia mengetik cepat di papan ketik, memasukkan kata sandi.Diam-diam dia menembus sistem keamanan pulau dan memancarkan sinyal permohonan pertol

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 21

    Sebab ada urusan bisnis di Grup Keano yang perlu ditangani, Farel terpaksa kembali ke kota selama beberapa hari.Senja hari di pulau pribadi.Hari ketiga sejak kepergian Farel, Alisa berdiri di depan jendela besar, menatap cahaya terakhir matahari yang perlahan ditelan garis khatulistiwa.Seorang pelayan masuk dengan hati-hati, meletakkan segelas susu hangat di meja. "Nyonya, setidaknya minumlah sedikit," ucap pelayan itu.Alisa tidak bergerak, hanya bertanya, "Kapan dia kembali?""Pak Farel bilang akan segera kembali setelah urusan perusahaan selesai," jawab pelayan itu.Prang!Gelas kaca melayang menghantam dinding dan pecah berantakan. Susu tumpah ke lantai."Aku bukan nyonya siapa pun. Keluar dari sini!" tegur Alisa dengan dingin.Pelayan itu ketakutan dan cepat-cepat mundur.Alisa membungkuk, memungut pecahan kaca paling tajam dari lantai.Pada saat yang sama, di kantor pusat Grup Keano.Ruang rapat penuh orang, Farel duduk di kursi utama mendengar para karyawannya melapor. Jari-j

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 20

    Pagi hari di pulau pribadi.Helikopter mendarat di landasan tengah pulau, suara baling-balingnya akhirnya melambat, menyisakan suara ombak yang pecah di karang.Farel menggendong Alisa turun dari helikopter. Begitu kakinya menyentuh tanah, Alisa langsung mendorong Fajar menjauh."Penahanan ilegal, ya?" tanya Alisa. Dia mendengus dingin, gaun pengantinnya berkibar liar ditiup angin laut. "Sejak kapan kamu juga mulai pakai cara licik seperti ini?" tanya Alisa.Alih-alih marah, Farel justru tersenyum tipis. "Memangnya kenapa?" tanya Farel.Jarinya yang dingin menyapu pelan wajah Alisa, tetapi tatapannya membara, "Alisa, kamu milikku."Dia melanjutkan, "Seumur hidupmu, jangan pernah bermimpi jadi milik orang lain."Di vila utama.Farel menuntun Alisa berkeliling pulau."Semua yang ada di sini milikmu," ucap Farel sambil membuka pintu kaca raksasa. Hembusan laut yang asin langsung menyerbu ke dalam. "Mulai dari taman, kolam renang, perpustakaan, bahkan samudera itu."Alisa tidak tergerak sa

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 19

    Sehari sebelum pernikahan, di mansion pribadi Keluarga Fathir.Alisa duduk di depan meja rias di kamar pengantin, jarinya menelusuri taburan berlian di gaun pengantin.Di luar jendela, matahari bersinar hangat. Para pelayan sibuk menata lokasi acara pernikahan besok. Segala sesuatu tampak begitu sempurna.Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu."Putri Kecil?" panggil Hendra.Hendra masuk sambil membawa secangkir teh bunga hangat dan sebuah kotak beludru mungil di tangan lainnya.Dia mengenakan setelan hitam rapi, kerah kemejanya terbuka sedikit, tatapannya sangat lembut."Kamu hampir nggak makan sarapan," ucap Hendra sambil memberikan cangkir teh ke tangan Alisa. Dia lalu berkata, "Bibi di dapur bilang kamu cuma minum setengah gelas susu."Alisa mendongak, kemudian tersenyum dan bertanya, "Apa kamu mencoba mendidikku?""Aku mana berani," ucap Hendra sembari menunduk sedikit, lalu menyerahkan kotak itu ke tangan Alisa. "Aku cuma takut kamu kelaparan," lanjut Hendra.Alisa membuka ko

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 18

    "Bukankah Keluarga Fathir di Kota Appia dan Keluarga Keano di Kota Persy nggak pernah berhubungan? Itu Pak Farel, 'kan? Kenapa dia ada di sini?"Bisikan para tamu menyebar di seluruh aula pesta.Semua mata serentak tertuju pada sosok tegap yang berdiri di pintu. Farel mengenakan jas yang rapi dan berdiri tegap di sana, tetapi tatapannya suram menakutkan."Kenapa mata Pak Farel menatap langsung ke Nona Alisa setajam itu. Jangan-jangan, dia datang untuk merebutnya?"Hendra segera memeluk Alisa ke dalam dekapannya. Lengannya terentang di depan tubuhnya, seolah ingin meleburkan gadis itu ke dalam darah dan dagingnya sendiri.Alisa perlahan berubah tenang.Dia menatap Farel, lalu tersenyum. "Untuk apa Pak Farel datang? Membawa hadiah pernikahan untuk kami?" tanya Alisa.Kata-kata itu bagai sebilah pisau yang menancap di dada Farel.Rahangnya menegang, urat di pelipisnya tampak menonjol. Farel berkata dengan suara sangat serak, "Alisa, ikut aku pulang."Senyum Alisa justru makin dalam. "Pula

  • Ternyata Jodoh Selalu di Sampingku   Bab 17

    Hendra pun berkata, "Sepuluh tahun lalu, di pesta kapal pesiar itu ….""Kamu lupa siapa yang pernah kamu selamatkan?" tanya Hendra,Alisa tertegun. Ingatannya seperti ditarik kembali ke masa sepuluh tahun silam.Malam pesta itu, Alisa berdiri di tepi dek, membiarkan angin laut menerpa wajah. Tiba-tiba dia mendengar suara tubuh jatuh ke air.Seorang anak laki-laki tercebur.Sebelum orang-orang di sekitar sadar, Alisa sudah melompat ke laut.Air laut dingin sampai menusuk tulang. Alisa berenang sekuat tenaga ke anak itu sampai beberapa kali tersedak air. Akhirnya, dia berhasil menyelamatkan anak itu ke atas kapal."Kamu nggak apa-apa?" tanya Alisa. Tubuhnya basah kuyup, tetapi dia hanya fokus memberi pertolongan darurat.Anak itu akhirnya memuntahkan air asin, lalu membuka mata. Bulu matanya masih basah, menggantung butir air.Alisa melepas jaketnya, membungkus tubuh kecil yang gemetar dan berkata, "Bocah, lain kali hati-hati. Jangan lari ke dek lagi."Anak itu menggenggam ujung jaketnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status