Share

Bab 2

Author: Ricey
Suara napas di ujung lain telepon terhenti sejenak, lalu suara Devon yang dalam terdengar.

"Setengah bulan lagi, Keluarga Frans akan pindah. Aku akan menjemputmu."

Julia tertegun selama setengah detik, lalu tertawa.

Julia belum mengatakan apa-apa, tetapi orang ini sudah yakin dia akan pergi.

Yang membuat Julia kesal, tebakannya memang benar.

"Baiklah."

Dengan kemampuan Devon, setengah bulan lagi, sekali pun Victor menggali sampai ke dasar bumi, dia tetap tak akan bisa menemukan dirinya.

Hingga larut malam hari itu, Julia tidak membalas pesan Victor sama sekali.

Victor benar-benar panik. Dia pulang kerja lebih awal, mengubah tiket ke penerbangan terdekat. Namun, saat membuka pintu rumah, dia tiba-tiba terpaku. Kecemasan di matanya langsung menghilang sebagian.

Di bawah lampu kuning yang hangat di ruang tamu, Julia sedang duduk di sofa sambil menonton TV.

"Julia? Kenapa kamu sudah pulang?" Victor berlari menghampiri. "Aku sudah mengirim banyak pesan padamu ...."

Sebelum Victor selesai berbicara, dia sudah memeluk Julia dengan erat. Dagunya menempel di puncak kepala Julia, menggosoknya pelan, lalu berujar, "Syukurlah kamu baik-baik saja. Aku benar-benar takut .... Julia, aku nggak bisa hidup tanpamu."

Cinta di matanya tampak tulus.

Julia juga mengetahui bahwa Victor benar-benar mencintainya. Namun, dia juga tahu dengan jelas bahwa cinta pria ini tidak hanya diberikan pada satu orang.

Rasa sesak di tenggorokannya menyeruak. Julia mencubit telapak tangannya dengan keras untuk menahannya.

Untuk sejenak, Julia hampir membongkar semua kebohongan ini, tetapi dia mengurungkan niatnya.

Jika Julia mengungkapkannya, dia benar-benar tidak akan bisa pergi.

Julia perlahan melepaskan diri dari pelukannya, sementara suaranya dibuat setenang mungkin, "Pertandingannya ditunda. Ponselku mati, jadi aku nggak melihat pesannya."

Namun, Victor tidak mendengar gelombang di balik ketenangan itu. Dia tersenyum, lalu mengangkat jari untuk menepuk hidung Julia.

"Nggak apa-apa kalau kamu nggak melihatnya. Kenapa kamu menangis? Aku nggak akan menyalahkanmu," ujar Victor.

"Kamu pasti lapar, 'kan?" Victor mengayunkan kunci mobil di tanganya. Kemeja dan celana formalnya membuat postur Victor tampak tegap. Jasnya disampirkan dengan santai di lengannya. "Aku sudah memesan tempat di restoran hotpot yang sudah lama kamu inginkan. Ayo, Tuan Putri, aku akan menemanimu makan sepuasnya."

Victor mengulurkan tangan padanya, dengan telapak tangan menghadap ke atas.

Pandangan Julia jatuh pada tangan itu. Tiba-tiba, dia menjadi linglung.

Pada sore hari saat berumur 18 tahun, pemuda di lapangan basket itu juga mengulurkan tangan seperti ini padanya. Kaos putihnya basah karena keringat, bola basket terjepit di bawah lengannya, sementara senyumnya lebih sombong dari sekarang. "Ayo, Tuan Putri. Hari ini aku akan mentraktirmu makan sampai puas!"

Waktu itu, hanya ada Julia seorang di hatinya.

Julia tidak ingin menyiksa perutnya, jadi dia mengikuti Victor pergi ke restoran hotpot.

Pria itu masih bersikap seperti biasa. Jelas-jelas dia adalah seorang pria yang tidak pernah melayani orang lain, tetapi sekarang dia dengan terampil menyingsingkan lengan baju, mengambilkan makanan untuk Julia dengan cermat. Suapan pertama dari makanan yang baru matang selalu diberikan pada Julia terlebih dulu.

Baru pada saat piring menumpuk seperti gunung kecil, ponsel tiba-tiba berdering. Julia pun tersadar.

Jika bukan karena dering yang tidak berhenti ini, Julia takut dirinya akan terjebak lagi dalam cinta yang tampak tak berujung itu.

"Angkat saja."

Julia menundukkan kepala sambil mengaduk saus wijen di piring.

Victor melirik ponselnya, mengatakan kata-kata manis untuk Julia, lalu berjalan keluar untuk menjawab telepon.

Ketika kembali, mata Victor tampak dipenuhi dengan kecemasan dan penyesalan.

"Julia, di rumah sakit sedang ada operasi mendadak, aku harus segera ke sana. Maaf, aku nggak bisa menemanimu menghabiskan hotpot. Besok aku akan mengajukan cuti agar bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu."

Julia sudah melihat nama penelpon tadi, tetapi dia tidak membongkar kebohongan Victor. Dia hanya mengangguk sambil berujar, "Baiklah, kamu pergi saja."

Setelah mendapatkan persetujuan, Victor tidak membuang waktu, langsung berbalik untuk meninggalkan restoran hotpot.

Ketika melihat kursi kosong yang ada di depannya, hati Julia seperti ditusuk jarum, terasa mati rasa.

Tepat ketika dia akhirnya berhasil menenangkan perasaan, hendak mengangkat sendoknya lagi, panggilan video dari Mandy masuk.

Julia menutup teleponnya, tetapi orang di ujung lain menelepon kembali. Setelah belasan kali menelepon, Julia akhirnya mengangkatnya.

Mandy menunjukkan senyuman polos seperti biasa.

"Kak Julia nggak sedang makan hotpot, 'kan? Aku penasaran, kenapa ada seseorang yang pulang ke rumah dengan bau seperti hotpot hari ini."

Wanita itu menekan kata "pulang ke rumah" dengan sangat berat. Julia bisa mendengar nada provokasi dalam kata-katanya.

Wajahnya berubah dingin. "Mandy, kamu terlalu kekanak-kanakan."

"Apa kamu lupa siapa yang sekarang menjadi istri sahnya? Coba kamu tebak. Kalau aku mengirimkan riwayat obrolan ini ke Victor sekarang, apakah dia akan memilih kamu atau aku?"

Mata Mandy tampak berkilat, tetapi dia segera tersenyum lagi. "Kalau begitu, kirimkan saja. Jangan menutup teleponnya. Biar aku lihat, siapa sebenarnya yang kekanak-kanakan."

Julia sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi, tetapi ternyata Mandy benar-benar tidak menutup teleponnya.

Tidak lama kemudian, latar belakang dalam video bergerak, lalu sosok Victor muncul di layar.

Mandy langsung berbalik, merebahkan diri dengan manja di pelukannya, langsung menghalangi pandangan Victor ke layar dengan sempurna.

"Kak Victor, apa kamu masih marah karena dulu aku kawin lari dengan orang lain? Kalau aku nggak pergi, apa kamu nggak akan mencari Kak Julia? Apa kamu akan menikah denganku?"

Victor mengerutkan kening sambil menjawab, "Kenapa ada begitu banyak kalau?"

"Aku hanya bertanya ...." Mata Mandy memerah, sementara suaranya menjadi makin kecil. "Aku nggak ada maksud lain ...."

Setelah keheningan selama beberapa detik, Julia melihat Victor membuka mulut, suaranya terdengar serak, "Ya."

Satu kata itu langsung membuat hati Julia menjadi kosong.

Ternyata sejak saat itu, Julia bukan satu-satunya orang di hati Victor.

Dia tiba-tiba teringat pada hari pernikahan mereka.

Victor memegang tangannya, bersumpah atas nama Nenek yang paling dihormatinya di hadapan semua tamu.

"Dalam hidupku, Victor Camden, nggak peduli sekarang atau nanti, aku hanya akan mencintai Julia seorang. Diriku, uangku, serta nyawaku, semuanya akan menjadi miliknya."

"Dia boleh bersikap manja, boleh melakukan kesalahan, boleh tidak mencintaiku, bahkan boleh mencintai orang lain. Asalkan dia nggak meninggalkanku."

Waktu itu Julia menangis dengan begitu kencang, mengira dirinya sudah mendapatkan cinta paling tulus di dunia.

Sekarang dia baru mengerti bahwa sumpah itu semuanya palsu sejak awal.

Julia tidak pernah menjadi satu-satunya wanita untuk Victor. Tidak di masa lalu, tidak di saat ini, tidak akan pula di masa depan.

Dia hanyalah alat bagi Victor dan Mandy untuk saling bersitegang. Hanya saja, setelah cukup lama bersama, sedikit perasaan pun tumbuh, membuat Victor enggan untuk melepaskan dirinya.

Ketika memikirkan hal ini, Julia memaksakan diri untuk tersenyum. Dia tersenyum sambil terus menangis.

Julia mengira, setidaknya walau hanya sejenak, mereka pernah memiliki cinta yang begitu membara. Namun, Julia tidak menyangka bahwa dari awal hingga akhir, dirinya hanyalah seorang pencuri yang merebut tempat milik orang lain.

Julia menundukkan kepala, mencengkeram erat pakaian di dada, mencoba mengatur napasnya.

Namun, rasa sesak di tenggorokannya tidak bisa ditekan. Jadi, Julia hanya bisa membiarkan air matanya menetes satu per satu di meja.

Malam itu, Victor tidak pulang.

Namun, Julia menerima foto langsung wajah tidur Victor yang dikirim oleh Mandy.

Julia menatap wajah itu lama sekali, sampai akhirnya fajar menyingsing. Ketika hatinya akhirnya sepenuhnya tenang, hatinya seakan sudah mati.

Dia mengambil ponselnya, menelepon teman pengacaranya, Lina Adams.

"Lina, tolong bantu aku untuk membuat surat cerai …."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Kau Injak Dua Perahu   Bab 26

    Tania tidak menyangka bahwa Victor benar-benar berdiri di salju sepanjang malam.Saat malam makin larut, salju turun makin lebat. Tania sering melihat ke luar jendela, begitu pula Julia.Saat melihat wajah yang familier itu melihat ke luar jendela, Victor tetap memaksakan senyum meskipun bibirnya pecah-pecah karena kedinginan."Bu Julia, ini bisa bikin orang mati nggak?"Julia menutupi dirinya dengan selimut dan memejamkan mata tanpa peduli apa pun sambil berkata dengan santai, "Nggak. Kalaupun iya, itu nggak ada hubungannya dengan kita. Ayo tidur."Tania benar-benar takjub dengan betapa tenangnya Julia. Namun, saat teringat penderitaan Julia dulu, Tania langsung menutup tirai dengan marah.Malam itu di tengah salju, Victor terus mengingat masa lalu.Bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama dengan senang, mendekor rumah bersama dan membayangkan masa depan bersama.Sayangnya, semua itu hancur karena Mandy.Saat teringat akan Mandy, amarah Victor mulai tersulut.Saking marahnya, Victo

  • Ternyata Kau Injak Dua Perahu   Bab 25

    Victor melihat ke arah suara itu dan refleks menganga saking kagetnya."Devon? Kok kamu di sini?"Devon merangkul bahu Julia. Saat tidak merasakan perlawanan dari Julia, Devon mengeratkan rangkulannya."Aku tunangannya, jadi kenapa aku nggak boleh ada di sini?"Victor sontak merasa seperti disambar petir. Kepalanya tiba-tiba berdengung dan dia tak bisa mendengar apa pun lagi. "Tunangan? Kok bisa? Julia …. Kok bisa-bisanya dia jadi tunanganmu!"Mata Victor tampak memerah, bibirnya terlihat gemetar.Julia menarik tangan Devon dan menautkan jari mereka, lalu menunjukkannya ke depan Victor."Kenapa juga nggak boleh? Aku belum menikah dan belum punya anak. Apa susahnya menerima pinangan orang lain?"Victor mengatupkan bibirnya, sorot tatapannya terlihat sangat tidak percaya.Perkataan Julia bagaikan sebilah belati yang menusuk jantungnya dan menyayat hatinya."Nggak, aku nggak izinin!" kata Victor. "Aku mencintaimu dan kamu hanya bisa menjadi milikku!"Julia refleks tertawa sinis, dia tidak

  • Ternyata Kau Injak Dua Perahu   Bab 24

    Tidak peduli seberapa keras Victor berteriak di belakang, mobil itu tidak berhenti sama sekali. Mobil itu malah melaju makin cepat dan segera menjadi titik hitam di kejauhan.Baru setelah sosok di kaca spion benar-benar menghilang, Devon perlahan memperlambat laju mobilnya.Julia melirik Devon dengan curiga. "Kenapa kamu ngebut sekali? Nggak sabar mau bereinkarnasi?"Devon tidak menanggapi dan tiba-tiba bertanya, "Kalau Victor datang menemuimu sambil menangis, mengaku salah dan memohon untuk balikan, apa kamu akan setuju?"Julia pun mengernyit seolah-olah habis mendengar sesuatu yang kotor, tetapi dia tetap menjawab dengan serius, "Nggak, sampai mati pun aku nggak mau."Setiap kali teringat perbuatan Victor kepadanya, Julia akan merasa kedinginan dan sering terbangun di tengah malam. Dia berharap seandainya saja benar-benar mati dalam kobaran api waktu itu karena itu lebih baik daripada terus-menerus disiksa oleh kenangan ini.Devon bisa melihat sorot tatapan Julia yang penuh tekad, bi

  • Ternyata Kau Injak Dua Perahu   Bab 23

    Victor tidak tahu bahwa dia telah menjadi fokus pembicaraan semua orang bahkan sebelum dia mencapai tempat latihan.Hanya ada satu hal dalam benaknya.Dia akan mewarisi legasi Julia, bertanding di setiap lintasan yang ada dan memenangkan semua kejuaraan demi Julia.Dengan begini, rasa bersalah Victor mungkin akan berkurang saat menemui Julia di alam baka.Sebelum datang ke sini, Victor telah mendengar bahwa ada seorang pelatih legendaris yang muncul di negara asing dalam dua tahun terakhir. Para pembalap wanita yang dilatih telah memenangkan kejuaraan di semua kompetisi bergengsi.Pelatih itu hanya mau melatih perempuan, tetapi Victor tetap ingin mencobanya.Begitu memasuki ruang latihan, dia menghentikan seorang anggota staf dan berkata, "Halo, di mana pelatih Tim Zero?""Maksudmu si pelatih wanita?" Orang itu menunjuk ke suatu tempat yang tidak jauh dari situ. "Dia tadi duduk di sana. Anggota timnya masih di sana. Coba tanya dia."Victor berterima kasih padanya dan bergegas menghampi

  • Ternyata Kau Injak Dua Perahu   Bab 22

    Devon selalu merasa bahwa Julia memperlakukannya berbeda.Julia selalu menjadi pemantau yang tenang dan percaya diri di hadapan orang lain, tetapi justru menjadi garang dan tersipu di hadapan Devon.Devon pikir itu adalah bukti perasaan Julia kepadanya.Jadi pada hari ujian masuk universitas berakhir, Devon mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaannya.Namun, Julia malah menatap Devon dengan bingung."Kenapa? Kamu nggak menyukaiku?" tanya Devon dengan gelisah, suaranya terdengar gemetar.Julia yang berusia 17 tahun itu mengernyit seolah sedang melihat makhluk asing. "Nggak. Kamu, bunga ini dan teman-temanmu yang selalu membuat onar itu. Aku nggak suka semuanya."Pengakuan pertama Devon gagal, tetapi dia enggan menerimanya. "Apa yang kamu benci dariku? Karena aku menyerahkan modelmu? Atau karena kamu menganggapku jelek?"Julia berbalik untuk pergi, tetapi berhenti saat melihat mata Devon yang berkaca-kaca.Julia menatap Devon dan mengucapkan setiap kata dengan serius, "Nggak jug

  • Ternyata Kau Injak Dua Perahu   Bab 21

    Tiga tahun kemudian, Negara Fitalina.Di tempat istirahat di luar pangkalan latihan pacu, beberapa pembalap berambut pirang dan bermata biru tengah mengobrol sambil menghadap ke arah lintasan."Sudah dengar? Kali ini ada pembalap jagoan dari Negara Chimeas yang dijuluki si kuda hitam. Dia baru belajar balap selama tiga tahun, tapi sudah memenangkan semua kejuaraan domestik. Ini pertama kalinya dia berkompetisi di luar negeri dan banyak orang bertaruh dia akan menang, tapi menurutku itu bukan masalah besar.""Pembalap dari Negara Chimeas? Jangan remehkan mereka."Seorang pembalap lain bertubuh jangkung mendecakkan bibirnya. "Sudah lupa sama pelatih perempuan dari Negara Chimeas itu? Hanya dalam tiga tahun, dia sudah melahirkan lima juara F1 perempuan. Pelatih perempuan itu membuat para pembalap pria seperti kita-kita ini terlihat bermasalah selama beberapa tahun terakhir."Tania Nelsa hanya tersenyum mendengar hal itu dan menggelengkan kepalanya, lalu kembali ke area istirahat timnya.D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status