Rasanya kata-kata yang baru keluar dari mulut Pak Riki bagai sebuah belati! Apa seperti inikah sikap yang sebenarnya? Apa hanya karena rasa cemburu yang mendalam hingga tanpa sadar dia mengatakan hal yang begitu melukai, tanpa dengan baik-baik menanyakannya? "Pak... Saya memang seorang janda dan saya juga bukan manusia suci. Saya memang masih luput dari dosa, tapi asal bapak tahu saya tak serendah seperti apa yang bapak katakan. Terima kasih atas penilaian bapak tanpa tahu sebenarnya!" tanpa terasa air mata ini mengalir begitu saja. Sakit ini membuat aku lemah. Terlebih lagi aku masih trauma bila teringat peristiwa di mana aku diperlakukan tak baik oleh Irwan. Seketika aku berlari keluar, tanpa lagi peduli pada Pak Riki yang memanggil. Ketika membuka pintu aku berpapasan dengan Agung yang juga akan masuk kedalam. "Mbak!" sapanya. Aku tak berani menatapnya karena air mata ini masih merembas di pipiku. Secepatnya aku berlalu dari sana. Kuberlari tanpa melihat kedepan, aku sibuk menu
"Ya sudah, Sus, bawa Faza masuk!Sepertinya dia ketakutan." Aku menyuruh babysitter untuk membawa Faza.Kalau begini niat aku menenangkan pikiran dikampung ini rasanya sia-sia.Aku pun memilih untuk masuk, hari sudah sore langit mendung dan kabut sepertinya akan turun. Jika sudah begini, dingin akan mengerayap.Beberapa kali aku bersin, mungkin karena sudah terbiasa dengan udara kota, jadi sekarang terkena dingin sedikit saja menjadi flu.Alhamdulilah Faza akhirnya tertidur setelah berdrama ingin minta pulang ke kota.Aku merebahkan diri di atas sofa, air jahe sudah terhidang. Mbak Saras tetangga sebelah rumah lah yang membantu aku selama disini.Pagi ini aku memilih untuk berjalan-jalan. Menghabiskan waktu dengan menikmati kuliner yang biasanya ada di pasar pagi, pasar kaget yang ada setiap pagi dengan menjual berbagai makanan khas daerahku.Ternyata masih banyak yang mengenali aku, walau mereka bilang aku makin glowing, mereka menyapa aku ramah."Indah? Indah kan ya?" ujar Teh Lusi,
"Tak usah berkata demikian, aku sudah memaafkan dan melupakan semua yang terjadi dulu, hidupku sekarang hanya ingin menatap kedepan dengan baik." Aku berkata tanpa menatapnya."Ndah ... Apa kamu tak ingin Faza punya ayah lagi?" tutur Mas Akbar."Tentu, tapi mungkin belum saatnya. Nanti tiba waktunya pun, Faza akan memiliki ayah lagi." Aku menjawab dengan baik."Bukan itu, maksudku, apa kamu tak ingin ayahnya Faza kembali padamu?" Seketika aku menoleh, kenapa ia begitu percaya diri mengatakan hal demikian?"Apa? Aku ngga salah dengar kan, Mas? Tak pernah terfikir olehku sedikitpun hal itu, kamu sudah berkeluarga, lebih baik urus saja istrimu dengan baik, perlakuan dia dengan baik dan jangan pernah buat kecewa!" Aku berkata dengan tegas."Tapi, Ndah?""Sudah, Mas. Jika tujuan kamu kesini hanya untuk memgemis kembali padaku, lebih baik sekarang kamu pulang! Aku tak punya pintu untuk kamu lagi!" Aku mulai ngegas, rasanya benar-benar tak tahu malu itu orang.Dia pun akhirnya pergi setelah
"Ndah... Mau hujan, jemuran tolong diangkat!" teriak Ibu Mertua dari kamarnya. Aku yang tengah menidurkan Faza anakku yang berusia tiga bulan tergopoh-gopoh lari. Tak lagi kupedulikan Faza yang kaget karena aku langsung beranjak ketika Faza hampir terlelap sambil minum ASI. "Oekk... Oekk...!" Suara tangis Faza memekakkan telinga tapi tak kuhiraukan sebelum aku selesai mengangkat jemuran Ibu. Ya... Semua itu jemuran Ibu mertuaku dan dua adik iparku. "Kamu ini, apa-apaan sih! Anak nangis malah dibiarin!" Tiba-tiba Ibu Mertua keluar kamar sambil mengomel. "Ini, Bu! Kan Indah ngangkat jemuran dan itu juga Ibu yang nyuruh," ucapku sambil meletakkan baju-baju yang baru saja kuangkat. "Alasan aja, kamu! Sekalian ya setrika semua itu kalau Faza udah tidur." "Iya, Bu." Ibu mertua masuk kamar, akupun segera berlari mendekat ke Faza. Bukan sekali dua kali seperti ini tapi hampir tiap hari. Ibu Mertua jarang menolongku ketika Faza menangis dan aku tengah sibuk. Baginya Faza seratus persen
Satu tas besar sepertinya tak muat untuk membawa pakaianku dan Faza, butuh tas kecil lagi. Aku pikir dulu aku memiliki tas kecil yang sempat di pinjam Sinta adik iparku. Bergegas aku menuju kamarnya. Kuketuk pintu kamar Shinta yang tertutup rapat. "Shin...!" panggilku. Dari dalam belum ada juga sahutan. Mungkin dia sedang tidur. Lima menit kemudian pintu di buka setelah beberapa kali aku mengetuk. "Ada apa si, Mbak? Brisik banget!" ucapnya sambil menguap. "Aku mau ngambil tas kecil yang dulu kamu pinjam," jawabku. "Udah ngga tahu kemana, Mbak. Aku lupa!" Dengan entengnya dia menjawab. "Bisa dicari kan, Shin. Mbak butuh nih!" "Aduh, Mbak! Aku ngga tahu dan males kalau harus nyari.""Ya udah mbak cari sendiri ya?" Dia hanya berdengus kesal dan membiarkan aku masuk. Terlihat barang-barang berserekan, pakaian bergelantungan dan juga ada di bawah sana bahkan di kolong tempat tidur. Aku terus mencari-cari setiap sudut ruangan tapi belum juga ketemu. Tas kecil yang kubeli ketika ak
"Ke-kenapa, Mas. Kamu lebih memilih bercerai jika kita tinggal dirumah ibuku yang tak seberapa jauh?" Tanyaku dengan sesengukan. "Apa terlalu berat persyaratanku hingga kamu memilih bercerai. Tak iba kah kamu padaku di perlakukan seperti ini!""Cukup! Mengertilah... Aku hanya minta kamu bersabar atas sikap ibu dan adik-adikku! Aku sangat tahu perasaanmu, tapi tahukah kamu kalau aku anak lelaki satu-satunya. Penganti Bapak yang telah tiada!""Ta-tapi, Mas. Bukankah aku tak menghalangi kamu untuk tetap bertangung jawab pada keluarga ini! Aku hanya ingin keluarga kita terselamatkan, kalau saja ibumu dan adik-adikmu bisa sedikit saja menghargaiku mungkin aku-" kuhentikan kata-kataku berharap Mas Akbar mengerti."Apa jika kamu tinggal dirumah ibumu juga keluarga kita terselamatkan, justru akan ada bahaya yang lebih parah dari sekedar apa yang ibuku lakukan padamu!"Aku menyempitkan mata, mencerna setiap ucapan Mas Akbar. Apa maksudnya? Aku masih memikirkan apa yang baru saja di sampaikan
'Benarkah apa yang dikatakan Ibu dan Shinta? Ta-tapi kenapa? Aku kira dulu Mas Akbar jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Memang usia Mas Akbar lebih muda dua tahun dariku!' pertanyaan-pertanyaan berkecampuk di hatiku. Segera mengambil HP yang tadi kutaruh di depan televisi. Rasa hati ingin mengetahui kebenaran dengan secepatnya dari Mas Akbar. "Tak usah kamu ganggu suamimu yang sedang kerja! Tanyakan saja padaku apa yang ingin kamu tahu," cetus Ibu Mertua yang sudah satu ruangan denganku. Kumeletakan kembali HP yang sempat kuambil, terlihat Ibu Mertua dengan santai duduk dikursi. "Sebenarnya dulu aku merestui hubungan Dian dengan Akbar, si sulung dan bungsu. Kalau menurut orang tua itu pasti hidupnya berkah!" ucap Ibu dengan nada juteknya. Tanpa terasa air mataku jatuh. Ada rasa sedih mengetahui ini semua. "Ehh... Malah tiba-tiba bilang mau nikahin kakaknya Dian! Anak sulung yang sudah di langkahi adiknya dulu!" Deg!Bagai bogem mentah langsung menusuk keulu hati. Ya mem
"Ka-kamu mau kemana, Dek!" tanya Mas Akbar yang melihatku membereskan baju. Tak kujawab pertanyaan Mas Akbar, aku terus fokus menata bajuku dan baju Faza. "Dengarkan dulu penjelasanku, Dek!" Kali ini Mas Akbar kembali bersuara. "Penjelasaan apa lagi, Hah! Kamu menikahiku hanya karena menurutin perintah Dian, Kan?" Teriakku sudah tak terkontrol. Mungkin Ibu Mertua dan adik iparku sudah mendengar pertengkaran hebat ini. "Makanya dengarkan dulu penjelasaanku! Tidak seperti itu kejadiannya." Mas Akbar masih terus ikut berjalan mondar mandir. "Terus apa? Apa yang benar!" cercaku lagi. "Ya, memang awalnya aku pacaran dengan Dian, waktu dia kelas sepuluh. Itu terjadi karena dia dekat dengan adikku Shinta, hingga sering main kesini dan pulangnya aku yang mengantar. Bukankah itu awal pertemuan kita!" Aku bergeming memeluk tumpukan pakaian yang sedangku kemas. Memang awal pertemuanku dengan Mas Akbar adalah ketika dia mengantar Dian dari rumahnya, tapi aku tak menyangka kalau mereka puny